Naura Serene terbangun dari tidurnya, mendapati dirinya yang sudah berada diatas Altar pernikahan.
"Apa yang terjadi?" celetuk Naura tanpa sadar, dia melihat ke sekeliling sesaat setelah ia bangun dari tidurnya. Disampingnya terdapat sebuah peti mati yang bersegel dengan jimat kuno, bahkan didepannya banyak tamu yang duduk di barisan kursi. Dia melihat Ayah dan juga ibu tirinya yang duduk dengan santai di kursi bagian depan. Mereka yang melihatnya terbangun, lantas berjalan pelan ke arahnya. Kedua bola mata Naura membulat sempurna. Teringat sikap ayahnya dan ibu tirinya semalam yang tiba-tiba baik terhadapnya bahkan semalam mereka berdua meminta maaf atas kekejaman yang mereka buat selama ini. Ia kira, perubahan sikap dari kedua orangtuanya kepadanya karena mereka ingin berubah, ternyata mereka memiliki tujuan lain. "Pengantin wanita sudah terbangun!" Seru suara seseorang. Saat ayah dan ibu tirinya berdiri dihadapannya, Naura yang masih lemas bertanya, "apa yang kalian lakukan?" Ayah kandung Naura, Thomas Alfa tersenyum licik. "Ayah akan menikahkanmu pada Tuan muda Liam Arnold." Kedua bola mata Naura langsung membelalak sempurna. Siapa yang tidak mengenal Liam dari keluarga Arnold? Liam Arnold adalah pewaris tunggal keluarga Arnold yang menderita penyakit aneh. Hidupnya digadang-gadang tidak akan bertahan lama. Dan seminggu yang lalu, seluruh kota dihebohkan dengan berita kematian mendadak Liam Arnold. Naura menggeleng, "Tidak ayah, Tuan muda Liam sudah meninggal. Aku tidak mungkin menikah dengan seorang yang sudah menjadi mayat." Naura berusaha untuk bangkit, tapi kakinya terasa lunglai. Bahkan tubuhnya tidak bertenaga. Ibu tirinya, Diana Alfa menimpali, "kamu harus menjadi tumbal. Agar Tuan Muda Liam bisa meninggal dengan damai di alam baka." Air mata luruh dari kedua pelupuk mata Naura, ia menatap ayahnya dengan tatapan memohon. "Ayah aku tidak mau menjadi tumbal. Aku putri kandungmu!" "Naura, perusahaan keluarga kita sekarang ini berada diambang kehancuran. Ayah membutuhkan banyak uang untuk pengobatan adik mu yang sakit. Kamu harus berkorban!" "Ayah, bukankah aku juga anakmu? Kamu sungguh tidak adil, kamu menukar nyawaku demi nyawa anakmu yang lain!" teriak Naura, kedua bola matanya menunjukkan keputusasaan yang mendalam. "Sampai kapanpun anak kandungku hanya Laura Alfa, karena kamu hanya anak haram yang terlahir dari rahim wanita hina itu," sahut Thomas, dia menatap putri kandungannya penuh kebencian. "Dan mulai sekarang, kita sudah tidak ada hubungan apapun lagi." Diana menatap suaminya penuh kebahagiaan. "Kalau dulu ibumu tidak menggoda ayahmu bahkan menyerahkan tubuhnya. Pasti kamu tidak akan pernah terlahir ke dunia ini, sekarang waktunya kamu membalas budi pada kami yang selama ini membesarkanmu!" jelas Diana, tatapannya penuh kebencian saat menatap ke arah putri tirinya. "Diana ayo kita pergi dari sini! Ritual penguburannya akan segera dimulai!" ajak Thomas pada istrinya. Diana pun mengangguk lalu meninggalkan Naura yang masih menangis histeris. "Kalau begini putriku akan menjadi pewaris tunggal," gumamnya. Naura menatap punggung ayahnya yang menjauh dengan hati yang pedih. Dia selama ini sudah berusaha menjadi anak yang baik, bahkan selalu mendapatkan peringkat satu disekolah. Tapi hanya siksaan dan ucapan pedas yang keluar dari mulut ayahnya, padahal selama ini Naura juga sering mendonorkan darahnya untuk Laura. Bahkan sampai sekarang, bekas luka ditubuh Naura masih terlihat dengan jelas karena kekejaman ayah kandung dan ibu tirinya. Naura dikerubungi oleh beberapa wanita, Ia yang masih dalam posisi tertidur dirias wajahnya. Bahkan rambutnya juga sanggul, mereka terlihat sangat profesional. Setelah selesai, seorang berpakaian biksu menghampirinya. "Kamu hafalkan mantra ini. kamu baca terus saat tubuh kamu dan Tuan muda Liam disatukan dan dikubur didalam tanah." Bulu kuduk Naura meremang, setelah mendengarkan penjelasan orang berpakaian biksu itu. "Apakah nanti saya akan dimasukkan ke dalam peti mati itu?" tanya Naura tanpa sadar. "Iya," jawab biksu itu seraya mencipratkan air ke tubuh Naura. Tiga biksu lain datang menghampiri, mengelilingi Naura dengan membacakan mantra. Seorang wanita yang berumur sekitar 40 tahunan datang menghampiri dan bertanya pada biksu yang mencipratkan air. "Apakah putraku bisa hidup kembali?" Tanyanya. Biksu itu menjawab, "gadis ini memenuhi persyaratan. Dia masih suci, tapi untuk hidup kembali atau tidak. Kita pasrahkan takdir yang diatas." "Jadi kalau putraku tidak hidup lagi, gadis ini juga akan ikut mati?" tanya Helena Arnold, ibu kandung dari Liam Arnold. Biksu itu menjawab dengan nada enggan, "Iya." Sementara Naura yang baru saja mendengar jawaban biksu itu ketakutan, bahkan tubuhnya menggigil hebat. "Apakah setelah ini aku akan mati?" gumam Naura, air mata luruh dari kedua pelupuk matanya. Padahal dia sudah bertekad, setelah kelulusan akan pergi dari rumah untuk mencari keberadaan ibu kandungnya.Liam berlari tergesa-gesa ke taman belakang, napasnya terengah-engah, jantungnya berdebar tak menentu. Di sana, dia melihat Naura tergeletak lemah di tanah, kulitnya pucat dan napasnya tersengal-sengal. Daniel dengan sigap memberikan bantuan napas buatan, wajahnya penuh kecemasan. Amarah Liam membara di dadanya, matanya menyipit saat bibir Daniel menempel ke bibir istrinya. Namun, sebelum Liam sempat melancarkan kata-kata atau gerakan apapun, Steven sudah melesat maju, tinjunya menghantam Daniel dengan keras. Suara pukulan itu menggelegar, menciptakan ketegangan yang membekukan suasana. Liam menahan amarahnya sejenak, menyaksikan pertengkaran yang semakin memuncak. Segera, ia berbalik dan mendekati Naura, mengangkat tubuhnya dengan hati-hati namun penuh kepedihan. Tubuh Naura begitu rapuh dalam pelukannya, seperti bunga yang hampir layu. Liam menatap wajah istrinya yang masih terpejam, doa dan harapan berkecamuk di matanya. Dengan langkah cepat namun manta
Naura melangkah cepat meninggalkan keramaian pesta jamuan bisnis yang penuh dengan suara tawa dan percakapan berbisik. Apalagi di tambah dengan pertengkaran yang dilakukan oleh Liam dan Steven, ia merasa seperti tidak mempunyai ruang Nafasnya terasa sesak, seolah udara di dalam ruangan itu berubah menjadi beku yang mengekang pikirannya. Ia mencari udara segar di teras, berharap bisa meredakan kegelisahan yang merayap di dadanya. Mengingat jika sekarang dirinya sedang hamil, seringkali merasa moodnya sering berubah. Tiba-tiba, sebuah dorongan keras membuat tubuh Naura kehilangan keseimbangan. Ia terhuyung dan terjatuh ke arah kolam renang yang ada di samping taman belakang. Mata Naura melebar, jantungnya berdegup kencang saat ia menoleh dan melihat Laura berdiri dengan senyum sinis di bibirnya. Seketika Daniel muncul dari balik kerumunan dengan langkah tegap dan mata yang menyala penuh tekad. Ia melangkah cepat ke arah Naura yang hampir terjerembab ke air. Tanpa
"Kamu mengenal istri Liam?" celetuk Victor dengan nada sedikit terkejut, tapi ntah kenapa ia merasa jika hubungan Steven dengan Naura tidak sesederhana itu. Steven diam, ia berharap Naura menanggapi ucapannya. Saat ingin menanggapi ucapan Steven, Victor sudah menyela ucapannya. "Kalau kalian mengenalnya, Tapi kenapa kalian berdua tidak memperkenalkannya padaku?" tegur Victor dengan suara pura-pura kesal. Walaupun ia sudah pernah mendengar rumor pernikahan Liam, tapi itu hanya rumor, tentu saja ia ingin tahu fakta yang sebenarnya terjadi dari orang yang terlibat. Liam dan Steven sama-sama diam, tidak menangapi ucapan Victor. Lalu tatapan Liam menatap tajam ke arah Steven, "Bagaimana pun juga Naura istriku, bahkan dia juga sedang hamil anakku. Aku nggak akan pernah berniat untuk menceraikannya." Victor memegang dadanya terkejut, ia menatap Liam dengan tatapan bingung penuh tanda tanya. "Naura sudah hamil empat bulan sekarang, dan selama kehamilannya kamu selalu ber
"Rencana?" tanya Laura pura-pura lupa. Daniel sontak menatap Laura dengan tatapan tajam, wajahnya bahkan berubah merah padam. Ia sudah tidak bersikap sungkan lagi pada gadis jahat itu. "Sekarang simpan saja aktingmu itu untuk orang lain, kesedihanmu sama sekali tidak berpengaruh padaku." Ekspresi Laura nampak terkejut, ia kira Daniel hanya marah sekilas. Seperti sebelumnya saya ia ketahuan melakukan kesalahan, dan amarahnya tidak akan berlangsung lama. Ia tidak menyangka, Daniel akan marah selama ini pada dirinya. "Sekarang aku memberikan waktu padamu selama sebulan, Naura harus sudah berada di sisiku. Kalau tidak jangan harap kamu masih bisa jadi mahasiswa di kampusku, dan keluarga Alfa mu bisa keluar dari krisis kebangkrutan." ancam Daniel. Laura menatap Daniel, matanya yang biasanya tenang kini menyimpan bara amarah yang sulit disembunyikan. Apalagi saat melihat Daniel memalingkan pandangannya dari dirinya dan menatap ke arah Naura dengan penuh kelembutan. Dalam
Steven tidak memperdulikan ucapan sahabatnya, wajahnya sekarang ini nampak masam. Ibunya sekarang mendekat dengan wajah khawatir, "Steven, ibu nggak bisa membantumu. Bagaimana pun juga, kita nggak bisa menyinggung keluarga Arnold." Solar Alan ibunya tidak bisa berbuat apa-apa lagi, ia juga tidak bisa memaksa putranya menikah dengan wanita lain. Mengingat orang yang patah hati, bisa melakukan hal yang sangat kejam tanpa berpikir dulu. Bagaimana pun juga, Steven adalah putra tunggalnya. Mengingat selama ini juga putranya tidak pernah suka atau pun jatuh cinta pada siapapun. Steven tetap diam, tidak pernah menanggapi ucapan ibunya. "Steven ... " Solar memegang lembut pergelangan tangan anaknya. Tapi, Steven malah menghempaskan tangan ibunya dengan kasar. "Kenapa sekarang ini cerewet sekali? Kalau ibu menyuruhku menyerah, itu nggak akan pernah mungkin terjadi." ujar Steven. Ibunya hanya bisa menggelengkan kepalanya, menatap putranya dengan sedih. "Apakah ibu lu
Naura membuka matanya perlahan saat sebuah sentuhan lembut menyapu pipinya. Kedua tangannya seketika berhenti, matanya melebar penuh kebingungan saat menyadari ada dua wanita perias duduk di sisi ranjangnya, sibuk merapikan riasan wajahnya dengan gerakan cekatan dan penuh perhatian. Tatapan Naura melayang mencari-cari sesuatu, lalu bertemu dengan sosok Liam di sudut ruangan yang tampak serius, sibuk berganti-ganti layar ponselnya tanpa menoleh. Perasaan bingung bercampur canggung merayapi hati Naura, hingga Liam akhirnya menoleh dan tersenyum tipis, mencoba menenangkan. "Jamuan bisnis akan dimulai dua jam lagi," ucapnya lembut, menenangkan kebingungan istrinya. Seorang perias dengan suara halus mendekat, "Bisa bangun, nyonya? Kami ingin mulai membuat sanggul agar penampilan anda semakin anggun." Naura mengangguk pelan, tubuhnya bergerak dengan hati-hati saat bangkit dari ranjang. Liam yang menyaksikan itu tertegun, matanya membelalak kagum. Selama ini, ia belum per