LOGINSekarang beginilah aku, terjebak dalam poligami yang kian hari kian menggerus keyakinanku akan janji janji yang diucapkan Mas Albi. Mungkin baginya, dia sudah berusaha adil dengan maksimal, tapi di mataku ... tidak ada yang maksimal, semuanya minimal dan keterpaksaan. Dia lebih bahagia dengan filza sementara kepulangannya ke rumah kami hanya formalitas yang tak bisa dia hindari.
Anggaplah kedua putriku yang menahan bahtera ini agar tetap berlayar dan tidak oleng diterpa gelombang, tapi, di sisi lain, bidukku rapuh. Kesedihan dan kecemburuan ini, serta mungkin rasa dengki akan kemesraan mereka perlahan melubangi hati. Aku kehilangan kepercayaanku pada Mas Albi. Aku sangat kecewa padanya.*Minggu pagi dia kembali ke rumah, kembali setelah kemarin mengabaikan permintaan anak anak ke taman hiburan. Dia masuk rumah, mengucapkan salam dan menyapa seakan tidak pernah terjadi apa-apa. Anak anak hanya menatapnya dengan tatapan kecewa, sementara ia terus menyunggingkan senyum, seolah senyum itu bisa mengobati luka anak anakku yang patah hati. Dia bawakan mainan dan boneka seakan benda benda itu bisa mengganti momen bersamanya. Lama lama, kuperhatikan suamiku semakin tidak berperasaan."Apa kabar Sayang, kamu terlihat segar habis mandi. Kamu cantik dengan rambut terurai dan basah seperti itu."Sikap suamiku seperti ciri khas lelaki yang suka berselingkuh. Sikap mereka mendadak baik dan manis untuk menutupi dosa yang mereka perbuat. Bedanya, yang ini sudah menikah. Kemungkinan lain, semalam ia sangat bahagia. Sehingga sisa kesenangan itu lekat di hatinya. Masya Allah."Terima kasih atas pujiannya, kau juga tampak semakin tampan, semakin rupawan karena sudah ...." Ah, napasku tertahan. Aku tak ingin melanjutkan ucapanku."Ada apa? Sudah apanya?" tanyanya mengernyit heran."Lupakan saja," jawabku sambil menjauhinya. Tapi seperti biasa, dia akan meraih pinggangku dan memelukku dengan puluhan ciuman dari belakang."Apa kau marah? ya, kau marah, kau kecewa. Aku datang untuk menebus semua itu.""Jangan bicara omong kosong. Makanlah," ucapku melepas rangkulan tangannya. Entah kenapa aku tak bergairah untuk bermesraan. Aku kehilangan mood dan keinginan. Aku juga merasa lesu saat bertemu, hampa saat bersama. Aku benar benar akan kehilangan rasa."Mau makan, tapi disuapi Ummi," godanya ambil mencium ujung hidungku."Tidak usah, Mas, saya masih banyak pekerjaan," jawabku sambil mendecak kecil, kutinggalkan dia yang nampak kecewa juga. Aku tahu mungkin dia mulai kesal dengan sikapku, tapi, apa boleh buat, semakin memaksakan diri bersikap manis, semakin aku merasa terluka. Semakin mendekat pada Mas Albi, semakin diri ini seolah melihat bayang wanita itu di belakangnya. Aku tersiksa dengan perasaan dan hatiku sendiri. Aku benar benar tersiksa.Kututup pintu balkon dekat kamar setelah selesai menjemur handuk. Tiba tiba Mas Albi datang dan langsung memelukku. Dirangkulnya tubuh ini erat, lalu detik berikutnya dia membopongku ke atas tempat tidur."Hei, ada apa?""Mengapa sikapmu seakan kau tidak tahu bahwa aku ingin bercinta? Aku merindukanmu Ummi."Biasanya aktivitas intim antara suami dan istri adalah bagian favorit dan yang paling indah dalam hubungan kami. Aku senang melakukannya, aku bisa bergelayut di dada Mas Albi sepuasnya, aku bisa merasakan hangat tubuhnya tanpa berjarak sehelai benang, bisa mencium bibirnya dan dipeluk tangan kekar itu tanpa ada yang menganggu kami. Tapi entah kenapa, semuanya beda.Dia mencumbuku, mencium setiap inchi wajahku dengan penuh kasih, melumat bibir ini tanpa respon dariku. Sesaat ia menghentikan perbuatannya, menatap mataku yang kosong oleh pikiran dan ketidak-tenangan."Ada apa Ummi, mengapa aku merasa kalau tubuhmu yang di sini tapi jiwamu entah ada di mana.""Aku sedang lelah," jawabku sambil mendorong dirinya dari atasku. Dia berguling ke kiri sambil menghela napas kecewa. Dia letakkan kepalanya di bantal sambil menatapku membenahi baju."Kenapa kau menghindariku?""Kau ingin jawaban bohong atau jujur?""Keduanya.""Aku baik saja," jawabku. Ia mengernyit, menggeleng tanda tak percaya."Lalu ...? Kenapa kau begitu?""Aku ... entahlah bagaimana caraku untuk menjelaskan Mas, aku sedang tidak bergairah untuk bercinta.""Bukankah hal itu yang kau sukai?""Aku memang suka, tapi, ada saatnya aku merasa lelah.""Kau sedang lelah atau sedih?" tanyanya yang coba mengoreksi diriku."Mungkin keduanya," jawabku sambil mengangkat bahu. Aku bangun, tapi dia menarik gamisku. Dia memaksaku untuk duduk di sampingnya, di atas peraduan kami yang empuk dan hangat."Tolong jujurlah, apa ada hal yang tak kau sukai?""Aku harus bagaimana? Jika ke utarakan perasaan dan keharapanku maka kau akan selalu marah aku akan terkesan melawan dan tidak bersyukur juga akan banyak hal lain yang akan membuatmu tidak bahagia.""Begitukah? Apakah aku seburuk itu?""Tidak juga, Aku hanya tidak mau membuatmu tak nyaman.""Aku tidak mau berada dalam zona nyaman, katakan saja Jika ada hal yang mengganjal di hatimu. Insya Allah aku akan perbaiki diriku."Mendengarnya aku hanya bisa menghela nafas, aku tidak bisa membahas tentang istri barunya dan bagaimana ketimpangan yang dia lakukan selama ini, jika aku membahasnya tentu itu akan berujung pertengkaran dan hal yang tidak menyenangkan. Dia akan menghindari perdebatan lalu kembali ke rumah filsa dan berbahagia di sana. Jadi, aku sangat dilema dan salah."Apa ini tentangku, atau Filza?""Tidak perlu dibahas. Aku akan ke kamar anak anak untuk menyiapkan alat tulis dan pakaian sekolah.""Tidak Aini..." Sekali lagi dia menarik tanganku. "Percakapan ini belum tuntas, kau tidak sedang baik baik saja. Ada hal yang membuatmu tak senang, tolong katakan yang sebenarnya.""Mas ... Jika aku bilang semuanya baik-baik saja maka percayalah padaku bahwa semuanya baik-baik saja. Jangan memperpanjang pembicaraan yang tidak penting sebab aku tidak mau membahas apapun. Daripada kau berguling seperti itu sebaiknya kau mengajak anak-anak bermain atau pergi ke tempat kesukaan mereka." Aku mulai tak sabar dan marah."Kok marah sih?""Aku tidak marah, hanya saja, aku tak ingin kau mendesak percakapan yang sama sekali tak penting. Ketika kau kembali ke rumah aku ingin kau menikmati waktu denganku dan anak-anak bukan menyulut pertengkaran atau mencari perdebatan. Aku lelah Mas! sangat lelah!" Mungkin benar masalah rumah tangga yang membelit perasaanku mulai membuat diri ini depresi dan tidak bisa mengendalikan diri, buktinya, aku mulai berteriak dan memarahi suami. Aku harus bagaimana?Ah, kenapa jadi begini lagi. Hmm, kalau aku diam saja, maka kisah lama akan terulang kembali. Sebenarnya secara tidak langsung Mas Albi juga menyimak percakapan kami, hanya saja ia pura pura tidak mendengar dan tidak peduli."Oh, hehe, benarkah? Uhm ... kurasa kau akan punya kehidupan lebih baik setelah ini. Kau tumbuh jadi wanita yang terbuka dan mendewasa sekarang.""Aku menyesal tidak bersikap baik seperti ini dari dulu.""Sudahlah, jangan ungkit masa lalu, karena dari sana kita membuat kesalahan dan belajar untuk tidak mengulanginya lagi. Ayo makan" ucapku sambil meraih sendok saji.Di meja kaca, terhidang aneka lauk dan sayur yang dia letakkan dalam mangkuk kaca dengan sisi keemasan, piring dan gelas terlihat mewah dan ditata cantik di meja, ada gulai ayam, tumis brokoli wortel, ikan sambal dan aneka makanan lain. Aku benar benar terkejut bahwa wanita ini akhirnya bisa mengurus rumah dan menyambut tamu dengan baik."Kelihatannya enak," gumamku sambil duduk dan mencicipi makanan i
"Kalau kau ragu untuk memulai percakapan maka aku yang akan menghubungi filsa untukmu," ucapku lembut."Ya, tolong lakukan itu," jawabnya dengan binar mata penuh harap."Kuharap dia merespon baik dan kita bisa bertemu dengan damai, tanpa air mata dan luka lagi.""Semoga saja," desah Mas Albi sambil menganggukkan kepala.*Setelah Mas Albi ke kantor, tugas tugas rumah sudah beres, aku segera mengambil inisiatif untuk menghubungi mantan maduku yang kini tinggal dengan kedua orang tuanya.Kupencet nomor ponselnya dan berharap bahwa itu masih nomor yang sama namun ternyata sudah tidak aktif. Untungnya aku menyimpan nomor telepon rumah ibunya Filza jadi aku segera menghubunginya."Halo, Assalamualaikum Bu," sapaku berhati hati."Halo, walaikum salam, Nak Aini, apa kabar Nak? kok tumben baru menelpon sekarang ya?""Begini Bu, Mas Albi ingin menjumpai Gibran," jawabku."Oh tentu saja, kalian bisa mendatanginya ke rumah," jawab Ibunya Filza."Apakah itu akan baik Bu?""Tentu saja, tak ada ma
"Kau yakin dengan ini? Jika kau merasa tidak baik-baik saja, Gibran boleh kau titipkan dulu pada kami?""Tidak usah, aku sudah rindu anakku dan ingin membawanya pulang.""Tapi Filza ....""Tolong kemasi barang Gibran!" Wanita itu memberi penekanan dengan perintahnya yang terdengar sangat tegas."Baiklah," gumamku lirih. "... Kami memang tidak berhak menahan anakmu tetap di sini Jadi kau tidak perlu terlalu tegang dan marah.""Aku akan berterima kasih jika kau melakukannya dengan cepat Mbak," jawabnya."Iya, baiklah." Aku beranjak ke kamar sambil memperhatikan wajah Mas Albi sementara pria itu hanya terlihat bingung dan tercenung.Kukemasi barang barang Gibran, pakaian selimut, batal, botol susu hingga buku edukasi dini yang setiap malam kubacakan untuknya. Entah kenapa, hatiku merasa sangat berat dan sedih, ada rasa sulit melepaskan dan tidak rela, juga rasa sesak yang menghimpit hati. Aku tahu Gibran bukan anakku, tapi kehadirannya membawa cahaya baru dalam hidupku. Ya Tuhan ... kena
Dua Minggu berlalu setelah percakapan terakhir Mas Albi dengan fIlza, sudah berhari hari wanita itu tak pernah menghubungi lagi, tak memberi kabar atau biasanya meminta Mas Albi untuk mendatanginya.Entah dia sudah berubah pikiran atau hanya sedang sibuk dengan pengobatan, aku tak tahu. Fokusku sekarang adalah mengurus anak dan suami, malah aku beruntung sekali kalau Mas Albi tidak diganggu ganggu lagi.*"Sedang apa Um?" Tanya suamiku yang mendekat di teras belakang."Menjahit," jawabku sambil memperlihatkan kain di tangan dan jarum."Kau tampak ceria, apa ada hal yang membuatku senang.""Lebih tepatnya hal yang membuat kita senang," balas Mas Albi."Apa itu aku penasaran sekali," jawabku antuasias."Lihatlah ini," ucapnya sambil menyodorkan brosur padaku. Brosur itu adalah informasi sebuah perumahan dengan gambar hunian berlantai dua yang terlihat modern dan mewah."Apa ini?""Kupikir rumah kita terlalu kecil untuk 3 orang anak, dan anggota keluarga boleh jadi akan bertambah lagi, j
Itu yang selalu aku ajarkan pada diriku dan kuyakinkan pada hatiku, bahwa suatu hari semua masalah ini akan berakhir dan kami akan hidup bahagia.Boleh jadi kisah yang berputar sekarang ini hanya tentang hidupku dan kegilaan Filza, tentang Mas Albi yang masih saja galau dan kasihan pada mantan istrinya. Tentang aku yang kadang-kadang baik dan merasa iba pada orang yang berbuat zholim, tidak bisa kupungkiri perasaan hatiku selalu ingin bersikap tulus pada orang lain. Mungkin itu sudah alami terjadi.Kubaringkan diriku di dekat suami dan Gibran yang tertidur pulas dengan posisi saling memeluk. Kurapikan rambutku agar tidak berserakan di bantal lalu menyelimuti diri. Mas Albi yang posisinya berada di antara aku dan Gibran segera membalikkan badan dan memeluk diri ini dengan erat."Sayang, aku rindu denganmu," bisiknya."Hmm." Aku hanya menggumam dalam kegalauan pikiranku yang kadang kadang berkecamuk tentang wanita yang sedang dirawat di seberang sana."Bolehkah kita melakukannya malam
"Mas ...." Kupandang suami untuk beberapa saat, dia juga seperti memberi isyarat sebuah harapan akan hatiku tergerak oleh tangisan bocah itu."Kumohon, Aini ...." Mas Albi akhirnya meminta dariku. "Tolong kasihani anakku, dia mencintaimu sebagai ibunya," ucap Mas Albi dengan tatapan sendu."Ah, baiklah." Aku pun tak tega jadinya.Kuhampiri nenek Gibran, kuambil balita itu dari pelukannya lalu menggendongnya dengan erat. Air mataku menetes, pun neneknya yang tak kuasa menahan sedih."Gibran, ternyata hatimu sudah lekat dengan ummi ya?" tanya neneknya sambil mengelus punggung bocah itu. Anak Filza langsung tenang begitu aku memeluk dan menggendongnya dengan penuh kasih."Kalau begini, dia pasti akan menangis dalam pengasuhan Ibu," ucap Ibunda Filsa dengan sedih. "Dibawa bertemu Bundanya juga kondisi bundanya tidak baik, khawatir Gibran akan ditolak dan membuat anak itu sedih.""Kami akan membawanya pulang," ujar Mas Albi meyakinkan ibu."Sungguhkah?""Iya, Bu. Tidak ada alasan untuk men







