Share

Bab 0004

Xander menyeringai menatap wajah cantik Sena yang nampak lebih fresh pagi itu.

Walaupun masih ada bekas sembab di sana yang menandakan wanita itu baru saja menangis semalaman, tapi hal itu tidak mengurangi kecantikan Sena sama sekali. Bahkan, Xander sampai memicingkan mata menatap sekali lagi wajah yang tidak terlalu ia perhatikan kemarin malam itu.

Dengan make up seadanya dan seragam pramuniaga serta rambut yang digelung rapi membuat Sena terlihat jauh lebih cantik daripada kemarin saat Sena berdandan memakai gaun milik Giana.

Namun, wanita itu tetap saja sudah menipunya dan Xander tidak bisa menerimanya sama sekali.

Sena sendiri sudah membelalak lebar dengan jantung yang berdebar kencang menatap pria yang sama sekali tidak ingin ditemuinya lagi itu.

"Apa ... apa yang kau lakukan di sini?" seru Sena gemetar sambil mencengkeram erat-erat bukunya dan melangkah mundur.

"Mencarimu, Sena. Urusan kita belum selesai," jawab Xander dengan nada yang begitu mengintimidasi.

"Aku tidak punya urusan denganmu. Pergi! Jangan ganggu aku lagi!" sahut Sena dengan lantang walaupun napasnya mulai tersengal.

"Kau jelas-jelas punya urusan denganku, Sena. Dan kau sudah berbohong padaku, aku tidak suka dibohongi."

Sena menggeleng tidak mengerti. "Apa maksudmu? Aku sama sekali tidak membohongimu dan aku tidak punya urusan apa pun denganmu."

"Ck, kau berani bilang kau tidak berbohong, hah? Asal kau tahu kalau aku sama sekali bukan pria yang sabar, Sena. Kau bilang padaku kalau kau tidak tahu di mana Giana, tapi ternyata kau bertemu dengannya tadi malam, benar kan? Apa kau mau mengelak lagi, Sena?"

Kedua mata Sena kembali membelalak mendengarnya.

"Itu ... itu ...."

"Jangan berani menyangkalnya, Sena! Dan jangan berani melindunginya! Bawa dia kepadaku atau kau akan menyesal, Sena!"

Sena pun kembali menggeleng dengan tubuh yang makin gemetar.

"Tidak! Kemarin aku tidak tahu dia pulang, tapi secepat itu dia pergi lagi dan aku tidak tahu lagi di mana dia berada. Bahkan, dia juga hanya datang untuk menambah kesedihanku, jadi berhenti mencariku. Pergi sana! Pergi!"

Xander yang mendengar teriakan Sena pun memicingkan mata sambil melirik ke sekelilingnya dan beberapa orang terlihat mulai menatap penasaran pada mereka.

"Baiklah, Sena. Kesabaranku sudah habis dan jangan pikir aku akan diam saja setelah kau membohongiku."

Perlahan Xander melangkah mendekat, memperkecil jarak di antara mereka sampai Sena menegang di sana.

"Tunggu saja kejutan dariku, Sena! Kau harus tahu dengan siapa kau sedang berhadapan sekarang," bisik Xander di depan wajah Sena yang lagi-lagi membuat Sena menahan napasnya.

Sebuah seringaian kembali terbit di wajah bengis pria itu sebelum akhirnya Xander pergi meninggalkan Sena.

Dan kaki Sena pun langsung lemas setelahnya. Bahkan, Sena harus berpegangan pada rak barang agar ia tidak jatuh.

Jantungnya masih berdebar tidak karuan dan tubuhnya juga gemetar hebat, tapi ia bisa bernapas lebih lega sekarang, seolah hawa iblis baru saja pergi darinya.

"Tenang, Sena! Tidak apa! Dia hanya asal bicara. Ya, kau harus tenang."

Cukup lama Sena menenangkan dirinya sendiri sebelum akhirnya ia masuk ke ruangan khusus karyawan dan meneguk air banyak-banyak di sana.

"Hei, Sena, sudah jam segini, ayo makan dulu!" ajak seorang teman Sena yang memberikan nasi kotak yang biasa mereka beli bersama untuk para karyawan.

"Ah, iya, terima kasih." Sena berusaha tetap tenang dan memakan makan siangnya walaupun ia merasa begitu sulit menelan makanannya.

"Kau tidak apa, Sena? Sejak tadi kau nampak murung. Jangan dengarkan ucapan supervisor, dia memang suka mengomel kan? Sudah, makan saja dan bekerja dengan baik ya."

Sena kembali mengangguk dan mencoba tersenyum pada wanita itu.

"Iya, terima kasih," ucap Sena lagi sebelum ia menghabiskan makan siangnya.

Namun, setelah makan siang berlalu, hatinya makin gelisah, bukan karena ucapan supervisor, tapi karena ancaman pria bengis itu.

Sampai tidak lama kemudian, kegelisahannya menjadi nyata saat ia dipanggil ke ruangan supervisor.

"Mulai besok kau tidak perlu lagi bekerja di sini, Sena. Ini gajimu dan ada sedikit bonus di dalamnya."

Supervisor meletakkan sebuah amplop di meja dan mendorongnya ke arah Sena.

Tatapan Sena pun langsung goyah. "Apa? Maksudnya aku ... dipecat? Tapi mengapa? Aku janji aku tidak akan terlambat lagi, Pak. Aku janji!"

"Ini sudah keputusan pimpinan, Sena. Aku juga tidak tahu menahu tentang keputusan itu."

"Tapi pasti ada yang salah di sini. Aku tidak melakukan kesalahan apa pun, Pak. Aku sangat membutuhkan pekerjaan ini, Pak."

Sena mulai menitikkan air matanya lagi karena ini begitu menyakitkan. Ia dipecat tanpa sebab yang jelas.

"Semua orang juga membutuhkan pekerjaan, Sena. Termasuk aku. Aku hanya menjalankan perintah pimpinan dan kalau aku tidak menurutinya, aku yang akan dipecat. Kau juga harus mengerti aku, Sena."

"Tapi Anda kan supervisor di sini, tidak bisakah kau membantu membelaku? Aku tidak pernah melakukan kesalahan apa pun, Pak."

"Apa yang mau dibela? Kau juga sering terlambat, bagaimana caraku membelamu, hah?"

"Tapi Anda tidak bisa melakukan ini padaku, Pak. Anda tidak bisa." Sena mulai memohon sambil menangis, tapi supervisor itu malah makin geram dan tidak mau lagi bicara dengan Sena.

Dan Sena pun ditinggalkan menangis sendiri di ruang supervisor.

Sungguh, Sena tidak tahu apa nasibnya yang begitu buruk atau ini yang dimaksud pria bengis itu dengan tunggu kejutan darinya? Tapi mungkinkah pria itu bisa membuat Sena dipecat?

Entahlah, tapi pada kenyataannya Sena sudah dipecat dan ia begitu sulit menerimanya.

Kehilangan pekerjaan utamanya sama saja dengan membuatnya kehilangan sumber penghasilan.

Bagaimana ia bisa hidup nanti? Bagaimana ia bisa membayar hutang Giana saat ditagih nanti?

Sena terus menitikkan air matanya saat ia berpamitan dengan teman-temannya dan ia pun berakhir dengan duduk sendirian di food court mall.

Tidak lama kemudian, ponsel Sena berbunyi dan nama Hansel tertera di sana. Sena pun segera menghapus air matanya dan menenangkan napasnya sebelum ia mengangkat teleponnya.

"Halo, Hansel?"

"Sena, bagaimana kondisimu? Apa sudah lebih baik?"

"Tentu saja sudah. Aku baik-baik saja."

"Ah, syukurlah. Oh iya, aku akan agak terlambat menjemputmu nanti, Sayang. Kau tidak apa kan?"

"Tidak apa, Hansel. Santai saja."

"Ah, baiklah, Sena. Bekerja yang rajin ya. Nanti kita bertemu."

"Iya, tapi Hansel ...." Sena terdiam sejenak dan mempertimbangkan untuk memberitahukan tentang ia yang dipecat atau tidak, tapi akhirnya ia memutuskan untuk tidak mengatakannya.

"Iya, Sena? Ada apa?"

"Ah, tidak. Tidak ada apa-apa."

"Baiklah kalau begitu, aku tutup dulu teleponnya. Sampai jumpa!"

Sena hanya mengangguk lalu menutup teleponnya dan kembali merenung dengan air mata yang kembali menetes.

Tanpa Sena sadari, Xander sendiri sudah duduk di sebuah restoran yang tidak jauh dari food court. Dan dari posisinya, Xander pun bisa mengamati bagaimana Sena yang duduk sendirian di sana sejak tadi.

Xander pun menyeringai puas dan langsung meraih ponselnya untuk menelepon Sena yang nomornya sudah ia dapatkan dari Henry.

Sena sendiri yang baru saja menutup teleponnya pun langsung mengangkat teleponnya lagi tanpa melihat nama peneleponnya karena ia berpikir bahwa Hansel yang meneleponnya lagi.

"Halo, Hansel," sapa Sena begitu ia mengangkat teleponnya.

"Hansel? Aku bukan Hansel, Sena."

Sena langsung membelalak mendengar suara itu dan ia langsung memeriksa nomor di ponselnya yang ternyata nomor tidak dikenal.

"Kau! Mau apa kau meneleponku dan dari mana kau bisa tahu nomor ponselku?"

"Itu tidak penting dari mana aku tahu nomor ponselmu, Sena. Tapi apa kau menyukai kejutan dariku?"

"Apa? Kejutan?" Jantung Sena berdebar begitu kencang memikirkan sepertinya benar pria itu adalah dalang dari pemecatannya.

"Kau ... jangan bilang kau yang membuat aku dipecat," lirih Sena.

Xander pun hanya menyeringai. "Menurutmu, Sena? Tidak ada yang tidak bisa kulakukan, Sena."

Dan hati Sena pun langsung mencelos. Seketika ia tidak bisa menahan emosinya lagi dan bangkit berdiri dari kursinya.

"Brengsek kau! Brengsek! Sebenarnya apa yang kau mau, hah? Kalau kau memang ada masalah dengan Giana, mengapa kau harus melakukan ini padaku? Aku tidak ada hubungannya dengan Giana, bisakah kau tidak mengganggu hidupku lagi, hah?" pekik Sena frustasi.

Bahkan, Sena tidak peduli kalau ia menjadi pusat perhatian saat ini. Namun, Xander yang melihatnya dari kejauhan pun begitu menikmati ekspresi putus asa dari wanita itu.

"Sayangnya tidak bisa, Sena. Ini peringatan pertamaku dan aku tidak akan berhenti sebelum kau membawa Giana padaku!"

**
Comments (2)
goodnovel comment avatar
jess
Betul Sena yang bodoh dan Xander CEO pengangguran.
goodnovel comment avatar
Nengsi Yuniah
Sena yang bodoh
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status