Helena yang melihat menantunya menangis berkata dengan nada kesal, "Dari pada kamu menangis, lebih baik kamu segera baca mantra itu berulang. Agar kamu dan putraku bisa selamat dari dewa kematian!"
Naura yang merasa sudah tidak ada jalan lagi, hanya bisa menjawab dengan anggukan. Dia berharap, ucapan Helena nyata adanya. Mengingat dia ingin sekali bertemu dengan ibu kandungnya sebelum meninggalkan dunia. Dengan mudahnya dia menghafalkan mantra yang diberikan biksu itu dan membacanya berulang. Naura memang terkenal memiliki kecerdasan tingkat tinggi. Helena berkata pada beberapa pria berbaju hitam yang barusan datang, "Cepat masukkan tubuh gadis ini ke dalam peti mati anakku!" Dengan hormat mereka semua menjawab, "baik Nyonya Helena." Naura memilih untuk fokus membaca mantra itu, walaupun dia merasa sangat takut akan berada didalam satu peti mati bersama dengan seorang yang sudah mati. Walaupun Naura akui, jika peti mati itu lebih besar dari pada peti mati pada umumnya. Setelah tubuhnya dimasukkan ke dalam peti mati, dan dirinya tidur bersebelahan dengan Liam. Naura reflek menoleh, untuk menatap ke arah calon suaminya. Walaupun tubuhnya terlihat pucat dan kaku, tapi Naura akui. Liam sangatlah tampan. Walaupun kabarnya Liam sudah meninggal dunia seminggu yang lalu, tapi berita itu belum dibenarkan oleh keluarga Liam sendiri. Biksu mulai mengikatkan tali berwarna merah di jarinya dan juga jari Liam, lalu peti mati resmi ditutup. Naura hanya bisa menghembuskan napas kasar, saat dia merasakan jika saat ini peti mati seperti diangkat. Tapi dia merasa aneh, saat tiba-tiba rasa kantuk yang dahsyat menghampiri dirinya. Dia pun akhirnya tertidur dengan sangat pulas dan panjang. Ntah berapa lama dia tertidur, tiba-tiba dia merasakan ada seseorang yang menggerayangi tubuhnya. Bahkan tangan itu terasa sangat dingin saat menyentuh kulitnya. Naura juga merasa, jika bibirnya sekarang ini dilumat seseorang. "Apakah ini mimpi?" gumamnya dalam hati, dia masih merasa bingung. "Tapi kenapa terasa begitu nyata?" Setelah merasakan sentuhan yang begitu lama, Naura merasa kesadarannya kembali hilang dan dia pun kembali ke alam mimpi. **** Sinar matahari pagi menyorot ke arah wajahnya. Naura membuka matanya perlahan, tapi dia dikejutkan saat mendapati dirinya berada ditempat asing. "Sekarang aku berada dimana?" gumamnya menatap sekeliling. Seingatnya semalam dirinya masih berada didalam peti mati. "Cepat sekali berpindahnya?" gumamnya tanpa sadar. Kedua bola matanya langsung membulat sempurna, kamar yang dia tempati bernuansa merah dan dihias layaknya kamar pengantin. "Apa jangan-jangan, aku semalam ... " Reflek Naura langsung berdiri dan menghadap ke arah cermin besar yang ada didalam kamar. Hal yang dilakukan oleh Naura, untuk memastikan apakah dirinya masih hidup atau sudah mati. Ternyata tubuhnya terpantul didepan cermin, artinya dia masih hidup. Tapi kedua alis Naura mengkerut, kala mendapati area leher dan dadanya banyak sekali bekas cupang. Dan kenapa pakaiannya sudah berubah menjadi lingerie. Naura terdiam sepersekian detik, mengingat kejadian aneh kemarin saat dia dipaksa menikah dengan orang mati. Dia masih tidak mempercayai, bahwa hari dimana dia berulang tahun yang ke 20 tahun berubah menjadi hari pernikahannya dengan seorang mayat. Naura menatap ke arah sekeliling, dia tersenyum senang kala mendapati ada sebuah telepon yang ada disamping tempat tidur. Dia berlari kecil, tapi saat berlari. Naura merasa aneh, saat merasakan jika tubuh bagian bawahnya terasa sakit. Tapi, Naura memilih abai. Toh yang terpenting sekarang ini, dirinya masih hidup. Naura menekan beberapa angka, dengan harapan tinggi dia berharap akan ada bantuan yang membantunya kabur dari tempat aneh ini. "Halo, Kak Daniel. Ini aku Naura, bisakah kamu membantuku ... " Ucapan Naura terhenti, setelah dia mendengar orang yang berbicara dari telepon. "Laura ... " gumam Naura berniat mematikan telepon, dalam pikirannya mungkin dia salah menekan angka. Tapi tatapannya menggelap saat teringat, kalau selama ini dia memang tidak pernah tahu nomor Laura. Saat ingin menekan tombol akhiri, tapi Naura malah salah memencet tombol speaker. "Naura ... Ini beneran kamu? Aku kira kamu sudah mati jadi tumbal," ucap Laura dari balik telepon disertai suara tawa mengejek. "Oh iya ... Kak Daniel sekarang sedang mandi, karena tadi kami berdua habis melakukan ... " Ucapan Laura terhenti, saat Naura menyela ucapannya. "Sejak kapan kamu dekat dengan Kak Daniel?" "Aku nggak dekat dengannya. Tapi kak Daniel terus mengejar ku selama setahun ini." "Sebenarnya sudah lama dia ingin meminta putus darimu, tapi masih belum menemukan momen yang tepat. Dia takut, kalau tiba-tiba putus. Orang-orang di kampus akan membully ku dan tidak ada lagi pendonor darah untukku." Kedua tangan Naura terkepal erat, setelah mendengar penjelasan Laura. Akhirnya dia menyadari, sudah setahun ini Daniel mulai menjauh darinya. Bahkan terus melakukan hal yang menyakiti dirinya. Mengingat hal itu, Naura merasa hatinya kembali hancur. Dalam ingatan Naura, waktu dia berumur 5 tahun. hidupnya sangat bahagia bersama kedua orang tuanya. Lalu datanglah Laura dan Diana, ayahnya yang sbelumnya sangat menyayanginya berubah membencinya, bahkan ibunya juga pergi dari rumah dan tidak pernah sekalipun menemuinya lagi. Kasih sayang semua keluarga besar ayahnya langsung berganti ke Laura. Naura merasa dunia ini sungguh tidak adil, jika mengingat semua hal itu. Namun, saat itu datang Daniel tetangganya yang sering melihat dirinya terluka karena kekejaman ayahnya. Daniel yang berusia 5 tahun lebih tua darinya memeluknya, dan berkata apapun yang terjadi akan selalu berada disisinya. Sebelumnya penyakit Laura sering kambuh, jadi Laura tidak pernah dekat dengan Daniel. Tapi, setahun lalu kesehatan Laura mulai stabil. Laura mengambil semua teman-temannya sekaligus perhatian dari Daniel. Dari balik telepon, Laura kembali berkata, "Naura ... Kenapa kamu diam saja? Apakah kamu sudah mati?" Suaranya terdengar penuh tawa ejekan. Kedua tangan Naura terkepal setelah mendengar ucapan Laura. "Laura, bukankah orang yang pantas mati adalah kamu? Makanya selama hidup Tuhan nggak pernah kasih kesehatan untuk mu. Aku harap penyakitmu sekarang ini akan bertambah parah dan menyiksa hidupmu." Saat ingin menutup telepon, Naura malah mendengar suara Daniel yang marah.Ghani senang jika Naura dan ibunya yang hina itu bisa segera pergi dari rumah ini, jadi Naura tidak akan pernah mendapatkan perlindungan dari Helena. Mengingat sampai sekarang ini ia masih menaruh dendam pada Naura, karena gadis sialan itu yang membuatnya putus dengan Laura. Ghani tentu saja berani untuk bertindak kejam pada Naura, meskipun Naura istri sah Liam dan menantu Helena. Tapi bagi Ghani, itu hanyalah status di atas kertas dan tidak lebih. Sebenarnya jika sepupu dan tantenya tidak membutuhkan darah Naura, bukankah Naura akan tetap menjadi sampah yang harusnya dibuang ke tempat sampah? Makanan di piringnya hanya tersentuh sedikit, tapi Helena memilih tidak menegur menantunya. Mengingat jika menantunya sudah hamil, apalgi tadi Sania melaporkan, kalau Naura merasakan tanda-tanda seperti wanita hamil. Sebelum punggung Naura benar-benar menjauh, Helena memanggilnya. Naura pun menoleh, wajahnya masih lesu dan kuyu karena terlalu sedih. Bukan karena hamil.
Naura terduduk didalam kamar dengan air mata yang luruh dari kedua pelupuk matanya. Ia kira Helena benar-benar baik padanya, ternyata wanita itu juga memiliki tujuan tertentu. Pintu kamar tiba-tiba diketuk, Naura mempersilahkan orang yang mengetuk pintu untuk masuk. Sania masuk langsung duduk didepan Naura, ekspresinya terlihat sangat khawatir. Tanpa basa-basi ia berkata, "Nyonya muda, Anda nggak perlu menganggap serius ucapan Tuan Ghani. Karena Tuan Ghani itu masih labil ... " Naura langsung memotong ucapan Sania, "Bibi nggak perlu khawatir, selama statusku masih menjadi istri Liam dan menantu mama Helena, aku akan tetap mengabdi pada mereka." "Tapi ... Ucapan Tuan Ghani itu banyak yang tidak benar ... " Ekspresi Sania tiba-tiba berubah ragu saat ingin mengatakannya lebih lanjut. Naura menggeleng seraya memperlihatkan senyuman manis. "Bibi nggak perlu menjelaskan apapun. Aku tahu Ghani itu membenciku, karena salah paham ... Dia sangat mencintai adikku Laura." Sani
Di dalam mobil mewah yang mengilap, sunyi menyelimuti ruang itu seperti bisu yang menekan dada. Naura duduk membeku, matanya menatap lurus ke depan, namun pikirannya berputar liar. Perubahan sikap Liam yang tiba-tiba membuat hatinya bergemuruh, jantungnya berdegup tidak menentu seolah siap pecah kapan saja. Tangan Liam yang terulur di sampingnya memperlihatkan noda merah pekat di ujung lengannya—darah yang berkilau di bawah sinar matahari, terasa dingin dan mengerikan. Naura menelan ludah, napasnya tercekat. Ia menatap ke arah wajah suaminya. Tatapan Liam kepadanya menusuk, dingin dan penuh amarah yang membara. Suaranya, berat dan dalam, memecah keheningan itu, "Kamu pasti sedikit ketakutan dengan darah ini. Ini bukan darahmu yang aku ambil sewaktu jadi vampir. Ini adalah darah para penghianat, siapapun yang berkhianat padaku. Taruhannya nyawa!" Kata-kata itu menggetarkan jiwa Naura. Rasa takut merayap di setiap urat nadinya, membungkam semua keberanian yang sebelum
"Menyingkirkan!!" Kata Daniel marah, saat langkahnya dihalangi oleh Gio. Sementara para bawahan Liam mulai menunjukan taring mereka dengan mengeluarkan pistol. Gio yang melihat situasi semakin tidak kondusif, tentu saja tidak bisa membiarkan Daniel menjadi korban. Lantas ia pun tidak memiliki pilihan lain selain melumpuhkan Daniel dengan menepuk pundak belakangnya, guna membuat atasannya itu pingsan. "Tuan maafkan saya, saya terpaksa melakukan semua ini untuk keselamatan Tuan sendiri. Ini adalah perintah Tuan Gunawan," kata Gio seraya menyingkirkan tubuh Daniel dari tempat ini. Sedangkan Liam melirik ke arah kaca besar yang ada di ruangan, ia tersenyum penuh arti. "Ini adalah sebuah peringatan, agar kamu nggak bermain-main denganku." *** Di dalam kelas, Naura terus berkonsentrasi untuk menyelesaikan tugasnya yaitu menciptakan game baru. Naura duduk tegak di kursi kelas A1 yang mewah, tatapannya terpaku pada layar holografik yang melayang di depannya. Jari-ja
"Saham?" tanya Naura memastikan. Liam mengangguk, tatapan begitu dalam pada Naura. "Aku tidak mau melihat ada orang yang merendahkan mu lagi. Walaupun nantinya pernikahan ini nggak bisa dilanjutkan, tapi kamu bisa hidup dengan baik." Ucapan Liam langsung membuat jantung Naura berhenti berdetak seketika. Ada rasa kecewa dan juga sakit, tapi ia buru-buru mengubah mimik wajahnya menjadi senyuman. "Tapi ... Saham ... " ucapan Naura terhenti. Liam menyela ucapannya. "Kamu nggak perlu merasa sungkan. Tanpa bantuanmu, mungkin aku sudah mati sekarang. Ini hanya hal kecil bagiku." Naura pun mengangguk. "Naura tolong jangan sedih, kamu harus jadi orang yang materialistis. Dengan saham ini, nggak ada lagi orang yang menindas mu. Bahkan nantinya setelah tidak lagi menjadi bagian dari keluarga Arnold. Kamu bisa hidup dengan baik bersama ibumu." Naura menyakinkan dirinya sendiri, bagaimana pun dia tidak boleh serakah dengan meminta hati suaminya. Sekarang hidupnya juga berubah jau
Liam menggertakkan gigi-giginya, ntah kenapa ia merasa tidak senang saat tangan Naura dipegang oleh Daniel. "Apa yang ingin kamu lakukan? Dia istriku!!" Ia berusaha menjauhkan tangan Daniel, tapi Daniel malah semakin mengeratkan pegangan tangannya. Wajahnya terlihat menantang Liam. Walaupun Liam menjauhkan tangan Daniel dari tangan istrinya dengan kekuatan rendah, ia bisa melihat jika Naura merasa kesakitan. Akhirnya ia tidak lagi menarik tangan Daniel, karena hal itu malah akan menambah rasa sakit yang dirasakan oleh Naura. Jadi sekarang posisinya, tangan Naura yang satu dipegang lembut oleh Liam, tangan satunya lagi dipegang erat oleh Daniel. Ucapan Liam membuat semua orang yang berada disana merasa terkejut. Karena sebagai pengusaha nomor satu dinegeri ini, bukankah harusnya ada berita yang tersebar jika Liam sudah menikahi Naura. Tapi, selama ini berita yang tersebar diluar sana, hanya memberitakan tentang kematian Liam yang masih simpang siur. Beberapa ora