***
"Gerah ya?"
Elliana yang sejak tadi sibuk mengipaskan tangan di depan wajah, seketika berhenti ketika pertanyaan tersebut dia dapat dari Sagara. Duduk berdampingan, kini dia dan pria itu berada di kursi pelaminan-menyaksikan para tamu yang nampak menikmati pesta.
Satu jam pasca dimulainya resepsi, Elliana sedikit bisa bersantai karena sebagian tamu kini sudah menunaikan keinginan mereka-berjabat tangan dengan pengantin. Namun, tentunya sebelum bisa bersantai seperti sekarang, beberapa saat lalu Elliana dan Sagara cukup sibuk karena tamu yang datang untuk bersalaman bahkan mengambil foto, tak sedikit.
Tak bisa menolak, Elliana juga Sagara hanya bisa pasrah sehingga sekarang jujur, keduanya sama-sama merasa lelah.
"Kenapa, Kak?" tanya Elliana setelah sekarang dia menoleh pada Sagara.
Tak sedingin tadi siang, sikapnya pada sang kakak mulai membaik. Namun, meskipun begitu sampai sekarang senyuman di bibir Elliana masih jarang muncul karena rasa sedihnya atas kejadian tadi pagi tentu saja belum hilang.
"Itu kamu kipas-kipas wajah, kenapa? Gerah?" tanya Sagara perhatian. Meskipun lelah, senyuman sama sekali tak luntur di bibirnya karena tentu saja euforia bisa menikahi Elliana masih terasa sampai sekarang.
"Iya lumayan," kata Elliana. "Aku juga lupa enggak bawa kipas. Tadi buru-buru."
"Mau diambilin?"
"Apa?"
"Kipas kecil," kata Sagara. Sebenarnya di ballroom tempat digelarnya pesta, banyak AC yang terpasang. Namun, karena banyaknya orang di sana, rasa gerah tetap saja terasa dan karena gaun yang dipakai Elliana, perempuan itu merasa sedikit tak nyaman. "Tadi Kakak lihat di kamar tempat kamu dandan ada kipas. Kalau mau, Kakak bisa ambilin."
"Enggak usah, Kak. Enggak enak."
"Kenapa enggak enak?"
"Ya nanti kakau Kakak pergi, pas ada tamu naik buat ucapin selamat atau minta foto, gimana?" tanya Elliana. "Udah di sini aja, aku enggak apa-apa."
"Ya udah kalau gitu kamu tutup mata kamu."
"Kakak mau apa?"
"Tutup dulu aja matanya."
Tak bertanya lagi, Elliana memilih untuk menutup mata sesuai perintah Sagara lalu yang dirasakannya setelah itu adalah; sebuah tiupan di leher. Seperti semilir angin alami, Sagara meniup lehernya secara pelan—membuat rasa gerah perlahan menghilang.
Elliana tersentuh? Ya, tapi tetap saja rasanya sekarang dia masih seperti sedang diperhatikan oleh Sagara sebagai kakak, bukan suami karena memang dia butuh waktu untuk memutarbalikan perasaan dari saudara menjadi pasangan.
"Enakkan?" tanya Sagara.
Elliana perlahan membuka matanya. "Enak, Kak," jawabnya. "Makasih."
"Sama-sama."
Tak bisa lama bersantai, setelahnya Elliana juga Sagara mau tak mau harus kembali berdiri ketika rombongan tamu datang untuk mengucapkan selamat. Tak ada ucapan nyinyir, sejauh ini respon tamu terhadap pernikahan dadakan Elliana juga Sagara, cukup baik.
"Selamat ya, Elliana dan Sagara, semoga samawa."
"Aamiin, terima kasih."
Mengambil foto, menerima tamu bahkan berdansa, kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan Sagara dan Elliana di pesta resepsi yang seharusnya dihadiri Yudistira, hingga tepat pukul sembilan malam acara resepsi yang digelar sejak pukul lima sore akhirnya selesai.
Tak langsung pulang ke rumah, baik Sagara-Elliana mau pun keluarganya memutuskan untuk menginap di hotel karena tentu saja setelah semua rangkaian acara dilaksanakan, rasa lelah tak terelakkan.
"Enggak apa-apa?"
Berdiri di depan pintu sebuah kamar, Sagara lantas bertanya demikian pada Elliana yang sekarang berdiri di dekatnya. Tak lagi mengenakan gaun, perempuan tersebut sudah mengenakan pakaian santai pun dengan Sagara yang juga sudah mengganti baju.
Tidak tidur di kamar tempat Elliana dirias, pihak hotel menyiapkan satu kamar lagi untuk pengantin baru yang memang seharusnya ditempati Yudistira.
"Enggak apa-apa gimana maksudnya, Kak?" tanya Elliana. Sudah berubah status, panggilan 'Kak' untuk Sagara, jelas masih melekat dalam dirinya karena untuk sekadar mengubah panggilan menjadi Mas atau panggilan sayang lainnya, dia belum bisa.
"Ini kan kamar seharusnya ditempatin sama kamu dan Yudistira," kata Sagara. "Makanya Kakak bilang dulu."
"Oh itu," kata Elliana sambil tersenyum samar. "Ya enggak apa-apa, Kak. Orang suami aku sekarang juga Kakak, kan? Bukan Yudistira."
"Kali aja kamu enggak suka."
"Suka enggak suka, aku enggak bisa larang Kakak karena Kakak suami aku."
Sagara tersenyum tipis kemudian menggunakan kartu yang dipegangnya, dia membuka pintu. Membiarkan Elliana masuk lebih dulu, Sagara mengekor dari belakang untuk selanjutnya menutup pintu kamar yang malam ini akan dia dan istrinya itu tiduri.
Di dalam kamar, dekorasi romantis jelas sudah tersedia. Taburan kelopak bunga mawar merah di atas kasur, lilin elektrik di setiap meja dan sudut kamar bahkan angsa putih yang terbuat dari kain, semuanya lengkap dan hal tersebut membuat Elliana teringat lagi pada Yudistira juga rasa sakit di hatinya karena perbuatan pria itu.
"Lian, kamu baik-baik aja, kan?" tanya Sagara dari belakang Elliana yang sejak beberapa detik lalu berdiri mematung tanpa melakukan apa pun.
"Dosaku apa yasama Yudis?" lirih Elliana-mulai terbawa rasa sedih yang jelas datang secara tiba-tiba. "Selama dua tahun kita sama-sama, saling mencintai, saling menjaga bahkan saling melindungi, aku pikir semuanya tulus, tapi ternyata enggak. Yudis cuman pengen mempermalukan aku bahkan keluarga aku. Dia enggak pernah beneran sayang sama aku dan semuanya cuman pura-pura."
"Lian."
Elliana menoleh kemudian memandang Sagara dengan kedua mata berkaca-kaca. "Kakak malu enggak sih, Kak, punya adik sebodoh aku?" tanyanya. "Bisa-bisanya aku percaya sama semua ucapan Yudis yang ternyata cuman ngebegoin aku aja. Aku terlalu bodoh sampai enggak bisa membaca niat jahat Yudis ke aku."
"Kamu enggak bodoh, Lian," ucap Sagara. "Yudistiranya aja yang jahat. Dia terlalu jahat sampai rasanya enggak pantas lagi buat dimaafin. Jangan sedih ya, kamu sekarang punya Kakak. Ke depannya, Kakak akan lebih menjaga kamu dan melindungi kamu dari apa pun. Kakak janji."
Tak menjawab, Elliana masih menatap Sagara hingga tak berselang lama tangan Sagara meraih pinggangnya kemudian setelah itu pelukan pun terjadi. Di dalam dekapan Sagara, Elliana akhirnya terisak juga.
Tak lagi ditahan, Elliana menumpahkan semua rasa sedih, sakit, bahkan kecewa, di pelukan Sagara dan yang dilakukan suaminya sekarang adalah; memberikan usapan di punggung dengan sangat lembut.
"Elliananya Kakak enggak boleh sedih, kamu harus kuat dan kamu harus terus menatap lurus ke depan," ucap Sagara. "Anggap aja ini pengalaman hidup yang ke depannya akan buat kamu lebih selektif dan lebih kuat lagi."
Tak lagi berucap, Elliana terus terisak sampai akhirnya dia melepaskan kedua tangan Sagara di pinggangnya. Masih dengan kedua mata berkaca-kaca, dia kembali menatap sang suami.
"Kak."
"Ya?"
"Sebenarnya aku punya rahasia yang belum aku ungkapin ke siapa pun termasuk Mama dan Papa," ucap Elliana yang tiba-tiba saja teringat akan sesuatu. "Aku cuman simpan rahasia ini berdua sama Yudis dan aku pengen jujur sama kakak meskipun mungkin rahasia aku ini bakalan bikin Kakak benci atau bisa jadi langsung ceraikan aku."
Mendengar ucapan Elliana, Sagara tentu saja mengerutkan kening dengan perasaan yang jelas heran. "Rahasia apa?" tanyanya kemudian.
"Bisa duduk dulu? Kita bicarain semuanya di sofa."
"Boleh," kata Sagara.
Tak diam, selanjutnya Elliana juga Sagara bergegas menuju sofa kemudian di sana keduanya duduk bersebelahan dan karena penasaran dengan rahasia apa yang dimaksud sang adik, dengan segera Sagara bertanya,
"Jadi rahasia apa yang mau kamu ungkapin ke Kakak?"
Tak langsung buka suara, Elliana diam sambil memandang Sagara untuk beberapa saat sampai akhirnya setelah mantap, dia pun berucap, "Aku udah bukan gadis, Kak."
Deg.
Detak jantung Sagara seolah berhenti saat itu juga sementara senyuman yang semula melengkung, kini sirna entah ke mana. Tubuhnya menegang bahkan tangannya spontan meremas sofa. Masih memandang Elliana, dia kemudian bertanya dengan nada yang dibuat setenang mungkin.
"Udah bukan gadis?" tanya Sagara memastikan. "Maksudnya bukan gadis gimana, Elliana?"
***"Jadi gitu ceritanya?"Tak lagi duduk berhadapan dengan Sagara, Elliana mengangguk pelan usai mendapat pertanyaan tersebut dari sang kakak sekaligus suaminya itu. Duduk bersebelahan di sofa yang sejak tadi dia dan sang suami tempati, yang dilakukannya sekarang adalah menunduk sambil memainkan jemari.Takut? Tentu saja, karena apa yang barusaja Elliana bongkar bukanlah hal sepele. Status keperawanan. Hal sensitif tersebut akhirnya Elliana buka blak-blakkan di depan Sagara.Tak mau berbohong, dia bicara jujur pada sang suami tentang dirinya yang sudah tak gadis lagi setelah seminggu lalu menghabiskan malam panas bersama dengan Yudistira.Pada Sagara, Elliana menceritakan kronologi peristiwa seminggu lalu di apartemen Yudistira, mulai dari pria itu yang mabuk di rumah salah satu temannya lalu Elliana yang membawa Yudistira pulang hingga tarikan tangan Yudistira yang akhirnya berakhir membuatnya tidur bersama pria itu, semuanya dia ceritakan secara rinci tanpa ada yang dilewat atau di
***"Bos."Baru memberhentikan mobilnya beberapa saat lalu, Sagara menoleh ketika panggilan tersebut dilontarkan salah seorang pria berjaket hitam padanya. Memasang raut wajah ramah, pria yang memiliki usia sebaya dengan Sagara tersebut nampak melengkungkan senyuman–seolah menyambut kedatangan suami baru Elliana itu dengan perasaan bahagia."Semuanya aman?" tanya Sagara.Berbeda dengan pria yang menyambutnya, Sagara justru memasang raut wajah yang cenderung masam. Menempuh perjalanan tiga jam menuju Bandung, tentu saja dia merasa lelah sekarang.Namun, pernyataan Elliana tadi di kamar hotel jelas tak bisa dia abaikan begitu saja sehingga pada akhirnya—mengabaikan rasa lelah bahkan ngantuk, Sagara tetap pergi ke tempat seseorang yang ingin dia beri pelajaran, berada."Aman bos," kata pria tersebut. Namanya Ferdi dan dia bisa dibilang kepercayaan Sagara sekaligus pemimpin dari hampir tujuh anak buahnya yang kini juga ada di tempat sama dengan dirinya.Gedung kosong yang jauh dari keram
***"Kamu tidur aja lagi ya, nanti Kakak pulang setelah urusan Kakak sama teman-teman Kakak selesai."Berdiri di dekat pintu, Sagara berucap demikian pada Elliana yang beberapa waktu lalu menelepon untuk bertanya keberadaannya. Tak jujur, Sagara tentu saja bohong dengan mengatakan jika dirinya sekarang ada di tempat sang sahabat dan tanpa ada curiga, Elliana percaya sehingga katanya setelah tiba-tiba saja terbangun, Elliana akan kembali tidur."Iya, Kak. Kakak nanti bangunin aku aja ya kalau udah sampai. Barangkali butuh sesuatu.""Siap."Tak banyak mengobrol, setelahnya Sagara lekas mengucapkan selamat tidur sebelum kemudian memutuskan sambungan telepon dan tentunya setelah itu, atensi dia kembali beralih pada Yudistira yang masih saja terlelap.Mendekati lagi Yudistira dengan emosi yang masih berada di ubun-ubun, Sagara mengeraskan rahangnya hingga tak berselang lama dia berkata,"Malam ini kamu selamat, tapi nanti saya akan kasih k
***"Maaf kalau kesannya Kakak lancang atau mungkin keterlaluan, tapi Kakak rasanya emang enggak bisa diam aja, Li. Apa yang dilakukan Yudis sama kamu sangat keterlaluan, dan sebagai Kakak bahkan sekarang suami, Kakak pengen aja gitu kasih dia pelajaran supaya dia paham kalau yang disakitin itu perempuan yang sangat berharga buat semua orang."Dengan raut wajah tenang, ucapan panjang lebar tersebut lantas dikatakan Sagara pada Elliana yang kini duduk di depannya. Tertangkap basah ketika tengah menelepon Ferdy, Sagara memang langsung ditodong penjelasan setelah Elliana medengar nama Yudistira sehingga dengan segera dia pun menjelaskan semuanya.Jujur? Tentu saja tidak.Elliana tak mendengar semua percakapannya dengan Ferdy, Sagara bisa dengan mudah membohongi perempuantu itu dengan mengatakan jika dirinya memang meminta seseorang untuk mencari Yudistira, agar dirinya bisa memberikan pelajaran setelah semua yang dilakukan putra tunggal David kepada
***"Gimana, enak enggak?"Duduk bersama Sagara di sofa, Elliana menoleh perlahan ketika pertanyaan tersebut dia dapat dari sang suami yang kini berada persis di samping kirinya.Tak hanya duduk, yang dilakukan Sagara sekarang adalah memegangi handuk kecil yang menempel di pipi sang istri. Tak kering, handuk tersebut nampak sedikit basah karena memang tujuan handuk tersebut ditempelkan adalah; meredakan rasa perih bahkan panas di pipi Elliana usai ditampar Syafira beberapa saat lalu.Tak ada ucapan panjang lebar atau makian, yang dilakukan Syafira setelah menampar pipir kiri Elliana adalah; mengatai istri Sagara itu jahat sebelum akhirnya pergi begitu saja.Elliana tentunya punya niat untuk mengejar. Namun, Sagara menahannya bahkan setelah itu pria tersebut membawa dia ke kamar sehingga Elliana pun menurut.Tak langsung bertanya penyebab atau semacamnya, yang dilakukan Sagara setelah masuk kamar, yaitu; mengambil handuk kecil di kamar mandi untuk dikompreskan ke pipi Elliana yang kata
***"Masuk."Sambil memandang Sagara, Elliana masuk ke dalam mobil suaminya itu kemudian duduk di sebelah kiri. Tanpa banyak berkata, setelahnya Sagara nampak mengitari mobil kemudian masuk dari pintu kanan.Duduk di kursi kemudi, Sagara lantas memasang seatbelt lalu menyalakan mesin bahkan melajukan mobilnya begitu saja meninggalkan parkiran.Pasca ucapan selebor Elliana tentang cerai, Sagara memang menunjukkan sikap berbeda. Tak menyangka dengan apa yang diucapkan sang istri, Sagara bilang dia tak punya niat melakukan hal tersebut sehingga jelas rasa kecewa langsung dirasakan pria itu.Sekali lagi menegaskan, Sagara bilang dia tak peduli sama sekali dengan perbedaan status gadis diantara Elliana dan Syafira dan apa pun yang terjadi, Sagara akan terus mencintai adik angkat sekaligus istrinya itu karena memang cintanya tak sedangkal yang dipikirkan Elliana."Kita ke rumah Om David langsung kan, Kak?"Setelah beberapa menit mobil Sagara memasuki jalan raya, Elliana akhirnya memberanikan
***"Kenapa enggak makan? Enggak lapar kamu?"Baru masuk setelah beberapa saat lalu dipanggil sang anak buah, pertanyaan tersebut langsung dilontarkan Ferdy pada Yudistira yang kini nampak memberikan tatapan tajam padanya.Setelah sempat mengamuk lalu kembali tenang, Yudistira pagi ini menolak ketika anak buah Ferdy memberikannya makanan untuk sarapan. Bukan roti atau pancake—makanan yang biasa dia santap, sarapan Yudistira pagi ini adalah nasi bungkus seperti semalam."Kamu sebenarnya siapa?"Tanpa mengalihkan atensi meskipun sedetik, tatapan tajam Yudistira masih dia arahkan pada Fedy yang kini justru melengkungkan senyuman tipis."Ada apa mau tahu nama saya, hm? Mau kenalan?" tanya Ferdy. "Maaf, saya tidak tertarik berkenalan dengan kamu."Yudistira mendengkus. Demi apa pun sekarang dia sangat ingin membebaskan diri dari rantai yang membelit tubuh bahkan kedua kaki dan tangannya. Namun, tentunya hal tersebut bukan sesuatu yang mudah karena setiap kali mencoba, dirinya justru merasa
***"Lian pulang dulu ya, Tante. Jangan lupa jaga kesehatan dan kalau ada kabar tentang Yudis, tolong kabari Lian. Terima kasih untuk semua yang Tante kasih hari ini, Lian sangat berterima kasih."Setelah sebelumnya mencium punggung tangan Aruna, Elliana lantas berpamitan pada mantan calon mertuanya itu yang kini mengantar dia sampai ke halaman. Tak sendiri, Aruna ditemani David yang beberapa waktu lalu membantu Sagara memasukkan hantaran karena memang setelah meminta izin, Sagara tak keberatan sang istri menerima hantaran dari keluarga Yudistira."Iya, Lian. Kamu hati-hati di jalan ya dan sekali lagi Tante minta maaf untuk semua yang dilakukan Yudis. Semoga kamu sama Sagara bahagia selalu.""Aamiin, Tante. Terima kasih."Setelah pada Aruna, Elliana berpamitan pula pada David lalu setelahnya dia pun masuk ke dalam mobil Sagara dan tanpa banyak menunda, mobil yang dikendarai putra angkat Athlas itu pun melaju meninggalkan kediaman Yudistir