"Bagaimana keadaan putri saya, Dokter? Apakah keadaannya benar-benar sudah membaik?" Suara Bu Fatma terdengar bergetar, nyaris tak mampu menutupi kecemasan yang mengendap dalam hatinya.
Wanita paruh baya itu duduk di kursi seberang meja kerja Dokter Antares, dokter muda yang selama tiga bulan terakhir setia menangani putrinya yang koma akibat kecelakaan tragis yang menimpanya saat berkendara di jalan raya. Dokter Antares mengalihkan pandangannya dari catatan medis yang ada di meja kerjanya, lalu menatap Bu Fatma dengan senyum lembut yang dimaksudkan untuk menenangkan wanita itu. "Kondisi Giana sudah menunjukkan perkembangan yang cukup baik, Bu," jawabnya. "Namun, karena koma yang dialaminya, otot-ototnya mengalami kekakuan. Giana membutuhkan terapi jalan untuk memulihkan fungsi tubuhnya secara perlahan." imbuhnya seraya mengulas senyum. Bu Fatma menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya secara perlahan, berusaha mengontrol perasaannya. "Saya ikut bagaimana Dokter saja. Saya percayakan sepenuhnya putri saya pada Anda dan tim," ucapnya lirih, tetapi penuh harap. Mendengar ucapan Bu Fatma, Dokter Antares menundukkan dan menganggukkan kepalanya sedikit pada wanita itu. "Terima kasih atas kepercayaan yang Ibu berikan pada saya dan tim. Kami akan berusaha sebaik mungkin untuk kesembuhan Giana," katanya penuh keyakinan. Namun, suasana yang tenang itu buyar dan menjadi tegang ketika seorang perawat tiba-tiba masuk dengan wajah pucat dan langkah tergesa. "Dokter, pasien di kamar 13 mengalami mual dan muntah hebat!" serunya dengan napas yang tersengal. Dokter Antares terdiam sejenak. Wajahnya yang semula penuh kendali seketika berubah. "Pasien kamar 13, Giana ...." Mata Bu Fatma melebar seiring dengan kabar yang di dengarnya. Rasa cemas semakin merayap di hatinya. "Ada apa dengan putri saya, Dokter?" suaranya memecah keheningan, sarat dengan kecemasan yang membuncah. Tanpa menunggu jawaban, Dokter Antares segera bangkit dari kursinya, melangkah cepat ke luar ruangan. Bu Fatma, yang diliputi rasa takut, mengikuti di belakangnya dengan langkah limbung. Derap langkah mereka terdengar memenuhi koridor rumah sakit yang sepi, seolah menggema di setiap dinding, membawa kecemasan yang semakin mencekik. Sesampainya di ruang rawat Giana, pemandangan yang tak diduga menyambut mereka. Seorang dokter wanita dan beberapa perawat tengah sibuk menangani Giana yang terbaring lemah, keringat dingin membasahi wajah gadis muda itu. Bau khas memenuhi ruangan, membuat suasana semakin tegang. "Apa yang terjadi?" tanya Dokter Antares. Suaranya sedikit meninggi karena ketegangan yang kian terasa. Dokter wanita yang sedang bertugas, tampak tergesa menenangkan Giana sebelum menoleh pada Dokter Antares dan Bu Fatma. "Pasien mengalami mual dan muntah berlebihan," jawabnya datar. "Saya perlu memeriksa lebih lanjut, ini tidak biasa." Bu Fatma melangkah mendekat, tangannya gemetar. "Kenapa bisa begini? Apa yang sebenarnya terjadi pada putri saya, Dokter?" tanyanya, matanya tak bisa lepas dari tubuh lemah Giana yang terkulai di atas ranjang. Dokter wanita itu tidak langsung menjawab. Sebaliknya, tangannya bergerak cepat memeriksa kondisi Giana, terutama bagian perutnya. Ketika jarinya menekan sedikit, dia terdiam. Matanya menyipit, alisnya mengerut. Ada sesuatu di sana yang membuat wajahnya berubah memucat. Hidungnya kembang kempis, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja ia dapati. "Tidak mungkin," bisiknya, hampir tak terdengar. "Ini benar-benar tidak masuk akal ...." Kebingungan menyergap seluruh ruangan. Bu Fatma dan Dokter Antares saling bertukar pandang, jelas sama-sama bingung dan mulai dikuasai rasa takut. Ada sesuatu yang sangat tidak beres dari pemeriksaan Dokter wanita itu. "Ada apa, Dokter?" tanya Bu Fatma dengan suara yang semakin memelas, hampir menangis. "Tolong katakan, apa yang terjadi dengan putri saya?" Dokter wanita itu menggeleng pelan, seolah menolak realitas yang baru saja ditemuinya. "Ada sesuatu di perutnya, dan semua ini benar-benar membingungkan," gumamnya lagi. Kali ini dengan nada yang sedikit lebih tinggi dan terdengar jelas. Dokter Antares tak lagi mampu menyembunyikan kegelisahan dan kecemasannya. "Cepat katakan, ada apa sebenarnya?" desaknya. "Apakah sesuatu yang buruk terjadi pada pasien?" Dokter muda itu menekan rekan sekaligus seniornya di rumah sakit tersebut agar mengatakan apa yang telah terjadi pada Giana. Dokter wanita itu menelan ludah, kemudian menatap keduanya dengan ekspresi yang sulit diartikan. Setelah itu, barulah ia memberikan jawaban. "Dokter Antares, pasien ini ... dia, dia sedang mengandung. Ada janin yang tumbuh di dalam rahimnya!" Kata-kata itu jatuh ke udara seperti batu besar yang menjatuhkan segala harapan. Keheningan yang mencekam menyelimuti ruangan, seolah waktu berhenti sejenak. Mata Bu Fatma melebar, seluruh tubuhnya seolah kehilangan kekuatan. Ia terduduk, tangannya terangkat menutup mulutnya, air mata mulai mengalir deras. "Apa? Mengandung! Tidak ... tidak mungkin!" pekik Bu Fatma dengan suara tertahan, seolah suaranya tercekat di tenggorokan. "Putri saya ... dia mengalami koma, mana mungkin semua ini terjadi padanya! Dia tidak mungkin hamil!"Beberapa hari kemudian, sidang pengadilan atas kasus yang menimpa Giana di langsungkan. "Sidang perkara pidana pengadilan Negeri x x yang memeriksa dan mengadili perkara pidana nomer sekian atas nama terdakwa Cristian Antares Wilson, dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum." Tuk, tuk, tuk! Suara ketukan palu Hakim ketua, terdengar keras, memenuhi seantero ruangan sidang tersebut. "Penuntut umum, apakah terdakwa sudah siap?" tanya Hakim ketua pada Jaksa penuntut umum."Siap, Yang Mulia!" sahut Jaksa penuntut umum dengan suaranya yang terdengar lantang dan tegas. "Apakah penasehat hukum siap mengikuti persidangan?" tanya Hakim ketua lagi. Ia beralih pada pengacara hukum Dokter Antares yang hadir. Pengacara Hukum Dokter Antares yang bernama Fernando itu menganggukan kepalanya. "Siap, Yang Mulia!" timpal Fernando dengan tegas seraya tersenyum tipis.Pria itu berdiri sejenak dan kembali duduk pada posisinya semula. "Kepada Penuntut umum, dipersilahkan menghadirkan terdakwa untuk m
"Semua ini adalah awal, Gia. Saya pastikan, jika kamu dan bayi itu tidak akan pernah lepas dari saya. Saya mencintai kamu, dan percayalah jika kita ditakdirkan oleh Tuhan untuk bersama." Giana yang kini berada di ruangan rawatnya dan dijaga oleh Bu Fatma serta Dokter Lucia, tampak termenung di atas ranjangnya. Gadis itu memikirkan kata-kata yang di bisikan oleh Dokter Antares sebelum menyerahkan diri pada petugas kepolisian. "Tuhan, siapa sebenarnya Dokter itu? Apakah sebelumya Gia pernah mengenalnya?" batin Giana bertanya-tanya. Pikirnya, jika memang Dokter Antares mencintainya. Lalu kenapa melakukan hal keji seperti itu padanya? Menodainya yang sedang koma sampai mengandung dan membuat kehidupannya menderita."Gia, tidurlah. Hari sudah larut," ucap Bu Fatma. "Kamu harus menjaga kesehatan, ingat ada janin di rahin kamu." Suaranya pelan dan terdengar begitu penuh kasih sayang. Perkataan Bu Fatma, menyadarkan Giana dari lamunannya. Gadis itu menganggukkan kepalanya dan beringsut
"Berhenti di tempat, Dokter Antares. Tempat ini sudah kami kepung!" Peringatan melalui pengeras suara yang menggema, membuat Dokter Antares yang menggenggam erat pergelangan tangan Giana itu memejamkan matanya. "Ck! Sudah kukatakan tadi 'kan? Cepat sedikit, Gia! Tapi kamu tidak mendengarkan," kata Dokter Antares pada Giana dengan pelan. "Saya harus apa sekarang?" tanyanya.Giana menggelengkan kepalanya dengan pelan. Ia yang ketakutan, tidak berbicara sepatah katapun pada Dokter Antares. "Baiklah, saya tidak akan membiarkan hal buruk terjadi pada kamu dan bayi kita. Jadi— saya akan menyerahkan diri pada petugas-petugas sampah itu," kata Dokter Antares dengan suaranya yang terkesan di tahan. Pria itu berbicara sembari melepaskan Giana dan berdiri diam pada posisinya. Tetapi, sebelum itu, mendekatkan wajahnya pada Giana dan membisikkan sesuatu. Entah apa yang ia katakan, yang jelas, bisikannya mampu membuat tubuh Giana seolah membeku. Melihat Dokter Antares diam, tim kepolisian yan
"Dokter Antares!" Suara keras Bu Fatma, spontan membuat Dokter Antares melepaskan cengkeramannya dari pergelangan tangan Giana. Pria itu menatap datar pada wanita setengah baya berada tidak jauh dari posisinya dan Giana berada."Apa yang Anda lakukan, Dokter Antares? Lepaskan putri saya!" tekan Bu Fatma. Suaranya bernada tinggi tetapi terdengar bergetar. Ia mencampurkan kemarahan dan kekhawatiran yang saat ini tengah ia rasakan.Wanita itu tidak habis pikir mengapa Dokter Antares yang selama ini ia percayai, melakukan tindakan yang mengancam yang begitu di luar dugaan.Selama Giana dirawat di rumah itu, Dokter Antares merawatnya dengan baik. Bahkan, pria itu tak menunjukkan kejanggalan sedikitpun. Sikap dan caranya sangat normal seperti dokter pada umumnya. Namun nyatanya, Dokter Antares berbeda. Ia sangat-sangat mengerikan, rasanya sulit sekali untuk percaya, jika ia telah melakukan tindakan diluar dugaan. Dokter Antares hanya tersenyum tipis, seolah-olah tidak terpengaruh oleh lu
Tap, tap, tap! Sepasang langkah kaki terdengar mengetuk-ngetuk lantai koridor rumah sakit yang sunyi, bunyi tersebut terus terdengar. Derap langkah kaki tersebut adalah milik seorang pria berpawakan tinggi yang memakai celana jeans dan juga jaket berwarna hitam, bahkan wajahnya sengaja ditutupi oleh masker agar tidak dikenali oleh orang-orangnya yang melihatnya.Dengan langkahnya yang begitu santai, pria itu berjalan lurus menyusuri koridor rumah sakit. Kedua tangannya sengaja ia masukkan ke dalam saku celana, menambah kesan santai pergerakannya saat ini.Langkah pria itu membawanya menuju ruangan rawat nomer 13, yaitu ruangan di mana Giana di rawat selama ini. Ya, pria itu adalah Dokter Antares. Ia benar-benar datang seperti perkataannya pada Giana siang tadi. Datang untuk menjemput gadis itu dan membawanya pergi jauh dari rumah sakit itu.Tiba di depan ruangan rawat Giana, Dokter Antares menghentikan langkahnya sejenak. Ia tampak menyapu area sekitar tempat itu dengan pandangan m
"Dokter Antares mengajukan cuti pagi tadi. Katanya ada masalah mendesak, adiknya yang berkuliah di luar negeri mengalami kecelakaan, Pak Inspektur!" Perkataan tersebut terlontar dari mulut petinggi rumah sakit yang memberikan izin cuti pada Dokter Antares. Pria itu berbicara pada Inspektur Raka yang datang ke rumah sakit setelah dihubungi oleh Dokter Lucia."Sial! Ternyata Dokter Antares benar-benar licik," kata Inspektur Raka. "Dia sengaja izin cuti karena ingin menghindari tes DNA dan juga investigasi lanjutan!" imbuhnya. Sorot matanya yang tajam, menunjukkan kekesalan pada sosok Dokter Antares yang ternyata begitu licik."Apa benar-benar sudah terbukti jika Dokter Antares adalah pelaku pelecehan pada Pasien Giana, Pak Inspektur? Kenapa anda terlihat begitu cemas dengan kepergiannya?" "Ada beberapa bukti yang akurat, salah satunya adalah bukti rekaman yang menunjukkan jika Dokter Antares adalah orang yang memasukan selembar kertas berisi permintaan maaf pada Pasien Giana. Lalu, ke