Bibi Jess dan Hera pulang ke Mansion. Sepanjang perjalanan, Bibi Jess hanya diam. Hera sesekali menoleh pada Bibi Jess tetapi tak mengucapkan sepatah kata pun. “Kalau yang lain tanya dari mana kita, jawab saja dari pergi untuk berbelanja,” ucap Bibi Jess sambil menoleh pada Hera. “Baik.” Hera langsung mengangguk. Begitu sampai di mansion. Bibi Jess langsung pergi ke kamarnya. Bibi Jess duduk di tepian ranjang seraya mengingat perbincangan dengan Arsen di rumah Jerry. Tangan Bibi Jess tiba-tiba meremat sprei dengan kuat, giginya bergemeletuk geram. ** Di rumah Jerry. Arsen masih duduk bersama Jerry dan Thomas. “Aku akan kembali ke rumah sakit,” ucap Arsen lalu helaan napas meluncur dari bibirnya. “Urus semua pekerjaanku di ARS, aku tidak mau diganggu apa pun alasannya” perintah Arsen dengan tatapan tertuju pada Thomas. “Jika ada yang bertanya, jawab saja kalau aku sibuk menjaga Lily yang baru saja melahirkan,” kata Arsen lagi. “Baik, Pak.” Thomas mengangguk patu
Asisten Arman hanya tersenyum miring. Dia menyandarkan punggung karena geli melihat tingkah Juna yang arogan.“Belum ada berita yang muncul soal Lily Mahesa, jadi terlalu cepat jika kamu meminta warisan itu sekarang,” ucap asisten Arman.Juna terkejut, tangannya mengepal di atas paha.“Baik, aku akan sabar menunggu, tapi jika berita itu sudah muncul jangan sampai kamu melanggar janji.”“Mana mungkin aku melanggar janji,” kata asisten Arman. ‘Harusnya kamu memastikan semuanya dulu sebelum kembali ke Jogja.’ Gumamnya di dalam hati.Asisten Arman kemudian berdiri dari duduknya. “Sepertinya sudah tidak ada lagi yang perlu kita bahas, kamu bisa kembali ke kosmu memakai taksi.”Juna hanya diam, dia memandang punggung Asisten Arman yang berjalan pergi meninggalkannya.Dia masih duduk beberapa saat di sana seolah tak memiliki kesalahan. Bahkan bisa menikmati makanan yang terhidang dengan santai. Setelah itu baru mengecek ponselnya.Juna tersenyum mencibir saat mendapati beberapa panggilan
Divisi pemasaran ARS Dini tampak duduk di meja kerja, kedua tangannya saling menggenggam erat. Pandangan gadis itu terpaku pada tempat sampah di samping meja kerjanya, di mana sebuah boneka beruang kecil tergeletak di antara kertas bekas dan bungkus makanan ringan. Dini refleks membuang boneka pemberian Juna itu beberapa menit yang lalu, setelah melihat titik merah dan bulatan menyerupai kamera tersembunyi di bagian tas punggung yang digendong boneka beruang kecil itu. Sekitar satu jam kemudian Thomas dan Jerry akhirnya datang dan masuk dengan langkah cepat ke divisi pemasaran.Wajah mereka menunjukkan kekhawatiran. “Apa kamu tidak apa-apa?” tanya Thomas sambil mendekat ke arah meja kerja Dini. Dini mengangguk pelan, meskipun wajahnya masih terlihat pucat karena takut. “Sa.... saya membuang bonekanya,” jawabnya lirih. “Ada di tempat sampah.” Jerry mengernyit. “Mengapa kamu membuangnya?” “Saya merasa dia mengawasi saya,” ucap Dini, suaranya gemetar. “Awalnya saya pikir it
Jerry mengangguk kecil lantas diam sejenak untuk berpikir setelah mendengar ucapan Thomas. “Bisa jadi seperti itu, karena itulah kita tidak boleh gegabah mengambil keputusan dan salah menangkap pelakunya,” ujar Jerry. Bibi Jess sepakat dengan Jerry, apalagi dia tahu betul bagaimana karakter Hera, jadi kecil kemungkinan Hera lah pelakunya, meskipun ditemukan pesan mencurigakan di ponsel gadis itu. Saat mereka masih berdiskusi, ponsel Thomas tiba-tiba berdering dan nama Dini terpampang di layar. “Halo, ada apa?” tanya Thomas saat menjawab panggilan itu. “Pak Thomas, aku menemukan sesuatu yang mencurigakan. Sekarang aku benar-benar takut.” Thomas langsung menatap Jerry setelah mendengar suara Dini yang bergetar. “Sekarang kamu ada di mana?” tanya Thomas. “Aku masih di ruangan divisi pemasaran,” jawab Dini dari seberang panggilan, “aku merasa seperti ada yang terus memerhatikanku di sini.” Thomas mengerutkan kening. “Apa maksudmu ada yang memerhatikanmu?” tanya Thomas memastikan
Jerry diam menatap Thomas yang serius. "Kita harus mempersiapkan semuanya," ucap Thomas. Dia menoleh ke kanan dan kiri seolah takut ada orang yang akan mendengar ucapannya. "Melihat bagaimana dia melakukan ini, aku yakin orang yang berani menculik Lily bukan orang sembarangan." Jerry mengangguk menyetujui ucapan Thomas. "Ada yang ingin aku lakukan," kata Thomas. "Apa itu?" Mata Jerry menyipit menunggu Thomas menyampaikan idenya. "Kita harus memutus hubungan antara yang satu dan yang lain. Kita harus menyita semua ponsel pelayan di mansion," kata Thomas. "Tapi ... bukankah itu bisa disebut melanggar hak para pekerja? Bagaimana kalau kena tuntut." Jerry menyangkal ide Thomas. "Apa aku peduli? Apa pak Arsen akan peduli? Ini malah akan membuat semuanya terlihat jelas, siapa yang menolak malah patut dicurigai." Jerry mengangguk-angguk setuju. "Benar juga, berapa lama kamu memikirkan ini?" tanyanya. "Sepanjang hari," balas Thomas. ***Thomas dan Jerry datang ke mansion Arsen. M
Arsen duduk diam menatap wajah Lily yang masih tak sadarkan diri. Perawat baru saja mengganti kantong darah untuk yang kesekian kali. Berharap kantong ini adalah kantong terakhir sehingga kondisi Lily sudah bisa dikatakan melewati masa kritis. Waktu satu kali dua puluh empat jam yang dokter ucapkan juga sudah terlewat, tapi Lily masih sama. Tertidur lelap seolah tak ingin lagi melihat Arsen yang terus berada di sampingnya sepanjang hari. Aturan rumah sakit tak Arsen penuhi. Dia hanya ingin terus berada di dekat Lily, meski istrinya itu tak bergerak, dan tak lagi bisa merengek manja padanya, tapi sesekali dia masih mengajak Lily berbicara. Arsen baru saja mengusir Thomas pergi, saat asistennya itu berkata dokter ingin bicara dengan pihak keluarga. ‘Sudah ada Papa dan Bunda.’ Begitu jawaban Arsen. Nada suaranya lemah, tak bersemangat. Bahkan makanan yang dibawakan oleh Thomas hanya dia geletakkan begitu saja di kursi tunggu depan ICU. “Mau tidur berapa lama lagi? Apa kamu s