Mobil di parkirkan tak jauh dari lokasi acara kami turun dari sana dan langsung berjalan beriringan. Mas Aldi berjalan menggandeng kedua anaknya sementara kedua istrinya berada di belakangnya, yakni aku dan Filsa.
"Mbak Aini, gak nyangka kita kembaran," ujarnya dengan ramah yang terkesan memaksa."Uh hmm, iya," jawabku dengan senyum yang tak kalah terpaksa. Aku geram dalam hati. Model, Payet, warna, semuanya sama, seakan kami anak kembar. Dasar Mas Albi tak punya akal."Tapi, aku kurang suka modelnya, andai masa lebih membiarkan aku sendiri yang memilihkan model tentu tidak akan seperti ini," sambungku."Uh-hmmm, sama." Wanita itu bergumam sambil tersenyum maklum."Lain kali, katakan pada suamimu itu membagi Uang belanja dan biarkan kita sendiri yang membeli pakaian," ucapku sambil mencarikan diri. Rasanya tak tahan lagi berjalan beriringan seakan aku ban serep yang tak dibutuhkan.Melihatku menjauhkan diri, sontak saja Filza tersenyum tipis, lalu dengan santainya dia menarik Fatimah dari tangan Mas Albi, dia beritahu anakku bahwa aku memisahkan diri. Fatimah, teralihkan, dia menghampiriku, wanita itu senang dan langsung menggandeng Mas Albi seakan pria itu miliknya sendiri. Hebat!*Di pertemuan pesta, kami terpaksa membaur lagi, karena Mas Albi memanggilku. Dia memperkenalkan kami pada beberapa anggota keluarga jauh yang belum kami jumpai. Terlihat sekali bahwa keluarga mertua dan suamiku adalah keluarga terhormat, punya pekerjaan dan bisnis yang bagus, mereka terlihat mampu dan berkuasa."Albi, senang melihatmu dan keluargamu,". Ucap seorang Om yang merupakan seorang kontraktor proyek."Iya, Om, kenalkan ini istri saya Aini dan filsa.""Senang berjumpa kalian, Nak.""Iya, Om," jawab kami serempak."Jadi, katakan, dari dua bidadari ini manakah yang lebih dekat denganmu," ucap pria itu bercanda. Aku melirik Mas Albi, menunggu jawaban di mana ia terlihat gugup dan tak nyaman."Sebenarnya keduanya, Om, mereka membahagiakanku.""Alhamdulillah. Ini istrimu yang muda ya?" tanyanya sambil menunjuk Filza."Iya, Om, saya." Jawab Filza."Kamu cantik sekali, selera Albi sangat luar biasa. Semoga kalian langgeng selamanya.""Amin Om."Wanita itu terlihat bahagia mendapatkan pujian dari Omnya suami kami, sementara aku kesal dan benar-benar sakit hati sekali. Apakah karena aku yah telah lebih dahulu menikahi Albi jadi terlihat tua dan buruk rupa? Allahuakbar.*Kini kami terpisah, Mas Albi menggandeng Filsa dan mengajaknya untuk berkenalan dengan orang yang belum ia temui sejak pernikahan. Sebenarnya itu wajar karena sudah kewajiban seorang suami memperkenalkan anggota keluarganya kepada sang istri. Tapi, kenapa juga aku harus sakit hati ya? Apakah karena Mas Albi menggandengnya dengan erat dan senyumnya terlihat sangat bahagia dan bangga, ataukah kebencianku kepada Filza yang membuatku tidak terima? Atau ... Aku yang kini berdiri di balik tiang beton meranggas seakan-akan tidak diperdulikan, hanya melihat mereka dari kejauhan sambil menahan miris dan merasa terabaikan?"Oh Tuhan, ini buruk sekali. Mengapa aku harus merasakannya."Bahkan sampai acara makan malam, kami mengantri makan. Aku mau ngambilkan makanan untuk kedua anakku sementara Mas Albi mengambilkan makanan untuk dia dan istri barunya. Mesra sekali bukan. Argggg ... Aku cemburu."Mestinya .... Kalau dia tidak hendak mengambilkan aku makanan ... Harusnya dia menawariku apakah aku minta bantuan atau minimal basa-basi." Ah, aku hanya bisa menghela napas sambil menyaksikan tumpukan makanan yang kini terlihat hambar dan menghilangkan seleraku."Bunda gak makan?""Gak, Bunda gak selera," jawabku yang memperhatikan kedua anakku duduk di meja bundar menghadapi hidangan yang lezat.Aku sangat berharap di dalam hati agar filsafat dan Mas Albi tidak perlu bergabung ke meja kami tapi ... Harapanku ternyata terlambat karena tiba-tiba saja mereka menarik kursi dan duduk dengan santainya.Ya Allah ...."Mungkin aja Bunda kamu lagi diet Mbak Fatimah, karena dia merasa gemuk dan ingin secantik dulu," timpal filsa sambil bercanda."Gemuk pun kau tetap cantik Ummi, jadi makanlah," ucap Mas Albi menimpali.Kucengkeram tanganku yang gemetar karena tak kuasa menahan emosi, andai ini tidak di keramaian umum aku sudah menampar mulut Filza yang sejak tadi sikap dan ucapannya terua meremehkanku."Ahahah, cantik atau jelek, aku telah lebih dahulu bersama dengan orang yang kini bersamamu. Aku mendapatkan apa yang kuinginkan dan bahagia sekali. Kuizinkan dia menikah demi refreshing dan menyegarkan pikirannya. Tapi tetap saja kan, hiburan hanya hiburan, dia tetap akan kembali ke prioritasnya yang semula." Jawabanku membungkam mereka berdua. Terlebih Filza yang langsung memberengut mendapatkan jawaban semacam itu."Ummi ... sudah ya, kita makan dulu ....""Aku mau pulang lebih dahulu Mas. Aku akan naik taksi," jawabku tegas."Kenapa?""Karena aku sudah tak tahan lagi bersandiwara akrab dengan selirmu!"Mendengar jawabanku yang seakan menghinakannya wanita itu hanya menggigit bibir sambil mendesis ke arahku. Kelihatannya dia ingin melawan tapi karena takut Mas Albi akan menyalahkannya maka dia tetap diam saja."Ummi, tungggu! Bukan cara dan prinsip hidup ummi, pergi dari pesta dengan cara seperti ini." Ternyata Mas Albi mengikuti diriku dan menarik tangann ini tepat di luar gedung acara."Sudah cukup kebungkaman ini membuat istri mudamu semakin melunjak. Maaf dari hati yang terdalam, ternyata imanku tak setebal itu, Bi.""Astagfirullah, Jangan bicara dalam keadaan di kuasai amarah. Istighfar dan tenangkan hatimu, kembalilah bersamaku ke dalam."Dengar, jika aku kembali maka aku berkesempatan mengejek wanita itu--bahwa Mas Albi tetap menjemputku semarah apapun diri ini-- tapi aku malas membuktikan diri. Kupilih opsi kedua di mana aku tak perlu memupuk sakit hati. Lebih baik pulang dan makan di rumah lalu tidur daripada aku bertahan sementara perasaan ini sakit dan jiwa ini lelah."Ent
Suamiku pulang sebelum pukul tujuh, seperti biasa dia mengucapkan salam, langsung mengambil handuk dan masuk ke kamar mandi. aku yang duduk di depan kaca rias hanya memperhatikan bagaimana dia melemparkan pakaian-pakaiannya ke lantai. kupungut pakaian itu lalu memasukkannya ke dalam keranjang sambil menghela nafas. Seperti biasa, baju kotor akan terlempar padaku dan dalam keadaan tampan dan menggunakan pakaian bersih mas Albi selalu menemui filsa dan berbahagia dengannya.*"Ada apa denganmu sejak tadi sikapmu dingin dan diam saja bahkan kau nyaris tidak menjawab salamku ketika aku masuk ke dalam kamar," tanyanya ketika keluar dari pintu kamar mandi."Tidak ada.""Mengapa kau membisu, Apakah kecemburuan itu sangat besar di hatimu hingga kau lupa untuk menghargai suamimu? Tahukah kamu bahwa dalam hidupku kau tetap istri pertama dan yang utama di hati ini," bujuknya pelan sambil mengusap rambutku "Jangan berdusta!" Aku langsung berdiri mensejajarkan wajahku dengannya."Jika kau lebih
"Aku akan ke tempat Filza sore nanti, apa kau ingin menitipkan sesuatu sepulangnya?"Wow, dia menawariku sesuatu, tumben dia melakukannya."Tidak ada Mas, terima kasih."Bukannya aku sok Sholehah, tapi aku memang sedang tidak membutuhkan apa apa."Yakin, kau tidak mau dibelikan martabak susu keju?""Tidak, Mas," jawabku dengan senyum getir."Baiklah, aku berangkat dulu." Dia mendekatiku lalu mengecup kening ini dengan penuh kasih sayang."Aku harap kau tak akan memupuk kecemburuan lagi. Memang saat wanita cemburu seorang pria harusnya mengalah, karena mereka akan mendebat perasaan dan hati. Aku minta maaf atas kesalahanku yang sudah menuntutmu barusan."Sepertinya luka di hatiku seakan diringankan dengan permintaan maaf darinya. Meski hanya ucapan kecil, aku merasa beban dipundakku berkurang.Kuiringi kepergian Mas Albi berangkat kerja dengan doa dan harapan semoga Tuhan akan menjaganya di mana pun dia berada.*"Ummi, boleh kita ke taman hiburan malam Minggu dengqn Abi?" tanya Fatim
Sekarang dia minta aku tidak menempatkan akal dan pikiranku setara dengan ak dan pikiran anak anak. Subhanallah, kalimat yang benar-benar menyinggung perasaanku. Hampir, hampir 10 tahun Kami bersama, tapi belum pernah dia menyakitiku selain ketika dia telah bersama dengan filza. Aku terkejut dan tidak menyangka hatiku tertusuk dan durinya enggan tercabut dari sana. Jika ditanya tentang air mata aku sudah tidak bisa menangis lagi karena aku sudah lebih banyak meneteskan air mata bahkan sebelum dia resmi menikahi istri barunya."Ummi, izinkan saya menikah, saya ingin meringankan bebanmu dalam mengurusku juga kau akan punya adik madu dalam mengurusi mertuamu yang mulai sakit-sakitan."Seperti reaksi wanita pada umumnya tentu saja saat itu aku menolak, mentah-mentah aku menolak permintaan konyol itu karena aku merasa masih bisa mengurus Mas Albi dengan baik, juga ibunya yang sakit stroke dan ayahnya yang sudah pensiun. Aku tidak mau membagi perasaanku dan juga cintaku yang tulus, Aku ti
Sekarang beginilah aku, terjebak dalam poligami yang kian hari kian menggerus keyakinanku akan janji janji yang diucapkan Mas Albi. Mungkin baginya, dia sudah berusaha adil dengan maksimal, tapi di mataku ... tidak ada yang maksimal, semuanya minimal dan keterpaksaan. Dia lebih bahagia dengan filza sementara kepulangannya ke rumah kami hanya formalitas yang tak bisa dia hindari.Anggaplah kedua putriku yang menahan bahtera ini agar tetap berlayar dan tidak oleng diterpa gelombang, tapi, di sisi lain, bidukku rapuh. Kesedihan dan kecemburuan ini, serta mungkin rasa dengki akan kemesraan mereka perlahan melubangi hati. Aku kehilangan kepercayaanku pada Mas Albi. Aku sangat kecewa padanya.*Minggu pagi dia kembali ke rumah, kembali setelah kemarin mengabaikan permintaan anak anak ke taman hiburan. Dia masuk rumah, mengucapkan salam dan menyapa seakan tidak pernah terjadi apa-apa. Anak anak hanya menatapnya dengan tatapan kecewa, sementara ia terus menyunggingkan senyum, seolah senyum i
Seharusnya aku tak banyak mengeluh tentang hidupku, harusnya aku jalani saja apa yang terjadi dan sisanya kupasrahkan pada Yang Kuasa. Aku akan duduk diam sambil mengukur kemampuan dan sabarku. Jika semua itu sudah diambang batas kemampuan, maka mungkin sudah waktunya untuk mundur dan menyerah.*Setelah menghidangkan nasi goreng dan telur ceplok, aku melanjutkan kembali tugas rumah yang tertunda. Kuantar anak anak ke bis sekolah, setelah mereka naik, aku lalu menutup kembali pintu gerbang rumah. "Ummi, Sepatuku yang warna coklat di mana ya?" tanya Mas Albi."Ada di rak bagian bawah, Bi.""Baiklah. Kemarilah," perintahnya."Ya?""Ummi lupa bahwa setiap pagi um selalu mencium tangan dan merangkulku? Mana ucapan selamat bekerja, yang setiap kali dikatakan pagi hari?""Maaf aku lupa," jawabku asal."Astagfirullah, mana bisa lupa.""Sesekali wanita khilaf itu wajar Mas, asal khilafnya jangan parah," jawabku mencium tangannya."Aku tidak paham," ucapnya sambil mengernyit, aku memang
Setelah kepergiannya meninggalkan rumah sembari membawa amarahnya yang besar, tingallah diriku sendiri. Menangis sambil menyandarkan kepala ke sisi dinding dan memeluk kedua lututku.Aku menyesal, mengapa aku tidak berkuat saat itu, mengapa aku tidak menentang pernikahan Mas Albi dengan segala usaha dan kemampuanku. Mengapa aku begitu lemah dan mau mau saja di madu? Mengapa aku begitu bodohnya.Selaksa asa di dalam jiwaku mengajak diri ini untuk mundur saja dari mahligai yang sudah kami bangun bertahun tahun. Buat apa bertahan dalam luka, buat apa mencintai tapi cinta tidak dibalaskan, buat apa berkorban jika orang yang kita tak tunggu tidak peka dengan perasaan. Semakin hari, bukan bahagia yang akan kudapatkan, tapi derita dan kesengsaraan yang menumpuk.Namun, aku sangat mencintai suamiku, jujur aku tak bisa hidup tanpanya. Membayangkan sehari tanpa dia saja hidupku sudah hampa dan kesepian, bagaimana akan kujalani sisa hidup ini dengan kenangan tentangnya. Aku akan sepanjang wakt
"Aku hanya mengutarakan keheranan dan sedikit keberatanku, entah kenapa aku jadinya seperti pembantu di matamu, Mas," jawabku menangis. Aku terjatuh di sudut ranjang lalu tergugu, kehabisan kata kata untuk meluapkan sisi emosionalku.Pria itu masih berdiri di depanku, Tak seperti dulu, dia selalu tidak tega melihatku menangis dan segera membujuk diri ini untuk tenang dan menghentikan air mata. Berbeda dengan sekarang, dia hanya berdiri saja seperti patung, seakan dia senang menyaksikan diriku yang sedih dan tergugu pilu demi dirinya. Mungkin, rasanya keren sekali jika seorang laki-laki sepertinya diperebutkan oleh dua wanita."Apakah aku harus diperebutkan oleh dua lelaki juga agar bisa merasakan sensasi perasaan yang dirasakan Mas Albi sekarang?" Pikiran garang itu muncul di hatiku tiba tiba."Sudah jangan menangis!" Dia tidak mengatakannya dengan lembut melainkan setengah bentakan."Aku harus pergi, jika kau menangis maka aku akan celaka."Apa hubungannya menangis dengan celaka?