udah aku kasih banyak petunjuk pokoknya kleyan 🤭🤭
Arsen mengepalkan tangan di sisi badan. "Katakan!" “Saya sudah menemukan petunjuk. Saya mengikuti saran Anda untuk menelusuri satu persatu orang yang dulu bekerja dengan Bu Sarah — ibunya Pak Arya, sampai akhirnya saya mendapatkan sedikit titik terang saat memeriksa orang ke dua puluh,” ujar Thomas menjelaskan dengan semangat menggebu. Arsen mendengarkan, lalu Thomas kembali bicara. “Saya bertemu dengan anak salah satu orang yang bekerja dengan Bu Sarah bernama Raymond. Anaknya mengatakan sebelum sang ayah meninggal selalu ketakutan dan seperti orang depresi, dia terus mengatakan kalau sudah membuat dosa besar,” ujar Thomas menjelaskan. Dahi Arsen berkerut halus. “Dan ternyata, bukan hanya bekerja pada Bu Sarah, tapi Raymond ini adalah orang kepercayaan Bu Sarah. Ini pengakuan dari anaknya,” ujar Thomas terus menjelaskan apa yang diketahuinya. “Kalau begitu kita harus segera menemuinya dan memastikan, siapa tahu ada petunjuk lebih,” ujar Arsen. “Kalau sekarang tidak b
Arsen diam menatap Adhitama. Hening. Untuk pertama kali Arsen bingung harus bicara apa. "Kamu pasti ingat dulu saat Lily kecil banyak orang yang mengincar nyawanya. Mungkin banyak kesalahan dan dosaku di masa lalu sampai Lily yang harus menanggungnya," ucap Adhitama."Bahkan kamu juga pernah tertusuk karena menyelamatkan Lily." "Maaf, karena kejadian itu menimbulkan trauma yang mendalam untuk Lily," sesal Arsen. Dia tidak jujur ke Adhitama tentang apa yang dialaminya saat itu. Saat di mana tidak ada seorangpun tempat bersadar dan hidup dalam keputusasaan. Arsen tak memungkiri, menjadi pengawal Lily memberi sedikit hiburan untuknya. Adhitama dan Arsen sama-sama diam. Hingga mereka mendengar suara Lily dari luar. Lily sengaja melantangkan suaranya agar Arsen juga Adhitama mendengar. Dia berhenti di depan ruang kerja Adhitama, lalu menyembulkan kepala di antara kusen dan daun pintu yang terbuka sedikit. "Apa sudah selesai bicaranya?" Arsen mengangguk, lantas memandang
Di ruang makan Lily duduk bersama Risha menikmati teh dan kue yang dia bawa. Mereka berbincang tentang kehamilan Lily. “Apa kamu masih suka mual?” tanya Risha. "Apa sudah mulai ngidam sesuatu?" “Em ... aku sudah jarang mual kok, Bund,” jawab Lily lalu menyesap teh miliknya. "Ngidam ya? Entah, sepertinya calon anakku ini tidak neko-neko, hanya saja belakangan aku ingin terus menempel ke suamiku." “Baguslah kalau sudah tidak terlalu sering,” balas Risha. "Ngidam macam apa itu? Bunda yakin itu hanya alasanmu saja, Bunda tahu kamu sangat bucin ke Arsen." Lily tertawa, pipinya seketika merona karena malu. “Lalu, kapan jadwal periksanya lagi?” tanya Risha kemudian. “Minggu depan,” jawab Lily. "Oh .. ya Bunda dengar Monica masuk rumah sakit." Wajah Risha terlihat sedikit sedih. Meskipun hubungannya sedikit retak dengan Monica, tapi tak bisa dipungkiri mereka pernah berteman baik. Lily mengangguk. "Apa Bunda mau menjenguknya?" tanyanya kemudian. Lily menatap Risha yang
Arsen tak bisa menyembunyikan rasa gemasnya ke Lily. Dia mencium gemas pipi wanita itu sampai Lily memberontak memintanya untuk berhenti. Arsen tertawa, tawa yang tidak pernah dia pikir akan bisa kembali dalam hidupnya. Dia kemudian menatap Lily yang cemberut akibat ulahnya. "Duduklah dulu, sarapannya sebentar lagi siap," kata Arsen. Lily menganggukkan kepala lalu duduk sambil terus memandangi punggung Arsen. Dia tiba-tiba saja memikirkan hal mesum, dan kaget saat Arsen menoleh padanya. Arsen mendekat, meletakkan piring berisi sarapan yang sudah jadi ke depan Lily. "Selamat makan," ucap Lily sebelum menikmati sarapan buatan sang suami. "Hm ... bahagianya aku. Adakah yang lebih beruntung dariku?" Lily bicara lalu memandang Arsen yang juga sedang sarapan. "Ada, kamu tidak bisa melihatnya?" balas Arsen seraya menunjuk pada dirinya sendiri. Lily mengulum bibir. Arsen yang dingin kalau seperti ini terlihat manis sekali. ***Sore menjelang siang, Arsen mengajak Lily ke rumah Adhitam
Lily menekuk bibir. "Sifatku yang buruk pasti kamu sudah hafal, tidak usah aku sebut," ucapnya. Arsen tertawa, dia meneggakkan punggung lalu mengapit pipi Lily. "Kamu memang menggemaskan, sudah sekarang mandi, aku siapkan makan malam untuk kita." Lily mengerutkan kening memandang punggung Arsen yang bangkit dari ranjang dan menuju kamar mandi. "Kenapa dia meminta semua pelayan libur? aneh." Lily berbisik di dalam hati. Dia akhirnya membiarkan Arsen keluar kamar untuk melakukan apa yang sudah pria itu bilang tadi. Lily tak berlama-lama di kamar mandi. Dia lekas mandi, ganti baju, lalu turun menuju dapur mencari keberadaan Arsen. Lily agak takut, rumah sebesar ini kini hanya ada dirinya dan Arsen saja. Dia berjalan cepat ke dapur dan lega melihat sang suami sedang berdiri memotong sayuran. “Biar aku bantu mencuci sayurnya,” ucap Lily. Arsen mengangguk lalu kembali sibuk mengolah masakannya. Lily melirik Arsen, mengibaskan tangannya yang basah lalu mendekat dan memelu
Lily berdiri dari kursinya. Dia tidak sanggup meneruskan pembicaraan itu karena tidak tega melihat Rani, sekaligus tidak ingin sampai melunak lalu mengambil keputusan memaafkan Sonia. "Maaf Bibi, aku harus pulang. Suamiku menunggu, Bibi pulanglah, hati-hati di jalan." Lily menundukkan sedikit kepalanya setelah bicara. Dia membuang napas seraya berjalan ke arah Arsen yang sudah menunggunya di dalam mobil. "Ayo pulang," ajak Lily. Dia menutup pintu mobil dan terus memandang Arsen yang menatapnya. "Kenapa?" tanya Lily heran. "Kamu tidak menangis atau mengambil keputusan memaafkan Sonia, 'kan?" Lily menggeleng membalas pertanyaan Arsen yang menatapnya curiga, setelah itu berkata, "Aku tidak akan memaafkan Sonia, hanya saja aku kasihan ke ibunya." Arsen hanya bisa membuang napas, kemudian menyalakan mesin mobil untuk pergi meninggalkan gedung perusahaan. Lily menatap kaca spion, dari pantulannya melihat Rani berjalan lemah keluar gedung. Arsen menyadari Lily sedang memer