Di lapangan golf. “Aku sudah tahu dari Thomas tentang siapa yang memalsukan produk Mahesa.” Arsen terkejut mendengar apa yang Lily ucapkan. “Apa kamu marah?” tanya Arsen sambil memperhatikan ekspresi wajah Lily. Lily menggeleng pelan. “Tapi, kenapa kamu tidak bilang? Kenapa harus diam-diam menyelidiki?” Arsen mengembuskan napas pelan, lalu menggenggam tangan Lily. “Karena aku tahu, kamu pasti akan berusaha dulu menangani masalahmu, baru meminta bantuanku jika sudah terdesak buntu. Jadi kalau aku harus menunggumu meminta bantuan, pasti akan sangat lama, jadi aku mencari jalan dulu untuk mengatasi masalahmu.” Lily menatap haru mendengar penjelasan Arsen. Tetapi dia berusaha untuk tak menangis karena ada Audrey di sana. “Tuntut saja secara material jika memang sangat merugikan Mahesa,” kata Arsen kemudian. “Mahesa memang mengalami penurunan omset yang signifikan, bodohnya aku tidak tahu soal ini dari lama,” ujar Lily. “Sudah, tidak usah menyesali yang sudah terjadi, y
Lily menggeleng pelan, tak menyangka mulut Ella memang tidak bisa dijaga. “Bisakah kamu jangan bicara seperti itu di depan anak-anak,” ucap Lily dengan nada tegas. Oddy hanya memandang Ella dengan wajah kebingungan, dia menunduk saat Ella melotot padanya. Jemari kecilnya memutar roda mobil-mobilan yang dipegangnya. Wajah Oddy menunjukkan ketakutan. Anak sekecil itu seolah sudah paham dengan kebencian ibunya. Audrey, yang berdiri di samping Lily, spontan berjalan mendekat lalu meraih tangan Oddy yang baik-baik saja. “Tidak apa-apa. Nanti kalau sudah sembuh, kita main bola bareng ya,” katanya polos dengan senyum tulus. Oddy menoleh ke arah Audrey, matanya sedikit berbinar. Bocah itu tersenyum. Bibi Jess yang sejak tadi diam memperhatikan akhirnya ikut bicara. “Apa kamu tidak kasihan pada anakmu sendiri? Kalau terus begini lebih baik kamu pergi dari sini," ucap Bibi Jess. Ella mendengus, menaruh ponselnya di meja kecil yang berada dekat dengannya. “Semua orang menyal
Di sebuah rumah mewah.Seorang pria tua sedang memukul berkali-kali wajah seorang laki-laki sampai pipinya memerah, bahkan tangan pria itu terasa panas.“Bagaimana bisa kamu menerima orderan skincare dengan merk Mahesa, belum lagi isinya juga tidak diperhatikan dengan benar sampai membuat kulit orang-orang rusak!” geram pria tua bernama Wisnu itu.Wisnu adalah pemilik pabrik skincare yang dulu pernah jaya sebelum Mahesa dan perusahaan lainnya berdiri. Dan pria di depannya sekarang ini adalah putranya, Teddy.“Tapi keuntungan yang kita dapat sangat besar, apalagi baru delapan bulan kita menerima oderan produk itu, keuntungan kita sudah ratusan miliar dan tidak mungkin pabrik kita ikut terseret,” balas Teddy dengan tenangnya.“Aku akan memastikan hanya sampai di pengusaha skincare saja itu yang harus bertanggung jawab dan nama kita akan aman.”Setelah Teddy selesai bicara, sebuah tamparan kembali Wisnu layangkan sampai Teddy memalingkan muka saat merasakan kerasnya pukulan yang diterima
Lily menggelar konferensi pers terbuka di lobby gedung Mahesa. Banyak wartawan yang datang untuk meliput informasi yang akan diberikan Lily. Di hadapan banyak wartawan. Lily duduk dengan tenang ditemani kuasa hukum Mahesa dan beberapa staff. “Sebelumnya saya ucapkan terima kasih pada semua teman-teman pers yang sudah datang ke mari, hari ini,” kata Lily mulai membuka konferensi pers itu. Kilatan lampu flash dari kamera wartawan tak mengganggu Lily. Dia kembali bicara untuk membuat pernyataan. “Seperti apa yang pernah saya sampaikan, di sini saya ingin memberikan klarifikasi soal produk Mahesa yang ternyata palsu dan sudah merugikan banyak konsumen.” Semua wartawan terkejut mendengar pengakuan Lily. Namun, sebelum mereka diizinkan bertanya, Lily sudah kembali bicara. “Tim kuasa hukum Mahesa sudah memproses masalah ini. Kami sudah melaporkan tindak pemalsuan produk Mahesa ke pihak yang berwajib.” “Bu Lily, berarti bisa dipastikan produk-produk Mahesa yang bermasalah itu pal
Malam hari. Ruang tamu mansion terasa hangat dengan lampu gantung yang menyala redup. Lily duduk di sofa bersama Arsen, sementara Bibi Jess datang setelah mereka panggil. Wajah tuanya terlihat letih, mungkin karena beberapa hari ini terus berada di rumah sakit menjaga Oddy. “Bibi, duduklah dulu,” ucap Arsen, memberi isyarat. Bibi Jess menuruti, meski terlihat heran. “Ada apa, Tuan, Nona? Apa terjadi sesuatu?” Lily menatap Bibi Jess penuh rasa iba. “Kami ingin bicara pada Bibi tentang Oddy.” Begitu nama cucunya disebut, mata Bibi Jess langsung berkaca-kaca. “Apa yang ingin Nona bicarakan?” Lily menelan ludah, lalu berkata dengan hati-hati. “Aku mendapat kabar dari pelayan yang aku minta menjenguk Oddy. Dia bilang Ella memperlakukan Oddy dengan kasar, bahkan mengabaikannya.” Air mata Bibi Jess langsung jatuh. Tangannya meremas sisi rok yang dikenakan. "Itu benar, Nona. Saya sudah lama merasakan sikap buruk Ella ke Oddy, tapi saya takut dianggap ikut campur karena bag
Pagi itu Lily berada di ruang kerjanya seraya memandang sebuah brosur di tangan. Di sela kesibukan dan masalah yang sedang dia hadapi, Lily berniat mencarikan sekolah untuk Audrey. Dia sudah memikirkan hal ini sejak lama. Audrey menuruni sifat pemalunya, hingga dia mengambil langkah dengan memutuskan memasukkan sang putri ke sekolah. Lily masih diam berpikir, hingga tiba-tiba saja dia teringat Oddy. Pelayan rumah yang dia minta untuk menjenguk Oddy di rumah sakit sempat menghubungi dan meminta waktu bicara. Tapi karena sibuk, Lily meminta si pelayan menunda dulu ceritanya. Lily menatap layar ponselnya, lalu menghela napas. dia segera menekan nomor pelayan yang sebelumnya sempat dirinya minta untuk menjenguk Oddy di rumah sakit. “Halo," sapa Lily saat panggilan itu terhubung. "Maaf karena baru sekarang aku punya waktu, kalau menunggu dibicarakan di rumah, aku takut lupa lagi. Bagaimana kabar Oddy? Aku belum sempat mendengar ceritamu kemarin,” ucap Lily lembut. Di sebe