MasukBunga berusaha bersikap tenang.“Apa Anda terburu-buru? Kalau tidak, setelah ini akan saya berikan,” ucap Bunga agar Ivy tidak menyentuh ponselnya.Ivy menyipitkan mata karena Bunga kukuh tidak mau memberikan ponsel itu, Ivy terus memperhatikan gerak-gerik Bunga yang aneh, tetapi Ivy akhirnya bersikap biasa.“Baiklah,” katanya, “aku mau segera,” imbuhnya.Bunga bisa bernapas lega. Dia mencoba tetap tersenyum ke Ivy walau terlihat begitu dipaksakan.“Kamu masih bekerja di agensi?” tanya Ivy lagi.Bunga lagi-lagi meneguk ludah kasar karena pertanyaan Ivy. Dia sudah keluar dari agensi setelah Arsen memberinya uang banyak melalui Thomas. Tapi Ivy tidak boleh tahu, atau tamat riwayatnya.“Ah, ya. Tentu saja masih, mau dapat uang dari mana kalau saya tidak bekerja,” balas Bunga.Ivy mengangguk percaya. Dia duduk di dekat Bunga yang masih berberes-beres.“Bagaimana di penjara? Apa Anda masih bisa memakai barang haram itu?” tanya Bunga untuk menutupi kegugupannya. Dia berusaha bersikap biasa
Lily tampak gusar. “Berarti tadi yang kulihat tidak salah, Sayang. Itu memang Ivy,” ucap Lily begitu yakin setelah mendengar perkataan Audrey. Audrey bingung sampai menatap bergantian pada Lily dan Arsen yang saling tatap dengan ekspresi terkejut. Saat Arsen ingin membalas ucapan Lily, ponselnya lebih dulu berdering, membuat Arsen segera mengeluarkan ponsel dari saku jas, lalu melihat nama Thomas terpampang di layar. “Ini Thomas, dia pasti mau memberi informasi soal Ivy,” kata Arsen. “Kalau begitu segera jawab,” kata Lily tak sabaran. Arsen segera menggeser tombol jawab lalu menempelkan ponsel di telinga. “Halo, Pak.” Begitu mendengar suara Thomas dari seberang panggilan, Arsen langsung bertanya, “Bagaimana?” “Ternyata benar, Pak. Ivy membayar polisi agar bisa keluar dari tahanan. Sekarang dia tidak berada di dalam penjara.” Tatapan Arsen menajam mendengar penjelasan Thomas. “Dia benar-benar keterlaluan,” geram Arsen, “dan polisi-polisi itu, bagaimana bisa disuap agar mele
Hari berikutnya. Arsen pergi ke ARS seperti biasa. Dia kembali bekerja mengurus berkas-berkas yang sudah menumpuk di mejanya. Arsen tampak biasa saja, hingga saat Thomas masuk ke dalam ruangannya, lalu kembali meletakkan tumpukan berkas di meja, Arsen berhenti membalikkan lembaran kertas dan tatapannya kini tertuju pada Thomas. “Ada apa, Pak?” tanya Thomas saat menyadari tatapan tak biasa dari atasannya ini. Arsen mengembuskan napas kasar, dia memijat keningnya sejenak, sebelum kembali menatap pada Thomas yang masih berdiri di depan meja, menunggu dirinya bicara. “Aku mulai lelah mengurus dua perusahaan sekaligus,” kata Arsen. Thomas diam sesaat, dia bisa melihat rasa lelah itu memancar dari sorot mata Arsen. “Jika seperti itu, apa tidak lebih baik dimarger saja perusahaannya agar lebih enak untuk Anda dalam mengelolanya?” tanya Thomas memberi usulan. Arsen lagi-lagi mengembuskan napas kasar, sebelum menjawab, “Aku takut kalau mertuaku salah paham.” Thomas terdiam lagi, menc
Mobil Arsen akhirnya sampai di mansion. Lily segera turun bersama Audrey disusul Arsen. “Hera, ajak Audrey mandi dulu, ya,” kata Lily saat Hera datang menyambut mereka. “Baik, Nona.” Hera mengangguk, lalu dia segera menggandeng tangan Audrey untuk diajak pergi ke kamar. Lily juga pergi ke kamarnya, saat Arsen masuk ke kamar, Lily langsung menghampiri kemudian bertanya, “Soal apa yang Audrey tanyakan tadi, kenapa kamu jawab begitu? Maksudnya apa?” Arsen tersenyum kecil mendengar pertanyaan Lily. “Tentu saja aku mau memberi pengertian dan pelajaran baik untuk Audrey,” balas Arsen. Lily mengerutkan kening, sampai dia kembali bertanya, “Pelajaran apa?” Arsen melangkah lebih dekat ke Lily, sambil memeluk pinggang Lily, Arsen menjelaskan. “Besok, Audrey libur, kan?” Lily mengangguk-angguk masih tak paham hubungan antara libur dengan nasib anak kecil tadi. “Agar Audrey paham, besok aku ingin mengajaknya ke panti asuhan,” ucap Arsen lagi. Lily terkejut, tapi juga senang dengan ide
Anthony terkejut mendengar pertanyaan Arsen. Dia diam beberapa saat, sebelum akhirnya membalas, “Aku sudah berusaha untuk bersikap baik ke Mama dan Dini. Dan, aku juga tahu jika harus memilih.” Arsen menatap Anthony yang gelisah, setelahnya dia kembali bertanya, “Lalu, siapa yang akan kamu pilih? Ibumu atau istrimu?” Anthony tersentak mendengar pertanyaan Arsen. Dia meremat jemarinya, ekspresi wajahnya begitu panik dan gelisah. Dia diam, Anthony tidak mampu menjawab pertanyaan Arsen yang satu ini. Arsen sudah menebak kalau Anthony tidak akan bisa memilih. Dia membuang napas, lalu menepuk pelan lengan Anthony beberapa kali. ** Beberapa saat kemudian “Kami pulang dulu, ya. Kalau ada apa-apa, hubungi aku,” kata Lily saat berpamitan dengan Dini setelah acara syukuran rumah baru Dini selesai. Dini mengangguk-angguk mendengar ucapan Lily, dia tahu kalau Lily sangat mencemaskan dirinya. “Iya, terima kasih karena sudah datang,” balas Dini. Kini Lily yang mengangguk-angguk p
Hari berikutnya Rumah baru Dini dan Anthony sudah ramai dengan keluarga yang datang untuk acara syukuran rumah baru mereka. Lily datang bersama Arsen juga Risha dan Adhitama, tak lupa mengajak Audrey juga. Mereka menikmati acara syukuran rumah baru Dini, Diana juga Rina dan Dhea juga berkumpul bersama di sana. “Bu, makan buahnya,” kata Dini sambil menyodorkan piring berisi potongan buah ke Rina. “Iya, nanti ibu ambil,” kata Rina. Diana hanya mengamati tanpa mengajak bicara Rina, hingga saat dia mengecek ponselnya, Diana tiba-tiba berdiri sampai membuat Dini dan Rina terkejut. Dini memperhatikan Diana pergi meninggalkan mereka, Dini bertanya-tanya Diana mau pergi ke mana. Namun, beberapa saat kemudian, terdengar suara tawa dari arah pintu luar. Dini dan yang lain sampai menoleh dan mendapati Diana datang bersama teman-teman sosialitanya. ‘Mama benar-benar mengundang mereka,’ batin Dini. Dia langsung tidak nyaman, tapi Dini juga tidak bisa berbuat apa-apa. “Ayo semuanya







