Arsen bergegas ke rumah sakit ditemani Lily setelah mendapatkan kabar dari Thomas. Setibanya di sana, Arsen panik melihat tangan Thomas dibalut perban. Thomas bercerita, semalam dia pulang sekitar jam setengah dua belas malam membawa brankas yang akhirnya bisa dilepas dari tembok oleh tukang. Dia memastikan Rena masuk ke rumah setelah dirinya dan para pelayan pulang. Namun, Thomas baru ingat, dia lupa membawa koran yang ditemukan di ruang kerja Raymond. Thomas akhirnya putar balik. Di saat itu dia melihat pintu rumah Rena terbuka sedikit. Merasa ada yang janggal, Thomas lantas masuk dan melihat Rena sudah jatuh tersungkur di lantai antara ruang tengah dan ruang tamu. Thomas berhadapan dengan perampok itu, telapak tangannya terluka saat menangkis senjata tajam yang diarahkan padanya. "Kamu baik-baik saja 'kan?" Arsen tampak lega melihat Thomas tak terluka parah. "Maaf, saya tidak memberitahu Anda langsung. Saya tidak ingin Anda khawatir," kata Thomas. "Rena, bagaimana
Arsen bergegas menuju kamar kerja Raymond dan meminta pelayan menyingkir agar dia bisa memeriksa brankas itu. "Sekarang tinggal bagaimana cara membukanya, Pak." Thomas menatap Arsen yang berjongkok. Mata Arsen terus tertuju pada brankas yang menempel di dalam lemari. "Apa mau mencoba membukanya menggunakan tanggal lahir ayah?" Rena memberi saran. Arsen mengangguk lantas berdiri. Dengan hanya menatap pada Thomas, sekretarisnya itu langsung berjongkok dan bertanya pada Rena berapa tanggal lahir Raymond. "Lima belas Juni satu sembilan lima sembilan." Thomas mencoba beberapa kombinasi dari angka yang Rena sebutkan, tapi nihil. Brangkas itu tak terbuka sama sekali. "Mungkin baterainya habis, ini sudah bertahun-tahun tidak dibuka," ucap Thomas seraya menoleh Arsen. "Kamu keberatan jika brankas itu aku bawa?" Arsen bertanya pada Rena yang berdiri di dekatnya. "Sepertinya aku harus memanggil ahli agar brankas ini mau terbuka, atau jika tidak bisa maka terpaksa harus mengh
Thomas akhirnya membuka pintu ruangan karena tidak mungkin dirinya berani membantah perintah Arsen. Gelap. Bahkan saat saklar dinyalakan lampunya sudah tidak mau hidup. Arsen menatap ruangan yang sudah Thomas buka. Dia melarang Thomas dan Rena masuk karena khawatir debu dan sirkulasi udara yang buruk bisa mengganggu pernapasan. "Hubungi layanan kebersihan sekarang juga," titah Arsen ke Thomas. Thomas agak ragu, jasa kebersihan biasanya harus dipesan minimal tiga hari sebelumnya. Apalagi hari libur, pasti banyak yang menggunakan jasa itu. Tak kehabisan ide, Thomas menghubungi salah satu pelayan rumah Arsen. "Liburan sudah selesai, panggil beberapa temanmu, Pak Arsen butuh kalian," ucap Thomas. Dia lantas menyebutkan alamat rumah Rena agar para pelayan itu bisa segera datang ke sana. Sambil menunggu pelayan datang untuk membantu membersihkan. Arsen memilih keluar untuk menghubungi Lily. Dia merasa harus mengabari istrinya, karena mungkin saja akan pulang larut malam. Ars
Arsen mengepalkan tangan di sisi badan. "Katakan!" “Saya sudah menemukan petunjuk. Saya mengikuti saran Anda untuk menelusuri satu persatu orang yang dulu bekerja dengan Bu Sarah — ibunya Pak Arya, sampai akhirnya saya mendapatkan sedikit titik terang saat memeriksa orang ke dua puluh,” ujar Thomas menjelaskan dengan semangat menggebu. Arsen mendengarkan, lalu Thomas kembali bicara. “Saya bertemu dengan anak salah satu orang yang bekerja dengan Bu Sarah bernama Raymond. Anaknya mengatakan sebelum sang ayah meninggal selalu ketakutan dan seperti orang depresi, dia terus mengatakan kalau sudah membuat dosa besar,” ujar Thomas menjelaskan. Dahi Arsen berkerut halus. “Dan ternyata, bukan hanya bekerja pada Bu Sarah, tapi Raymond ini adalah orang kepercayaan Bu Sarah. Ini pengakuan dari anaknya,” ujar Thomas terus menjelaskan apa yang diketahuinya. “Kalau begitu kita harus segera menemuinya dan memastikan, siapa tahu ada petunjuk lebih,” ujar Arsen. “Kalau sekarang tidak b
Arsen diam menatap Adhitama. Hening. Untuk pertama kali Arsen bingung harus bicara apa. "Kamu pasti ingat dulu saat Lily kecil banyak orang yang mengincar nyawanya. Mungkin banyak kesalahan dan dosaku di masa lalu sampai Lily yang harus menanggungnya," ucap Adhitama."Bahkan kamu juga pernah tertusuk karena menyelamatkan Lily." "Maaf, karena kejadian itu menimbulkan trauma yang mendalam untuk Lily," sesal Arsen. Dia tidak jujur ke Adhitama tentang apa yang dialaminya saat itu. Saat di mana tidak ada seorangpun tempat bersadar dan hidup dalam keputusasaan. Arsen tak memungkiri, menjadi pengawal Lily memberi sedikit hiburan untuknya. Adhitama dan Arsen sama-sama diam. Hingga mereka mendengar suara Lily dari luar. Lily sengaja melantangkan suaranya agar Arsen juga Adhitama mendengar. Dia berhenti di depan ruang kerja Adhitama, lalu menyembulkan kepala di antara kusen dan daun pintu yang terbuka sedikit. "Apa sudah selesai bicaranya?" Arsen mengangguk, lantas memandang
Di ruang makan Lily duduk bersama Risha menikmati teh dan kue yang dia bawa. Mereka berbincang tentang kehamilan Lily. “Apa kamu masih suka mual?” tanya Risha. "Apa sudah mulai ngidam sesuatu?" “Em ... aku sudah jarang mual kok, Bund,” jawab Lily lalu menyesap teh miliknya. "Ngidam ya? Entah, sepertinya calon anakku ini tidak neko-neko, hanya saja belakangan aku ingin terus menempel ke suamiku." “Baguslah kalau sudah tidak terlalu sering,” balas Risha. "Ngidam macam apa itu? Bunda yakin itu hanya alasanmu saja, Bunda tahu kamu sangat bucin ke Arsen." Lily tertawa, pipinya seketika merona karena malu. “Lalu, kapan jadwal periksanya lagi?” tanya Risha kemudian. “Minggu depan,” jawab Lily. "Oh .. ya Bunda dengar Monica masuk rumah sakit." Wajah Risha terlihat sedikit sedih. Meskipun hubungannya sedikit retak dengan Monica, tapi tak bisa dipungkiri mereka pernah berteman baik. Lily mengangguk. "Apa Bunda mau menjenguknya?" tanyanya kemudian. Lily menatap Risha yang