Senyum Zaviya merekah saat sosok pria tampan masuk melewati pintu utama resto.Siapa lagi pria di dunia ini yang paling tampan setelah ayah Archio menurut Zaviya kalau bukan suami bulenya itu.Svarga melangkah ringan dengan tampang cool-nya menjadi pusat perhatian pengunjung kaum Hawa sore itu.“Pergi sekarang?” Pria itu bertanya saat langkahnya sampai di depan Zaviya.“Iya,” jawab Zaviya yang kemudian merangkul lengan Svarga.“Ke ruangan aku dulu ya, ambil tas.” Zaviya menuntun Svarga menaiki anak tangga menuju ruangannya.“Aku udah beli kado untuk anaknya Amara, karena aku bingung jadi aku ambil semua barang yang kata petugas tokonya kalau newborn akan membutuhkan itu.” Svarga mengatakannya dengan ekspresi datar membuat Zaviya tertawa.Tidak bisa dia bayangkan tadi Svarga pergi ke toko perlengkapan bayi untuk membeli kado.Tapi sebenarnya bukan Svarga yang pergi ke toko perlengkapan bayi, banyak pekerjaan yang harus dia sekesaikan.Willy-sekretaris Svarga yang pergi ke toko perlengk
Zaviya berlari melintasi loby rumah sakit, dia panik sekali sewaktu Arnawarma-adik dari Ghazanvar memberitahu katanya Svarga berkelahi dengan Ghazanvar dan mereka dibawa ke rumah sakit karena babak belur.“Mbak, suami saya ….” Zaviya menjeda, menarik udara dalam kemudian mengembuskannya perlahan guna menenangkan diri.“Svarga dan Ghazanvar Gunadhya … sekarang ada di mana?” Zaviya melengkapi pertanyaannya kepada wanita yang berada di balik meja resepsionis.“Ada di ruang meeting, Bu …” Seorang pria dengan stelan jas lengkap yang menjawab.Pria itu berjalan cepat mendekati Zaviya. “Mari saya antar,” katanya merentang tangan menuju area lift.Di name tag yang tersemat di dadanya memberitahu jabatan pria itu yang cukup tinggi dibagian marketing.Pantas saja, pakaiannya rapih dan formal. Sepertinya sudah diberi instruksi oleh tante Zara untuk mengantar Zaviya kepada mereka bila sudah tiba di rumah sakit.Dalam hati Zaviya curiga kenapa bukannya diobati malah Svarga dan Ghazanvar ada di rua
“Ghaza, kamu Papi jodohin sama Adinda anak bungsunya om Radit dan tante Gita aja ya!” cetus om Arkana agar si sulung berhenti menggoda istri dari adik sepupunya.“Wooow … wooow … tunggu dulu, Zio enggak setuju … Zio lagi deketin Adinda … Adinda punya Zio, titik.” Reyzio-adik ketiga Ghazanvar buka suara.“Ya udah kalau gitu sama anaknya om Angga dan tante Bunga.” Arkana memberikan satu pilihan lagi.“Yang itu punya aku, Pi.” Arnawarma mengingatkan.Om Arkana berdecak lidah. “Tuh denger ‘kan … adik-adik kamu udah punya gadis pilihan, tapi kamu—kakak pertama belum punya gebetan malah mau nikung adik sepupu sendiri ….” Om Arkana bicara dengan suara rendah namun tatapannya tajam pada Ghazanvar.“Mami sekolahin kamu tinggi-tinggi tapi otaknya enggak dipake.” Tante Zara emosi.“Cinta itu pakai hati, Mi … bukan pakai otak.” Ghazanvar menyahut tapi pandangannya masih menunduk menatap ujung sepatunya di bawah meja.Tante Zara menggelengkan kepala samar bersama merotasi bola mata.Beliau melirik
“Zaviya! Zaviya tunggu!” Suara Svarga terlampau lantang sampai mengambil alih perhatian di lantai tersebut. Kebetulan pintu lift terbuka jadi Zaviya bisa langsung masuk dan Svarga sempat menyusul.“Zaviya, aku bisa jelaskan.” Svarga memelas.Ada dua orang pria dan wanita paruh baya di dalam sana yang sedang menatap mereka heran.Mungkin mereka berpikir kalau wajah Svarga yang babak belur dikarenakan berkelahi dengan Zaviya.Sungguh hebat Zaviya yang mungil itu bisa membuat Svarga yang tinggi besar babak belur.“Enggak usah, udah jelas kalau kamu egois … licik!” Zaviya tidak menahan-nahan.“Zaviya ….” Svarga meraih tangan Zaviya yang langsung dia hela kasar.“Aku mau pulang ke Surabaya … aku mau pulang ke rumah orang tuaku!” tegasnya kesal.“Zaviya … kita selesaikan dulu masalahnya, kita bicara dulu … dengarkan penjelasanku … orang tua enggak perlu tahu masalah rumah tangga kita.” Svarga membujuk.“Betul kata suaminya, Dek!” celetuk pria paruh baya yang langsung mendapat sikutan di l
Ayah Archio menunggu dengan cemas putrinya di depan pintu kedatangan Bandara Juanda, Surabaya.Hari sudah hampir tengah malam dan udara begitu dingin sehabis hujan.Beberapa jam lalu Svarga menghubunginya melalui sambungan telepon, menantunya itu tumben sekali banyak bicara selama hampir satu jam menceritakan masalah yang sedang menyambangi rumah tangganya dengan Zaviya.Ayah Archio tidak bisa menanggapi banyak karena belum mendengar versi Zaviya.Tapi apapun yang Svarga katakan tentu Zaviya lah yang akan dia bela.Svarga juga menyebutkan jadwal landing pesawat yang dinaiki Zaviya ke Surabaya beserta nomor pesawatnya.Sudah ayah Archio duga sebelumnya kalau cepat atau lambat Zaviya akan kembali pulang kepelukannya.Sebagai orang yang menjodohkan Zaviya dengan Svarga, tentu ayah Archio merasa sedih dan bersalah karena telah bertaruh dengan masa depan dan kebahagiaan putrinya.Ternyata orang tua juga manusia yang bisa salah dan khilaf.Karena keegoisannya yang tidak menyetujui hubungan
“Bunda sama ayah kok enggak pernah berantem sih? Bund beruntung ya dapetin suami yang sayang sama Bunda.” Zaviya bergumam, pandangan menatap kosong langit-langit kamar.“Kata siapa enggak pernah berantem? Berantem mah pasti pernah lah, sering malah … apalagi akhir- akhir ini setelah ayah udah tua yang sifatnya kadang kaya anak kecil … tapi separah apapun kami bertengkar—kami selalu ingat kalau kami saling mencintai jadi menghindari perasaan ingin puas … maksudnya puas membuat pasangan sakit hati.” Zaviya menoleh menatap bunda. “Mungkin itu definisi cinta sejati ya Bun … enggak kaya Zaviya sama Svarga yang menikah karena perjodohan … kalau Bunda sama ayah ‘kan bertemu terus saling mencintai lalu dipisahkan oleh keadaan dan dipertemukan kembali karena jodoh … memang kalau dijodohin Tuhan lebih afdol ya, bahagianya dunia akhirat.” “Berani bilang gitu di depan ayah?” Bunda nantangin.“Enggak, takut ayah sakit hati.” Zaviya menyengir.“Kami ‘kan udah denger tuh cerita versi Svarga, sekar
Zaviya menatap nanar monitor yang menampilkan kondisi di dalam rahimnya, ada makhluk hidup di sana yang masih berbentuk seperti kacang tanah dengan berat satu gram dan panjang satu koma enam senti meter.Dia tengah mengandung, anak dari Svarga.Tadi Zaviya terbangun di IGD dan kebetulan dokter Obgyn sedang praktik jadi Zaviya dialihkan ke poli Obgyn setelah mendapat pemeriksaan awal dan hasil tes darah keluar.Pandangannya dia alihkan pada ayah dan bunda yang setia menemaninya, mereka tampak bahagia tapi kenapa hati Zaviya justru merasa sedih?Bagaimana bisa dia bercerai dengan Svarga di saat bayi ini hadir di tengah-tengah mereka?Benak Zaviya berkecamuk dengan beban hidup permasalahan rumah tangganya sampai tidak mendengar apa yang disampaikan dokter.Awan mendung terus membayangi wajah Zaviya hingga mereka tiba di rumah—kepala seperti tidak pegal menunduk sembari memegang perut.Bunda menyikut lengan ayah kemudian mengendikan dagu pada Zaviya yang berjalan nyelonong sendiri dengan
“Svarga!” Gladys melambaikan tangan dari meja di mana dia duduk.Svarga melangkah gontai menuju ke sana, raut wajahnya tampak lesu tidak bersemangat.“Apa yang terjadi? Apa yang bisa aku bantu? Ceritakan kepadaku.” Gladys bertanya penuh perhatian, sedang berperan sebagai malaikat.Svarga mengembuskan napas panjang setelah bokongnya mendarat di kursi tepat di depan Gladys.“Aku dan Zaviya bertengkar … dia pulang ke rumah orang tuanya,” adu Svarga dengan tampang sendu.Gladys mendengkus. “Sudah aku duga, dia tidak pantas menjadi istrimu … dia anak kecil manja … Zaviya belum siap berumah tangga.”Gladys kelepasan, tidak bisa menahan dirinya.Svarga mendongak menatap Gladys, kerutan di antara alisnya muncul pertanda pria itu tidak suka dengan ucapan Gladys.“Lalu perempuan seperti apa yang pantas untukku menurutmu? Kamu?” Svarga bertanya menyindir.Dari semua orang yang mengetahui permasalahan rumah tangganya dengan Zaviya, hanya Gladys yang menyalahkan Zaviya.Gladys memutus tatapan samb