Hari ini… hari yang tak pernah kubayangkan akan menjadi milikku. Sebuah pernikahan yang sunyi. Dalam perjumpaan pertama kami sebagai suami istri, aku bahkan tak berani menatap wajahnya. Bukan karena benci. Tapi karena malu. Karena aku merasa terlalu kotor untuk seseorang sebaik dia. (Kata hati, Alika).
Alika duduk terpaku di salah satu sudut masjid kecil itu. Masjid yang hanya berhiaskan lampu neon pucat dan karpet hijau tua yang usang. Tak ada dekorasi. Tak ada bunga. Tak ada kain putih menjuntai dari langit-langit. Yang ada hanyalah langit malam di luar jendela, dan hati yang bergemuruh karena takut dan luka.
Dia menggenggam erat telapak tangannya sendiri—seolah hanya itu yang mampu membuatnya tetap berdiri. Keringat dingin membasahi tengkuknya. Mata terpejam, dada sesak. Malam ini bukan malam penuh bintang. Bukan malam impian dalam balutan gaun indah. Tidak ada senyum keluarga, apalagi iringan musik cinta.
Yang ada hanyalah sunyi yang menggema, memantul di antara dinding masjid dan suara hatinya yang hancur perlahan.
Dia menundukkan kepala sejak tadi. Menolak melihat siapa pun. Terlalu malu. Terlalu sakit. Terlalu rusak.
Tidak ada prosesi lamaran. Tidak ada pesta. Tidak ada mahar impian seperti yang ia bayangkan sejak remaja. Yang ada hanyalah pengakuan pahit, air mata yang kering, dan keputusan mendadak yang membuat semua orang tercengang.
Dia telah menghancurkan masa depan. Bukan hanya dirinya, tapi juga seorang lelaki yang tak seharusnya terseret ke dalam kubangan ini.
Sadewa.
Saudara kandung dari laki-laki yang mencoreng harga dirinya, adik dari lelaki yang membuat hidupnya runtuh dalam satu malam.
Alika terlalu mudah percaya. Terlalu buta melihat niat jahat di balik senyum manis Bagas. Laki-laki tampan dan mapan itu datang dengan janji, memberi harapan… lalu menghancurkannya hingga tak bersisa. Dan kini, hanya karena satu malam penuh dosa, Alika harus menanggung segalanya. Bukan hanya aib, tapi juga nyawa kecil yang tumbuh dalam tubuhnya.
Tapi dia tidak sendiri.
Ada Sadewa. Laki-laki tenang, dewasa, dengan tatapan dalam yang sulit ditebak. Dia berdiri di barisan depan—menggenggam tanggung jawab yang seharusnya bukan miliknya. Bukan karena cinta, tapi karena adab dan harga diri. Karena dia tahu, bila bukan dia… maka siapa lagi?
Alika terlalu malu untuk menatap wajahnya. Bahkan saat lelaki itu melangkah masuk ke ruangan, Alika menunduk lebih dalam. Sadewa terlalu bersih. Terlalu suci untuk disentuh oleh perempuan sepertinya. Perempuan yang telah dihancurkan oleh dosa, oleh kebodohan sendiri.
Lalu, desas-desus mulai menyelinap...
“Buru-buru sekali ya...”
“Pasti ada yang disembunyikan...”
Bisikan-bisikan itu seperti silet yang mengiris pelipisnya. Dingin, tajam, dan menyakitkan. Tapi Alika hanya diam. Diam yang menenggelamkan. Diam yang membuat napasnya seolah mengendap di dalam dada. Tak ada pembelaan. Tak ada keberanian untuk menjelaskan.
Karena untuk apa?
Semuanya telah terjadi.
Lantunan ayat suci berganti dengan suara pembawa acara. Alika menggigit bibirnya. Tangannya gemetar, menggenggam erat kain bajunya. Akad itu... sebentar lagi. Dia ingin berlari. Ingin menghilang. Tapi tubuhnya seperti dibekukan oleh rasa malu yang menjalar sampai ke sumsum tulang.
Perutnya memang belum membesar. Tapi dia tahu... ada kehidupan di sana. Bukti dari cinta yang salah. Bukti dari dosa yang tak bisa dihapus. Bukti dari pengkhianatan terhadap kepercayaan.
Dan saat suara itu terdengar, lantang dan tegas:
“Saya terima nikah dan kawinnya...”
Kalimat itu menghantam dadanya seperti badai. Alika ingin menolak, ingin berteriak bahwa ini bukan jalan yang ia inginkan. Tapi segalanya telah diputuskan. Sadewa kini adalah suaminya. Imamnya.
Tangisnya tumpah.
Tanpa suara, tapi deras. Air mata luruh bersama takdir yang tak bisa diubah.
Dan ketika akad selesai, ketika semua mata memandang, langkah kaki Sadewa mendekat perlahan. Suara baritonnya menyayat keheningan malam.
“Assalamualaikum, ya ukhti.”
Tangannya terulur. Sekokoh baja, namun selembut belaian angin malam.
“Mari kita pulang, Alika.”
Untuk pertama kali, Alika mengangkat wajahnya. Menatap mata lelaki itu. Mata yang tidak ia kenal, tapi kini harus ia percaya. Mata yang bukan milik cinta pertamanya, tapi kini menjadi tempat pulangnya.
Dan dalam diam itu, ketika angin menerpa wajah dan selendangnya menari lembut di udara, satu helai daun jatuh perlahan dari langit. Menyentuh tanah seperti takdir yang telah tertulis di Lauhul Mahfudz.
Karena memang tak ada satu pun yang terjadi kecuali telah digariskan.
Termasuk kisah Alika.
Yang menikah bukan karena cinta,
Tapi karena aib yang harus ditebus Dengan ketulusan seorang lelaki bernama Sadewa. ---Dan pada akhirnya…
Di titik paling sunyi dari hidupku—di mana semua cahaya tampak padam, dan hanya ada kabut yang menggulung-gulung di antara nadi dan napasku—kita berdiri berdua, sebagai sepasang suami istri. Tapi jangan bayangkan kebahagiaan yang hangat seperti kisah cinta dalam dongeng. Tidak ada pelukan hangat, tidak ada senyum manis penuh harap, tidak ada genggaman tangan yang bergetar karena jatuh cinta. Yang ada hanyalah kesenyapan panjang yang menggantung di antara kita, menggema di dinding hati yang sudah lama retak.
Tanpa ikatan cinta. Tanpa getaran bahagia. Tanpa harapan yang biasanya ditanamkan pasangan yang menatap masa depan bersama. Dan aku tahu… ini bukan pernikahan yang kau harapkan, bukan pula impian yang kau rajut sejak remaja. Ini adalah pernikahan karena keadaan. Karena aib. Karena luka yang harus ditutupi agar tak menganga di hadapan dunia.
Maaf.
Mungkin hanya itu satu-satunya kata yang mampu kubisikkan kepadamu, Sadewa. Sebuah kata sederhana yang takkan cukup untuk menjelaskan betapa aku menyesali semua ini. Karena menjadi perempuan yang kehilangan kesuciannya, aku tahu… aku tak lagi pantas memilih siapa imamku. Aku hanya mampu menunduk, menerima takdir, dan menggenggam kenyataan bahwa engkau kini berdiri di sampingku—bukan karena cinta, tapi karena tanggung jawab. Karena luka yang kutoreh, engkau memilih menjadi perban, meski tahu darah ini bukan berasal darimu.
Kau bukan imam yang pernah kuimpikan hadir dalam tidur-tidur panjangku yang penuh harapan. Tapi ketika semua orang menjauh, mencibir dan mengutuk, engkau justru datang. Diam-diam mengulurkan tangan, bukan untuk menyentuh luka, tapi untuk menutupinya. Menawarku tempat berteduh dalam badai, meski tahu atapnya rapuh.
Kadang rencana Allah terlalu rumit untuk dipahami dengan logika kecil manusia seperti kita. Kadang, jalan yang terlihat buruk justru menyimpan kemuliaan yang tak bisa ditebak. Dan kini, di hadapan langit dan bumi yang menjadi saksi bisu atas akad kita tadi malam, hanya satu kata yang mampu kulantunkan kepadamu, Sadewa:
Terima kasih.
Terima kasih karena bersedia memikul aib yang bukan milikmu. Terima kasih karena memilih menjadi suamiku, bukan karena engkau menginginkanku, tapi karena kau tahu aku takkan sanggup berjalan sendiri. Terima kasih… karena bersedia menjadi ayah dari anak yang bukan darahmu, tapi akan lahir dengan namamu di belakangnya.
Dengan tulus yang masih kutemukan di sisa-sisa jiwaku yang remuk.
Alika.
PLAKKKKKK.Suara tamparan itu terdengar begitu nyaring, menggema laksana ledakan kecil yang membelah kesunyian rumah besar itu. Dentuman emosionalnya memantul keras di dalam rongga telinga, membuat Bagas terhuyung satu langkah ke belakang. Pipi kirinya seketika panas, nyeri, dan memerah. Lelaki itu terhenyak—terpaku oleh tamparan yang begitu mendadak, begitu tak terduga, datang dari orang yang sangat dia hormati… mamanya sendiri.“M-Ma…?” ucapnya tergagap, bingung, nyaris tak percaya. Alisnya berkerut dalam, matanya memicing menatap perempuan yang telah melahirkannya. Bibirnya bergetar, sementara tangan kirinya secara refleks menyentuh pipinya yang masih berdenyut akibat tamparan keras itu.Namun, ia belum sempat mengurai pertanyaan. Gerakan tangan kanan mama-nya kembali terangkat—cepat, tegas, dan mengancam. Bagas menahan napas, bersiap menerima tamparan kedua, namun…Tamparan itu tidak mendarat. Wanita itu menghentikan gerakannya sejenak. Matanya yang menyala penuh amarah kini menat
Joanna menyambar tubuh Alika, melihat perempuan itu meringis sambil memegangi perutnya. Beberapa mahasiswa dan mahasiswi yang datang terlambat tak benar-benar mendengar percakapan keduanya sebelumnya. Bagas, terlalu pengecut, hanya berlalu dari hadapan Alika. Ia meraih pintu mobilnya, masuk ke dalam, dan membanting pintunya keras-keras. Mobil itu melaju kencang, seolah ingin meninggalkan semua kekacauan yang ia timbulkan.Seandainya dia benar-benar sudah kehilangan akal, Bagas mungkin ingin menabrakkan mobilnya ke tubuh Alika, agar perempuan itu terpental bersama janin yang katanya baru tumbuh di rahimnya."Anakku? Cih... yang benar saja. Dasar pelacur sialan," geramnya, mengumpat dengan mulut yang terlalu kejam—menghina gadis yang masa depannya telah ia hancurkan.Bagas tancap gas, menggertakkan rahang sambil memukul setir. Dia harus membuat rencana. Tidak. Dia pikir, dia perlu bicara dengan seseorang, menyelesaikan semuanya, menghapus jejak.Yah dia harus bergerak cepat jika tidak d
Bagas sontak melepaskan cengkeramannya. Tubuhnya langsung mundur perlahan, langkah-langkahnya goyah, seolah lututnya kehilangan daya topang. Getar hebat tampak jelas di jemarinya yang menggantung di sisi tubuh. Tatapannya kosong seketika, seperti baru saja ditampar kenyataan yang tak pernah ia bayangkan.“Apa yang kau katakan barusan?” suaranya tercekat, pelan namun tajam, penuh tekanan. Wajahnya memucat, tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya."Aku hamil."Tidak ada laki-laki yang tidak akan terguncang mendengar kabar bahwa perempuan yang pernah ia tiduri kini mengandung anaknya. Terlebih bagi Bagas, lelaki muda penuh ambisi yang masih ingin menikmati hidup bebasnya tanpa beban tanggung jawab. Masa depan adalah rencana besar yang belum ingin ia kotori dengan hal-hal yang tak terduga—apalagi sesuatu yang menyangkut anak dari perempuan yang bahkan tak pernah ia anggap penting.Alika bukanlah tipenya. Jauh dari selera dan standar perempuan yang biasa mengelilinginya—cantik, modis, da
Alika meremas kedua telapak tangannya dengan gelisah. Sejak pagi, matanya terus menyapu sekeliling, mencari-cari sosok Bagas. Lelaki itu telah menghindarinya selama berminggu-minggu, dan sikap dinginnya kini berubah menjadi sesuatu yang membuat hati Alika benar-benar kacau. Bagas baru bersedia menemuinya—jika Alika mau diajak ke hotel dan menghabiskan malam bersamanya.“Alika?”Suara lembut itu datang dari Joanna, sahabat terdekatnya.“Ya?” Alika menoleh, menatap Joanna dengan pandangan kosong, tak benar-benar mendengar apa yang dikatakannya tadi.“Kamu nggak dengar apa yang aku ucapkan dari tadi, ya? Ada masalah?” Joanna menatapnya dengan dahi berkerut, bingung melihat ekspresi resah di wajah sahabatnya.“Bahkan...” Joanna memutar-mutar jari telunjuknya, memperhatikan Alika lebih saksama. “Pandanganmu ke mana-mana. Kamu sedang mencari seseorang? Ada yang terjadi?”“Ah, tidak. Maaf,” Alika menjawab lirih, kembali meremas tangannya dan menghindari kontak mata dengan Joanna.“Kamu pucat
“Fadil, tolong letakkan ini di atas meja,” ujar Mak pelan, namun tegas, sambil menyerahkan semangkuk gulai daun ubi yang mengepul hangat. Aroma santan yang berpadu dengan rempah-rempah menyeruak dari mangkuk itu, menyebar perlahan ke seluruh penjuru dapur sempit yang dindingnya terbuat dari triplek lusuh. Wangi itu bukan hanya menggoda selera, tapi juga menjadi semacam penghibur dalam rumah sederhana yang mulai menua bersama waktu.Meja makan mereka dari kayu lama, warnanya memudar dan catnya mulai mengelupas di beberapa sisi, menjadi saksi bisu kebersamaan keluarga yang bertahan dalam kesederhanaan. Di atasnya, sambal terasi dan sepiring ikan asin goreng sudah lebih dulu menunggu, menyatu dalam kesederhanaan khas kampung yang tetap hangat dan mengundang.Fadil, remaja tanggung dengan tubuh agak tinggi dan wajah bersih, menerima mangkuk itu dengan kedua tangan, seolah menyadari bahwa benda itu lebih dari sekadar makanan. Ia berjalan pelan, langkahnya hati-hati, seakan tak ingin ada se
Yang namanya laki-laki, kebanyakan dari mereka adalah buaya. Mereka tahu cara tersenyum di waktu yang tepat, tahu kapan harus merayu dengan kata-kata manis yang mencairkan pertahanan. Mereka bisa menjadi pahlawan dalam satu detik dan pemangsa di detik berikutnya. Jangan pernah mudah terperdaya. Karena penyesalan—ya, penyesalan itu—selalu datang di ujung cerita, saat semua sudah tak bisa diperbaiki lagi.---Beberapa bulan yang lalu."Aku takut, Bagas…" suara Alika begitu pelan, nyaris menghilang, tertelan oleh suara rintik hujan yang jatuh satu per satu di luar jendela. Hujan itu seperti irama dari takdir yang sedang disusun pelan-pelan oleh langit—dingin, sunyi, dan mengerikan. Tangannya bergetar hebat, menggenggam kerah bajunya sendiri erat-erat, seolah dengan cara itu ia bisa menyelamatkan sisa harga dirinya yang sebentar lagi akan terenggut.Ruangan tempat mereka berada tampak bersih, rapi, dan dingin, tapi tak menyisakan sedikit pun rasa nyaman bagi Alika. Apartemen putih itu ter
Malam PernikahanHari ini… hari yang tak pernah kubayangkan akan menjadi milikku. Sebuah pernikahan yang sunyi. Dalam perjumpaan pertama kami sebagai suami istri, aku bahkan tak berani menatap wajahnya. Bukan karena benci. Tapi karena malu. Karena aku merasa terlalu kotor untuk seseorang sebaik dia. (Kata hati, Alika).Alika duduk terpaku di salah satu sudut masjid kecil itu. Masjid yang hanya berhiaskan lampu neon pucat dan karpet hijau tua yang usang. Tak ada dekorasi. Tak ada bunga. Tak ada kain putih menjuntai dari langit-langit. Yang ada hanyalah langit malam di luar jendela, dan hati yang bergemuruh karena takut dan luka.Dia menggenggam erat telapak tangannya sendiri—seolah hanya itu yang mampu membuatnya tetap berdiri. Keringat dingin membasahi tengkuknya. Mata terpejam, dada sesak. Malam ini bukan malam penuh bintang. Bukan malam impian dalam balutan gaun indah. Tidak ada senyum keluarga, apalagi iringan musik cinta.Yang ada hanyalah sunyi yang menggema, memantul di antara d