共有

Awal mula segalanya

作者: Tiffany
last update 最終更新日: 2025-05-09 17:37:13

Yang namanya laki-laki, kebanyakan dari mereka adalah buaya. Mereka tahu cara tersenyum di waktu yang tepat, tahu kapan harus merayu dengan kata-kata manis yang mencairkan pertahanan. Mereka bisa menjadi pahlawan dalam satu detik dan pemangsa di detik berikutnya. Jangan pernah mudah terperdaya. Karena penyesalan—ya, penyesalan itu—selalu datang di ujung cerita, saat semua sudah tak bisa diperbaiki lagi.

---

Beberapa bulan yang lalu.

"Aku takut, Bagas…" suara Alika begitu pelan, nyaris menghilang, tertelan oleh suara rintik hujan yang jatuh satu per satu di luar jendela. Hujan itu seperti irama dari takdir yang sedang disusun pelan-pelan oleh langit—dingin, sunyi, dan mengerikan. Tangannya bergetar hebat, menggenggam kerah bajunya sendiri erat-erat, seolah dengan cara itu ia bisa menyelamatkan sisa harga dirinya yang sebentar lagi akan terenggut.

Ruangan tempat mereka berada tampak bersih, rapi, dan dingin, tapi tak menyisakan sedikit pun rasa nyaman bagi Alika. Apartemen putih itu terlalu asing baginya. Terlalu mahal. Terlalu sunyi. Dinding-dindingnya seolah ikut mengintip, ikut menertawakan ketakutan yang merayapi tubuhnya. Di ruangan itulah, Bagas perlahan-lahan mendekatinya. Tatapan matanya tenang, bahkan tampak lembut. Tapi di balik kelambutan itu, ada bara. Ada rencana. Ada jerat halus yang dipintal dengan manisnya kata dan lembutnya sentuhan.

Wajah Alika pucat. Begitu polos tanpa seulas riasan pun, begitu rapuh seperti gadis kecil yang tersesat di hutan yang salah. Matanya berair, bola matanya gemetar menahan gelombang rasa takut yang membuncah di dalam dada. Tapi ia tidak menangis. Belum. Ia hanya diam, menggigit bibir tipisnya sambil memalingkan wajah. Ia tak sanggup menatap Bagas—laki-laki yang sempat ia percaya, yang katanya mencintainya, tapi kini perlahan memperlihatkan wajah yang sebenarnya: penuh tipu daya, dan haus penguasaan.

"Aku… ingin pulang," bisik Alika akhirnya, sangat pelan, seperti gumaman doa yang tak yakin akan dijawab. Tapi yang ia dapatkan hanyalah tawa kecil dari Bagas. Tawa yang tidak menenangkan. Tawa yang menyiratkan bahwa segala pintu telah tertutup, dan ia kini sendirian dalam jebakan yang bahkan tak ia sadari telah ia masuki.

Bagas mengusap pipi Alika dengan ujung jemarinya. Sentuhan itu hangat, tapi membuat Alika merasa seperti disentuh oleh bara api. Ia menggigil. Bukan karena cuaca, tapi karena rasa jijik yang mulai tumbuh terhadap dirinya sendiri.

“Sebentar saja, Alika. Ini tidak akan lama. Aku janji… aku akan bertanggung jawab. Kamu percaya aku, kan?” ucap Bagas dengan nada yang dibuat selembut mungkin. Kata-katanya seperti madu yang dituang ke telinga, tapi terasa seperti racun yang menyusup perlahan ke dalam nadi.

Ia mendekat lagi. Tatapannya berubah. Senyumnya masih terpoles di wajah, tapi ada sesuatu yang menggelap di balik itu. Mata itu menyala—bukan oleh cinta, tapi oleh nafsu yang membara.

"Jangan takut. Aku bakal pelan-pelan," bisiknya, nyaris seperti rayuan setan. Suaranya lembut, tapi seperti pisau yang digesekkan ke kulit halus—melukai, mengiris, dan menghancurkan.

Ah, betapa mudahnya bibir seorang laki-laki mengucap janji. Tapi siapa yang bisa menjamin bahwa janji itu bukan sekadar tipuan belaka?

Alika berusaha berdiri. Seluruh keberaniannya ia kumpulkan. Tapi tubuhnya terasa berat, seperti dibebani oleh rantai yang tak kasat mata. Ada pertempuran besar di dalam dadanya. Hatinya menjerit nyaring: “Lari, Alika! Ini dosa! Ini salah! Jangan korbankan dirimu hanya untuk cinta yang kamu sendiri ragukan!” Tapi pikirannya yang telah dibungkus dengan kata-kata Bagas berbisik pelan: “Mungkin ini bukan salah. Mungkin dia akan menikahiku. Mungkin dia memang mencintaiku…”

"Aku harus pulang... Ibu dan Bapak pasti sudah menunggu," lirih Alika dengan suara bergetar. Matanya mencari pintu, tapi ia tahu kakinya tak cukup kuat melangkah. Setengah dirinya sudah ingin menyerah. Tapi setengah lainnya masih menggenggam sisa-sisa kekuatan yang ia miliki.

Namun, suara Bagas kembali muncul. Kali ini lebih lembut, lebih menusuk. Dan lebih menghancurkan.

“Kamu cantik, Alika… dan kamu istimewa…”

Bagas tahu siapa Alika. Gadis kampung. Anak sopir. Keponakan dari mantan pembantu keluarganya. Tapi justru itu yang membuat Alika menarik baginya. Sederhana, lugu, dan mudah dibentuk. Ia bukan cinta, melainkan tantangan. Piala untuk dipamerkan. Bukti bahwa ia bisa menaklukkan siapa saja, bahkan gadis paling suci sekali pun.

“Aku cinta kamu, Alika. Aku serius…” ucapnya sambil menatap matanya dalam-dalam, seolah mencoba menyalurkan kebohongan itu langsung ke dalam jiwanya. Tapi di balik mata itu, ada kejahatan. Ada rencana. Ada kenistaan yang bahkan tak bisa dilukiskan dengan kata.

Perempuan memang makhluk paling kuat dalam cinta, tapi juga paling lemah terhadap rayuan. Dan betapa bodohnya seorang perempuan jika masih mau percaya pada kalimat ‘aku cinta kamu’ yang keluar dari bibir seorang lelaki yang bahkan tak tahu apa arti mencintai.

Bagas adalah anak bungsu keluarga Baskoro. Kaya raya. Tampan. Populer. Dan kebal dari segala aturan. Julukannya di kampus: playboy cap buaya. Sudah banyak perempuan yang jatuh ke pelukannya. Dan hampir semuanya pergi dengan hati yang hancur. Tapi selalu ada yang yakin bisa mengubahnya. Dan Alika, sayangnya, adalah salah satu dari mereka.

Bagas menerima tantangan dari sahabat-sahabatnya. Sebuah taruhan keji yang menjadikan kehormatan seorang gadis sebagai bahan mainan.

“Kalau kamu bisa taklukkan si kampung culun itu, kami anggap kamu jago beneran,” kata salah satu temannya sambil tertawa mengejek.

“Dan kalau kamu berhasil, aku pastikan Kayla bakal luluh sama kamu,” ujar Sheila—perempuan licik dengan senyum manis beracun—yang mengedipkan matanya penuh siasat.

Dan demi Kayla, satu-satunya perempuan yang belum bisa ia miliki, Bagas rela menjebak Alika. Ia tersenyum dengan percaya diri, penuh kebusukan yang bahkan setan pun enggan menyentuh.

“Satu bulan. Aku jamin gadis kampung itu bakal rebah di pelukanku. Aku akan buat dia hancur seperti yang kalian minta.”

Dan kini, Alika ada di sini. Di ruang sempit yang tertutup. Sendiri bersama Bagas. Tanpa pintu keluar. Tanpa siapapun yang bisa mendengar. Dikelilingi janji-janji manis yang sebenarnya tak lebih dari jerat tali gantungan.

"Jangan…" suara Alika keluar seperti tangisan yang tertahan. Lebih seperti bisikan lemah yang dilemparkan ke langit—langit yang menangis bersamanya malam itu.

“Percayalah, Alika. Kalau terjadi apa-apa, aku akan menikahimu. Aku serius. Lihat mataku…” kata Bagas sambil menyentuh dagunya, memaksanya menatap ke arah matanya. Tapi yang terlihat oleh Alika bukanlah ketulusan. Hanya kabut. Dan kehancuran.

Sayangnya, Alika tidak pernah diajari cara membaca dusta dari sorot mata laki-laki. Yang ia tahu, cinta berarti percaya. Dan ia terlalu ingin percaya, agar ia merasa dicintai.

Andai saja malam itu ia mengingat jelas ucapan adik laki-lakinya saat sarapan pagi tadi, “Jangan pernah percaya pada lelaki kaya yang bicara manis, Kak. Mereka cuma bisa merusak. Mereka gak akan nikahi kita. Mereka cuma mau tubuh kita…” Mungkin ia akan memilih pulang. Mungkin ia akan menyelamatkan dirinya sendiri.

Tapi semua sudah terlambat. Tubuhnya tak lagi sanggup menolak. Suaranya tak mampu melawan. Pikirannya kosong, seperti tak ada lagi yang tersisa untuk dipertahankan.

Dan ketika bibir Bagas menyentuh bibirnya, menyapu habis segala logika dan rasa takut, saat itu pula sesuatu dalam diri Alika hancur. Sebuah bagian yang paling suci, paling dalam, dan paling tak tergantikan, mati di malam itu juga.

Yang tersisa hanyalah tubuh yang pasrah dan hati yang perlahan-lahan membusuk oleh penyesalan.

Alika, kau terlalu baik untuk dunia sekejam ini. Dan karena itu pula, kau begitu mudah hancur.

この本を無料で読み続ける
コードをスキャンしてアプリをダウンロード

最新チャプター

  • Dinodai adiknya, dinikahi kakaknya   Bab 103

    Bab — Pertemuan yang Tidak DiundangMalam belum tiba, tetapi langit kota sudah mulai memudar warnanya. Sisa cahaya matahari yang menempel di dinding-dinding gedung tinggi perlahan ditelan oleh bayangan panjang, meninggalkan kesan senja yang redup di antara gemerlap lampu-lampu jalan yang mulai menyala. Bagas menatap arlojinya untuk kesekian kali. Jarum jam menunjukkan pukul setengah tiga.Pertemuan dengan salah satu investor seharusnya berlangsung siang ini, di restoran sebuah hotel berbintang di pusat kota. Namun, agenda berubah. Investor itu mendadak menunda hingga malam, alasan yang diberikan sederhana—urusan mendesak dengan klien luar negeri. Bagas tidak bisa berbuat banyak selain menyesuaikan diri, meski dalam hati ia merutuk jadwal yang berantakan.Ia sudah terlanjur berada di sekitar kawasan hotel. Perjalanan dari kantor menuju sini memakan waktu, dan kembali lagi hanya untuk menunggu akan terasa mubazir. Perutnya juga belum diisi sejak pagi, hanya ditopang oleh secangkir kopi

  • Dinodai adiknya, dinikahi kakaknya   Bab 102

    Bab — Rapat yang KosongPagi itu, cahaya matahari merambat perlahan menembus kaca jendela tinggi di lantai sepuluh gedung perusahaan cabang Baskoro. Kota di bawah sana masih padat dengan deru kendaraan, suara klakson, dan hiruk-pikuk manusia yang bergegas menuju tujuan masing-masing. Namun semua itu hanya terdengar sayup, nyaris lenyap di balik kedapnya kaca modern. Yang tersisa hanyalah siluet jalanan, laju mobil yang tampak seperti semut kecil dari ketinggian, serta bayangan gedung-gedung lain yang berbaris kaku.Di dalam ruang rapat, udara begitu berbeda. Pendingin ruangan berdesis pelan, meniupkan hawa dingin yang menusuk kulit, meninggalkan sensasi kaku dan formalitas yang tak bisa dihindarkan. Kursi-kursi kulit hitam berjajar rapi mengelilingi meja panjang berbentuk oval, permukaannya mengilap karena dipoles setiap pagi oleh petugas kebersihan. Di atas meja, tumpukan berkas, map tebal, botol air mineral, dan laptop yang terbuka memenuhi pandangan.Bagas duduk di kursi paling ten

  • Dinodai adiknya, dinikahi kakaknya   Bab 101

    Bab — Kebahagiaan yang Tak TerlukiskanLangkah-langkah Sadewa terasa begitu ringan, hampir seakan melayang, seolah seluruh beban yang selama beberapa hari terakhir menekan dadanya—rasa khawatir, takut, dan gelisah—lenyap begitu saja dengan kabar yang baru saja mereka terima. Bersama Alika, ia keluar dari ruang dokter, meninggalkan aroma antiseptik yang sebelumnya terasa menusuk dan menekan setiap napas, kini seolah berubah menjadi latar samar yang tak lagi penting. Wajahnya masih basah oleh sisa air mata, tetapi kali ini bukanlah air mata yang lahir dari rasa cemas, melainkan dari kebahagiaan yang begitu meluap hingga sulit ia tahan.Tangannya tidak pernah melepaskan genggaman Alika, malah semakin erat seakan takut kabar yang baru saja mereka dengar hanyalah mimpi yang bisa menghilang dalam sekejap. Setiap langkah Alika diperhatikannya dengan sangat teliti, hampir sampai pada titik Sadewa menunduk hanya untuk memastikan pijakan kaki istrinya aman, tidak tergelincir, tidak tersandung.

  • Dinodai adiknya, dinikahi kakaknya   Bab 100

    Bab — Kabar yang Menggetarkan JiwaSadewa menuntun Alika masuk ke dalam ruangan dokter dengan langkah hati-hati, seakan setiap gerakan bisa mempengaruhi keadaan istrinya. Pintu ruangan itu tertutup pelan di belakang mereka, meninggalkan keramaian lorong rumah sakit yang penuh dengan suara bercampur aduk. Kini yang tersisa hanyalah ruangan berukuran sedang dengan aroma antiseptik yang lebih kuat, dilengkapi meja kerja kayu, kursi pasien, serta berbagai peralatan medis yang tersusun rapi di rak-rak putih.Seorang dokter perempuan paruh baya, berwajah ramah dengan kerudung rapi, menyambut mereka dengan senyum profesional yang hangat. “Silakan duduk,” ucapnya sembari menunjuk kursi pasien yang berada di hadapannya.Sadewa segera membantu Alika duduk. Ia masih menggenggam tangan istrinya erat, bahkan ketika Alika sudah berada di kursi, jemarinya enggan terlepas. Dokter itu menatap mereka sejenak, lalu mulai membuka catatan medis di meja.“Baik, Ibu Alika,” suara dokter terdengar tenang, me

  • Dinodai adiknya, dinikahi kakaknya   Bab 99

    Bab — Menunggu dengan CemasPerjalanan panjang yang baru saja mereka lalui seakan menyedot seluruh energi Sadewa. Sepanjang jalan, hatinya dihantui rasa takut yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Ada perasaan seperti dicekik, seolah-olah setiap detik bisa menjadi penentu keadaan istrinya. Begitu mobil berhenti di depan rumah sakit, tanpa berpikir panjang, Sadewa langsung turun dengan cepat, membuka pintu, dan dengan hati-hati memapah Alika yang tubuhnya tampak begitu rapuh sore itu.Lorong rumah sakit menyambut mereka dengan atmosfer yang khas: dingin, panjang, penuh dengan aroma antiseptik yang tajam, menusuk ke dalam rongga hidung dan menempel di indera penciuman. Suara langkah kaki terdengar bersahut-sahutan, sebagian bergegas, sebagian teratur, sebagian lagi terdengar lesu. Ada tangis samar anak kecil di kejauhan, ada suara batuk dari sudut ruangan, ada pula percakapan lirih keluarga yang tengah menanti kabar dari dokter. Semua itu berpadu menjadi orkestra cemas yang begitu fa

  • Dinodai adiknya, dinikahi kakaknya   Bab 98

    Bab — Sebuah Kepanikan yang Tak TerhindarkanSadewa menatap wajah istrinya dengan sorot mata yang dipenuhi kegelisahan, bahkan kegelisahan itu sudah nyaris berubah menjadi kepanikan yang tidak bisa ia sembunyikan lagi. Sejak pagi tadi, ia sebenarnya sudah berencana untuk berangkat ke perusahaan. Ada beberapa agenda penting yang menunggu di meja kerjanya, beberapa rapat yang harus ia hadiri, serta laporan-laporan yang memerlukan tanda tangannya. Namun, semua rencana yang sudah ia susun itu seketika runtuh, seakan tidak lagi berarti apa-apa, ketika matanya menyaksikan Alika—istrinya, perempuan yang paling ia cintai—tiba-tiba saja lebih dari dua kali muntah dalam kurun waktu yang begitu singkat.Sebagai seorang suami, siapa yang tidak panik melihat kondisi seperti itu? Wajah Alika tampak begitu lemah. Pucatnya bukan sekadar pucat biasa yang muncul karena kelelahan, melainkan pucat yang benar-benar membuat dada Sadewa terasa diremas. Tubuh istrinya pun seolah kehilangan tenaga. Perempuan

続きを読む
無料で面白い小説を探して読んでみましょう
GoodNovel アプリで人気小説に無料で!お好きな本をダウンロードして、いつでもどこでも読みましょう!
アプリで無料で本を読む
コードをスキャンしてアプリで読む
DMCA.com Protection Status