LOGINDarell memeriksa arloji mahal di pergelangan tangan kirinya. Jam sudah menunjukkan pukul lima sore, akan tetapi sang istri belum juga keluar dari kelasnya. Ia menghela napas panjang, dan beralih menyandarkan punggungnya di body mobil. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana, sementara tatapannya lurus pada gedung fakultas. “Pak.” Sebuah suara memanggil dari arah kiri Darell. Pria itu melirik sekilas, dan menemukan Megan, berjalan cepat ke arahnya dengan langkah yang teratur dan map di tangan. Darell berdiri tegak. Wajahnya yang selalu tampak serius menoleh penuh pada gadis itu. “Ada apa?” tanya Darell dengan nada rendah dan efisien, seperti biasa. Ia tidak suka membuang waktu. “Saya mau tahu, soal rumor kalau istri bapak itu ... mahasiswa bapak sendiri,” kata Megan, nada bicaranya terdengar lirih. “Mau tahu soal kebenarannya?” Darell menukikkan sebelah alisnya ke atas. “I-iya, apa benar bapak menikah dengan Elvara anak semester empat itu?” tangan Megan tampak b
Satu bulan berlalu, dimana kini usia kehamilan Elvara sudah memasuki sepuluh minggu. Dan wanita itu, bersama sang suami juga sudah mulai aktif kegiatan di kampus. Darell yang mulai aktif mengajar sebagai dosen, di tambah menjadi direktur Lumina Kids Academy. Dan Elvara sebagai seorang istri yang hamil muda sekaligus mahasiswa aktif. Tak ada lagi hubungan rahasia seperti sebelumnya. Hari ini, Elvara berangkat ke kampus bersama sang suami. Satu mobil dan bersama-sama memasuki gedung fakultas. Semua mata berpusat pada mereka yang berjalan berdampingan, namun tetap menjaga jarak dengan tidak saling berpegangan tangan di depan umum agar tetap profesional. “Kita pisah di sini, ya?” kata Darell ketika mereka tiba di koridor kampus, lorong antara ruangannya dan kelas Elvara berada. “Nanti kalau ada apa-apa, cepat-cepat hubungi saya.” “Iya, sayang,” balas Elvara sembari tersenyum manis. “Kalau begitu, saya duluan,” Darell hanya mengusap bahu sang istri pelan sebelum pergi ke ruanga
Elvara duduk gelisah setelah ibu mertua dan juga ibu kandungnya sudah meninggalkan rumah, sementara Darell masih belum selesai dengan urusannya. Sebelumnya, sang suami sudah menyampaikan kalau dirinya akan pulang terlambat. Dan Darell juga menyampaikan kabar baiknya, kalau dia akan mengelola Lumina seorang diri. Ya, tanpa Amel. “Awas aja kalau kak Sagara masih berulah, aku bakal minta Papa buat hancurin reputasinya yang buruk itu,” ucapnya penuh tekad bercampur kekesalan. Di sisi lain, Darell akhirnya selesai juga mengurus semua pemindahan jabatan hari itu juga. Karena kebetulan juga, Amel memang belum dilantik secara resmi. Darell juga tidak ingin dilantik secara resmi, dia hanya ingin langsung mengelolanya tanpa publik tahu siapa direktur Lumina tersebut, karena yang penting hanya pada pemegang saham. Ketika dirinya hendak memasuki mobil, Darell terlebih dahulu menghubungi sang istri untuk mengabari kalau urusannya sudah selesai dan akan segera pulang. Mengeluarkan pon
“Mau ngapain ke Lumina?” tanya Elvara seraya berdiri dan menghampiri sang suami, raut wajahnya langsung menunjukkan sedikit kecemburuan karena Darell akan pergi. “Ada sesuatu yang harus aku urus di sana, El. Penting,” Darell menjelaskan, sambil menggenggam lembut tangan istrinya. “Ada Mama sama ibu di sini. Tidak apa-apa, kan, saya tinggal sebentar?” Darell kemudian melirik Savana dan juga Davina. “Saya titip istri saya ya, Ma, Bu?” Kedua wanita paruh baya itu tersenyum melihat interaksi mereka, dan mengangguk secara bersamaan. “Tentu saja, Darell. Kami disini akan menemani istrimu,” ujar Savana dengan nada lembut. “Apalagi, Mama akan di sini sampai siang, kalau perlu sore, setelah Papa Daryan pulang. Kamu fokus saja pada urusan kamu, kami yang urus Elvara.” “Iya, Nak. Kami akan menjaganya dengan baik,” timpal Davina. “Baik, terima kasih banyak, Ma, Bu.” Darell mengulas senyum tulus, lalu kembali beralih menatap sang istri yang sudah memasang wajah cemberut. “Saya tidak
Pagi itu, Savana sudah tiba di rumah sang anak bersama sang suami Daryan. Tapi Daryan hanya menyapa singkat, karena pria itu harus ke kantor. Meski dia sebagai pemilik perusahaan, tentu saja dia harus berangkat di jam yang sama dengan karyawanannya, tak mungkin dia memberikan contoh yang buruk. “Papa langsung berangkat ya, Nak.” Daryan maju selangkah, mengikis jarak antara dia dan Elvara, lalu mengecup kening putrinya dengan lembut, penuh kasih sayang. Kemudian, ia beralih pada Savana dan mengecup bibirnya singkat. “Hati-hati, Pa,” Elvara berseru riang, ditambah dengan senyum manisnya yang tampak lebih bersinar sejak ia tahu dirinya hamil. Daryan hanya mengangguk singkat, matanya memancarkan kebanggaan. “Kalau begitu, Papa berangkat,” ujar Daryan. “Hati-hati ya, Mas,” ucap Savana dengan tatapan lembut, sesaat sebelum sang suami masuk ke mobilnya. Tak lama setelah mobil Daryan meninggalkan halaman, menghilang di balik gerbang utama, Elvara dan Savana masih berdiri di te
Malam itu, Daryan dan Savana langsung menerima kabar dari sang anak kalau Elvara hamil. Tentu saja mereka berdua merasa senang mendengar kabar itu. Meski diam-diam merasa disayangkan karena anak mereka masih muda, dan juga masih mahasiswa aktif. Apalagi mengingat perjuangan Savana dulu di masa-masa itu. Putus kuliah sementara karena hamil anak kembar. Savana dulu sempat bertekad, kalau sang anak tidak akan mengalami hal yang sama seperti yang dia alami. Tapi sayangnya, takdir kehidupan tidak berjalan sesuai yang manusia inginkan. Karena Tuhan sudah menentukan semuanya—jodoh dan kematian. “Vara bisa lanjut kuliah lagi kalau sudah selesai lahiran. Lagipula … bisa, kan, pakai babysitter?” ucap Daryan pada sang istri yang tampak cemas setelah mendengar kabar kehamilan itu. Savana menatap suaminya dengan tatapan datar tanpa ekspresi. “Kamu menolak lupa sama babysitter si kembar dulu? Yang hampir celakain anak kita?” “Tidak juga.” Daryan menjawab singkat. Tentu saja dia sang







