Share

Bab 2. Jangan berpikir aku menyentuhmu.

Amira yang tak biasa meminum alkohol, lantas merasa kepalanya pusing. Dua gelas Wine sudah membuat kesadarannya hilang dan pandangannya buram.

"Om, aku ke kamar mandi dulu ya?" ucap Amira sambil memijat kening dengan jarinya.

Amira baru saja bangkit dari tempatnya, tiba-tiba tubuhnya terperosok hingga terjatuh di atas pangkuan pria itu.

"Ma...ma...maaf Om," ucap Amira dengan nada khas mabuk.

Ia berusaha bangkit, tetapi tenaganya tidak cukup untuk berdiri sendiri. Akhirnya pria itu membantunya bangkit lalu menuntunnya untuk duduk, seketika itu juga Amira tertidur pulas. Saat terbangun, ia sudah berada di tempat yang berbeda.

"Aw...." rintih Amira saat bangkit dari tidurnya sambil memijit keningnya yang masih terasa pusing.

"Kamu sudah bangun?"

Amira refleks memutar kepala, seorang pria duduk di sofa yang terletak di samping tempat tidur. Pria itu terlihat sedang memainkan ponsel dengan berpakaian rapi.

"Om, Om...."

"Jangan berpikir aku menyentuhmu," sela pria itu yang membuat Amira tidak melanjutkan kata-katanya.

"Jadi?" tanya Amira.

Pria itu bangkit dari sofa, melangkah menghampiri Amira yang duduk di atas tempat tidur. Ia meraih selembar kertas dari dalam dompet lalu menyodorkannya kepada Amira.

"Marc Alfaro Louis," ucap dalam hati Amira sambil membaca huruf yang tertulis di kertas.

Iya, pria itu bernama Marc Alfaro Louis, putra sulung dari keluarga Louis. Pemilik perusahaan terbesar di ibu kota, sahamnya ada di mana-mana bahkan sampai ke manca negara.

"Ini untuk apa Om?" tanya Amira dengan wajah bingung.

"Hubungi aku jika kamu membutuhkan ayah untuk anakmu," ucap pria itu yang langsung bangkit dari sisi ranjang.

Seketika mata Amira membulat, jantungnya berdegup kencang. Ia bingung kenapa pria itu mengetahui tentang kandungannya.

Setelah 10 menit terdiam Amira akhirnya tersadar, ia membuka selimut dari tubuhnya lalu beranjak dari tempat tidur bergegas mengejar Marc.

Namun sayang, pria yang bernama Marc itu sudah tidak terlihat lagi. Amira pun kembali ke kamar, ia menjatuhkan bokongnya di sisi ranjang sambil menatap fokus kartu nama yang ada di tangannya.

"Dari mana prai itu tahu tentang kehamilanku?" tanya Amira kepada dirinya sendiri.

"Mungkin kah aku yang mengatakannya sendiri?" lanjutnya.

"Ah...tidak mungkin, lupakan saja." Amira bergegas menuju kamar mandi.

Ia membersihkan tubuhnya lalu bergegas meninggalkan hotel. Sepanjang perjalanan menuju kost, Amira tidak berhenti menatap kartun nama Marc.

Akhirnya Amira meraih ponsel dari dalam tas, lalu menghubungi nomor yang tertulis di kartu nama.

"Om, ini aku A...."

"Jika kamu membutuhkan ayah untuk anakmu, kembali lah ke hotel," sahut dari seberang sana yang membuat Amira terdiam.

"Tapi Om..." Amira lagi-lagi terdiam karena Marc memutuskan sambungan teleponnya.

Rasa penasaran membuat Amira meminta sopir taksi mengantarnya kembali ke hotel. Setibanya di sana ia melihat Marc berdiri di depan kaca jendela, dengan  posisi kedua tangan di masukkan ke dalam saku celana, menghadap keramaian kota.

"Aku tahu kamu pasti datang," ucap Marc, masih dengan posisi menghadap ke luar.

"Om tahu dari mana tentang kandunganku?" tanya Amira tanpa basa-basi.

"Itu tidak penting, sekarang yang penting adalah! Ayah untuk anak yang ada dalam kandunganmu saat ini." Marc bicara sambil memutar tubuh kekarnya menghadap Amira yang berdiri jarak 4 meter darinya.

"Anak ini memiliki ayah," dalih Amira menutupi kemaluannya.

Marc tersenyum seribu arti, "Jika dia memiliki ayah! Untuk apa kamu kembali ke sini?"

Wajah Amira seketika berubah menjadi tegang, ia pun bingung untuk menjawab pertanyaan Marc.

"Kamu tidak perlu berbohong, aku sudah tahu semua tentang dirimu," lanjut Marc.

"Om tahu dari mana?" Amira lagi-lagi bertanya.

Marc melangkah menghampiri Amira, ia berdiri tepat di hadapan wanita cantik itu. Tubuh kekarnya sedikit menunduk untuk mendekatkan wajahnya ke wajah Amira.

"Jadilah istriku sampai anakmu lahir, setelah itu kamu bisa pergi dariku dengan membawa anakmu," ucapnya.

Kening Amira mengerut, ia benar-benar bingung dengan ucapan Marc. Untuk apa pria setampan dan sekaya Marc menjadikannya istri? Padahal  saat ini ia sedang mengandung anak dari pria lain. Bukankah di luaran sana banyak wanita dari  golongan atas hingga artis yang berlomba-lomba mendekati Marc dan berusaha untuk menjadi istrinya? Pertanyaan itulah yang seketika berputar-putar di kepala Amira.

"Bagiamana Amira?" tanya Marc karena tak ada jawaban.

Seketika Amira tersadar dari pikirannya, "Ha, i...i...iya Om?" ucapnya terbata-bata.

"Kalau begitu ikutlah denganku." Marc meraih tangan Amira, membawanya ke luar dari kamar melangkah menuju lift.

"Om, kita mau ke mana?" tanya Amira, ia berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Marc.

"Kembali ke rumah, bukankah kamu sudah setuju menjadi istriku?" jawan Marc sembari balik bertanya.

"Bu...bu...bukan begitu Om," bantah Amira.

Tentu Amira membantah! Ia mengatakan iya bukan untuk menyetujui permintaan Marc, tetapi hanya untuk merespon ucapan Marc.

"Tak usah jual mahal, kesempatan hanya datang satu kali," ucap Marc dengan wajah dingin.

Amira pun mulai berpikir, ia menutup mulut rapat-rapat dan mengikuti Marc hingga ke parkiran dan masuk ke dalam mobil.

"Apa kamu sudah tahu apa yang harus kamu lakukan?" tanya Marc setelah duduk di dalam mobil.

"Tidak Om," jawab Amira dengan polosnya.

"Yang pertama, jangan memanggilku Om. Yang kedua, jangan gugup saat ada yang bertanya tentang hubungan kita. Yang ketiga, katakan kalau kita sudah menikah 1 bulan yang lalu dan saat ini kamu sedang mengandung anakku," perintah Marc.

"Tapi Om, kita kan belum menikah." Amira dengan polosnya.

Marc memutar kepala, ditatapnya Amira dengan tatapan dingin, "Aku tidak mungkin menikah denganmu, tapi tenang saja! Aku akan memperlakukanmu layaknya seorang istri."

"Memperlakukan layaknya seorang istri?" tanya Amira untuk memperjelas.

Marc yang bisa membaca pikiran Amira, segera membuka mulut, "Aku tidak akan menyentuhmu walupun kita tidur di kamar yang sama. Tapi satu yang harus kamu ingat, kamu harus pergi setelah anak itu lahir dan membawanya sejauh mungkin dari kota ini." 

"Oh, kita hanya pura-pura suami istri, begitu Om?" tanya Amira sambil tersenyum paksa.

"Iya," jawab singkat Marc.

Mobil itupun seketika hening, namun sebelum tiba di kediaman Louis, Marc terlebih dahulu membawa Amira ke sebuah butik. Meminta wanita cantik itu untuk mengganti pakaiannya.

==============

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status