“Fadil, tolong letakkan ini di atas meja,” ujar Mak pelan, namun tegas, sambil menyerahkan semangkuk gulai daun ubi yang mengepul hangat. Aroma santan yang berpadu dengan rempah-rempah menyeruak dari mangkuk itu, menyebar perlahan ke seluruh penjuru dapur sempit yang dindingnya terbuat dari triplek lusuh. Wangi itu bukan hanya menggoda selera, tapi juga menjadi semacam penghibur dalam rumah sederhana yang mulai menua bersama waktu.
Meja makan mereka dari kayu lama, warnanya memudar dan catnya mulai mengelupas di beberapa sisi, menjadi saksi bisu kebersamaan keluarga yang bertahan dalam kesederhanaan. Di atasnya, sambal terasi dan sepiring ikan asin goreng sudah lebih dulu menunggu, menyatu dalam kesederhanaan khas kampung yang tetap hangat dan mengundang.
Fadil, remaja tanggung dengan tubuh agak tinggi dan wajah bersih, menerima mangkuk itu dengan kedua tangan, seolah menyadari bahwa benda itu lebih dari sekadar makanan. Ia berjalan pelan, langkahnya hati-hati, seakan tak ingin ada setetes kuah pun yang tumpah. Ia tahu betul bahwa gulai daun ubi itu bukanlah sekadar masakan—itu adalah hasil kerja keras Mak sejak subuh tadi.
Sementara itu, di sudut ruangan, Alika duduk dengan tubuh merunduk, memeluk dirinya sendiri. Jemarinya menggenggam lengan, seakan mencari kehangatan dari tubuh yang terasa kian dingin. Wajahnya pucat pasi, dan matanya tampak sayu, seperti kehilangan semangat hidup. Meski udara di dalam rumah tidak terlalu dingin, keringat dingin membasahi pelipisnya. Kepalanya berdenyut, perutnya terasa mual, seolah ada sesuatu yang kacau di dalam sana.
Biasanya, aroma masakan rumah Mak selalu membangkitkan selera, apalagi bau ikan asin yang digoreng renyah. Tapi kali ini berbeda. Bau itu justru menyesakkan. Perutnya seperti diaduk-aduk dengan kasar, membuatnya nyaris muntah hanya karena mencium aromanya. Ia mencoba mengatur napas, namun tetap saja rasa tidak nyaman itu tak kunjung mereda.
Sudah dua hari ini tubuhnya terasa aneh. Ia sempat berpikir mungkin hanya kelelahan, atau asam lambung yang naik akibat terlalu banyak tugas kuliah dan kerja paruh waktu. Tapi ada keganjilan yang tak bisa ia abaikan. Firasat buruk mulai muncul, menekan hatinya seperti kabut gelap yang menolak menghilang.
Namun yang membuatnya lebih gelisah bukan hanya soal kesehatan. Pikirannya kacau karena Bagas. Lelaki yang dulu ia percaya, yang dulu ia cintai, kini menjelma menjadi sumber luka. Bagas mulai berubah sejak Alika menolak permintaan gila itu. Lelaki itu ingin mereka mengulangi dosa yang dulu pernah mereka sesali, dosa yang telah mengiris harga diri Alika. Ia menolak, dan ia menyesalinya sampai hari ini—bukan karena penolakannya, tetapi karena berharap Bagas akan mengerti.
“Aku takut, Bagas. Ini dosa. Mari bicara pada Mak atau Bapak,” ucap Alika waktu itu, suaranya bergetar, matanya memohon. Kalimat yang mungkin terdengar sederhana, namun bagi Bagas itu berarti satu hal: pernikahan.
Dan sejak saat itu, Bagas menjauh. Bahkan di kampus, ia pura-pura tidak mengenal Alika. Ia berlalu begitu saja saat berpapasan, seolah-olah tak ada apa-apa di antara mereka. Sahabat-sahabat Bagas ikut bersikap dingin. Tatapan mereka berubah menjadi sinis, mencemooh. Seolah Alika adalah perempuan tak tahu malu, seolah mereka tahu segalanya—padahal tidak satu pun yang benar-benar tahu betapa hancurnya hati Alika setiap kali diperlakukan seperti itu.
“Wajahmu pucat dari kemarin, Neng,” suara Mak mendadak memecah keheningan, membawa kenyataan kembali menyergap.
Alika mengangkat wajah, mencoba tersenyum. Namun senyumnya lemah, dan sorot matanya tak bisa menutupi kegelisahan yang mengendap di dalam dada.
“Kalau lelah, minta saja libur kerja. Nanti kuliahmu malah berantakan, kerjaan juga tak karuan,” lanjut Mak, suaranya lembut, namun penuh nada khawatir.
Alika menyentuh pipinya dengan jemari yang dingin. Ia mencoba menakar bayangan dirinya di pikiran—pucat, kata Mak.
“Pucat ya, Mak?” tanyanya lirih.
Mak mengangguk pelan. Pandangannya menelisik dengan cemas, seolah sedang mencari jawaban tersembunyi di wajah anak gadisnya.
“Mungkin karena kurang tidur, Mak. Beberapa tugas kuliah harus segera dikumpulkan,” jawab Alika, berusaha terdengar wajar meski suaranya nyaris tak terdengar.
“Biar banyak tugas, jangan lupakan istirahat. Mak khawatir. Sehatmu jauh lebih penting,” ucap Mak lagi, kali ini suaranya bergetar pelan. Mata tuanya yang mulai berkabut itu tampak basah, menyimpan kekhawatiran yang tak bisa ia sampaikan dengan kata-kata.
Alika hanya mengangguk. Ia tahu betapa Mak mencintainya, mencemaskannya, dan menggantungkan harapan besar padanya. Ia adalah anak sulung. Tumpuan. Harapan.
“Kalau ada waktu, periksalah ke puskesmas. Kita punya kartu KIS. Nggak usah mikir biaya, kecuali harus beli obat di luar, seperti Bapak kemarin itu…” suara Mak melemah, nada suaranya berubah menjadi lirih dan tertahan.
Alika tetap diam. Fadil, yang sejak tadi menata makanan, kini duduk di sisi Bapak. Ia memperhatikan kakaknya dengan pandangan penuh tanya. Ada sesuatu yang membuat hatinya tidak tenang.
“Abang rasa, Kakak memang kelihatan pucat sekali,” ucapnya pelan, seperti menyuarakan kegelisahan yang sejak tadi menyesakkan.
Suara batuk Bapak mendadak terdengar, memecah keheningan. Lelaki tua itu menerima piring dari Mak, lalu menatap wajah Alika dalam-dalam. Ada kerutan di keningnya yang bertambah dalam. Pandangannya seperti menebak sesuatu, namun ia memilih diam, menahan segala kecurigaan dan kecemasan dalam hati.
“Pergilah ke puskesmas, periksa kesehatanmu,” ucapnya akhirnya. Batuknya masih terdengar, namun suaranya tetap tenang dan penuh wibawa.
Alika menatap Bapak sejenak, lalu mengangguk pelan. Ia menerima piring dari Fadil, mulai menyendok nasi. Perutnya lapar, tapi tubuhnya menolak. Ketika sendok nyaris menyentuh bibir, rasa mual mendadak menyerang. Ia tersentak, buru-buru meletakkan sendok dan berdiri. Langkahnya cepat menuju kamar mandi, dan tanpa bisa ditahan, ia memuntahkan isi perutnya.
Mak terkejut dan segera menyusul. Bapak tampak cemas. Fadil berlari kecil ke lemari, mencari minyak angin dengan tangan gemetar.
---
Di depan apotek kecil di pinggir jalan, Alika berdiri terpaku. Tubuhnya lemas, wajahnya tegang. Matanya kosong, namun pikirannya gaduh. Di tangannya, dompet mungil tergenggam erat. Ia menggigit bibir, ragu untuk melangkah. Haruskah ia masuk? Haruskah ia membeli benda itu? Barang mungil yang bisa mengubah seluruh hidupnya hanya dengan satu garis—atau dua.
Tubuhnya masih terasa aneh. Siklus bulanan yang biasanya tepat waktu, kini menghilang entah ke mana. Ia panik. Ia takut. Ia bahkan tak bisa berpikir jernih lagi.
Suara seorang perempuan dari belakang membuyarkan lamunannya.
“Mbak, jadi nggak? Antrinya panjang, lho.”
Alika tersadar. Ia mengangguk cepat, lalu melangkah ke depan meja. Suaranya nyaris hilang saat berkata, “Saya… saya cari test pack.”
Dan saat benda mungil itu berpindah tangan—dari pegawai apotek ke Alika—ia merasa seluruh dunia seolah bergeser. Ia tak tahu apa yang menantinya, tapi ia tahu satu hal: hidupnya tak akan pernah sama lagi.
Bab — Pertemuan yang Tidak DiundangMalam belum tiba, tetapi langit kota sudah mulai memudar warnanya. Sisa cahaya matahari yang menempel di dinding-dinding gedung tinggi perlahan ditelan oleh bayangan panjang, meninggalkan kesan senja yang redup di antara gemerlap lampu-lampu jalan yang mulai menyala. Bagas menatap arlojinya untuk kesekian kali. Jarum jam menunjukkan pukul setengah tiga.Pertemuan dengan salah satu investor seharusnya berlangsung siang ini, di restoran sebuah hotel berbintang di pusat kota. Namun, agenda berubah. Investor itu mendadak menunda hingga malam, alasan yang diberikan sederhana—urusan mendesak dengan klien luar negeri. Bagas tidak bisa berbuat banyak selain menyesuaikan diri, meski dalam hati ia merutuk jadwal yang berantakan.Ia sudah terlanjur berada di sekitar kawasan hotel. Perjalanan dari kantor menuju sini memakan waktu, dan kembali lagi hanya untuk menunggu akan terasa mubazir. Perutnya juga belum diisi sejak pagi, hanya ditopang oleh secangkir kopi
Bab — Rapat yang KosongPagi itu, cahaya matahari merambat perlahan menembus kaca jendela tinggi di lantai sepuluh gedung perusahaan cabang Baskoro. Kota di bawah sana masih padat dengan deru kendaraan, suara klakson, dan hiruk-pikuk manusia yang bergegas menuju tujuan masing-masing. Namun semua itu hanya terdengar sayup, nyaris lenyap di balik kedapnya kaca modern. Yang tersisa hanyalah siluet jalanan, laju mobil yang tampak seperti semut kecil dari ketinggian, serta bayangan gedung-gedung lain yang berbaris kaku.Di dalam ruang rapat, udara begitu berbeda. Pendingin ruangan berdesis pelan, meniupkan hawa dingin yang menusuk kulit, meninggalkan sensasi kaku dan formalitas yang tak bisa dihindarkan. Kursi-kursi kulit hitam berjajar rapi mengelilingi meja panjang berbentuk oval, permukaannya mengilap karena dipoles setiap pagi oleh petugas kebersihan. Di atas meja, tumpukan berkas, map tebal, botol air mineral, dan laptop yang terbuka memenuhi pandangan.Bagas duduk di kursi paling ten
Bab — Kebahagiaan yang Tak TerlukiskanLangkah-langkah Sadewa terasa begitu ringan, hampir seakan melayang, seolah seluruh beban yang selama beberapa hari terakhir menekan dadanya—rasa khawatir, takut, dan gelisah—lenyap begitu saja dengan kabar yang baru saja mereka terima. Bersama Alika, ia keluar dari ruang dokter, meninggalkan aroma antiseptik yang sebelumnya terasa menusuk dan menekan setiap napas, kini seolah berubah menjadi latar samar yang tak lagi penting. Wajahnya masih basah oleh sisa air mata, tetapi kali ini bukanlah air mata yang lahir dari rasa cemas, melainkan dari kebahagiaan yang begitu meluap hingga sulit ia tahan.Tangannya tidak pernah melepaskan genggaman Alika, malah semakin erat seakan takut kabar yang baru saja mereka dengar hanyalah mimpi yang bisa menghilang dalam sekejap. Setiap langkah Alika diperhatikannya dengan sangat teliti, hampir sampai pada titik Sadewa menunduk hanya untuk memastikan pijakan kaki istrinya aman, tidak tergelincir, tidak tersandung.
Bab — Kabar yang Menggetarkan JiwaSadewa menuntun Alika masuk ke dalam ruangan dokter dengan langkah hati-hati, seakan setiap gerakan bisa mempengaruhi keadaan istrinya. Pintu ruangan itu tertutup pelan di belakang mereka, meninggalkan keramaian lorong rumah sakit yang penuh dengan suara bercampur aduk. Kini yang tersisa hanyalah ruangan berukuran sedang dengan aroma antiseptik yang lebih kuat, dilengkapi meja kerja kayu, kursi pasien, serta berbagai peralatan medis yang tersusun rapi di rak-rak putih.Seorang dokter perempuan paruh baya, berwajah ramah dengan kerudung rapi, menyambut mereka dengan senyum profesional yang hangat. “Silakan duduk,” ucapnya sembari menunjuk kursi pasien yang berada di hadapannya.Sadewa segera membantu Alika duduk. Ia masih menggenggam tangan istrinya erat, bahkan ketika Alika sudah berada di kursi, jemarinya enggan terlepas. Dokter itu menatap mereka sejenak, lalu mulai membuka catatan medis di meja.“Baik, Ibu Alika,” suara dokter terdengar tenang, me
Bab — Menunggu dengan CemasPerjalanan panjang yang baru saja mereka lalui seakan menyedot seluruh energi Sadewa. Sepanjang jalan, hatinya dihantui rasa takut yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Ada perasaan seperti dicekik, seolah-olah setiap detik bisa menjadi penentu keadaan istrinya. Begitu mobil berhenti di depan rumah sakit, tanpa berpikir panjang, Sadewa langsung turun dengan cepat, membuka pintu, dan dengan hati-hati memapah Alika yang tubuhnya tampak begitu rapuh sore itu.Lorong rumah sakit menyambut mereka dengan atmosfer yang khas: dingin, panjang, penuh dengan aroma antiseptik yang tajam, menusuk ke dalam rongga hidung dan menempel di indera penciuman. Suara langkah kaki terdengar bersahut-sahutan, sebagian bergegas, sebagian teratur, sebagian lagi terdengar lesu. Ada tangis samar anak kecil di kejauhan, ada suara batuk dari sudut ruangan, ada pula percakapan lirih keluarga yang tengah menanti kabar dari dokter. Semua itu berpadu menjadi orkestra cemas yang begitu fa
Bab — Sebuah Kepanikan yang Tak TerhindarkanSadewa menatap wajah istrinya dengan sorot mata yang dipenuhi kegelisahan, bahkan kegelisahan itu sudah nyaris berubah menjadi kepanikan yang tidak bisa ia sembunyikan lagi. Sejak pagi tadi, ia sebenarnya sudah berencana untuk berangkat ke perusahaan. Ada beberapa agenda penting yang menunggu di meja kerjanya, beberapa rapat yang harus ia hadiri, serta laporan-laporan yang memerlukan tanda tangannya. Namun, semua rencana yang sudah ia susun itu seketika runtuh, seakan tidak lagi berarti apa-apa, ketika matanya menyaksikan Alika—istrinya, perempuan yang paling ia cintai—tiba-tiba saja lebih dari dua kali muntah dalam kurun waktu yang begitu singkat.Sebagai seorang suami, siapa yang tidak panik melihat kondisi seperti itu? Wajah Alika tampak begitu lemah. Pucatnya bukan sekadar pucat biasa yang muncul karena kelelahan, melainkan pucat yang benar-benar membuat dada Sadewa terasa diremas. Tubuh istrinya pun seolah kehilangan tenaga. Perempuan