Yang namanya laki-laki, kebanyakan dari mereka adalah buaya. Mereka tahu cara tersenyum di waktu yang tepat, tahu kapan harus merayu dengan kata-kata manis yang mencairkan pertahanan. Mereka bisa menjadi pahlawan dalam satu detik dan pemangsa di detik berikutnya. Jangan pernah mudah terperdaya. Karena penyesalan—ya, penyesalan itu—selalu datang di ujung cerita, saat semua sudah tak bisa diperbaiki lagi.
---
Beberapa bulan yang lalu.
"Aku takut, Bagas…" suara Alika begitu pelan, nyaris menghilang, tertelan oleh suara rintik hujan yang jatuh satu per satu di luar jendela. Hujan itu seperti irama dari takdir yang sedang disusun pelan-pelan oleh langit—dingin, sunyi, dan mengerikan. Tangannya bergetar hebat, menggenggam kerah bajunya sendiri erat-erat, seolah dengan cara itu ia bisa menyelamatkan sisa harga dirinya yang sebentar lagi akan terenggut.
Ruangan tempat mereka berada tampak bersih, rapi, dan dingin, tapi tak menyisakan sedikit pun rasa nyaman bagi Alika. Apartemen putih itu terlalu asing baginya. Terlalu mahal. Terlalu sunyi. Dinding-dindingnya seolah ikut mengintip, ikut menertawakan ketakutan yang merayapi tubuhnya. Di ruangan itulah, Bagas perlahan-lahan mendekatinya. Tatapan matanya tenang, bahkan tampak lembut. Tapi di balik kelambutan itu, ada bara. Ada rencana. Ada jerat halus yang dipintal dengan manisnya kata dan lembutnya sentuhan.
Wajah Alika pucat. Begitu polos tanpa seulas riasan pun, begitu rapuh seperti gadis kecil yang tersesat di hutan yang salah. Matanya berair, bola matanya gemetar menahan gelombang rasa takut yang membuncah di dalam dada. Tapi ia tidak menangis. Belum. Ia hanya diam, menggigit bibir tipisnya sambil memalingkan wajah. Ia tak sanggup menatap Bagas—laki-laki yang sempat ia percaya, yang katanya mencintainya, tapi kini perlahan memperlihatkan wajah yang sebenarnya: penuh tipu daya, dan haus penguasaan.
"Aku… ingin pulang," bisik Alika akhirnya, sangat pelan, seperti gumaman doa yang tak yakin akan dijawab. Tapi yang ia dapatkan hanyalah tawa kecil dari Bagas. Tawa yang tidak menenangkan. Tawa yang menyiratkan bahwa segala pintu telah tertutup, dan ia kini sendirian dalam jebakan yang bahkan tak ia sadari telah ia masuki.
Bagas mengusap pipi Alika dengan ujung jemarinya. Sentuhan itu hangat, tapi membuat Alika merasa seperti disentuh oleh bara api. Ia menggigil. Bukan karena cuaca, tapi karena rasa jijik yang mulai tumbuh terhadap dirinya sendiri.
“Sebentar saja, Alika. Ini tidak akan lama. Aku janji… aku akan bertanggung jawab. Kamu percaya aku, kan?” ucap Bagas dengan nada yang dibuat selembut mungkin. Kata-katanya seperti madu yang dituang ke telinga, tapi terasa seperti racun yang menyusup perlahan ke dalam nadi.
Ia mendekat lagi. Tatapannya berubah. Senyumnya masih terpoles di wajah, tapi ada sesuatu yang menggelap di balik itu. Mata itu menyala—bukan oleh cinta, tapi oleh nafsu yang membara.
"Jangan takut. Aku bakal pelan-pelan," bisiknya, nyaris seperti rayuan setan. Suaranya lembut, tapi seperti pisau yang digesekkan ke kulit halus—melukai, mengiris, dan menghancurkan.
Ah, betapa mudahnya bibir seorang laki-laki mengucap janji. Tapi siapa yang bisa menjamin bahwa janji itu bukan sekadar tipuan belaka?
Alika berusaha berdiri. Seluruh keberaniannya ia kumpulkan. Tapi tubuhnya terasa berat, seperti dibebani oleh rantai yang tak kasat mata. Ada pertempuran besar di dalam dadanya. Hatinya menjerit nyaring: “Lari, Alika! Ini dosa! Ini salah! Jangan korbankan dirimu hanya untuk cinta yang kamu sendiri ragukan!” Tapi pikirannya yang telah dibungkus dengan kata-kata Bagas berbisik pelan: “Mungkin ini bukan salah. Mungkin dia akan menikahiku. Mungkin dia memang mencintaiku…”
"Aku harus pulang... Ibu dan Bapak pasti sudah menunggu," lirih Alika dengan suara bergetar. Matanya mencari pintu, tapi ia tahu kakinya tak cukup kuat melangkah. Setengah dirinya sudah ingin menyerah. Tapi setengah lainnya masih menggenggam sisa-sisa kekuatan yang ia miliki.
Namun, suara Bagas kembali muncul. Kali ini lebih lembut, lebih menusuk. Dan lebih menghancurkan.
“Kamu cantik, Alika… dan kamu istimewa…”
Bagas tahu siapa Alika. Gadis kampung. Anak sopir. Keponakan dari mantan pembantu keluarganya. Tapi justru itu yang membuat Alika menarik baginya. Sederhana, lugu, dan mudah dibentuk. Ia bukan cinta, melainkan tantangan. Piala untuk dipamerkan. Bukti bahwa ia bisa menaklukkan siapa saja, bahkan gadis paling suci sekali pun.
“Aku cinta kamu, Alika. Aku serius…” ucapnya sambil menatap matanya dalam-dalam, seolah mencoba menyalurkan kebohongan itu langsung ke dalam jiwanya. Tapi di balik mata itu, ada kejahatan. Ada rencana. Ada kenistaan yang bahkan tak bisa dilukiskan dengan kata.
Perempuan memang makhluk paling kuat dalam cinta, tapi juga paling lemah terhadap rayuan. Dan betapa bodohnya seorang perempuan jika masih mau percaya pada kalimat ‘aku cinta kamu’ yang keluar dari bibir seorang lelaki yang bahkan tak tahu apa arti mencintai.
Bagas adalah anak bungsu keluarga Baskoro. Kaya raya. Tampan. Populer. Dan kebal dari segala aturan. Julukannya di kampus: playboy cap buaya. Sudah banyak perempuan yang jatuh ke pelukannya. Dan hampir semuanya pergi dengan hati yang hancur. Tapi selalu ada yang yakin bisa mengubahnya. Dan Alika, sayangnya, adalah salah satu dari mereka.
Bagas menerima tantangan dari sahabat-sahabatnya. Sebuah taruhan keji yang menjadikan kehormatan seorang gadis sebagai bahan mainan.
“Kalau kamu bisa taklukkan si kampung culun itu, kami anggap kamu jago beneran,” kata salah satu temannya sambil tertawa mengejek.
“Dan kalau kamu berhasil, aku pastikan Kayla bakal luluh sama kamu,” ujar Sheila—perempuan licik dengan senyum manis beracun—yang mengedipkan matanya penuh siasat.
Dan demi Kayla, satu-satunya perempuan yang belum bisa ia miliki, Bagas rela menjebak Alika. Ia tersenyum dengan percaya diri, penuh kebusukan yang bahkan setan pun enggan menyentuh.
“Satu bulan. Aku jamin gadis kampung itu bakal rebah di pelukanku. Aku akan buat dia hancur seperti yang kalian minta.”
Dan kini, Alika ada di sini. Di ruang sempit yang tertutup. Sendiri bersama Bagas. Tanpa pintu keluar. Tanpa siapapun yang bisa mendengar. Dikelilingi janji-janji manis yang sebenarnya tak lebih dari jerat tali gantungan.
"Jangan…" suara Alika keluar seperti tangisan yang tertahan. Lebih seperti bisikan lemah yang dilemparkan ke langit—langit yang menangis bersamanya malam itu.
“Percayalah, Alika. Kalau terjadi apa-apa, aku akan menikahimu. Aku serius. Lihat mataku…” kata Bagas sambil menyentuh dagunya, memaksanya menatap ke arah matanya. Tapi yang terlihat oleh Alika bukanlah ketulusan. Hanya kabut. Dan kehancuran.
Sayangnya, Alika tidak pernah diajari cara membaca dusta dari sorot mata laki-laki. Yang ia tahu, cinta berarti percaya. Dan ia terlalu ingin percaya, agar ia merasa dicintai.
Andai saja malam itu ia mengingat jelas ucapan adik laki-lakinya saat sarapan pagi tadi, “Jangan pernah percaya pada lelaki kaya yang bicara manis, Kak. Mereka cuma bisa merusak. Mereka gak akan nikahi kita. Mereka cuma mau tubuh kita…” Mungkin ia akan memilih pulang. Mungkin ia akan menyelamatkan dirinya sendiri.
Tapi semua sudah terlambat. Tubuhnya tak lagi sanggup menolak. Suaranya tak mampu melawan. Pikirannya kosong, seperti tak ada lagi yang tersisa untuk dipertahankan.
Dan ketika bibir Bagas menyentuh bibirnya, menyapu habis segala logika dan rasa takut, saat itu pula sesuatu dalam diri Alika hancur. Sebuah bagian yang paling suci, paling dalam, dan paling tak tergantikan, mati di malam itu juga.
Yang tersisa hanyalah tubuh yang pasrah dan hati yang perlahan-lahan membusuk oleh penyesalan.
Alika, kau terlalu baik untuk dunia sekejam ini. Dan karena itu pula, kau begitu mudah hancur.
PLAKKKKKK.Suara tamparan itu terdengar begitu nyaring, menggema laksana ledakan kecil yang membelah kesunyian rumah besar itu. Dentuman emosionalnya memantul keras di dalam rongga telinga, membuat Bagas terhuyung satu langkah ke belakang. Pipi kirinya seketika panas, nyeri, dan memerah. Lelaki itu terhenyak—terpaku oleh tamparan yang begitu mendadak, begitu tak terduga, datang dari orang yang sangat dia hormati… mamanya sendiri.“M-Ma…?” ucapnya tergagap, bingung, nyaris tak percaya. Alisnya berkerut dalam, matanya memicing menatap perempuan yang telah melahirkannya. Bibirnya bergetar, sementara tangan kirinya secara refleks menyentuh pipinya yang masih berdenyut akibat tamparan keras itu.Namun, ia belum sempat mengurai pertanyaan. Gerakan tangan kanan mama-nya kembali terangkat—cepat, tegas, dan mengancam. Bagas menahan napas, bersiap menerima tamparan kedua, namun…Tamparan itu tidak mendarat. Wanita itu menghentikan gerakannya sejenak. Matanya yang menyala penuh amarah kini menat
Joanna menyambar tubuh Alika, melihat perempuan itu meringis sambil memegangi perutnya. Beberapa mahasiswa dan mahasiswi yang datang terlambat tak benar-benar mendengar percakapan keduanya sebelumnya. Bagas, terlalu pengecut, hanya berlalu dari hadapan Alika. Ia meraih pintu mobilnya, masuk ke dalam, dan membanting pintunya keras-keras. Mobil itu melaju kencang, seolah ingin meninggalkan semua kekacauan yang ia timbulkan.Seandainya dia benar-benar sudah kehilangan akal, Bagas mungkin ingin menabrakkan mobilnya ke tubuh Alika, agar perempuan itu terpental bersama janin yang katanya baru tumbuh di rahimnya."Anakku? Cih... yang benar saja. Dasar pelacur sialan," geramnya, mengumpat dengan mulut yang terlalu kejam—menghina gadis yang masa depannya telah ia hancurkan.Bagas tancap gas, menggertakkan rahang sambil memukul setir. Dia harus membuat rencana. Tidak. Dia pikir, dia perlu bicara dengan seseorang, menyelesaikan semuanya, menghapus jejak.Yah dia harus bergerak cepat jika tidak d
Bagas sontak melepaskan cengkeramannya. Tubuhnya langsung mundur perlahan, langkah-langkahnya goyah, seolah lututnya kehilangan daya topang. Getar hebat tampak jelas di jemarinya yang menggantung di sisi tubuh. Tatapannya kosong seketika, seperti baru saja ditampar kenyataan yang tak pernah ia bayangkan.“Apa yang kau katakan barusan?” suaranya tercekat, pelan namun tajam, penuh tekanan. Wajahnya memucat, tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya."Aku hamil."Tidak ada laki-laki yang tidak akan terguncang mendengar kabar bahwa perempuan yang pernah ia tiduri kini mengandung anaknya. Terlebih bagi Bagas, lelaki muda penuh ambisi yang masih ingin menikmati hidup bebasnya tanpa beban tanggung jawab. Masa depan adalah rencana besar yang belum ingin ia kotori dengan hal-hal yang tak terduga—apalagi sesuatu yang menyangkut anak dari perempuan yang bahkan tak pernah ia anggap penting.Alika bukanlah tipenya. Jauh dari selera dan standar perempuan yang biasa mengelilinginya—cantik, modis, da
Alika meremas kedua telapak tangannya dengan gelisah. Sejak pagi, matanya terus menyapu sekeliling, mencari-cari sosok Bagas. Lelaki itu telah menghindarinya selama berminggu-minggu, dan sikap dinginnya kini berubah menjadi sesuatu yang membuat hati Alika benar-benar kacau. Bagas baru bersedia menemuinya—jika Alika mau diajak ke hotel dan menghabiskan malam bersamanya.“Alika?”Suara lembut itu datang dari Joanna, sahabat terdekatnya.“Ya?” Alika menoleh, menatap Joanna dengan pandangan kosong, tak benar-benar mendengar apa yang dikatakannya tadi.“Kamu nggak dengar apa yang aku ucapkan dari tadi, ya? Ada masalah?” Joanna menatapnya dengan dahi berkerut, bingung melihat ekspresi resah di wajah sahabatnya.“Bahkan...” Joanna memutar-mutar jari telunjuknya, memperhatikan Alika lebih saksama. “Pandanganmu ke mana-mana. Kamu sedang mencari seseorang? Ada yang terjadi?”“Ah, tidak. Maaf,” Alika menjawab lirih, kembali meremas tangannya dan menghindari kontak mata dengan Joanna.“Kamu pucat
“Fadil, tolong letakkan ini di atas meja,” ujar Mak pelan, namun tegas, sambil menyerahkan semangkuk gulai daun ubi yang mengepul hangat. Aroma santan yang berpadu dengan rempah-rempah menyeruak dari mangkuk itu, menyebar perlahan ke seluruh penjuru dapur sempit yang dindingnya terbuat dari triplek lusuh. Wangi itu bukan hanya menggoda selera, tapi juga menjadi semacam penghibur dalam rumah sederhana yang mulai menua bersama waktu.Meja makan mereka dari kayu lama, warnanya memudar dan catnya mulai mengelupas di beberapa sisi, menjadi saksi bisu kebersamaan keluarga yang bertahan dalam kesederhanaan. Di atasnya, sambal terasi dan sepiring ikan asin goreng sudah lebih dulu menunggu, menyatu dalam kesederhanaan khas kampung yang tetap hangat dan mengundang.Fadil, remaja tanggung dengan tubuh agak tinggi dan wajah bersih, menerima mangkuk itu dengan kedua tangan, seolah menyadari bahwa benda itu lebih dari sekadar makanan. Ia berjalan pelan, langkahnya hati-hati, seakan tak ingin ada se
Yang namanya laki-laki, kebanyakan dari mereka adalah buaya. Mereka tahu cara tersenyum di waktu yang tepat, tahu kapan harus merayu dengan kata-kata manis yang mencairkan pertahanan. Mereka bisa menjadi pahlawan dalam satu detik dan pemangsa di detik berikutnya. Jangan pernah mudah terperdaya. Karena penyesalan—ya, penyesalan itu—selalu datang di ujung cerita, saat semua sudah tak bisa diperbaiki lagi.---Beberapa bulan yang lalu."Aku takut, Bagas…" suara Alika begitu pelan, nyaris menghilang, tertelan oleh suara rintik hujan yang jatuh satu per satu di luar jendela. Hujan itu seperti irama dari takdir yang sedang disusun pelan-pelan oleh langit—dingin, sunyi, dan mengerikan. Tangannya bergetar hebat, menggenggam kerah bajunya sendiri erat-erat, seolah dengan cara itu ia bisa menyelamatkan sisa harga dirinya yang sebentar lagi akan terenggut.Ruangan tempat mereka berada tampak bersih, rapi, dan dingin, tapi tak menyisakan sedikit pun rasa nyaman bagi Alika. Apartemen putih itu ter
Malam PernikahanHari ini… hari yang tak pernah kubayangkan akan menjadi milikku. Sebuah pernikahan yang sunyi. Dalam perjumpaan pertama kami sebagai suami istri, aku bahkan tak berani menatap wajahnya. Bukan karena benci. Tapi karena malu. Karena aku merasa terlalu kotor untuk seseorang sebaik dia. (Kata hati, Alika).Alika duduk terpaku di salah satu sudut masjid kecil itu. Masjid yang hanya berhiaskan lampu neon pucat dan karpet hijau tua yang usang. Tak ada dekorasi. Tak ada bunga. Tak ada kain putih menjuntai dari langit-langit. Yang ada hanyalah langit malam di luar jendela, dan hati yang bergemuruh karena takut dan luka.Dia menggenggam erat telapak tangannya sendiri—seolah hanya itu yang mampu membuatnya tetap berdiri. Keringat dingin membasahi tengkuknya. Mata terpejam, dada sesak. Malam ini bukan malam penuh bintang. Bukan malam impian dalam balutan gaun indah. Tidak ada senyum keluarga, apalagi iringan musik cinta.Yang ada hanyalah sunyi yang menggema, memantul di antara d