Ajeng meletakkan garpu dan pisaunya dengan keras di atas piring. “Di mana Daryan?” Tanyanya dengan nada dingin. Kepala pelayan menunduk, “Tuan Daryan belum kembali ke mansion sejak semalam, Nyonya.” Ajeng mendesis, “Dan tidak ke kantor lagi hari ini?” “Mungkin, Nyonya. Untuk itu saya kurang tahu.” Seketika mata Ajeng menajam, “Jadi dia milih nginep di rumah sakit? Demi perempuan kampungan itu dan mertua palsunya?” Kepala pelayan tak berani menjawab, ia hanya menunduk dalam. Ajeng bangkit dari duduknya. Kursi makan berderit pelan saat ia berdiri terlalu cepat. “Bahkan setelah aku tegaskan kemarin, Daryan tetap memilih mereka?” Ulangnya pelan, tapi penuh kemarahan. “Ini tidak bisa dibiarkan!” Ia berjalan cepat menuju pintu ruang makan, tumit high heelsnya berdetak keras di atas lantai marmer dingin. Tapi sebelum keluar, ia menoleh tajam ke arah kepala pelayan. “Jika Daryan sudah pulang, suruh dia menemui saya di kamar! Kalau dia menolak, paksa saja! Saya ingin penjelasan!”
Cahaya matahari pagi mulai menyelinap dari balik tirai jendela, menerangi ruangan yang semalam gelap. Hana sudah terbangun lebih dulu. Matanya langsung tertuju pada sosok Savana yang terlelap di sofa sempit, badannya meringkuk, tanpa selimut, wajahnya masih terlihat lelah meski dalam tidur. Hana merasakan dadanya sesak. Savana selalu begitu keras kepala, tapi ia tak mengira Savana akan bersikeras untuk menjaganya setelah perlakuannya kemarin. Tak lama, Savana mengerutkan kening dan perlahan membuka matanya. Pandangannya masih berkunang-kunang saat melihat sosok ibunya sudah duduk di tepi brankar. "Mama?!" Dia buru-buru bangkit, tapi tiba-tiba dunia berputar. Kepalanya pening, tangannya refleks memegangi kepala. "Savana! Jangan dipaksain!" Hana panik, mencoba meraihnya dari tempat tidur. "Ga apa-apa, ma," Savana menggeleng, meski matanya masih menyipit menahan sakit. Dia menarik napas sejenak lalu berjalan tergopoh-gopoh mendekati ibunya. "Mama mau ke toilet? Atau minum? Ma
Savana akhirnya berpindah tempat dari yang semulanya di kursi tunggu menjadi di dalam ruang rawat inap Hana setelah menguatkan dirinya untuk bangkit. Savana duduk di sofa panjang yang ada di sudut ruangan.Tatapannya lurus pada brankar di mana sang ibu terbaring lemah dengan beberapa alat medis terpasang di tubuhnya. Savana malam ini berencana menginap di rumah sakit untuk menemani sang ibu sampai besok. Bukan karena penyakit Hana yang kambuh, tapi sejak awal dia memang ingin menjaga ibunya. Ia merebahkan tubuhnya ke atas sofa sambil mencari posisi nyaman. Baru saja hendak memejamkan mata, pintu kamar dibuka disusul suara langkah kaki berjalan ke arahnya. “Savana.” Savana menoleh. Meski lampu kamar sebagian dimatikan dan pencahayaannya menjadi remang, Savana bisa mengenali sosok itu. Suami kontraknya, Daryan. Savana tak menjawab membuat Daryan kembali membuka suara, “Kamu akan tidur di sini?” Tatapan Savana tertuju pada siluet tubuh tegap Daryan yang berdiri tak jauh dari tem
Suasana rumah sakit mulai lengang malam itu. Hanya suara langkah kaki sesekali terdengar dari perawat yang melintas. Di depan ruang rawat inap Hana, Savana masih duduk di kursi tunggu. Tangisnya sudah berhenti, tapi wajahnya tetap sembab. Matanya kosong menatap ke depan. Tak jauh dari sana, Ameer berdiri terpaku. Ia mengamati putrinya dari jauh dengan rasa bersalah yang menusuk. Perlahan, ia melangkah mendekat lalu duduk di kursi sebelah Savana. “Kamu belum makan sejak siang,” ucapnya pelan. Savana tak menjawab. Ia memiringkan wajahnya, seakan tak ingin menatap wajah pria yang ia panggil Papa. Ameer menarik napas dan menghembuskannya perlahan. Ia tak menyerah dan kembali membuka suara. “Papa tahu kamu marah, kamu kecewa. Tapi kamu harus kuat, untuk mama kamu. Kamu ga bisa terus lemah kayak gini, Sa.” Masih tak ada respons. Savana tetap menunduk, menggenggam jari-jarinya sendiri. “Kalau kamu tumbang, siapa yang jaga mama kamu nanti?” Lanjut Ameer dengan suara lebih lirih. Sav
Dokter datang dengan langkah cepat, wajahnya terlihat tegang. Dua perawat mengikutinya dari belakang sambil membawa alat bantu medis. Begitu melihatnya, Daryan segera menghadang di depan pintu ruang rawat inap. Suaranya tegas dan menahan panik. “Tolong jelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Saya ingin tahu kondisi terakhir pasien.” Dokter terdiam sejenak kemudian menoleh sekilas ke perawat di belakangnya. Ia menganggukkan kepala dan para perawat segera masuk ke dalam ruangan, meninggalkan sang dokter. Dokter kemudian kembali menatap Daryan dengan wajah serius. “Tensi pasien drop drastis, ada indikasi gagal jantung ringan. Tapi kami bisa tangani. Mohon jangan khawatir, kami sudah siapkan tindakan darurat.” Savana yang mendengar itu ikut melangkah maju, setetes air mata terjatuh di pipinya. “Tolong, dok ... selamatkan mama saya. Gimana pun caranya … saya mohon.” Suaranya parau. Ia menatap dokter dengan mata yang semakin basah. Daryan maju selangkah lebih dekat kemudian berbicara
Hana duduk bersandar di atas ranjang rumah sakit, tubuhnya masih tampak lemah, namun matanya tajam mengarah ke pintu saat seseorang masuk. Ameer. Pria itu tersenyum kecil, membawa parsel buah segar dan juga satu botol air mineral. “Aku pulang kerja langsung ke sini. Kamu mau makan apa, Han?” Tatapan Hana dingin, tak ada senyuman yang biasanya menghiasi wajahnya ketika menyambut kedatangan sang suami. “Kenapa kamu membohongiku soal pernikahan Savana?” Serbu Hana dengan nada dingin dan menusuk. Langkah Ameer langsung terhenti. Raut wajahnya berubah kaget. “Apa maksud kamu?” Ia bertanya sembari tersenyum kecil, mencoba menutupi keterkejutannya. “Jangan pura-pura bodoh, Ameer.” Lanjut Hana dengan suara tenang tapi menusuk, “Aku sudah tahu semuanya. Daryan dan Savana nikah kontrak demi operasi jantungku, kan?” Ameer menatap istrinya, jelas ada gelisah yang muncul di wajahnya. Ia meletakkan bawaannya di nakas sebelah brankar lalu melangkah mendekat. “Han, dengarkan aku dulu ....