Tim penyidik kini sudah berada di rumah sakit, mereka meminta seluruh staf rumah sakit berkumpul di ruang rapat untuk dimintai keterangan.
Suasana ruang rapat rumah sakit tersebut dipenuhi dengan ketegangan. Di tengah ruangan tersebut, berdiri inspektur polisi yang usianya kisaran empatpuluh lima tahunan. Tampangnya tegas dengan tatapan matanya yang tajam. Di tangannya, terdapat beberapa berkas laporan yang berisi keterangan awal dari kasus kehamilan Giana. Inspektur polisi yang bernama Rakanda Wiryawan itu, menatap staf rumah sakit yang duduk di hadapannya satu persatu, membuat para staf itu menundukkan kepala mereka masing-masing. "Baiklah, kita mulai penyidikannya," kata Inspektur Raka. Ia membuka percakapan, membuat suasana menjadi semakin tegang. Bu Fatma yang duduk diantara Dokter Antares dan Dokter Lucia itu, meremas jemarinya satu sama lain. Jelas terlihat, jika dirinya begitu menantikan kejelasan dari musibah yang dialami oleh putrinya. "Sebelum saya mulai penyidikan ini, saya ingin menyampaikan sesuatu kepala kalian semua. Kasus ini adalah kasus yang jarang sekali terjadi, dan mungkin belum pernah terjadi sebelumnya. Jadi— saya minta kerja sama kalian semua! Bicara dengan jujur, dan katakan apa saja yang kalian ketahui!" tutur Inspektur Raka. Suaranya yang tegas, menggema di dalam ruang rawat tersebut. "Baik, Pak!" Suara sahutan itu terdengar kompak dari para staf rumah sakit yang dikumpulkan. "Saya akan memulai dengan para perawat dan dokter, baik pria maupun wanita yang bertugas merawat pasien Giana Putri Aurora sejak awal masuk rumah sakit ini — hingga saat ini! Siapa saja yang bertugas shitf malam?" Mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh Inspektur Raka, seorang perawat wanita muda, mengangkat tangannya. "Saya, Pak! Nama saya Dina, saya bertugas shitf malam beberapa bulan terakhir!" sahut wanita itu dengan pelan, wajahnya terlihat begitu cemas, gugup bercampur takut. "Baik, Perawat Dina," kata Inspektur Raka dengan nada tegas, "Ceritakan kepada saya apa yang anda ketahui tentang kondisi pasien Giana selama masa koma. Apakah ada yang aneh atau mencurigakan selama anda bertugas?" Perawat Dina menelan ludah, jelas menunjukkan kegugupannya. "Selama saya bertugas, kondisi pasien Giana stabil, Pak. Tidak ada yang aneh. Saya selalu melakukan pemeriksaan rutin, memastikan alat-alat medisnya berfungsi dengan baik, dan—" "Apakah ada orang yang masuk ke ruang rawat Giana selama shift anda? Dokter, perawat, atau siapa pun yang tidak terjadwal?" tanya Inspektur Raka, memotong penjelasan Dina. Perawat Dina menggelengkan kepala. "Tidak, Pak. Ruang rawat itu sepi. Hanya ada saya dan perawat lainnya yang bertugas. Kami selalu menjaga pintu agar selalu tertutup, dan pengunjung harus mendapat izin dari dokter sebelum masuk." Inspektur Raka mengerutkan kening. "Apakah Anda yakin jika tidak ada satu pun orang yang masuk tanpa izin?" tanyanya. "Saya yakin, Pak. Tidak ada yang aneh selama saya di sana," Dina menjawab, suaranya masih terdengar cemas. Setelah mendengar jawaban Dina, Inspektur Raka beralih pada Dokter Antares yang duduk di samping Bu Fatma. Pria itu menatap tajam dan dalam pada Dokter Antares yang terlihat tenang. "Dokter Antares, anda adalah Dokter yang bertugas merawat pasien Giana dan satu-satunya orang yang paling sering berada diruangan rawat pasien, bukan?" Dokter Antares menganggukkan kepalanya. "Benar, Inspektur. Saya yang merawat dan menangani Giana sejak awal masuk ke rumah sakit ini dan mengalami koma." "Bukankah selama ini kondisi pasien mengalami sedasi dalam waktu yang lama. Lalu, bagaimana tiba-tiba pasien bangun dan dinyatakan mengandung? Bisakah anda jelaskan bagaimana hal ini bisa terjadi? Apakah ada hal yang anda lewatkan, atau anda sendiri terlibat dalam masalah ini?" tanya Inspektur Raka dengan nada curiga, mencoba memancing keterangan lebih lanjut. Pria itu berharap, ia menemukan titik terang dari penyelidikannya hari ini. Dokter Antares yang merasa dituduh oleh Inspektur Raka, membulatkan matanya. Ia menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Selanjutnya, "Pak Inspektur, saya sendiri sama bingungnya dengan anda dan yang lainnya. Selama ini, saya merawat pasien dengan baik. Saya tidak melewatkan apapun, juga tidak ada tanda-tanda yang mencurigakan. Saya selalu memastikan pasien dalam keadaan aman, dan perawatannya sesuai dengan protokol medis. Kehamilan ini benar-benar di luar dugaan saya, lalu atas dasar apa Pak Inspektur menuduh saya sebagai pelakunya?" tutur Dokter Antares dengan suara datarnya, tetapi bernada tegas. Reaksi dan ekspresi wajah Dokter Antares saat berbicara, tak luput dari perhatian Inspektur Raka. Sudut pria itu tersungging, lalu kembali melontarkan pertanyaan. "Anda yakin? Saya hanya bertanya loh! Lalu bagaimana? Apakah anda merasa jika ada seseorang yang mungkin memanfaatkan situasi ini?" matanya masih saja menatap pada Dokter Antares. Dokter Antares menggelengkan kepalanya. "Sejauh ini, saya tidak bisa memikirkan ataupun menuduh siapa pun, Pak. Tim medis di sini sangat profesional, dan tidak ada yang menunjukkan tanda-tanda perilaku mencurigakan." timpalnya dengan tegas. Inspektur Raka angguk-angguk kepala, lalu matanya melihat ke arah seorang pria yang duduk dibarisan belakang. Pria itu terlihat gelisah sejak tadi, bahkan sejak awal penyidik memasuki ruangan rapat tersebut. "Perawat yang duduk di kursi barisan belakang!" panggil Inspektur Raka, membuat seluruh staf yang ada di ruangan tersebut menatap ke arah pria yang dimaksud. "Y-ya, Pak," jawab pria itu terbata-bata. "Sebutkan namamu!" perintah Inspektur Raka. "Nama Saya Handoko, Pak!" sahut pria itu. "Saya ingin tahu, apakah Anda pernah bertugas saat Giana dirawat?" tanya Inspektur Raka, menatapnya dengan tatapan tajam dan mengintimidasi. Handoko mengangguk cepat. "Iya, Pak. Tapi saya hanya beberapa kali bertugas di shift malam, dan saat itu saya tidak melihat hal yang aneh." "Shift malam? Berapa sering Anda bertugas di shift malam, dan apakah Anda pernah sendirian di ruang rawat Giana?" tanya Inspektur Raka, suaranya semakin tajam. "Saya tidak ingat dengan pasti, Pak. Tapi ... ya, kadang saya masuk ke ruang rawat untuk memeriksa alat-alat medisnya," jawab Handoko, suaranya semakin rendah. Inspektur Raka mendekatkan dirinya pada Handoko, tatapannya semakin menuntut. "Anda tampak gugup, saudara Handoko. Apakah ada sesuatu yang Anda sembunyikan?" Handoko tampak panik. "T-tidak, Pak! Saya tidak melakukan apa-apa. Saya hanya merawat pasien seperti biasa!" Matanya melirik pada Dokter Lucia dan Bu Fatma, membuat Inspektur Raka merasa jika ada hal yang tidak beres. Ruangan menjadi sunyi. Semua orang menahan napas, menunggu reaksi dari Inspektur Raka. Penyidik itu memperhatikan wajah Handoko dengan cermat, mencoba membaca apakah ada kebohongan di sana. "Baik, Saudara Handoko. Kami akan mengecek semua rekaman CCTV dan laporan shift malam selama beberapa bulan terakhir. Jika Anda atau siapa pun berbohong, kami akan segera bertindak dan memberikan sanksi yang berat," kata Inspektur Raka dengan dingin, membuat Handoko semakin terlihat gelisah. Dokter Lucia yang sedari tadi diam, akhirnya ikut angkat bicara. "Pak Inspektur, saya yakin penyelidikan ini akan membantu menemukan kebenaran. Kami percayakan semuanya pada anda dan pihak kepolisian!" Inspektur Raka mengangguk. "Kami akan terus mendalami kasus ini. Setiap detail harus diperiksa, dan kami akan terus menginterogasi semua pihak yang terkait. Saya pastikan, tidak akan ada yang lolos dari pemeriksaan." Setelah menutup rapat, penyidik dan timnya meninggalkan ruangan, meninggalkan staf rumah sakit dalam ketegangan yang semakin memuncak. Beberapa perawat saling berbisik, membicarakan hasil penyidikan. Sedangkan di posisinya, Handoko tampak mengusap peluh yang membasahi pori-pori wajahnya. "Oh ... astaga, bagaimana ini?" Desah Handoko dengan suaranya yang pelan dan terkesan ditahan.Beberapa hari kemudian, sidang pengadilan atas kasus yang menimpa Giana di langsungkan. "Sidang perkara pidana pengadilan Negeri x x yang memeriksa dan mengadili perkara pidana nomer sekian atas nama terdakwa Cristian Antares Wilson, dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum." Tuk, tuk, tuk! Suara ketukan palu Hakim ketua, terdengar keras, memenuhi seantero ruangan sidang tersebut. "Penuntut umum, apakah terdakwa sudah siap?" tanya Hakim ketua pada Jaksa penuntut umum."Siap, Yang Mulia!" sahut Jaksa penuntut umum dengan suaranya yang terdengar lantang dan tegas. "Apakah penasehat hukum siap mengikuti persidangan?" tanya Hakim ketua lagi. Ia beralih pada pengacara hukum Dokter Antares yang hadir. Pengacara Hukum Dokter Antares yang bernama Fernando itu menganggukan kepalanya. "Siap, Yang Mulia!" timpal Fernando dengan tegas seraya tersenyum tipis.Pria itu berdiri sejenak dan kembali duduk pada posisinya semula. "Kepada Penuntut umum, dipersilahkan menghadirkan terdakwa untuk m
"Semua ini adalah awal, Gia. Saya pastikan, jika kamu dan bayi itu tidak akan pernah lepas dari saya. Saya mencintai kamu, dan percayalah jika kita ditakdirkan oleh Tuhan untuk bersama." Giana yang kini berada di ruangan rawatnya dan dijaga oleh Bu Fatma serta Dokter Lucia, tampak termenung di atas ranjangnya. Gadis itu memikirkan kata-kata yang di bisikan oleh Dokter Antares sebelum menyerahkan diri pada petugas kepolisian. "Tuhan, siapa sebenarnya Dokter itu? Apakah sebelumya Gia pernah mengenalnya?" batin Giana bertanya-tanya. Pikirnya, jika memang Dokter Antares mencintainya. Lalu kenapa melakukan hal keji seperti itu padanya? Menodainya yang sedang koma sampai mengandung dan membuat kehidupannya menderita."Gia, tidurlah. Hari sudah larut," ucap Bu Fatma. "Kamu harus menjaga kesehatan, ingat ada janin di rahin kamu." Suaranya pelan dan terdengar begitu penuh kasih sayang. Perkataan Bu Fatma, menyadarkan Giana dari lamunannya. Gadis itu menganggukkan kepalanya dan beringsut
"Berhenti di tempat, Dokter Antares. Tempat ini sudah kami kepung!" Peringatan melalui pengeras suara yang menggema, membuat Dokter Antares yang menggenggam erat pergelangan tangan Giana itu memejamkan matanya. "Ck! Sudah kukatakan tadi 'kan? Cepat sedikit, Gia! Tapi kamu tidak mendengarkan," kata Dokter Antares pada Giana dengan pelan. "Saya harus apa sekarang?" tanyanya.Giana menggelengkan kepalanya dengan pelan. Ia yang ketakutan, tidak berbicara sepatah katapun pada Dokter Antares. "Baiklah, saya tidak akan membiarkan hal buruk terjadi pada kamu dan bayi kita. Jadi— saya akan menyerahkan diri pada petugas-petugas sampah itu," kata Dokter Antares dengan suaranya yang terkesan di tahan. Pria itu berbicara sembari melepaskan Giana dan berdiri diam pada posisinya. Tetapi, sebelum itu, mendekatkan wajahnya pada Giana dan membisikkan sesuatu. Entah apa yang ia katakan, yang jelas, bisikannya mampu membuat tubuh Giana seolah membeku. Melihat Dokter Antares diam, tim kepolisian yan
"Dokter Antares!" Suara keras Bu Fatma, spontan membuat Dokter Antares melepaskan cengkeramannya dari pergelangan tangan Giana. Pria itu menatap datar pada wanita setengah baya berada tidak jauh dari posisinya dan Giana berada."Apa yang Anda lakukan, Dokter Antares? Lepaskan putri saya!" tekan Bu Fatma. Suaranya bernada tinggi tetapi terdengar bergetar. Ia mencampurkan kemarahan dan kekhawatiran yang saat ini tengah ia rasakan.Wanita itu tidak habis pikir mengapa Dokter Antares yang selama ini ia percayai, melakukan tindakan yang mengancam yang begitu di luar dugaan.Selama Giana dirawat di rumah itu, Dokter Antares merawatnya dengan baik. Bahkan, pria itu tak menunjukkan kejanggalan sedikitpun. Sikap dan caranya sangat normal seperti dokter pada umumnya. Namun nyatanya, Dokter Antares berbeda. Ia sangat-sangat mengerikan, rasanya sulit sekali untuk percaya, jika ia telah melakukan tindakan diluar dugaan. Dokter Antares hanya tersenyum tipis, seolah-olah tidak terpengaruh oleh lu
Tap, tap, tap! Sepasang langkah kaki terdengar mengetuk-ngetuk lantai koridor rumah sakit yang sunyi, bunyi tersebut terus terdengar. Derap langkah kaki tersebut adalah milik seorang pria berpawakan tinggi yang memakai celana jeans dan juga jaket berwarna hitam, bahkan wajahnya sengaja ditutupi oleh masker agar tidak dikenali oleh orang-orangnya yang melihatnya.Dengan langkahnya yang begitu santai, pria itu berjalan lurus menyusuri koridor rumah sakit. Kedua tangannya sengaja ia masukkan ke dalam saku celana, menambah kesan santai pergerakannya saat ini.Langkah pria itu membawanya menuju ruangan rawat nomer 13, yaitu ruangan di mana Giana di rawat selama ini. Ya, pria itu adalah Dokter Antares. Ia benar-benar datang seperti perkataannya pada Giana siang tadi. Datang untuk menjemput gadis itu dan membawanya pergi jauh dari rumah sakit itu.Tiba di depan ruangan rawat Giana, Dokter Antares menghentikan langkahnya sejenak. Ia tampak menyapu area sekitar tempat itu dengan pandangan m
"Dokter Antares mengajukan cuti pagi tadi. Katanya ada masalah mendesak, adiknya yang berkuliah di luar negeri mengalami kecelakaan, Pak Inspektur!" Perkataan tersebut terlontar dari mulut petinggi rumah sakit yang memberikan izin cuti pada Dokter Antares. Pria itu berbicara pada Inspektur Raka yang datang ke rumah sakit setelah dihubungi oleh Dokter Lucia."Sial! Ternyata Dokter Antares benar-benar licik," kata Inspektur Raka. "Dia sengaja izin cuti karena ingin menghindari tes DNA dan juga investigasi lanjutan!" imbuhnya. Sorot matanya yang tajam, menunjukkan kekesalan pada sosok Dokter Antares yang ternyata begitu licik."Apa benar-benar sudah terbukti jika Dokter Antares adalah pelaku pelecehan pada Pasien Giana, Pak Inspektur? Kenapa anda terlihat begitu cemas dengan kepergiannya?" "Ada beberapa bukti yang akurat, salah satunya adalah bukti rekaman yang menunjukkan jika Dokter Antares adalah orang yang memasukan selembar kertas berisi permintaan maaf pada Pasien Giana. Lalu, ke