แชร์

Dinodai adiknya, dinikahi kakaknya
Dinodai adiknya, dinikahi kakaknya
ผู้แต่ง: Tiffany

Bukan pernikahan impian

ผู้เขียน: Tiffany
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-05-08 22:18:58

Malam Pernikahan

Hari ini… hari yang tak pernah kubayangkan akan menjadi milikku. Sebuah pernikahan yang sunyi. Dalam perjumpaan pertama kami sebagai suami istri, aku bahkan tak berani menatap wajahnya. Bukan karena benci. Tapi karena malu. Karena aku merasa terlalu kotor untuk seseorang sebaik dia. (Kata hati, Alika).

Alika duduk terpaku di salah satu sudut masjid kecil itu. Masjid yang hanya berhiaskan lampu neon pucat dan karpet hijau tua yang usang. Tak ada dekorasi. Tak ada bunga. Tak ada kain putih menjuntai dari langit-langit. Yang ada hanyalah langit malam di luar jendela, dan hati yang bergemuruh karena takut dan luka.

Dia menggenggam erat telapak tangannya sendiri—seolah hanya itu yang mampu membuatnya tetap berdiri. Keringat dingin membasahi tengkuknya. Mata terpejam, dada sesak. Malam ini bukan malam penuh bintang. Bukan malam impian dalam balutan gaun indah. Tidak ada senyum keluarga, apalagi iringan musik cinta.

Yang ada hanyalah sunyi yang menggema, memantul di antara dinding masjid dan suara hatinya yang hancur perlahan.

Dia menundukkan kepala sejak tadi. Menolak melihat siapa pun. Terlalu malu. Terlalu sakit. Terlalu rusak.

Tidak ada prosesi lamaran. Tidak ada pesta. Tidak ada mahar impian seperti yang ia bayangkan sejak remaja. Yang ada hanyalah pengakuan pahit, air mata yang kering, dan keputusan mendadak yang membuat semua orang tercengang.

Dia telah menghancurkan masa depan. Bukan hanya dirinya, tapi juga seorang lelaki yang tak seharusnya terseret ke dalam kubangan ini.

Sadewa.

Saudara kandung dari laki-laki yang mencoreng harga dirinya, adik dari lelaki yang membuat hidupnya runtuh dalam satu malam.

Alika terlalu mudah percaya. Terlalu buta melihat niat jahat di balik senyum manis Bagas. Laki-laki tampan dan mapan itu datang dengan janji, memberi harapan… lalu menghancurkannya hingga tak bersisa. Dan kini, hanya karena satu malam penuh dosa, Alika harus menanggung segalanya. Bukan hanya aib, tapi juga nyawa kecil yang tumbuh dalam tubuhnya.

Tapi dia tidak sendiri.

Ada Sadewa. Laki-laki tenang, dewasa, dengan tatapan dalam yang sulit ditebak. Dia berdiri di barisan depan—menggenggam tanggung jawab yang seharusnya bukan miliknya. Bukan karena cinta, tapi karena adab dan harga diri. Karena dia tahu, bila bukan dia… maka siapa lagi?

Alika terlalu malu untuk menatap wajahnya. Bahkan saat lelaki itu melangkah masuk ke ruangan, Alika menunduk lebih dalam. Sadewa terlalu bersih. Terlalu suci untuk disentuh oleh perempuan sepertinya. Perempuan yang telah dihancurkan oleh dosa, oleh kebodohan sendiri.

Lalu, desas-desus mulai menyelinap...

“Buru-buru sekali ya...”

“Pasti ada yang disembunyikan...”

Bisikan-bisikan itu seperti silet yang mengiris pelipisnya. Dingin, tajam, dan menyakitkan. Tapi Alika hanya diam. Diam yang menenggelamkan. Diam yang membuat napasnya seolah mengendap di dalam dada. Tak ada pembelaan. Tak ada keberanian untuk menjelaskan.

Karena untuk apa?

Semuanya telah terjadi.

Lantunan ayat suci berganti dengan suara pembawa acara. Alika menggigit bibirnya. Tangannya gemetar, menggenggam erat kain bajunya. Akad itu... sebentar lagi. Dia ingin berlari. Ingin menghilang. Tapi tubuhnya seperti dibekukan oleh rasa malu yang menjalar sampai ke sumsum tulang.

Perutnya memang belum membesar. Tapi dia tahu... ada kehidupan di sana. Bukti dari cinta yang salah. Bukti dari dosa yang tak bisa dihapus. Bukti dari pengkhianatan terhadap kepercayaan.

Dan saat suara itu terdengar, lantang dan tegas:

“Saya terima nikah dan kawinnya...”

Kalimat itu menghantam dadanya seperti badai. Alika ingin menolak, ingin berteriak bahwa ini bukan jalan yang ia inginkan. Tapi segalanya telah diputuskan. Sadewa kini adalah suaminya. Imamnya.

Tangisnya tumpah.

Tanpa suara, tapi deras. Air mata luruh bersama takdir yang tak bisa diubah.

Dan ketika akad selesai, ketika semua mata memandang, langkah kaki Sadewa mendekat perlahan. Suara baritonnya menyayat keheningan malam.

“Assalamualaikum, ya ukhti.”

Tangannya terulur. Sekokoh baja, namun selembut belaian angin malam.

“Mari kita pulang, Alika.”

Untuk pertama kali, Alika mengangkat wajahnya. Menatap mata lelaki itu. Mata yang tidak ia kenal, tapi kini harus ia percaya. Mata yang bukan milik cinta pertamanya, tapi kini menjadi tempat pulangnya.

Dan dalam diam itu, ketika angin menerpa wajah dan selendangnya menari lembut di udara, satu helai daun jatuh perlahan dari langit. Menyentuh tanah seperti takdir yang telah tertulis di Lauhul Mahfudz.

Karena memang tak ada satu pun yang terjadi kecuali telah digariskan.

Termasuk kisah Alika.

Yang menikah bukan karena cinta,

Tapi karena aib yang harus ditebus

Dengan ketulusan seorang lelaki bernama Sadewa.

---

Dan pada akhirnya…

Di titik paling sunyi dari hidupku—di mana semua cahaya tampak padam, dan hanya ada kabut yang menggulung-gulung di antara nadi dan napasku—kita berdiri berdua, sebagai sepasang suami istri. Tapi jangan bayangkan kebahagiaan yang hangat seperti kisah cinta dalam dongeng. Tidak ada pelukan hangat, tidak ada senyum manis penuh harap, tidak ada genggaman tangan yang bergetar karena jatuh cinta. Yang ada hanyalah kesenyapan panjang yang menggantung di antara kita, menggema di dinding hati yang sudah lama retak.

Tanpa ikatan cinta. Tanpa getaran bahagia. Tanpa harapan yang biasanya ditanamkan pasangan yang menatap masa depan bersama. Dan aku tahu… ini bukan pernikahan yang kau harapkan, bukan pula impian yang kau rajut sejak remaja. Ini adalah pernikahan karena keadaan. Karena aib. Karena luka yang harus ditutupi agar tak menganga di hadapan dunia.

Maaf.

Mungkin hanya itu satu-satunya kata yang mampu kubisikkan kepadamu, Sadewa. Sebuah kata sederhana yang takkan cukup untuk menjelaskan betapa aku menyesali semua ini. Karena menjadi perempuan yang kehilangan kesuciannya, aku tahu… aku tak lagi pantas memilih siapa imamku. Aku hanya mampu menunduk, menerima takdir, dan menggenggam kenyataan bahwa engkau kini berdiri di sampingku—bukan karena cinta, tapi karena tanggung jawab. Karena luka yang kutoreh, engkau memilih menjadi perban, meski tahu darah ini bukan berasal darimu.

Kau bukan imam yang pernah kuimpikan hadir dalam tidur-tidur panjangku yang penuh harapan. Tapi ketika semua orang menjauh, mencibir dan mengutuk, engkau justru datang. Diam-diam mengulurkan tangan, bukan untuk menyentuh luka, tapi untuk menutupinya. Menawarku tempat berteduh dalam badai, meski tahu atapnya rapuh.

Kadang rencana Allah terlalu rumit untuk dipahami dengan logika kecil manusia seperti kita. Kadang, jalan yang terlihat buruk justru menyimpan kemuliaan yang tak bisa ditebak. Dan kini, di hadapan langit dan bumi yang menjadi saksi bisu atas akad kita tadi malam, hanya satu kata yang mampu kulantunkan kepadamu, Sadewa:

Terima kasih.

Terima kasih karena bersedia memikul aib yang bukan milikmu. Terima kasih karena memilih menjadi suamiku, bukan karena engkau menginginkanku, tapi karena kau tahu aku takkan sanggup berjalan sendiri. Terima kasih… karena bersedia menjadi ayah dari anak yang bukan darahmu, tapi akan lahir dengan namamu di belakangnya.

Dengan tulus yang masih kutemukan di sisa-sisa jiwaku yang remuk.

Alika.

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Dinodai adiknya, dinikahi kakaknya   Bab 59

    “Mak sudah menduga, biasanya kelahiran itu suka meleset dari prediksi dokter,” ujar Mak lirih, memecah keheningan di dalam mobil. Duduk di kursi belakang, ia menggenggam tas kecil yang sedari tadi ia peluk erat, sementara Bapak duduk tepat di sampingnya, menatap lurus ke arah depan.Nada suara Mak tenang, tapi sorot matanya menyiratkan kekhawatiran yang dalam. Ia menoleh sejenak ke arah suaminya, lalu menatap ke jendela mobil yang mulai basah oleh embun malam.“Perut Alika dari kemarin sudah benar-benar turun. Aku lihat dia sering ke kamar mandi juga, makin sering malah. Rasanya aku sudah curiga, tapi hajatan di rumah Bu Ina... mana mungkin mak abaikan. Nggak enak kalau ditinggal.” Ucapan Mak terhenti sejenak, seperti sedang menimbang apakah keputusannya untuk menunda keberangkatan ke rumah Sadewa adalah sesuatu yang tepat.Kekhawatiran itu bukan tanpa alasan. Dalam seminggu terakhir, Alika memang tampak semakin kesulitan dalam beraktivitas. Perutnya sudah turun ke bawah, tanda-tanda

  • Dinodai adiknya, dinikahi kakaknya   Bab 58

    Mak terus menggenggam erat telapak tangannya sendiri, mencengkeram seolah menggantungkan harapan pada jemarinya yang kini bergetar dalam gelombang rasa harap-harap cemas. Tengah malam itu, saat sebagian besar penghuni kampung telah terlelap dalam keheningan yang pekat, sebuah panggilan telepon membuyarkan semuanya. Suaranya pelan namun penuh tekanan emosional—Sadewa, sang menantu yang dikenal jarang berbicara panjang, kali ini terdengar terbata-bata di seberang.“Mak… ini waktunya… Alika sudah bukaan enam.”Sejenak dunia Mak berhenti berputar saat mendapatkan berita tersebut.Degup jantungnya seperti berhenti satu detik lalu kembali berdentum dua kali lebih cepat. Tangannya yang semula menggenggam permukaan selimut lusuh di pangkuannya kini terangkat, menutup dada. Perasaan seperti meledak di dalam. Campuran antara panik, takut, haru, dan entah apa lagi yang tak bisa ia uraikan dalam satu kalimat.Seharusnya Mak sudah ada di rumah Sadewa dan Alika saat ini, bersiap menyambut kelahiran

  • Dinodai adiknya, dinikahi kakaknya   Bab 57

    “Sudah bukaan empat.”Sadewa memejamkan bola mata nya mendengar kata bukaan 6.Suara dokter terdengar lirih, namun membawa kabar baik. Sebuah titik terang di antara kecemasan yang bergelayut. Angka enam berarti waktu itu semakin dekat. Hanya tinggal menunggu, sebentar lagi mereka akan melihat wajah mungil buah hati tercinta untuk pertama kalinya.Namun bagi Sadewa dan Alika, angka itu bukan hanya angka. Itu adalah pertarungan antara harapan dan ketakutan yang terus bergumul dalam hati mereka.Ketakutan akan persalinan sesar menjadi momok yang selama ini tak pernah mereka bicarakan dengan suara. Bisu namun nyata. Sejak awal, perut Alika terlihat jauh lebih besar dari kehamilan normal lainnya. Ukuran dan usia kandungannya tampak unik dan tidak seperti kehamilan biasa. Waktu berjalan melebihi bulan-bulan yang seharusnya. Itu membuat cemas. Tidak hanya Alika, tapi juga Sadewa. Namun keduanya memilih menyimpannya dalam doa, berharap semesta memberikan jalan kemudahan, dan bukan pertarungan

  • Dinodai adiknya, dinikahi kakaknya   Bab 56

    11 bulan usia kandungan Alika,Waktu tengah malam.Jam menunjukkan pukul 12 lewat beberapa puluh menit, suara jarum jam mengalun lembut mengikuti irama dan membiarkan angin malam beserta semesta mendengar nya. Alika masih terlelap di dalam tidur nya, berbaring di dalam pelukan Sadewa dan tenggelam sejenak dalam alam mimpi nya. Sejujurnya sejak pagi dia merasa aneh dengan kondisi tubuh nya, perut besar nya sudah mulai sesak dan terasa turun kebawah. Sebentar-sebentar perut nya terasa berputar-putar tidak menentu tapi dia mencoba untuk tidak mengeluh. Sejak siang mencoba mengistirahatkan diri nyatanya dia tidak berhasil memejamkan bola matanya. Saat pukul 9 malam Sadewa membawa nya tidur, dia mencoba melelapkan diri sejenak tapi rupanya gagal. Setelah perjuangan panjang akhirnya sempat tertidur dalam beberapa waktu, sayang putaran di perut yang kembali datang tiba-tiba lagi-lagi membuat Alika terjaga dan merasa tidak nyaman oleh keadaan.Alika langsung tersentak terjaga, mengalami lagi

  • Dinodai adiknya, dinikahi kakaknya   Bab 55

    Sang dokter, perempuan paruh baya yang berwajah lembut dan mata penuh pengertian, hanya tersenyum kecil. Senyumnya profesional, tenang, dan penuh empati. Ia menatap Alika dan Sadewa secara bergantian sebelum menjelaskan.“Secara medis,” katanya, “hubungan suami istri dapat membantu mempercepat proses persalinan. Air mani mengandung prostaglandin, yaitu zat alami yang bisa membantu melunakkan dan mematangkan serviks. Selain itu, stimulasi fisik terhadap rahim juga dapat merangsang kontraksi ringan. Tapi tentu saja, semua itu hanya dilakukan jika kondisi kandungan aman dan dalam pengawasan.”Sadewa kembali menarik napas dalam. Pandangannya tetap fokus, tetapi ada bayangan pikiran yang bergerak cepat di balik matanya. Ia tahu Alika semakin malu, dan mungkin—jika ia boleh jujur—juga sedang dihinggapi perasaan bersalah yang selama ini hanya mereka berdua yang tahu.Karena kenyataannya, meskipun mereka telah resmi menikah di hadapan keluarga, masyarakat, dan hukum negara, mereka belum perna

  • Dinodai adiknya, dinikahi kakaknya   Bab 54

    Suasana di ruang periksa itu terasa amat sunyi. Bukan sunyi yang nyaman, melainkan sunyi yang padat oleh gelisah, seperti kabut pekat yang tak kasat mata namun begitu nyata. Hanya suara detak jam dinding yang terdengar pelan, berdenting seirama dengan degup jantung yang dipenuhi kekhawatiran. Sementara, desahan napas cemas dari dua manusia yang tengah menanti kejelasan seolah menjadi irama latar dari drama sunyi yang tengah berlangsung.Alika duduk dengan punggung sedikit kaku. Wajahnya pucat, namun ada keteguhan samar yang berusaha dipertahankan. Bola matanya menatap lurus ke arah sosok perempuan di hadapannya—seorang dokter kandungan yang berseragam putih bersih, duduk tenang dengan wajah lembut, mata teduh, dan suara yang berbicara seolah tanpa tekanan, namun penuh ketegasan.Sejak mereka masuk ke ruangan itu, tangan Alika tak pernah melepaskan jemari Sadewa. Bahkan ketika ia mencoba menarik napas dalam, menggenggam erat tangan suaminya terasa jauh lebih menenangkan daripada kata-k

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status