Setelah kejadian semalam aku sudah tidak mau banyak bicara dan sedikit menjaga jarak kepada Mas Albi. Ingin kutunjukkan protes dan memperlihatkan padanya betapa aku kecewa tentang hal ini. Iya, keluarga kami memang mapan dan dia memberiku uang belanja tapi ada saatnya ketika aku kehabisan uang di dompet dan tidak punya stok lagi, sementara deposito anak-anak yang kusimpan untuk biaya tabungan pendidikan mereka, tentu tidak bisa diganggu.
Meski Mas Aldi tetap sudah minta maaf dan tetap berusaha membela istri barunya tetap saja itu membuatku tanpa jengkel"Maafkan aku Dan tolong maklumi filsafat mungkin kesibukannya mengurusiku dan Gibran membuat dia lupa segalanya tolong maafkan dia.""Aku juga sibuk mas tapi aku tidak pernah melewatkan apapun terlebih jika itu menyangkut amanah seseorang, seperti yang terjadi pada Fatimah kau sudah mengecewakan anak kita dan event yang sudah lama dia tunggu terpaksa harus dilewatkan." aku menahan jengkel ketika mengatakan itu."Sekarang Fatimah di mana?""Di kamar, pulang sekolah tadi dia sangat lesu dan kecewa juga murung dan sedih, aku sudah berusaha menghiburnya namun dia mengkunci diri seperti biasa begitulah kelakuan putrimu ketika dia merasa sedih.""Aku akan membujuk anakku," jawab Mas aAlbi sambil mendekat ke pintu kamar Fatimah."Fatttum, anakku .. ini Abi, Abi minta maaf atas kejadian ini," ujar Mas Albi sambil mengetuk pintu.Tak lama kemudian anak kami keluar dan dia terlihat menunduk sedih, mas Albi yang paham akan perasaan anaknya langsung memeluk dan menghibur anak sulung kami."Maafkan Abi ya ...""Sejak abi punya istri baru dan Gibran, Abi sudah tidak memperdulikan aku dan Fatin," jawab Fatimah lirih."Tidak itu salah! Abi sangat menyayangimu," jawab Mas Albi."Tetap saja," sanggah anak kami. Mas arbi menatapku dengan penuh keheranan sementara aku hanya menggeleng sambil mengangkat bahu tanda tidak mengerti dan tidak pernah ikut campur, apalagi sampai mengajari."Anak Abi di mata Abi semuanya sama, abi sayang dan sangat mencintainya.""Bukannya Abi sendiri yang bilang bahwa Fatimah harus mengutamakan pendidikan dan kegiatan sekolah. Kenapa sekarang Abi mengabaikan semua itu?""Ya Allah, Abi khilaf dan tidak sengaja maafkan tante Filza yang juga lupa ....""Aku sangat kecewa tapi sudahlah lupakan saja," jawab Fatimah sambil kembali masuk ke kamarnya. Sebenarnya mas Abi masih ingin bicara tapi karena Fatimah sudah menutup pintu suamiku hanya bisa menahan ucapannya di tenggorokan."Lihat apa yang di katakannya?" tanyanya padaku."Aku harus bagaimana Mas?""Jangan sampai anak kita terlihat seperti anak yang kurang asuhan, dia berangsur kurang sopan terhadap orang tua.""Dia hanya kecewa Mas Jadi tolong jangan terlalu dipikirkan. aku akan bicara padanya nanti.""Baiklah, tapi kenapa Uang belanjamu bisa habis secepat itu?""Aku membayar arisan, dan mengirimkan uang untuk ibu karena ada kerabatku yang akan menikah jadi kita harus membantunya.""Oh begitu ya, baiklah akan kuberikan kau uang lagi."***Tiga hari kemudian Mas Albi pulang ke rumah dan kini gilirannya untuk tinggal denganku selama 3 hari. Kusambut kedatangannya dengan membuatkan dia rawon dan sate kesukaannya.Dia terlihat lahap dan bahagia menyantap makanan, setelah selesai makan dia menghampiriku di kamar saat aku sedang menyusun pakaian di lemari."Malam nanti ada acara keluarga Abi berniat mengajak umi untuk pergi beserta anak-anak kita.""Acara apa?""Acara pernikahan anak pak Heri di sana semua keluarga berkumpul dan aku juga ingin mengajak keluarga kita secara lengkap agar bisa berbaur dan berbahagia.""Aku setuju, apa yang harus kupakai.""Pakai gamis berwarna merah yang Abi belikan sebelum Ramadan kemarin, umi terlihat cantik mengenakannya.""Baik," jawabku dengan senyum lebar dan rasa antusias karena merasa ada bangga dan senang akan dibawa suami untuk membaur bersama keluarganyaAku merasa sangat diistimewakanKuambil baju gamis cantik dengan aksen sayap berwarna hitam lalu pakaian yang warnanya senada milik suamiku agar kami terlihat serasi. Kubawa kemeja setrika dan mulai menyalakan setrikanya ke steker listrik.Di saat mulai menyetrika dengan hati senang aku tak sengaja mendengar suamiku sedang berbicara ditelepon karena jaraknya juga tidak cukup jauh." .. ya Bunda, kenakan gamis merah yang Abi belikan di awal Ramadan kemarin, bunda terlihat cantik mengenakannya dan kita akan serasi bersama."Sontak saja aku sangat terkejut, kaget, tanganku gemetar tak menyangka Abi akan mengatakan hal yang sama pada Filza, dia bahkan membelikan gamis dengan warna yang sama di waktu yang sama pula. Kelihatannya suamiku terlihat sangat ingin adil terhadap istri-istrinya tapi aku merasa kecewa dan hancur sekali. Perasaan jengkel dan geramku bercampur menjadi satu."Ya Sayang, nanti Abi jemput, pakaikan Gibran baju yang bagus juga agar Abi bangga dengan anak-anak Abi.""Iya Bi."Mendengarnya air mataku langsung menetes begitu saja, bahkan setrika itu tiba-tiba saja mengenai ujung jemariku dan membuat Aku kaget lalu setrikanya terjatuh ke lantai."Auh!"Mas Albi langsung beristighfar dan menghampiriku."Ada apa umi kenapa umi bisa seceroboh ini?""Aku tidak apa apa," jawabku melihat ujung tanganku yang melepuh."Tidak usah disetrika jika itu menyusahkanmu aku juga tidak mau menyusahkan istriku. Sudah biar aku saja yang menggosok baju, kau pergilah mandi dan dandan cantik," ujarnya sambil mendorong lembut diriku ke kamar. Aku memang masuk ke kamar dan menutup pintu tapi dia tidak pernah tahu bahwa di dalam kamar mandi aku menangis sesenggukan dan tidak sanggup menahan kesedihanku.*Tak selesai sampai di situ ketika kami sudah berangkat masa Albi harus berbelok ke rumah filsa. Hal ini yang bener-bener sangat membuatku malas dan jengkel karena aku sangat menghindari pertemuan dengan wanita menjijikan itu. Dia memang tidak merebut suamiku seperti pelakor pada umumnya Tapi tetap saja kemauannya untuk menjadi istri kedua sudah membuat diriku kecewa. Nampak sekali bahwa dia seperti tidak menemukan figur lelaki lain dan sungguh gatal sekali wanita itu terhadap suami orang.Ketika sudah keluar dari pintu gerbang dia membuka pintu depan di mana Aku sedang duduk bersama Mas Albi."Mas biar aku aja yang di depan karena aku suka pusing dan mabuk juga agar Gibran merasa nyaman juga.""Yang tua harus duduk di depan, selain untuk menghargai juga untuk menghormati bahwa yang pertama dialah yang utama!" Jawabku sambil menahan kesal."Ya ampun ...." Wanita itu berdecak dan langsung membuka pintu belakang.Itu kesalahan Mas Albi yang kedua yang ingin menyatukan kami dan memaksa kami untuk akrab di dalam mobil yang sama.Ah, kenapa jadi begini lagi. Hmm, kalau aku diam saja, maka kisah lama akan terulang kembali. Sebenarnya secara tidak langsung Mas Albi juga menyimak percakapan kami, hanya saja ia pura pura tidak mendengar dan tidak peduli."Oh, hehe, benarkah? Uhm ... kurasa kau akan punya kehidupan lebih baik setelah ini. Kau tumbuh jadi wanita yang terbuka dan mendewasa sekarang.""Aku menyesal tidak bersikap baik seperti ini dari dulu.""Sudahlah, jangan ungkit masa lalu, karena dari sana kita membuat kesalahan dan belajar untuk tidak mengulanginya lagi. Ayo makan" ucapku sambil meraih sendok saji.Di meja kaca, terhidang aneka lauk dan sayur yang dia letakkan dalam mangkuk kaca dengan sisi keemasan, piring dan gelas terlihat mewah dan ditata cantik di meja, ada gulai ayam, tumis brokoli wortel, ikan sambal dan aneka makanan lain. Aku benar benar terkejut bahwa wanita ini akhirnya bisa mengurus rumah dan menyambut tamu dengan baik."Kelihatannya enak," gumamku sambil duduk dan mencicipi makanan i
"Kalau kau ragu untuk memulai percakapan maka aku yang akan menghubungi filsa untukmu," ucapku lembut."Ya, tolong lakukan itu," jawabnya dengan binar mata penuh harap."Kuharap dia merespon baik dan kita bisa bertemu dengan damai, tanpa air mata dan luka lagi.""Semoga saja," desah Mas Albi sambil menganggukkan kepala.*Setelah Mas Albi ke kantor, tugas tugas rumah sudah beres, aku segera mengambil inisiatif untuk menghubungi mantan maduku yang kini tinggal dengan kedua orang tuanya.Kupencet nomor ponselnya dan berharap bahwa itu masih nomor yang sama namun ternyata sudah tidak aktif. Untungnya aku menyimpan nomor telepon rumah ibunya Filza jadi aku segera menghubunginya."Halo, Assalamualaikum Bu," sapaku berhati hati."Halo, walaikum salam, Nak Aini, apa kabar Nak? kok tumben baru menelpon sekarang ya?""Begini Bu, Mas Albi ingin menjumpai Gibran," jawabku."Oh tentu saja, kalian bisa mendatanginya ke rumah," jawab Ibunya Filza."Apakah itu akan baik Bu?""Tentu saja, tak ada ma
"Kau yakin dengan ini? Jika kau merasa tidak baik-baik saja, Gibran boleh kau titipkan dulu pada kami?""Tidak usah, aku sudah rindu anakku dan ingin membawanya pulang.""Tapi Filza ....""Tolong kemasi barang Gibran!" Wanita itu memberi penekanan dengan perintahnya yang terdengar sangat tegas."Baiklah," gumamku lirih. "... Kami memang tidak berhak menahan anakmu tetap di sini Jadi kau tidak perlu terlalu tegang dan marah.""Aku akan berterima kasih jika kau melakukannya dengan cepat Mbak," jawabnya."Iya, baiklah." Aku beranjak ke kamar sambil memperhatikan wajah Mas Albi sementara pria itu hanya terlihat bingung dan tercenung.Kukemasi barang barang Gibran, pakaian selimut, batal, botol susu hingga buku edukasi dini yang setiap malam kubacakan untuknya. Entah kenapa, hatiku merasa sangat berat dan sedih, ada rasa sulit melepaskan dan tidak rela, juga rasa sesak yang menghimpit hati. Aku tahu Gibran bukan anakku, tapi kehadirannya membawa cahaya baru dalam hidupku. Ya Tuhan ... kena
Dua Minggu berlalu setelah percakapan terakhir Mas Albi dengan fIlza, sudah berhari hari wanita itu tak pernah menghubungi lagi, tak memberi kabar atau biasanya meminta Mas Albi untuk mendatanginya.Entah dia sudah berubah pikiran atau hanya sedang sibuk dengan pengobatan, aku tak tahu. Fokusku sekarang adalah mengurus anak dan suami, malah aku beruntung sekali kalau Mas Albi tidak diganggu ganggu lagi.*"Sedang apa Um?" Tanya suamiku yang mendekat di teras belakang."Menjahit," jawabku sambil memperlihatkan kain di tangan dan jarum."Kau tampak ceria, apa ada hal yang membuatku senang.""Lebih tepatnya hal yang membuat kita senang," balas Mas Albi."Apa itu aku penasaran sekali," jawabku antuasias."Lihatlah ini," ucapnya sambil menyodorkan brosur padaku. Brosur itu adalah informasi sebuah perumahan dengan gambar hunian berlantai dua yang terlihat modern dan mewah."Apa ini?""Kupikir rumah kita terlalu kecil untuk 3 orang anak, dan anggota keluarga boleh jadi akan bertambah lagi, j
Itu yang selalu aku ajarkan pada diriku dan kuyakinkan pada hatiku, bahwa suatu hari semua masalah ini akan berakhir dan kami akan hidup bahagia.Boleh jadi kisah yang berputar sekarang ini hanya tentang hidupku dan kegilaan Filza, tentang Mas Albi yang masih saja galau dan kasihan pada mantan istrinya. Tentang aku yang kadang-kadang baik dan merasa iba pada orang yang berbuat zholim, tidak bisa kupungkiri perasaan hatiku selalu ingin bersikap tulus pada orang lain. Mungkin itu sudah alami terjadi.Kubaringkan diriku di dekat suami dan Gibran yang tertidur pulas dengan posisi saling memeluk. Kurapikan rambutku agar tidak berserakan di bantal lalu menyelimuti diri. Mas Albi yang posisinya berada di antara aku dan Gibran segera membalikkan badan dan memeluk diri ini dengan erat."Sayang, aku rindu denganmu," bisiknya."Hmm." Aku hanya menggumam dalam kegalauan pikiranku yang kadang kadang berkecamuk tentang wanita yang sedang dirawat di seberang sana."Bolehkah kita melakukannya malam
"Mas ...." Kupandang suami untuk beberapa saat, dia juga seperti memberi isyarat sebuah harapan akan hatiku tergerak oleh tangisan bocah itu."Kumohon, Aini ...." Mas Albi akhirnya meminta dariku. "Tolong kasihani anakku, dia mencintaimu sebagai ibunya," ucap Mas Albi dengan tatapan sendu."Ah, baiklah." Aku pun tak tega jadinya.Kuhampiri nenek Gibran, kuambil balita itu dari pelukannya lalu menggendongnya dengan erat. Air mataku menetes, pun neneknya yang tak kuasa menahan sedih."Gibran, ternyata hatimu sudah lekat dengan ummi ya?" tanya neneknya sambil mengelus punggung bocah itu. Anak Filza langsung tenang begitu aku memeluk dan menggendongnya dengan penuh kasih."Kalau begini, dia pasti akan menangis dalam pengasuhan Ibu," ucap Ibunda Filsa dengan sedih. "Dibawa bertemu Bundanya juga kondisi bundanya tidak baik, khawatir Gibran akan ditolak dan membuat anak itu sedih.""Kami akan membawanya pulang," ujar Mas Albi meyakinkan ibu."Sungguhkah?""Iya, Bu. Tidak ada alasan untuk men