Beranda / Romansa / Dinodai adiknya, dinikahi kakaknya / Tamu bulanan yang tak kunjung datang

Share

Tamu bulanan yang tak kunjung datang

Penulis: Tiffany
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-09 17:45:04

“Fadil, tolong letakkan ini di atas meja,” ujar Mak pelan, namun tegas, sambil menyerahkan semangkuk gulai daun ubi yang mengepul hangat. Aroma santan yang berpadu dengan rempah-rempah menyeruak dari mangkuk itu, menyebar perlahan ke seluruh penjuru dapur sempit yang dindingnya terbuat dari triplek lusuh. Wangi itu bukan hanya menggoda selera, tapi juga menjadi semacam penghibur dalam rumah sederhana yang mulai menua bersama waktu.

Meja makan mereka dari kayu lama, warnanya memudar dan catnya mulai mengelupas di beberapa sisi, menjadi saksi bisu kebersamaan keluarga yang bertahan dalam kesederhanaan. Di atasnya, sambal terasi dan sepiring ikan asin goreng sudah lebih dulu menunggu, menyatu dalam kesederhanaan khas kampung yang tetap hangat dan mengundang.

Fadil, remaja tanggung dengan tubuh agak tinggi dan wajah bersih, menerima mangkuk itu dengan kedua tangan, seolah menyadari bahwa benda itu lebih dari sekadar makanan. Ia berjalan pelan, langkahnya hati-hati, seakan tak ingin ada setetes kuah pun yang tumpah. Ia tahu betul bahwa gulai daun ubi itu bukanlah sekadar masakan—itu adalah hasil kerja keras Mak sejak subuh tadi.

Sementara itu, di sudut ruangan, Alika duduk dengan tubuh merunduk, memeluk dirinya sendiri. Jemarinya menggenggam lengan, seakan mencari kehangatan dari tubuh yang terasa kian dingin. Wajahnya pucat pasi, dan matanya tampak sayu, seperti kehilangan semangat hidup. Meski udara di dalam rumah tidak terlalu dingin, keringat dingin membasahi pelipisnya. Kepalanya berdenyut, perutnya terasa mual, seolah ada sesuatu yang kacau di dalam sana.

Biasanya, aroma masakan rumah Mak selalu membangkitkan selera, apalagi bau ikan asin yang digoreng renyah. Tapi kali ini berbeda. Bau itu justru menyesakkan. Perutnya seperti diaduk-aduk dengan kasar, membuatnya nyaris muntah hanya karena mencium aromanya. Ia mencoba mengatur napas, namun tetap saja rasa tidak nyaman itu tak kunjung mereda.

Sudah dua hari ini tubuhnya terasa aneh. Ia sempat berpikir mungkin hanya kelelahan, atau asam lambung yang naik akibat terlalu banyak tugas kuliah dan kerja paruh waktu. Tapi ada keganjilan yang tak bisa ia abaikan. Firasat buruk mulai muncul, menekan hatinya seperti kabut gelap yang menolak menghilang.

Namun yang membuatnya lebih gelisah bukan hanya soal kesehatan. Pikirannya kacau karena Bagas. Lelaki yang dulu ia percaya, yang dulu ia cintai, kini menjelma menjadi sumber luka. Bagas mulai berubah sejak Alika menolak permintaan gila itu. Lelaki itu ingin mereka mengulangi dosa yang dulu pernah mereka sesali, dosa yang telah mengiris harga diri Alika. Ia menolak, dan ia menyesalinya sampai hari ini—bukan karena penolakannya, tetapi karena berharap Bagas akan mengerti.

“Aku takut, Bagas. Ini dosa. Mari bicara pada Mak atau Bapak,” ucap Alika waktu itu, suaranya bergetar, matanya memohon. Kalimat yang mungkin terdengar sederhana, namun bagi Bagas itu berarti satu hal: pernikahan.

Dan sejak saat itu, Bagas menjauh. Bahkan di kampus, ia pura-pura tidak mengenal Alika. Ia berlalu begitu saja saat berpapasan, seolah-olah tak ada apa-apa di antara mereka. Sahabat-sahabat Bagas ikut bersikap dingin. Tatapan mereka berubah menjadi sinis, mencemooh. Seolah Alika adalah perempuan tak tahu malu, seolah mereka tahu segalanya—padahal tidak satu pun yang benar-benar tahu betapa hancurnya hati Alika setiap kali diperlakukan seperti itu.

“Wajahmu pucat dari kemarin, Neng,” suara Mak mendadak memecah keheningan, membawa kenyataan kembali menyergap.

Alika mengangkat wajah, mencoba tersenyum. Namun senyumnya lemah, dan sorot matanya tak bisa menutupi kegelisahan yang mengendap di dalam dada.

“Kalau lelah, minta saja libur kerja. Nanti kuliahmu malah berantakan, kerjaan juga tak karuan,” lanjut Mak, suaranya lembut, namun penuh nada khawatir.

Alika menyentuh pipinya dengan jemari yang dingin. Ia mencoba menakar bayangan dirinya di pikiran—pucat, kata Mak.

“Pucat ya, Mak?” tanyanya lirih.

Mak mengangguk pelan. Pandangannya menelisik dengan cemas, seolah sedang mencari jawaban tersembunyi di wajah anak gadisnya.

“Mungkin karena kurang tidur, Mak. Beberapa tugas kuliah harus segera dikumpulkan,” jawab Alika, berusaha terdengar wajar meski suaranya nyaris tak terdengar.

“Biar banyak tugas, jangan lupakan istirahat. Mak khawatir. Sehatmu jauh lebih penting,” ucap Mak lagi, kali ini suaranya bergetar pelan. Mata tuanya yang mulai berkabut itu tampak basah, menyimpan kekhawatiran yang tak bisa ia sampaikan dengan kata-kata.

Alika hanya mengangguk. Ia tahu betapa Mak mencintainya, mencemaskannya, dan menggantungkan harapan besar padanya. Ia adalah anak sulung. Tumpuan. Harapan.

“Kalau ada waktu, periksalah ke puskesmas. Kita punya kartu KIS. Nggak usah mikir biaya, kecuali harus beli obat di luar, seperti Bapak kemarin itu…” suara Mak melemah, nada suaranya berubah menjadi lirih dan tertahan.

Alika tetap diam. Fadil, yang sejak tadi menata makanan, kini duduk di sisi Bapak. Ia memperhatikan kakaknya dengan pandangan penuh tanya. Ada sesuatu yang membuat hatinya tidak tenang.

“Abang rasa, Kakak memang kelihatan pucat sekali,” ucapnya pelan, seperti menyuarakan kegelisahan yang sejak tadi menyesakkan.

Suara batuk Bapak mendadak terdengar, memecah keheningan. Lelaki tua itu menerima piring dari Mak, lalu menatap wajah Alika dalam-dalam. Ada kerutan di keningnya yang bertambah dalam. Pandangannya seperti menebak sesuatu, namun ia memilih diam, menahan segala kecurigaan dan kecemasan dalam hati.

“Pergilah ke puskesmas, periksa kesehatanmu,” ucapnya akhirnya. Batuknya masih terdengar, namun suaranya tetap tenang dan penuh wibawa.

Alika menatap Bapak sejenak, lalu mengangguk pelan. Ia menerima piring dari Fadil, mulai menyendok nasi. Perutnya lapar, tapi tubuhnya menolak. Ketika sendok nyaris menyentuh bibir, rasa mual mendadak menyerang. Ia tersentak, buru-buru meletakkan sendok dan berdiri. Langkahnya cepat menuju kamar mandi, dan tanpa bisa ditahan, ia memuntahkan isi perutnya.

Mak terkejut dan segera menyusul. Bapak tampak cemas. Fadil berlari kecil ke lemari, mencari minyak angin dengan tangan gemetar.

---

Di depan apotek kecil di pinggir jalan, Alika berdiri terpaku. Tubuhnya lemas, wajahnya tegang. Matanya kosong, namun pikirannya gaduh. Di tangannya, dompet mungil tergenggam erat. Ia menggigit bibir, ragu untuk melangkah. Haruskah ia masuk? Haruskah ia membeli benda itu? Barang mungil yang bisa mengubah seluruh hidupnya hanya dengan satu garis—atau dua.

Tubuhnya masih terasa aneh. Siklus bulanan yang biasanya tepat waktu, kini menghilang entah ke mana. Ia panik. Ia takut. Ia bahkan tak bisa berpikir jernih lagi.

Suara seorang perempuan dari belakang membuyarkan lamunannya.

“Mbak, jadi nggak? Antrinya panjang, lho.”

Alika tersadar. Ia mengangguk cepat, lalu melangkah ke depan meja. Suaranya nyaris hilang saat berkata, “Saya… saya cari test pack.”

Dan saat benda mungil itu berpindah tangan—dari pegawai apotek ke Alika—ia merasa seluruh dunia seolah bergeser. Ia tak tahu apa yang menantinya, tapi ia tahu satu hal: hidupnya tak akan pernah sama lagi.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Dinodai adiknya, dinikahi kakaknya   Bab 144

    Bab: Bayangan di Balik JeritanHening.Namun bukan hening yang menenangkan — melainkan hening yang menggigit, membungkam napas, dan membuat waktu terasa macet di antara detik yang panjang.Alika masih duduk di kursi kayu itu, tangannya terikat di belakang, kulit pergelangannya memerah dan lecet oleh gesekan tali kasar. Cahaya lampu di langit-langit bergetar pelan, seperti sedang menahan napas bersama dirinya.Bagas masih berdiri di depan, tubuhnya tegap tapi goyah — seperti seseorang yang berjuang menahan kegilaan yang hampir tumpah. Di tangan kanannya, kain hitam itu terlipat rapi, sedangkan di tangan kirinya ia memegang pita plastik, mengelusnya perlahan seolah sedang menenangkan diri.Suara tetesan air dari pipa bocor di sudut ruangan masih terdengar. Ritme lambatnya seperti jam pasir yang menghitung waktu menuju kehancuran.“Bagas,” suara Alika memecah hening itu, pelan, datar, tapi cukup untuk membuat laki-laki itu berhenti.Ia mengangkat wajahnya, menatapnya dengan mata merah ya

  • Dinodai adiknya, dinikahi kakaknya   Bab 143

    Bab Terjebak dalam Bayangan BagasUdara yang menusuk dingin menyambut Alika ketika kelopak matanya perlahan terbuka. Napas pertamanya terasa berat dan getir, seolah udara di sekelilingnya membawa aroma karat dan debu yang melekat di dinding. Cahaya redup dari lampu kuning pucat bergetar pelan di langit-langit ruangan, menciptakan bayangan yang menari-nari samar di dinding bata yang sudah terkelupas. Suara gemericik air menetes di suatu sudut, lambat, ritmis, dan memantul di seluruh ruangan yang hening.Ia mencoba memfokuskan pandangan, dan barulah menyadari keadaan dirinya. Tali kasar menjerat kuat kedua pergelangan tangannya di belakang kursi kayu tua, membuat kulit di bawahnya perih dan memerah. Kakinya pun terikat, meski tidak seketat tangan, cukup untuk membuatnya sulit bergerak. Tubuhnya terasa berat, lidahnya kering, dan kepalanya berdenyut. Ia tahu efek obat yang diberikan Bagas tadi belum benar-benar hilang dari sistem tubuhnya.Alika menarik napas panjang, mencoba mengatur de

  • Dinodai adiknya, dinikahi kakaknya   Bab 142

    Bab: Dalam Cengkeraman ObsesiPelukan Bagas pada tubuh Alika semakin erat, seakan ia hendak menanamkan keyakinan pada dirinya sendiri bahwa kali ini ia tidak akan lagi kehilangan perempuan itu. Kedua lengannya mengunci rapat, menolak segala kemungkinan Alika bisa melepaskan diri. Tubuh perempuan itu nyaris tak berdaya, berat seakan tidak lagi memiliki tenaga untuk menolak. Langkah kaki Bagas terdengar berat, namun setiap hentakannya mengandung kepastian. Suara dentum sol sepatunya bergema pelan di lantai ruangan yang sunyi, memantul ke dinding yang putih dingin, lalu hilang dalam keheningan yang terasa mencekik.Pintu belakang ruang periksa ia dorong perlahan. Gerakannya hati-hati, seperti seekor hewan buas yang menyelinap keluar dari sarangnya, memastikan tak ada mata lain yang menyaksikan. Matanya liar, bergerak cepat dari sisi ke sisi, penuh kewaspadaan namun juga menyimpan semangat yang membara. Pandangan itu bukan lagi pandangan seorang pria waras, melainkan tatapan seseorang yan

  • Dinodai adiknya, dinikahi kakaknya   Bab 141

    Bab: Jerat Obsesif BagasRuang periksa itu diliputi keheningan yang begitu menekan. Hanya ada dengung monoton mesin pendingin di langit-langit yang sesekali terdengar beradu dengan detak jarum jam di dinding. Bau antiseptik yang tajam menusuk hidung, bercampur dengan aroma obat-obatan yang menempel pada udara. Suasana itu kaku, dingin, seolah menyelimuti setiap sudut ruangan dengan ketegangan yang tak terlihat.Alika duduk bersandar lemah di kursi periksa, tubuhnya tampak ringkih meski ia berusaha menegakkan bahu agar tidak terlihat kalah. Wajahnya pucat, rahang tegang menahan rasa pusing yang semakin menusuk kepala. Kelopak matanya terasa berat, pandangannya mulai berkunang-kunang, seperti dunia di sekelilingnya sedang goyah. Nafasnya sedikit lebih cepat, dadanya naik turun dengan ritme yang tidak stabil, namun ia tetap mencoba mengatur diri agar terlihat tenang di depan pria yang kini berdiri di hadapannya.Pria itu, Bagas, berdiri tidak jauh. Sorot matanya tak pernah lepas dari tub

  • Dinodai adiknya, dinikahi kakaknya   Bab 140

    Bab: Rasa Aneh yang MerambatRuang periksa itu kembali diliputi keheningan yang menyesakkan. Cahaya putih lampu neon menyinari setiap sudut ruangan, begitu terang namun justru menambah kesan dingin dan kaku. Bau antiseptik menusuk tajam, bercampur dengan hawa dingin dari pendingin ruangan yang terus berputar tanpa belas kasih. Suasana yang seharusnya menenangkan malah terasa seperti jeruji tak kasatmata, menahan napas siapa pun yang berada di dalamnya.Di ruangan itu, hanya ada dua sosok yang saling berhadapan: Alika dan Bagas. Jarak fisik mereka tidak jauh, hanya dipisahkan meja dan kursi yang sederhana, namun jarak batin yang membentang terasa amat luas, nyaris tak terjembatani.Alika mengangkat gelas yang baru saja diberikan Bagas. Cairan bening di dalamnya tampak biasa saja, tanpa aroma yang aneh, tanpa warna yang mencurigakan. Dengan gerakan tenang, ia meneguk sedikit saja—hanya sekadar membasahi bibirnya—lalu meletakkannya kembali di atas meja. Tidak ada ekspresi lega, tidak ada

  • Dinodai adiknya, dinikahi kakaknya   Bab 139

    Suasana ruang periksa itu kembali dipenuhi ketegangan yang begitu pekat, seolah-olah udara di dalamnya menjadi lebih berat, menekan ke setiap sudut ruangan hingga sulit bernapas. Lampu putih di atas kepala memancarkan cahaya terang yang menusuk, tetapi terasa dingin, kaku, dan sama sekali tidak membawa kehangatan. Suara detak jam dinding terdengar jelas, memecah kesunyian yang kian menyesakkan, seperti menghitung setiap detik yang berjalan begitu lambat.Alika melangkah pelan, seolah setiap gerakannya terukur dengan hati-hati agar tidak runtuh oleh emosi yang masih bergemuruh di dadanya. Ia lalu meletakkan Choco, kucing mungil kesayangannya, di atas meja periksa dengan penuh kelembutan. Kedua tangannya bergerak halus, jemarinya menyentuh bulu cokelat lembut itu, seakan memberi rasa aman pada makhluk kecil yang sama sekali tidak tahu apa yang sedang terjadi. Choco menguap kecil, memperlihatkan gigi mungilnya, kemudian meringkuk dengan nyaman sambil mengeluarkan dengkuran lirih. Suara i

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status