***
"Kamu tidur aja lagi ya, nanti Kakak pulang setelah urusan Kakak sama teman-teman Kakak selesai."
Berdiri di dekat pintu, Sagara berucap demikian pada Elliana yang beberapa waktu lalu menelepon untuk bertanya keberadaannya. Tak jujur, Sagara tentu saja bohong dengan mengatakan jika dirinya sekarang ada di tempat sang sahabat dan tanpa ada curiga, Elliana percaya sehingga katanya setelah tiba-tiba saja terbangun, Elliana akan kembali tidur.
"Iya, Kak. Kakak nanti bangunin aku aja ya kalau udah sampai. Barangkali butuh sesuatu."
"Siap."
Tak banyak mengobrol, setelahnya Sagara lekas mengucapkan selamat tidur sebelum kemudian memutuskan sambungan telepon dan tentunya setelah itu, atensi dia kembali beralih pada Yudistira yang masih saja terlelap.
Mendekati lagi Yudistira dengan emosi yang masih berada di ubun-ubun, Sagara mengeraskan rahangnya hingga tak berselang lama dia berkata,
"Malam ini kamu selamat, tapi nanti saya akan kasih kamu pelajaran karena sudah berani renggut kesucian Elliana. Camkan itu, sialan."
"Lho, enggak jadi ngasih pelajaran, Bos?" tanya Ferdy yang kini berada persis di samping Sagara.
"Enggak jadi, saya mau pulang."
"Lah, serius?"
"Ya serius, istri saya telepon," kata Sagara. "Saya janji akan pulang dan dia pasti curiga kalau pas bangun, saya masih enggak ada. Perjalanan Bandung-Jakarta, jauh."
"Oh ya udah kalau gitu," kata Ferdy. "Hati-hati di jalan dan kalau ada apa-apa, hubungi saya lagi."
"Iya," ucap Sagara. "Kamu juga hati-hati di sini. Jangan gegabah ambil tindakkan dan jaga Yudistira sebaik mungkin. Dia kabur, habis kamu sama saya."
"Siap, Bos."
"Saya akan bebasin dia, tapi itu nanti setelah saya berhasil mendapatkan hati Elliana. Kalau perlu setelah saya dan Elliana punya anak."
"Siap laksanakan," kata Ferdy. "Bos enggak usah khawatir. Saya akan bekerja sebaik mungkin."
"Bagus," kata Sagara. "Saya pulang dulu."
"Sip."
Setelahnya—tanpa mau membuang banyak waktu, Sagara bergegas masuk ke dalam mobil lalu dalam hitungan detik, mobilnya pun melaju meninggalkan gedung kosong tempat dirinya menyekap Yudistira.
Tak pelan, Sagara mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi karena tentu saja sebelum adzan subuh, dia harus segera sampai di kamar agar Elliana tak curiga.
"Come on, Sagara. Lebih cepat lagi."
Mengabaikan rasa lelah, Sagara memutuskan untuk tak mampir di rest area mana pun selama melaju di jalan tol sehingga tepat pukul empat pagi, dia akhirnya sampai di hotel tempatnya dan Elliana menginap.
Bergegas, Sagara mempercepat langkah menuju kamar hingga akhirnya sampai juga di depan pintu. Membukanya dengan sangat hati-hati, senyuman tipis juga hembusan napas lega terdengar ketika di dalam kamar sana, Elliana nampak masih terlelap.
Melepas jaket kemudian menyimpan ponsel di atas meja, Sagara segera mengambil posisi di samping Elliana kemudian setelahnya dia berbaring miring—menghadap perempuan yang paling dicintainya itu.
Rasa kantuk mendera, Sagara akhirnya memejamkan mata hingga tak berselang lama—tepatnya empat puluh menit pasca dia terlelap, suara parau Elliana terdengar persis di depannya.
"Kak Gara bangun, udah subuh."
Sagara bangun? Ya, tentu saja. Tak mau memancing kecurigaan Elliana, pada akhirnya dia bangun kemudian menahan kantuk yang tentu saja tak main-main bahkan ketika sarapan akhirnya tiba, sebuah pertanyaan dilontarkan Elliana setelah melihat ekpsresinya Sagara yang nampak sayu.
"Kak Gara masih ngantuk ya?"
"Sedikit sih, kenapa?"
"Enggak, cuman aku perhatiin daritadi itu matanya Kak Gara kaya berat banget gitu dibuka," ucap Elliana. "Pulang jam berapa sih tadi? Jangan-jangan subuh ya?"
"Jam dua, Li," kata Sagara bohong. "Semalam setelah kamu telepon, Kakak langsung pulang dan sampai di sini jam dua subuh terus tidur."
"Serius?"
"Kamu enggak percaya sama Kakak?"
"Percaya sih," kata Elliana. Tak seburuk kemarin, moodnya kini mulai membaik meskipun belum sepenuhnya. "Cuman kali aja Kakak bohong. Lagian Kakak tuh udah tahu kemarin habis capek. Bukannya istirahat, malah nongkrong. Siapa sih yang ajak Kakak nongkrong? Biar aku omelin."
Sagara tersenyum. Cinta mati pada Elliana, rasanya melihat perempuan itu bicara panjang lebar seperti ini pun, dia sangat bahagia—terlebih lagi ucapan Elliana cenderung mengkhawatirkannya.
Ah, Sagara bahagia.
"Malah senyum lagi," kata Elliana. "Aku lagi ngomel lho, Kak. Takut kek, apa kek, malah senyum."
"Ya kalau yang ngomelnya secantik ini, mana takut, Kakak?" tanya Sagara. "Gemes yang ada, pengen unyel-unyel pipinya."
"Enggak," kata Elliana—spontan memegangi kedua pipi, sambil memasang raut wajah waspada. "Kakak tuh suka enggak kira-kira kalau unyel-unyel pipi aku. Sampe merah dan sakit. Padahal, aku bukan anak kecil lagi. Aku udah dua tujuh."
"Ya salah siapa gemesin?" tanya Sagara. "Enggak peduli seberapa tua usia kamu, di mata Kakak kamu itu tetap anak kecil menggemaskan, jadi pengen unyel-unyel. Malah sekarang keinginannya nambah."
"Nambah apalagi?" tanya Elliana. "Jangan macam-macam ya, Kak. Aku bales kalau aneh."
"Enggak macam-macam kok, cuman satu macam," kata Sagara.
"Apa?"
"Cium kamu."
"Hah?" Di detik itu juga, senyuman Elliana nampak sedikit luntur pun dengan raut wajah yang jelas terlihat kaget.
Terbiasa berinteraksi sebagai kakak dan adik, tentunya aneh di telinga Elliana ketika Sagara mengungkap keinginan untuk menciumnya karena candaan mereka selama ini tak pernah disertai adegan saling mencium.
"Kok kaya kaget gitu?" tanya Sagara. "Aneh ya?"
Elliana tersenyum samar sambil menggaruk tengkuknya. "Sedikit."
"Maaf kalau ucapan Kakak bikin kamu enggak nyaman," kata Sagara. "Kakak kayanya terlalu frontal."
"Enggak kok, Kak. Akunya aja yang belum biasa," kata Elliana. "Aku masih anggap Kak Gara sebagai Kakak aku. Padahal, sekarang Kakak suami aku dan ciuman untuk pasangan suami istri itu wajar."
Sagara tersenyum. "Jadi mau?" tanyanya.
"Cium?"
"Iya."
"Mau, tapi nanti ya. Aku mau siapin diri aku dulu. Aku juga pengen menyiapkan hati karena aku pikir lakuin hal sederhana kaya gitu juga butuh perasaan."
"Oke," kata Sagara. "Kakak akan nunggu lagi dengan sabar kalau gitu."
"Maaf ya, Kak."
"Enggak usah minta maaf, kamu enggak salah," kata Sagara. "Sekarang makan lagi aja pastanya terus habisin. Nanti kita pulang."
"Jadi ke rumah Om David?"
"Jadi," kata Sagara. "Kakak pengen lunasin semuanya biar enggak ada hutang. Enggak banget kan kalau Kakak nikahin kamu dimodalin orang tua cowok lain."
"Mau aku bantu enggak?"
"Bantu apa?"
"Lunasin biaya cincin sama yang lain ke Om David," kata Elliana.
"Enggak usah," kata Sagara. "Tabungan Kakak cukup bahkan sangat cukup buat semua itu."
"Makasih, Kak."
"Everything for you."
Elliana tersenyum lalu setelahnya kegiatan sarapan pun berlanjut tanpa ada lagi obrolan. Menyantap dua menu sama baik itu makanan dan minuman, keduanya pun berhasil menghabiskan sarapan mereka.
"Piring bekasnya biar sekalian Kakak bawa ke bawah ya, Kakak pengen sekalian pesan kopi terus nongkrong di bawah," ungkap Sagara sambil menumpuk piring kosong di atas meja. "Enggak apa-apa, kan?"
"Iya, Kak. Enggak apa-apa," kata Elliana. "Aku juga pengen nonton sebentar."
"Ya udah kalau gitu."
Setelahnya—sambil membawa piring dan gelas kotor, Sagara bergegas meninggalkan kamar untuk kemudian turun menuju restoran yang tersedia di lantai satu.
Menggunakan lift, senyuman nampak terus melengkung di bibir Sagara sampai akhirnya dia pun sampai di tempat tujuan. Tak bohong, Sagara memesan secangkir kopi usai memberikan piring kotor lalu setelahnya—sambil menunggu pesanan, dia mencari kursi di dekat kaca untuk duduk.
Tak hanya diam tanpa melakukan apa pun, Sagara tentunya menelepon Ferdy untuk memastikan kondisi di sana tetap kondusif, karena tentu saja meskipun semua berjalan sesuai rencana, waspada itu harus.
"Halo, Bos. Pagi."
"Halo," sapa Sagara sambil sesekali mengedarkan pandangan untuk memastikan tak ada orang yang dia kenal terlebih itu keluarganya di tempat dia berada. "Gimana kondisi, aman?"
"Seperti biasa, terkendali, Bos," kata Ferdy. "Tadi pagi tahanan Bos sempat ngamuk terus berusaha kabur juga, tapi berhasil ditenangin karena mungkin dia sadar juga usahanya sia-sia. Sekarang anak buah saya lagi kasih dia makan. Sesuai saran, makannya tiga kali sehari."
"Baguslah," kata Sagara. "Saya suka sama cara kamu kerja. Nanti kalau ada apa-apa jangan ragu hubungin saya."
"Pasti, Bos."
"Pokoknya jaga Yudistira baik-baik," kata Sagara. "Saya enggak mau dia lepas gitu aja. Bahaya."
"Baik, Bos."
"Oke, cukup itu aja," kata Sagara. "Saya matiin dulu teleponnya."
"Sip."
Tanpa banyak bicara lagi, Sagara memutuskan sambungan telepon lalu tersenyum sambil memandang ponsel, hingga tak berselang lama sebuah suara—lebih tepatnya pertanyaan yang tiba-tiba saja dilontarkan seseorang dari belakang, membuatnya cukup tersentak.
"Ada apa sama Yudistira, Kak? Kok aku dengar Kakak kaya ngomongin dia?"
Tak langsung menjawab, Sagara memilih untuk diam sambil menenangkan diri hingga setelahnya dia pun berbalik sambil tersenyum.
"Kamu."
"Aku tadi dengar Kak Gara sebut-sebut nama Yudistira. Beneran, kan? Aku enggak salah dengar, kan?"
***"Ma, gimana kondisi Lian sekarang? Baik-baik aja, kan, dia? Enggak ada hal serius terjadi, kan? Dan anak aku, gimana kondisi anak aku sekarang, Ma? Baik juga, kan?"Barusaja sampai di depan ruang operasi, deretan pertanyaan tersebut langsung dilontarkan Sagara pada Anindira juga Athlas yang kini berada di sana.Datang dari kantor dengan perasaan panik, itulah Sagara setelah beberapa waktu lalu kabar tak mengenakkan diterimanya dari Anindira. Elliana jatuh di kamar mandi.Itulah kabar buruk yang Sagara terima sehingga tanpa banyak basa-basi yang dia lakukan usai menerima kabar tersebut adalah bergegas menuju rumah sakit tempat sang istri dirawat.Tak tepat waktu, Sagara pergi setengah jam setelah pesan dari Anindira masuk karena memang ketika pesan tersebut dikirim, dirinya tengah menjalani meeting sehingga khawatir tingkat tinggi pun dirasakannya."Tenang, Gar, satu-satu dulu nanyanya," ucap Athlas. "Mama kamu pusing kalau kamu nanyanya banyak gitu.""Ah iya, Maaf," ucap Sagara. M
***"Hai, Mas suami."Tersenyum, itulah yang Sagara lakukan setelah sapaan tersebut dilontarkan Elliana. Baru kembali dari kantor setelah seharian penuh bekerja, dia merasa lelahnya seketika hilang setelah sang istri yang malam ini terlihat cantik dengan dressnya, menyambut di ambang pintu.Tak heran dengan penampilan cantik Elliana malam ini, Sagara tentu saja tahu alasan sang istri berdandan cantik sehingga tak bertanya tentang pakaian, dia memilih untuk membalas sapaan Elliana dengan ucapan yang tak kalah manis."Hai, istriku yang cantik.""Aku lega karena Kakak pulang tepat waktu," ucap Elliana—mengingat lagi bagaimana Sagara meminta izin pulang terlambat sore tadi. Padahal, malam ini ada acara makan bersama di rumah untuk merayakan bertambahnya usia sang putri, Rinjani. "Aku pikir bakalan telat dan makan malam kita kemalaman.""Enggaklah, aku kan tadi janji pulang maghrib dan kebetulan problem yang aku ceritain ke kamu tadi
***"Gimana sayang? Keluar enggak?"Duduk sambil memperhatikan Elliana yang kini menggendong sang putri, pertanyaan tersebut lantas dilontarkan Sagara dengan raut wajah penasarannya.Bukan tanpa alasan, Sagara bertanya demikian karena kini Elliana tengah memberikan ASInya untuk pertama kali dan yaps! Ringisan dari sang istri membuat dia mengerutkan kening."Ada dikit, Kak, bening," ucap Elliana. "Nanti pasti banyak," ucap Sagara. "Sakit enggak?""Enggak sih cuman agak gimanaa gitu," ucap Elliana. "Kaya ada geli-gelinya gitu.""Si cantiknya bangun?""Merem," kata Elliana sambil tersenyum. "Dia mungkin masih terlalu mager buat bangun.""Nanti malam mungkin bangun."Selesai operasi pukul sepuluh pagi, bayi mungil yang Elliana lahirkan memang baru dibawa ke kamar rawat Elliana enam jam setelahnya, dan tak langsung bangun, bayi cantik dengan berat badan 3,2kg tersebut terlelap dengan damai hingga s
***"Gimana, Kak, udah cantik belum? Aku enggak mau kelihatan pucat soalnya pas difoto nanti."Selesai memoles wajah, pertanyaan tersebut lantas Elliana lontarkan pada Sagara yang sejak tadi duduk di samping bed tempatnya berada. Tak di rumah seperti hari-hari sebelumnya, jumat ini Elliana sudah berada di rumah sakit karena memang setelah beberapa bulan berganti, usia kehamilan yang dia alami tiba juga di angka tiga puluh delapan minggu.Tak bisa melahirkan normal karena janin yang tetap di posisi sungsang, Elliana pada akhirnya pasrah pada tindakan cessar yang akan dilakukan dokter untuk kelahiran sang putri dan karena operasi akan dilakukan pukul sembilan pagi, sekarang—sekitar pukul tujuh, Elliana sibuk merias diri karena di kelahiran pertamanya, entah kenapa dia ingin tampil cantik dengan makeup di wajah.Tak hanya ditemani Sagara di ruang operasi nanti, Elliana sebelumnya meminta izin untuk mengajak satu orang lagi, dan bukan Anindi
***"Masih sedih?"Tak langsung melajukan mobil setelah sebelumnya masuk, pertanyaan tersebut lantas dilontarkan Sagara setelah kini di samping kirinya, Elliana terlihat terus menekuk wajah.Tak hanya memasang ekspresi tersebut, sejak beberapa waktu lalu Elliana juga tak banyak bicara dan seolah belum cukup, sejak masuk ke dalam mobil, Elliana memalingkan wajah ke arah luar—membuat Sagara tentu saja khawatir."Lumayan," ucap Elliana dengan atensi yang masih tertuju ke luar.Tak di rumah, saat ini dia juga Sagara tengah berada di parkiran rumah sakit setelah sebelumnya melakukan check up kandungan dan sama seperti bulan sebelumnya, kondisi janin di rahim Elliana baik. Namun, kendala yang muncul sejak dua bulan lalu masih sama dan hal tersebutlah yang membuat Elliana tak memasang raut wajah bahagia setelah melakukan check up.Bayi yang dia kandung mengalami posisi sungsang.Itulah kendala dalam kehamilan yang Elliana alami
***"Satu, dua, tiga, tusuk!"Dar!Tak memiliki jeda yang lama pasca seruan tersebut dilontarkan orang-orang di taman belakang rumah, balon hitam besar yang semula menggantung akhirnya meledak juga setelah sebuah jarum ditusukkan oleh Elliana juga Sagara di waktu yang sama.Tak sekadar berdiri bersebelahan di depan balon, Elliana juga Sagara tentunya berpegangan tangan bahkan jarum yang mereka pakai pun hanya satu—dipegang oleh keduanya dan yaps! Begitu balon pecah, compety berwarna merah muda berhamburan—membuat semua orang yang sore ini hadir seketika berseru, karena lewat warna compety yang keluar dari dalam balon, jenis kelamin bayi yang Elliana kandung akhirnya bisa diketahui."Bayi kita perempuan, Kak," ucap Elliana sambil memandang Sagara."Iya, sayang. Baby girl," kata Sagara. "Sini peluk dulu."Tersenyum dengan perasaan yang bahagia, setelahnya Elliana masuk ke dalam dekapan Sagara kemudian di tengah meriahnya a
***"Hai."Tersenyum dengan perasaan speechles, itulah yang Elliana rasakan ketika sapaan tersebut dilontarkan Sagara yang barusaja turun dari mobil. Berpenampilan berbeda dengan tadi pagi ketika hendak pergi ke kantor, sore ini pria itu pulang menggunakan kemeja biru muda dan tentu saja hal tersebut membuat Elliana heran."Kakak kok ganti baju?" tanya Elliana begitu Sagara mendekat. "Baju yang tadi mana?""Ada di mobil," kata Sagara. Sampai di teras tempat sang istri menunggu, setelahnya dia bertanya, "Udah siap?""Udah," kata Elliana. "Mau ke mana kita sore ini?"Beberapa jam berlalu, sore akhirnya tiba dan merealisasikan ajakan Sagara tadi siang, Elliana sudah rapi dengan dress merah muda juga sneaker putih yang diberikan sang suami, karena memang tak ada perubahan jadwal, Sagara ingin mengajaknya berjalan-jalan."Tempatnya masih dirahasiakan," ucap Sagara. "Oh ya, Mbak Marni mana? Bilang ke beliau ayo berangkat."
***"Siapa, Bi, barusan? Tetangga atau siapa?"Tengah bersantai di kursi tengah, pertanyaan tersebut lantas Elliana lontarkan setelah Mbak Marni yang semula ke depan untuk mengecek tamu, kini kembali sambil menenteng sebuah paper bag di tangan kanan.Entah apa isi dari paper bag tersebut, Elliana sendiri tak tahu karena dibanding apa yang dibawa sang art, dia rasanya lebih penasaran pada siapa yang datang ke rumahnya beberapa waktu lalu."Kurir, Non," kata Mbak Marni. "Katanya mau anterin paket buat Non Lian.""Paket?" tanya Elliana sambil mengerutkan kening. "Dari siapa?""Den Gara," ucap Mbak Marni. Mendekati Elliana yang masih berada di sofa, setelahnya yang dia lakukan adalah; menyimpan paper bag yang dibawanya di atas meja. "Tadi kurirnya bilang ini paket buat Non Lian dan pengirimnya Den Gara. Karena setelah dicek, isi paper bagnya kain, Saya terima aja deh.""Kak Gara kasih apa ya?" tanya Elliana. "Dia bilang lemb
***"Ngerjain Kak Gara dosa enggak sih? Mendadak kasihan juga nih aku tinggalin dia di pasar."Sambil terus mengemudikan mobil yang sejak tadi dia bawa, Elliana lantas bertanya demikian setelah perasaan tak enak juga kasihan pada Sagara tiba-tiba saja menghampiri.Sudah jauh meninggalkan pasar tempat Sagara mencari jengkol, Elliana sengaja meninggalkan suaminya tersebut setelah rasa ingin buang air kecil tiba-tiba saja menghampiri.Tak terlalu mendesak, sebenarnya Elliana masih bisa menunggu Sagara selama beberapa menit. Namun, entah kenapa keinginan untuk meninggalkan pria itu tiba-tiba saja menguat—membuat dia lantas mengemudikan mobil suaminya itu pergi meninggalkan pasar.Entah masuk ke dalam kategori ngidam atau tidak, tapi yang jelas ketika Sagara menghubunginya untuk bertanya, Elliana justru semakin ingin mengerjai sang suami sehingga meminta Sagara pulang menggunakan angkot pun dilontarkannya dan jujur, membayangkan Sagara menggun