Juna kembali tersenyum yang membuatnya kembali merasakan pukulan keras dari Arsen, kali ini perutnya dihantam dengan sangat kuat. Juna terbatuk-batuk, bahkan dia meludah darah. “Jika aku mati, kamu pasti akan mati penasaran karena tidak tahu alasan aku melakukan itu.” Setelahnya Juna tertawa mengejek sambil menatap wajah geram Arsen. Arsen tak menahan diri lagi. Dia melayangkan pukulan bertubi-tubi di wajah hingga perut, membuat wajah Juna lebam, bahkan bibirnya terus mengeluarkan darah. Arsen sedikit mundur setelah menghantam tubuh Juna berulang kali. Dia mendengkus kasar, menatap penuh amarah pada Juna yang lemas. “Jika kamu masih tidak mau bicara, maka aku akan membakarmu hidup-hidup di sini,” ancam Arsen dengan sorot mata penuh keseriusan. Arsen menolehkan kepala ke belakang lalu mengangguk ke arah Thomas yang ada di ambang pintu. Tak lama setelahnya, Thomas kembali masuk ke ruangan itu membawa jerigen berisi penuh dengan cairan. Arsen menerima jerigen itu dari Ars
Arsen tidak ingin membahas hal itu. Dia memilih untuk mengalihkan perbincangan dengan meminta Lily untuk segera tidur. "Ini sudah malam, tidurlah!" ucapnya. Beruntung, Lily tak menyadari. Lily mengangguk kemudian memejamkan matanya. Setelah memastikan Lily tidur. Arsen turun dari ranjang dengan perlahan, lalu membetulkan selimut di kaki Lily. Setelahnya Arsen keluar dari kamar, ternyata dia hendak pergi karena Thomas sudah menunggunya di depan rumah Adhitama. Arsen bergegas masuk mobil Thomas, begitu duduk di dalam mobil, Arsen menoleh pada Thomas. “Apa semuanya sudah disiapkan?” tanya Arsen. “Sudah Pak,” jawab Thomas singkat. Thomas mengemudikan mobil meninggalkan rumah Adhitama. Mobil itu terus meluncur menuju bangunan kosong yang dulu digunakan penculik untuk menyekap dan memberi obat pada Lily sampai hampir mati. Sesampainya di sana, Arsen turun diikuti Thomas. Mereka bertemu dengan petugas polisi yang berjaga di depan. “Kalau bisa Pak, jangan sampai dibua
Lily tertawa mendengar ucapan Arsen. “Apa kamu mau jadi bayi lagi?” tanyanya. “Aku mau jadi bayimu.” Arsen kembali menghampiri Lily membawa alat pompa dan tisu basah. “Yakin, kamu ingin bersaing dengan Audrey?” tanya Lily dengan tatapan menggoda. Arsen hanya tertawa sambil memberikan alat yang Lily butuhkan. “Aku mau mandi dulu untuk mendinginkan kepala.” Lily tertawa kecil. “Kamu harus sabar sebentar lagi, oke.” “Tidak oke,” balas Arsen dengan seulas senyum lalu pergi meninggalkan Lily. Lily memompa ASI-nya, saat itu ponselnya berdering dan nama Bibi Jess terpampang di layar. “Halo, Bi.” Suara Bibi Jess terdengar. “Nona, apa Nona dan Tuan akan menginap di rumah Nyonya Risha atau pulang malam ini?” “Kami akan menginap di rumah Bunda, jadi Bibi tidak perlu menyiapkan makan malam.” “Baiklah kalau begitu, saya hanya mau memastikan.” Suara bibi Jess terdengar ragu. Setelah membalas ucapan Bibi Jess, Lily mengakhiri panggilan lalu kembali memompa ASI. ** Saat malam hari. L
Arsen kaget. Dia mengajak Lily ke kedai es krim untuk membuat sang istri senang, bukannya malah berpikir seperti ini. Bahkan dia sampai ikut memesan satu porsi kudapan manis itu, kudapan yang dia pikir kekanak-kanakan. Arsen merasa ada yang salah. Tanpa menoleh dia mencoba memerhatikan sekitar. Dia tahu, Lily sedang merasa rendah diri dengan keadaannya saat ini. “Untuk apa malu? Kenapa kamu berpikir seburuk itu?” Arsen balas bertanya. “Jika sampai waktu yang dibutuhkan untuk terapi habis dan kamu belum bisa kembali berjalan, aku akan membawamu ke luar negeri, aku akan mencari dokter paling baik di dunia agar bisa membuatmu berjalan lagi,” imbuhnya. Lily tersenyum kecil. “Aku hanya takut saja,” lirihnya kemudian menundukkan kepala. ‘Aku merasa tidak pantas bersama pria hebat sepertimu, kalau keadaanku masih seperti ini.’ “Kamu tidak suka es krimnya? Apa mau rasa lain? Apa aku melupakan rasa kesukaanmu?” Lily menegakkan kembali kepala. Dia merasa hatinya tiba-tiba menghangat.
Lily menoleh pada Arsen dengan ekspresi terkejut. “Sekarang, polisi pasti sudah sampai di mansion untuk menangkap mereka,” kata Arsen lagi. “Apa kamu mengajakku pergi sedikit lebih awal karena sengaja? Agar tidak melihat mereka ditangkap?” tanya Lily memastikan. “Tidak juga, lagi pula jadwal terapimu memang hari ini.” Lily hanya diam mendengar jawaban Arsen meski sebanarnya dia tak percaya ** Di mansion. Polisi benar-benar datang untuk menangkap Aris dan Indah. Indah sangat ketakutan saat polisi memperlihatkan surat penangkapan untuknya. “Bibi Jess, bantu aku. Aku benar-benar tak berniat melakukan itu semua, tolong bantu aku,” pinta Indah pada Bibi Jess, lalu tatapannya beralih pada Hera yang ada di samping Bibi Jess. Namun, Bibi Jess dan Hera memilih diam tak ikut campur dengan masalah yang menyeret Indah. Mereka tahu orang jahat memang harus mendapat pelajaran. “Kalian tidak bisa menangkapku begitu saja? Aku di sini juga korban karena sudah dibuat babak belur
Juna berada di ruang interogasi bersama dua penyidik. Wajahnya tampak pucat. Polisi membawanya ke kanntor polisi tanpa memerdulikan kondisi Juna yang tertembak. “Lebih baik kamu bekerja sama dengan kami guna memperlancar penyelidikan,” kata polisi yang mulai muak karena Juna sejak tadi diam dan tidak mau menjawab pertanyaan-pertanyaan yang polisi sampaikan. Juna tetap diam meski polisi bicara dengan nada membentak, sampai-sampai salah satu polisi mengepalkan telapak tangan karena hilang kesabaran. “Katakan, apa motifmu melakukan semua perbuatan yang pelapor sampaikan?” Suara polisi meninggi karena begitu geram. ‘Jika aku jujur, aku akan dipenjara. Jika aku bohong, aku juga akan tetap dipenjara. Pak Arman sudah mati, apa pun yang aku katakan, tetap akan membuatku masuk penjara karena tak mungkin polisi menjadikan orang mati sebagai tersangka,’ batin Juna dengan kebingungan yang berkecamuk di kepala. Setelah memikirkan segala konsekuensi yang akan didapatnya, Juna tiba-tiba terta