Dihina mertua, dikhianati ipar, diabaikan suami. Rania hanya ingin hidup tenang pascamelahirkan. Tapi dunia memperlakukannya seolah ia tak layak bahagia. Hingga satu kejadian mengubah segalanya mengungkap rahasia kelam keluarga, konspirasi besar, dan jaringan gelap yang selama ini mengendalikan mereka dari balik bayang. Ketika air mata tak lagi cukup, Rania memilih melawan. Demi anaknya. Demi dirinya sendiri. Dan ia bersumpah: Jika dunia menolak memberinya tempat, maka ia akan menciptakan jalannya sendiri dalam gelap sekalipun.
Lihat lebih banyak“Kenapa kamu masih tiduran saja, Rania? Anakmu menangis. Jangan seperti nyonya besar di rumah orang!” suara Bu Yulia menggema dari ruang tamu, menusuk telinga yang belum pulih dari begadang.
Keringat dingin menetes dari pelipis. Ia belum tidur cukup sejak persalinan. Dia memaksa tubuhnya bangkit dari kasur. Rania baru saja melahirkan 2 hari yang lalu. Tubuhnya masih lemah, tetapi sejak hari pertama ia pulang dari rumah sakit, tak ada yang namanya masa istirahat. Mertuanya, Bu Yulia, berdiri seperti bayangan di setiap sudut rumah, mengamati, menilai, dan mencela. Bahkan Luka jahitan di area jalan lahirnya masih terasa perih dan nyeri sekali setiap kali duduk atau berjalan cepat. Tapi semua itu dianggap remeh. “Aku tadi baru saja menyusui, Bu... Bayi mungkin masih rewel karena kolik ” Ucap Rania “Alasan! Semua ibu juga begitu. Tapi tidak semua ibu semanja kamu!” Bantah Mertuanya Bu Yulia Di balik pintu dapur, seorang perempuan berdiri dengan wajah datar. Nadine, istri dari kakak suaminya. Selalu tampak manis di depan Raka, suami Rania. Tapi Rania merasakan sesuatu yang salah dalam caranya menatap lelaki itu terlalu lama, terlalu lembut, terlalu milik. Lalu dari arah dapur, Nadine muncul membawa nampan berisi air dan buah. Istri dari kakak suaminya itu selalu tampak rapi dan tenang. “Mbak Rania belum makan, ya?” katanya lembut. Rania tersenyum lelah. “Belum sempat, Mbak…” Nadine duduk di sebelahnya, terlalu dekat. “Kasihan kamu… Kalau aku jadi Raka, aku pasti lebih sayang dan perhatian.” Rania menoleh. Ucapan itu meluncur ringan, tapi ada nada tersembunyi di baliknya. “Mas Raka sudah sangat membantu…” Tapi saat tangan mereka bersentuhan, Nadine berbisik pelan, “Kalau kamu tidak kuat... kamu bisa pergi, tahu? Biarkan Raka mencari kebahagiaannya.” Rania menatap Nadine, terkejut. Tapi Nadine hanya tersenyum lembut seolah tak pernah mengucapkan apa pun. Malam harinya, Raka pulang dari kerja. Wajahnya lelah, dasi masih tergantung longgar di leher. Rania menyambutnya dengan air putih dan senyum kecil. “Mau makan malam dulu, Mas?” “Belum lapar,” jawab Raka. “Ibu mana?” “Di kamar. Sepertinya marah lagi karena aku tidur sebentar tadi siang.” Raka menghela napas. “Kamu harus lebih kuat, Ran. Ibu memang... keras.” Rania ingin berteriak. Keras? Tidak. Dia kejam, Mas. Dia menyiksa batin dan ragaku, mematahkan semangatku seperti ranting kering. Tapi ia hanya menunduk. “Aku akan coba.” Dari arah dapur, Nadine muncul. Mengenakan daster tipis, rambutnya dibiarkan terurai. Ia pura-pura terkejut melihat Raka. “Oh, kamu sudah pulang? Tadi Rania cerita kamu sangat sibuk di kantor.” Raka tersenyum sopan. “Ya, begitulah, Mbak.” “Kalau kamu lapar, aku bisa buatkan sup. Rania kan masih belum kuat ke dapur, kasihan…” Rania menatap Nadine yang berjalan mendekat ke Raka. Terlalu dekat. Suaminya mundur setengah langkah, tapi Nadine menyentuh lengannya ringan. “Kamu harus jaga kesehatan, Raka. Kalau sakit nanti siapa yang jaga Rania?” Ucapan itu terdengar manis di permukaan, tapi di telinga Rania, itu seperti tawa iblis. *** Pukul dua pagi. Bayi menangis lagi. Rania bangun, menahan perih di bagian bawah tubuhnya. Tapi saat berjalan ke kamar bayi, ia tersandung ember kecil yang entah kenapa diletakkan di sana. Air tumpah. Lantai licin. “Astaga!” Kaget Rania Rania terjatuh, hampir menimpa bayinya. Untung ia sempat menopang tubuh dengan tangan. Bu Yulia datang tergopoh-gopoh, bukan dengan empati, tapi tuduhan. “Apa kamu mau bunuh anakmu?! Baru juga melahirkan, sudah ceroboh begini!” Nadine muncul dari balik pintu, berdiri di belakang Bu Yulia. Matanya lurus ke arah Raka yang keluar dari kamar. “Raka... Kamu harus pertimbangkan. Rania belum siap jadi ibu. Lihat sendiri.” Rania tak bisa berkata apa-apa. Di rumah ini, luka bukan hanya di tubuh, tapi dalam diam yang terus dipelintir jadi kesalahan Dia menahan air mata. Ini bukan sekadar kebencian. Ini penghancuran jiwa. Rumah itu besar, tetapi tak pernah terasa luas. Udara yang mengendap di setiap ruangnya membawa aroma busuk dari rahasia yang terlalu lama dikubur. Sementara Nadine dengan senyum liciknya sedang Merencanakan sesuatu yang besar untuk menghancurkan rumah tangga Rania dan Raka. “Aku akan membunuhmu secara perlahan Rania” Ucap NadineHujan turun perlahan malam itu. Jalanan kota basah, lampu-lampu tampak buram oleh kabut. Nadine memarkir mobilnya di depan sebuah kafe kecil di pinggiran kota. Tempat yang jarang ia datangi, tempat di mana masa lalunya tertinggal. Seorang pria sudah duduk di dalam, menatap jendela sambil memainkan cincin di jarinya. Wajahnya tajam, sorot matanya seperti menyimpan luka yang dalam. Nadine masuk, melepas jaket, lalu duduk tanpa bicara. Pria itu menatapnya. “Kamu makin cantik. Tapi tatapanmu... sama seperti dulu. Kosong.” “Jangan mulai dengan pujian basi, Dion,” desah Nadine. Dion tersenyum miris. “Jadi, kamu beneran nikah sama kakaknya Raka?” “Aku pikir... dengan menikahi Dimas, aku bisa dekat dengan Raka.” Dion menggeleng pelan. “Kamu masih terobsesi. Sejak SMA. Padahal dia nggak pernah lihat kamu sebagai apa pun selain teman kakaknya.” Nadine menatap keluar jendela. “Aku benci cara dia menatap Rania. Dulu dia nggak pernah lihat aku seperti itu. Aku yang dulu n
BAB 6 - Lelaki yang Tak pernah Melihat Di dalam lemari, tersembunyi di bawah tumpukan pakaian, ia menemukan kotak kecil. Saat dibuka, hatinya mencelos. Foto. Bukan hanya foto Raka. Tapi juga surat cinta. Coretan tangan Nadine yang ditujukan untuk suaminya sendiri. "Kapan kau akan sadar, aku yang lebih memahami segala resahmu? Aku yang melihat luka-lukamu sebelum Rania datang mencuri tempatku..." Rania menggigit bibirnya. Tiba-tiba, semua perhatian Nadine sejak awal masuk akal. Tatapan, sentuhan, kata-kata manis yang dibungkus kepalsuan. Ia menutup kotak itu rapat. Tapi niatnya bukan melapor. Bukan menangis. Ia akan hadapi ini dengan caranya sendiri. Malamnya, ia memasak makan malam khusus. Sup ayam dan sambal favorit Raka. Saat semua sudah duduk, Rania meletakkan satu surat di atas meja. “Aku mau kita semua baca ini bersama.” Nadine langsung pucat saat melihat amplopnya. “Itu... dari mana kamu dapat?” “Dari tempat yang seharusnya bersih, tapi ternyata menyimpan ko
Raka duduk di sisi tempat tidur, menatap Rania yang tertidur memeluk bayinya. Wajah perempuan itu lelah, tapi ada kekuatan yang tak pernah ia sadari sebelumnya. Di tangannya, Raka masih memegang ponsel Rania, rekaman demi rekaman masih terputar di telinganya.Raka menunduk. Suaranya lirih. “Maafkan aku, Ran… aku terlalu pengecut untuk membelamu.”Untuk pertama kalinya dalam waktu lama, ia menyentuh pipi Rania dengan lembut, dan mencium kening anaknya. Di hatinya mulai tumbuh rasa bersalah... dan tekad untuk membenahi semuanya.Keesokan harinya, Nadine datang ke kamar tamu, tempat Raka sedang menyiapkan dokumen kerja. Ia membawa dua cangkir kopi. “Masih ingat kopi favoritmu, Raka? Aku masih bisa racikannya.”Raka tersenyum tipis, sopan. “Terima kasih, Mbak Nadine. Tapi aku nggak biasa minum Kopi lagi”Nadine duduk di sofa dekat Raka, lalu menatapnya dalam. “Kamu berubah, Rak. Sekarang gampang marah, tegang... itu semua karena perempuan itu, ya kan?”Raka diam. Matanya mulai waspada
Rania baru saja menidurkan bayinya di atas ranjang kecil di sudut kamar. Mata si kecil masih memerah karena terlalu sering menangis. Wajah mungil itu tampak damai untuk sementara. Rania tersenyum lemah, lalu beranjak ke kamar mandi di sebelah untuk membasuh wajah dan membuang air kecil. Pintu kamar mandi setengah terbuka. Rania tak pernah merasa aman meninggalkan bayinya, tapi tubuhnya juga butuh istirahat, walau sebentar. Tiba-tiba ... sunyi. Tangisan yang biasanya terus-menerus itu, kini hilang. Terlalu hening. Rania merasakan firasat buruk. Ia bergegas keluar dari kamar mandi. Dan . . . . Dani, anak Nadine, berdiri di depan tempat tidur. Di tangannya ada bantal yang masih menindih wajah bayi Rania. “DANI!!!” teriak Rania. Ia langsung menerobos dan menyingkirkan bantal itu. Bayinya terisak pelan, wajahnya merah dan sesak. Detik itu, darah Rania seperti membeku. “APA YANG KAMU LAKUKAN?!” Teriak Rania Dani terkejut, lalu langsung menangis keras. “Aku nggak ngapa-ngapai
Pagi datang begitu cepat bagi Rania yang baru saja memejamkan mata, kini Ia harus segera bergegas bangun dan memasak. Saat semua sedang sarapan pagi tiba-tiba Bu Yulia berbicara “Lusa kita akan pergi piknik ke Puncak.” “Wah pasti seru sekali, Bu,” pekik Nadine Riang Dani putra semata wayang Nadine dan Dimas juga ikut berseru ria “Hore kita pergi Piknik.” Dimas pun menyahuti, “Asik, mumpung aku lagi cuti kerja.” Raka mendesah lelah, lalu ia berkata, “Aku mungkin gak bisa ikut Bu, ada lembur.” Bu Yulia menjawab, “Kalau kamu gak ikut, terus siapa yang akan nyetir? Kamu harus ikut! Izin saja ke Bos mu!” Raka hanya mengangguk, Ia tidak pernah berani membantah ucapan Ibu nya. “Rania jangan ikut, dirumah saja jaga rumah dan bayimu!” ucap Bu Yulia “Iya Bu,” jawab Rania pasrah.***** Keesokan paginya, Tawa bersahutan dari halaman depan. Suara langkah tergesa dan koper diseret-seret mengisi udara pagi yang sejuk. Mobil keluarga sudah siap di carport. Yulia mengenakan dress c
Hujan turun deras. Aroma tanah basah menyeruak ke dalam rumah besar yang kini terasa lebih dingin dari biasanya. Di dapur, Rania sibuk memotong bawang dengan mata sembab. Tangannya gemetar, tapi ia tetap melanjutkan pekerjaannya, Karena perintah Mertua yang bilang gak boleh manja dirumah orang, sedangkan iparnya sedang duduk di ruang makan membicarakan dirinya bersama Ibu mertua nya tersebut. Ibu Yulia mengetuk-ngetukkan sendok ke meja. "Sudah jam segini, lauk belum juga matang. Di rumah orang tuanya dulu diajarin masak atau cuma diajarin dandan?"Nadine tertawa kecil. "Ah, Bu. Kayaknya dia lebih jago drama daripada masak. Lagian, saya tadi lihat dia nelpon-nelpon orang di taman belakang. Mungkin pacarnya, ya? Pantesan suaminya sekarang sering pulang malam." Rania menghentikan gerakannya. Ia tahu mereka sedang memfitnah, lagi. Langkah kaki menghentak lantai. Bu Yulia masuk ke dapur dengan wajah penuh amarah. "Rania! Kamu jangan pikir aku buta. Kamu perempuan tak tahu diri,
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen