Share

Tampak Baik-Baik Saja

“Biar saya aja yang bayar,” kata Archio sembari mengeluarkan dompet.

Setelah itu tangannya terangkat memanggil pelayan meminta bill.

Dia adalah pria sejati yang tidak akan membiarkan wanita membayar tagihannya.

Tidak lucu juga mereka hanya membayar pesanan masing-masing di dalam satu bill.

“Enggak usah, Mas … kita bayar masing-masing aja.”

“Enggak apa-apa, biar saya yang bayar.” Archio memaksa.

Venus tidak bisa lagi menolak, dia membiarkan Archio membayar makan malam mereka.

Pria itu memberikan kartu kreditnya kepada pelayan.

“Oh ya, saya belum tahu nama kamu.” Archio memberikan kartu namanya kepada Venus.

“Kamu boleh menghubungi saya kapan-kapan.”

Maksud Archio untuk membahas tentang Wulan dengan Altezza karena mereka senasib.

Venus tidak langsung menjawab, dia membaca kartu nama yang Archio berikan.

Terdapat nama lengkap pria itu, Archio Mars Byantara.

Ada nama perusahaan juga tempat pria itu bekerja dan sekarang Venus tahu kalau pria di depannya adalah seorang Arsitek yang memiliki kantor konsultan sendiri karena nama perusahaan tersebut diambil dari nama tengahnya yang unik.

Tertera nomor ponsel pribadi dan nomor telepon kantor juga.

Venus mengeluarkan kartu nama dari dalam dompet, dia lantas memberikannya kepada Archio.

Archio langsung meraih kartu nama tersebut dan dua detik kemudian dia mengangkat pandangan untuk mempertemukan tatap dengan Venus.

“Nama kamu Venus?” tanyanya seperti tidak percaya kalau nama gadis yang senasib dengannya juga diambil dari nama planet.

Venus menganggukan kepala. “Aneh ya?”

Archio tersenyum tipis. “Kebetulan,” katanya bergumam sembari memasukan kartu nama Venus ke dalam saku kemeja.

“Terus sekarang Mas mau balik ke Surabaya? Apa mau gerebek mereka?”

“Saya punya kartu akses ini sekarang.” Archio mengangkat keycard yang diberikan Venus.

“Saya mungkin akan masuk ke sana, menangkap basah mereka … apa boleh kalau saya pukul tunangan kamu?” Archio meminta ijin.

“Pukul aja sampai dia babak belur.” Dengan senang hati Venus memberi ijin.

***

Malam ini Venus tidak bisa tidur, di benaknya terus memutar kemungkinan apa yang dilakukan Altezza dengan Wulan di kamar tiga kosong lima.

Dia meraih ponsel dari bawah bantal melihat chat yang dikirim kepada pria itu ketika sampai di apartemen tadi.

Sudah tahu Altezza mungkin sedang bercinta dengan Wulan, Venus masih saja mengirim chat berisi pertanyaan tentang apa yang sedang dilakukan pria itu.

Bisa dipastikan Altezza sedang sibuk sehingga tidak sempat membalas pesannya.

Ketika hendak menekan nomor Altezza untuk melakukan panggilan telepon, sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal.

+06281223779xx : Saya terlalu pengecut untuk masuk ke kamar 305, ibu saya sangat menyayangi Wulan jadi apapun yang terjadi di dalam, itu bukan hanya akan menyakiti saya tapi juga menyakiti ibu saya.

Venus sekarang tahu siapa yang mengirim pesan, dia menatap sendu setiap kalimat yang diterimanya.

Pun dia merasakan apa yang dirasakan Archio, kedua orang tuanya di Bandung sudah sangat percaya dan bangga akan bermenantukan Altezza.

Venus juga bingung harus bagaimana memberitahu kedua orang tuanya dan apapun yang dia katakan pasti akan menyakiti perasaan mereka terlebih hari pernikahan sudah di depan mata.

Kedua orang tua Venus akan malu sekali bila pernikahan ini harus batal.

Tapi dia juga tidak bisa menikahi Altezza dengan hobby pria itu yang suka berkhianat.

Venus mulai mengetikan sesuatu di layar ponselnya.

Venus : aku ngerti, Mas.

Hanya sepenggal kalimat itu yang dikirim Venus.

Dia lantas menyimpan nomor ponsel Archio dengan nama tengahnya.

Jujur, Venus penasaran dengan Archio.

Dia ingin tahu sudah berapa lama Archio mengetahui perselingkuhan istrinya dan apa saja kejanggalan yang terjadi.

Mungkin bisa Venus cocokan dengan kejanggalan yang dia rasakan pada Altezza.

Tapi untuk apa?

Bukannya hanya akan menambah luka bila dia mengetahui pengkhianatan Altezza?

Atau pengetahuan itu bisa dijadikan Venus alasan guna memantapkan hatinya untuk membatalkan pernikahan dengan Altezza.

Sama halnya dengan Venus, Archio juga ingin bicara banyak dengan tunangan dari selingkuhan istrinya itu.

Archio ingin mengetahui siapa Altezza dan bagaimana kehidupannya sampai istrinya jatuh hati kepada pria tersebut.

Archio merasa dirinya tidak kalah tampan dengan Altezza, dia juga sudah mapan dan selalu memanjakan Wulan dengan harta.

Tapi kenapa Wulan tega berkhianat?

Archio tidak membalas lagi pesan Venus.

Sementara itu, Venus yang masih emosional—karena tahu Archio tidak akan menggerebek Altezza dan Wulan di kamar tiga kosong lima—akhirnya bertindak impulsif dengan menghubungi Altezza.

Bermaksud mengganggu pria itu dari kegiatan bercinta dengan selingkuhannya.

Cukup lama nada panggil berdering sampai suara parau khas bangun tidur menjawab dari ujung panggilan sana.

“Hallo, sayang?” Tanpa dosa Altezza memanggil sebutan sayang untuk Venus.

“Kamu lagi apa? Kenapa chat aku enggak dibaca?”

Venus berusaha menahan suara kesalnya agar terdengar biasa saja.

“Aku tadi meeting terus pulang langsung tidur, capek … kamu kenapa telepon malem-malem gini?” Jawaban dusta Altezza yang sudah Venus ketahui kebenarannya.

“Aku enggak bisa tidur ….” Venus menjawab.

“Besok kamu masih harus kerja, kan?

“Iya … Al, video Call ya?”

“Hah?” Altezza terdengar panik mendengar permintaan Venus.

“Video Call.” Venus mengulang.

“Udah malem, besok aja.”

“Ya udah, aku ke rumah kamu ya?”

“Venus, jangan macem-macem … kalau kamu enggak tidur sekarang, besok aku dan kamu bisa telat ke kantor.”

Venus tersenyum miris, biasanya Altezza akan senang sekali kalau dirinya mengatakan ingin datang ke rumahnya apalagi untuk menginap.

Pernah suatu malam di masa lalu, Altezza langsung datang ke apartemen Venus ketika dia mengatakan takut sendirian karena baru menghuni apartemen ini.

Se-so sweet itu Altezza dulu.

“Al ….”

“Apa lagi Venus?” Nada suara Altezza terdengar kesal.

“Aku mau kamu ke sini sekarang ….”

“Enggak bisa!”

“Kalau aku bilang aku mau menyerahkan diri aku sebelum kita menikah? Apa kamu mau datang sekarang?”

Hening, Altezza tidak langsung menjawab.

Di ujung panggilan sana dengan ponsel masih menempel di telinga, Altezza memijat pangkal hidungnya.

Dia lantas menoleh ke samping di mana Wulan sudah menyandarkan punggung pada headboard menatapnya tajam dengan selimut yang diapit di ketiak untuk menutupi tubuh polosnya.

Wulan bisa mendengar percakapan antara Altezza dengan Venus.

“Sayang, please … ini udah hampir pagi, besok aku nginep di apartemen kamu ya? Sekarang kita tidur.”

Venus mengembuskan napas panjang, dia memutus panggilan terlebih dahulu seperti keinginan Altezza.

Meski dia sudah mengatakan akan menyerahkan segalanya untuk pria itu, Altezza tetap tidak mau meninggalkan selingkuhannya.

Venus sadar, perselingkuhan Altezza terjadi karena mungkin pria itu memiliki kebutuhan sebagai pria dewasa yang tidak bisa diabaikan begitu saja sementara dia tidak akan menyerahkan mahkotanya sebelum mereka syah menjadi suami istri.

Di usia kedua puluh tujuh, Venus dijuluki perawan Jakarta oleh teman-teman sekantornya karena masih mempertahankan keperawanan.

Sekarang Venus jadi menyesal, bila saja dia tidak jual mahal dan bersedia menyerahkan dirinya kepada Altezza mungkin pria itu tidak akan mencari pelampiasan pada perempuan lain.

Venus menganggap kalau alasan yang diungkapkan Altezza setahun lalu tentang perselingkuhan pria itu dengan Wulan memang hanya iseng belaka.

Karena bila Altezza serius dengan Wulan, pria itu tidak akan melamar Venus.

Kepala Venus pusing sekali memikirkan masalah yang tengah menderanya.

Air matanya kembali mengalir dampak dari sakit di hati yang teramat besar karena pengkhianatan pria yang dicintainya.

***

“Sayang, kamu udah pulang? Tahu gitu aku minta jemput kamu di Bandara.”

Dengan santai dan tanpa dosa Wulan berujar sembari melangkah masuk ke dalam rumah dengan tangan menjinjing heels.

Archio yang berdiri di antara ruang televisi dan ruang makan hanya menatap Wulan dengan tatapan dingin.

Wulan berjalan mendekat, dia mengecup pipi Archio singkat kemudian melengos menuju tangga tanpa peduli kenapa Archio bersikap dingin.

“Aku mandi dulu ya, sayang.” Wulan berteriak dari ujung tangga paling atas.

“Ya mandi lah, aku jijik … tubuh kamu kotor.” Archio bergumam ketika Wulan sudah masuk ke dalam kamar.

Rumah tangga mereka tampak baik-baik saja tapi sebenarnya ranjang mereka dingin dan dalam seminggu bisa dihitung berapa patah kata yang keluar dari mulut pasangan suami istri itu untuk membahas sesuatu.

Wulan terlalu sibuk dengan pekerjaannya begitu juga Archio yang kantor konsultannya tengah berada di puncak kejayaan.

Archio yang merasa puas dengan pencapaiannya dalam karir merasa hampa karena belum adanya anak dalam pernikahan mereka.

Dia berusaha mengembalikan kehangatan rumah tangganya namun sikap aneh Wulan yang dia dapatkan.

Kecurigaan demi kecurigaan berusaha Archio hempaskan dalam pikirannya sampai dia mendengar kabar dari beberapa teman yang mengatakan pernah melihat Wulan bersama seorang pria ke luar dari di suatu hotel di kotanya.

Sikap Wulan juga semakin dingin dan dia sudah tidak melakukan perannya lagi sebagai seorang istri meski aktingnya cukup bagus, seperti tadi dia masih memanggil Archio dengan sebutan sayang.

Setelah menonton televisi sambil melamun cukup lama, Archio naik ke kamar mereka di lantai dua.

Begitu membuka pintu, dia menemukan istrinya tengah pulas tertidur.

Archio berdiri beberapa saat menatap wajah istrinya.

Bila Wulan tidak bahagia, kenapa dia tidak mengatakannya?

Atau menggugat cerai kalau perlu?

Kenapa dia bertahan dengan berbuat zina seperti ini?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status