Share

Memperbaiki

Venus mendongak dari makan malam yang tengah ditekuninya di meja bar dapur mini saat pintu apartemen dibuka dari luar.

Siapa lagi yang bisa masuk dengan bebas dan mengetahui passcode kalau bukan Altezza.

Wajah tampan dengan senyum tersungging manis di bibirnya menyapa Venus.

Pria itu tampak tidak berdosa setelah kemarin malam berdusta malah bercinta dengan wanita lain sementara seharusnya mereka fitting baju pengantin.

“Baru makan?” Altezza bertanya sembari membuka sepatu.

“Baru pulang?” Dia bertanya lagi bersama langkahnya mendekat.

Altezza duduk di samping Venus, merebut garpu dari tangannya lalu menyuapkan makanan ke mulut.

“Aku juga laper, tadi enggak sempet makan malam di kantor … ada mie instan enggak?”

Seolah rentetan pertanyaan Altezza itu hanyalah basa-basi dan tidak membutuhkan jawaban, dia sampai tidak peduli apakah Venus menjawabnya atau tidak.

Altezza tidak curiga ketika Venus diam saja.

“Mau aku buatin?” Akhirnya Venus bersuara, dia turun dari stool.

“Enggak usah, abisin aja makannya.” Altezza mengusap kepala Venus, mengecup puncaknya lembut.

Venus mengembuskan napas panjang.

Entah ke mana perginya tenaga Venus untuk memberondong Altezza dengan banyak pertanyaan dan menyudutkan pria itu, mengatakan bahwa dia mengetahui pengkhianatannya.

Mungkin karena Venus tahu akan berakhir seperti apa nantinya.

Venus terluka, dia tersiksa tapi tidak mau kehilangan.

Ada perasaan kalau dia tidak ingin pernikahannya batal karena harus menjaga hati kedua orang tua yang begitu bahagia dengan rencana pernikahan ini.

Ya Tuhan, apa yang harus Venus lakukan?

“Aku nginep di sini ya?” kata Altezza setelah membuat mie instan, dia kembali duduk di samping Venus.

Altezza pasti akan menagih ucapan Venus kemarin malam tentang ingin menyerahkan dirinya sebelum pernikahan berlangsung.

“Biasanya juga kamu enggak perlu ijin aku,” kata Venus dingin, dia membawa piringnya ke bowlsink untuk di cuci.

“Kamu kenapa sih? Jutek banget … gara-gara kemarin malam aku enggak mau ke sini? Aku ngantuk … capek dan udah malem juga, besoknya kita harus kerja ‘kan … kamu suka aneh-aneh.”

Altezza selalu bisa membolak balikan keadaan, sekarang Venus jadi terlihat manja dan tidak mau mengerti dengan kesibukannya.

“Maaf … aku ganggu tidur kamu, aku harusnya tahu kamu capek banget.” Nada suara Venus terdengar menyindir.

Dia lantas pergi ke ruang televisi.

Tidak lama, setelah menghabiskan mie instannya Altezza menyusul.

“Aku pinjem anduk, donk.”

Altezza berdiri di depan Venus membuka satu persatu kancing kemejanya.

Sebelum tidur, dia mesti membersihkan tubuhnya.

Venus menatap malas Altezza, dia beranjak untuk pergi ke kamar mengambil handuk namun langkahnya dijegal oleh pria itu.

Altezza menarik tangan Venus hingga tubuh sang wanita menabrak dadanya yang bidang.

Altezza merunduk mencium bibir Venus, menekan dalam sebelum melumat penuh damba.

Dia lantas menjauhkan wajahnya.

“Mau mandi bareng enggak?” Bisik Altezza di depan wajah Venus.

“Enggak ….” Venus menjawab tidak bersemangat, dia merasa jijik dicium Altezza karena bibir pria itu bekas mencium Wulan.

Lidah Altezza berdecak sebal, matanya merotasi tapi kedua tangan pria itu belum melepaskan Venus.

“Kemarin kamu yang ‘mau’ … dari pada jutek-jutek, kita mandi bareng aja yuk?”

Altezza mendorong pelan tubuh Venus, perawakannya yang tinggi besar membuat Venus tidak bisa berkutik saat pria itu sedikit mengangkat tubuhnya dengan cara melingkarkan kedua tangan di pinggang, membawa Venus ke kamar mandi di dalam kamar.

“Al … aku udah mandi.” Venus memprotes.

“Enggak apa-apa, kita mandi lagi.”

Altezza berhenti di bawah shower, dia memutar kran sehingga air langsung membasahi tubuh Venus yang tepat berada di bawahnya.

“Aaaalll ….” Venus mengerang, dia mendorong tubuh Altezza yang bergeming di tempatnya berdiri.

Kaos tipis Venus basah memperlihatkan dua gundukan yang tidak tertampung bra, begitu juga dengan hotpant-nya.

Altezza menarik kaos Venus melewati kepala, matanya membulat menatap dada sang tunangan yang menggiurkan.

Dada Venus ternyata tidak kalah besar dengan Wulan.

Bibir Altezza menyeringai, tangannya terulur bukan untuk memegang dua gundukan itu—walau dia ingin sekali—melainkan memeluk Venus yang hendak pergi.

Kini dada mereka merapat tanpa jarak membuat Altezza bisa merasakan dua gundukan milik Venus di dadanya dan dia mengerang tertahan.

“Tenang aja, aku akan menahannya sampai malam pertama kita nanti,” kata Altezza dengan suara serak.

Altezza mengecup pelipis Venus, menarik handuk yang tergantung di belakang pintu kemudian membalutkannya di tubuh sang tunangan yang wajahnya memberengut.

Venus keluar dari kamar mandi, dia bersandar pada daun pintu setelah menutupnya.

Air mata Venus mengalir tidak terbendung.

Jadi karena untuk menghargai prinsip Venus yang hanya akan menyerahkan dirinya setelah menikah, Altezza memilih berkhianat.

Pria itu menyalurkan kebutuhan pria dewasanya dengan wanita lain.

Semuanya kembali lagi menjadi salah Venus.

***

“Tolong buatkan aku roti bakar,” pinta Archio kepada istrinya yang terlihat telah selesai berdandan.

“Oke.” Wulan menjawab singkat kemudian keluar dari kamar untuk melakukan apa yang diminta Archio.

Jika tidak diminta, Wulan tidak akan membuatkan sarapan untuk Archio.

Setelah menggunakan pakaian dan bersiap-siap untuk pergi bekerja, Archio turun dari kamarnya di lantai dua.

Di meja makan sudah tersedia roti bakar dan secangkir kopi.

“Aku udah buatin sarapannya, aku duluan ya.” Wulan pamit.

Bahkan dia tidak melihat wajah suaminya yang sedang menuruni anak tangga.

“Wulan,” panggil Archio.

“Apa lagi?” tanyanya membalikan badan.

Nada suaranya biasa saja, tapi ekspresi wajahnya tampak jengah.

“Mau sampai kapan kita seperti ini?”

Wulan mengesah mendengar pertanyaan Archio.

“Jangan mulai, Archi … aku lagi enggak mau bertengkar.”

“Mari kita bicara baik-baik sambil sarapan.”

Archio menarik kursi meja makan untuk Wulan.

“Kita bahas apa yang salah dengan hubungan kita.” Archio membujuk.

Wulan masih keras kepala dengan mematung di tempatnya, menatap kesal pada Archio.

“Apa saja lelahku dan lelahmu? Apa saja marahku dan marahmu? Apa saja kecewaku dan kecewamu? Dan apa saja penyesalanku serta penyesalanmu? Bisa kita bicara tanpa emosi?” Archio berujar dengan suara lembut.

Wulan malah merotasi bola matanya sembari melipat kedua tangan di dada.

Archio berusaha tidak terpancing.

“Sebab sering kali kita bertengkar karena tidak saling terbuka … memendam amarah hingga terlihat semuanya salah … aku ingin kita bahas di sini agar sama-sama mengerti dan memperbaiki, bukan mengganti.”

Namun sebesar apapun usaha Archio mengembalikan keharmonisan rumah tangganya tidak akan bisa bila hanya dirinya sendiri yang berjuang.

Saat ini Wulan sedang menunggu Archio menceraikannya lebih dulu agar dia mendapat gono gini.

Cinta Wulan untuk Altezza tidak bisa dipungkiri lagi.

Hati Wulan tengah berbunga-bunga, sedang kasmaran dan jatuh cinta kepada Altezza yang baru tiga bulan menjalin hubungan terlarang ini kembali setelah setahun lalu Altezza menghilang usai mengetahui dirinya hamil anak dari pria itu.

“Udah ngomongnya? Aku pergi ya?” kata Wulan lantas membalikan badan dan pergi meninggalkan Archio yang kemudian hatinya mencelos.

Harus bagaimana lagi dia mempertahankan rumah tangganya?

Padahal dia sudah banyak berpikir, Archio bersedia bila harus memaafkan pengkhianatan Wulan demi ibunya yang sudah terlanjur sayang kepada wanita itu.

Dia akan menutup mata dan melupakan apa yang sudah Wulan lakukan dengan pria lain.

Namun sepertinya mereka sudah sama-sama patah dan hancur.

Hubungan ini akan sulit diperbaiki.

***

“Hai sayang.” Altezza menjawab panggilan telepon dari Wulan yang sudah dia ganti namanya menjadi ‘Paijo sekuriti kantor’.

“Sayang, dua minggu lagi aku mau ambil cuti … kita liburan ke Bali yuk?”

“Dua minggu lagi ya?” Altezza bergumam, dia sedang menimbang.

“Ayo laaaah, kamu belum ambil cuti ‘kan?” Wulan memaksa.

“Belum, tapi nanti aku harus ambil cuti nikah dan bulan madu.”

“Yaaa ….” Wulan terdengar kecewa.

“Gini aja, aku akan ambil cuti nikah dan bulan madu selama seminggu tapi aku bilang sama Venus kalau aku cuma dikasih cuti tiga hari jadi sisanya bisa sama kamu … tiap pagi aku ijin pergi ke kantor tapi ketemu kamu.”

Bahkan setelah menikah pun Altezza masih tetap akan terus melanjutkan hubungannya dengan Wulan.

“Tapi masih lama, kamu nikah dua bulan lagi ‘kan?”

Dan ternyata Wulan tidak keberatan kalau Altezza menikah dengan Venus yang penting hasratnya dipenuhi oleh pria itu.

“Kalau gitu gini deh, ada long weekend minggu depan … kamu enggak usah cuti, bilang aja sama suami kamu kalau ada gathering dari kantor ke Bali … aku juga akan bilang gitu sama Venus, padahal kita liburan, gimana?”

“Ide bagus banget.” Wulan senang sekali.

“Ya udah, nanti aku kabarin kalau udah beli tiket pesawat,” kata Altezza mengakhiri komunikasi mereka.

“Oke, Bye sayang.”

Dan sambungan telepon pun terputus.

Altezza benar mencintai Venus dan menurutnya, Venus adalah wanita yang pantas dijadikan istri.

Yang akan melahirkan keturunan untuknya dan mendidik anak-anak mereka menjadi anak yang sukses kelak.

Sedangkan Wulan adalah wanita yang dia jadikan bumper, di saat Venus tidak bisa memenuhi kebutuhan akan hasratnya yang besar—dia akan mencari Wulan.

Tapi untuk menikahi Wulan tidak akan Altezza lakukan karena dia tidak bersedia kehilangan Venus.

Lebih baik Altezza mencari perempuan lain karena dia tahu karakter Wulan.

Mereka hanya cocok di atas ranjang tapi tidak untuk berumah tangga.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Icha Majhaf
al laki2 wajib dibumi hanguskan ha..ha..ha..
goodnovel comment avatar
bening embun
egois yah si Al...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status