Share

6). Kebohongan Demi Kebohongan

***

"Kamu tidur aja lagi ya, nanti Kakak pulang setelah urusan Kakak sama teman-teman Kakak selesai."

Berdiri di dekat pintu, Sagara berucap demikian pada Elliana yang beberapa waktu lalu menelepon untuk bertanya keberadaannya. Tak jujur, Sagara tentu saja bohong dengan mengatakan jika dirinya sekarang ada di tempat sang sahabat dan tanpa ada curiga, Elliana percaya sehingga katanya setelah tiba-tiba saja terbangun, Elliana akan kembali tidur.

"Iya, Kak. Kakak nanti bangunin aku aja ya kalau udah sampai. Barangkali butuh sesuatu."

"Siap."

Tak banyak mengobrol, setelahnya Sagara lekas mengucapkan selamat tidur sebelum kemudian memutuskan sambungan telepon dan tentunya setelah itu, atensi dia kembali beralih pada Yudistira yang masih saja terlelap.

Mendekati lagi Yudistira dengan emosi yang masih berada di ubun-ubun, Sagara mengeraskan rahangnya hingga tak berselang lama dia berkata,

"Malam ini kamu selamat, tapi nanti saya akan kasih kamu pelajaran karena sudah berani renggut kesucian Elliana. Camkan itu, sialan."

"Lho, enggak jadi ngasih pelajaran, Bos?" tanya Ferdy yang kini berada persis di samping Sagara.

"Enggak jadi, saya mau pulang."

"Lah, serius?"

"Ya serius, istri saya telepon," kata Sagara. "Saya janji akan pulang dan dia pasti curiga kalau pas bangun, saya masih enggak ada. Perjalanan Bandung-Jakarta, jauh."

"Oh ya udah kalau gitu," kata Ferdy. "Hati-hati di jalan dan kalau ada apa-apa, hubungi saya lagi."

"Iya," ucap Sagara. "Kamu juga hati-hati di sini. Jangan gegabah ambil tindakkan dan jaga Yudistira sebaik mungkin. Dia kabur, habis kamu sama saya."

"Siap, Bos."

"Saya akan bebasin dia, tapi itu nanti setelah saya berhasil mendapatkan hati Elliana. Kalau perlu setelah saya dan Elliana punya anak."

"Siap laksanakan," kata Ferdy. "Bos enggak usah khawatir. Saya akan bekerja sebaik mungkin."

"Bagus," kata Sagara. "Saya pulang dulu."

"Sip."

Setelahnya—tanpa mau membuang banyak waktu, Sagara bergegas masuk ke dalam mobil lalu dalam hitungan detik, mobilnya pun melaju meninggalkan gedung kosong tempat dirinya menyekap Yudistira.

Tak pelan, Sagara mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi karena tentu saja sebelum adzan subuh, dia harus segera sampai di kamar agar Elliana tak curiga.

"Come on, Sagara. Lebih cepat lagi."

Mengabaikan rasa lelah, Sagara memutuskan untuk tak mampir di rest area mana pun selama melaju di jalan tol sehingga tepat pukul empat pagi, dia akhirnya sampai di hotel tempatnya dan Elliana menginap.

Bergegas, Sagara mempercepat langkah menuju kamar hingga akhirnya sampai juga di depan pintu. Membukanya dengan sangat hati-hati, senyuman tipis juga hembusan napas lega terdengar ketika di dalam kamar sana, Elliana nampak masih terlelap.

Melepas jaket kemudian menyimpan ponsel di atas meja, Sagara segera mengambil posisi di samping Elliana kemudian setelahnya dia berbaring miring—menghadap perempuan yang paling dicintainya itu.

Rasa kantuk mendera, Sagara akhirnya memejamkan mata hingga tak berselang lama—tepatnya empat puluh menit pasca dia terlelap, suara parau Elliana terdengar persis di depannya.

"Kak Gara bangun, udah subuh."

Sagara bangun? Ya, tentu saja. Tak mau memancing kecurigaan Elliana, pada akhirnya dia bangun kemudian menahan kantuk yang tentu saja tak main-main bahkan ketika sarapan akhirnya tiba, sebuah pertanyaan dilontarkan Elliana setelah melihat ekpsresinya Sagara yang nampak sayu.

"Kak Gara masih ngantuk ya?"

"Sedikit sih, kenapa?"

"Enggak, cuman aku perhatiin daritadi itu matanya Kak Gara kaya berat banget gitu dibuka," ucap Elliana. "Pulang jam berapa sih tadi? Jangan-jangan subuh ya?"

"Jam dua, Li," kata Sagara bohong. "Semalam setelah kamu telepon, Kakak langsung pulang dan sampai di sini jam dua subuh terus tidur."

"Serius?"

"Kamu enggak percaya sama Kakak?"

"Percaya sih," kata Elliana. Tak seburuk kemarin, moodnya kini mulai membaik meskipun belum sepenuhnya. "Cuman kali aja Kakak bohong. Lagian Kakak tuh udah tahu kemarin habis capek. Bukannya istirahat, malah nongkrong. Siapa sih yang ajak Kakak nongkrong? Biar aku omelin."

Sagara tersenyum. Cinta mati pada Elliana, rasanya melihat perempuan itu bicara panjang lebar seperti ini pun, dia sangat bahagia—terlebih lagi ucapan Elliana cenderung mengkhawatirkannya.

Ah, Sagara bahagia.

"Malah senyum lagi," kata Elliana. "Aku lagi ngomel lho, Kak. Takut kek, apa kek, malah senyum."

"Ya kalau yang ngomelnya secantik ini, mana takut, Kakak?" tanya Sagara. "Gemes yang ada, pengen unyel-unyel pipinya."

"Enggak," kata Elliana—spontan memegangi kedua pipi, sambil memasang raut wajah waspada. "Kakak tuh suka enggak kira-kira kalau unyel-unyel pipi aku. Sampe merah dan sakit. Padahal, aku bukan anak kecil lagi. Aku udah dua tujuh."

"Ya salah siapa gemesin?" tanya Sagara. "Enggak peduli seberapa tua usia kamu, di mata Kakak kamu itu tetap anak kecil menggemaskan, jadi pengen unyel-unyel. Malah sekarang keinginannya nambah."

"Nambah apalagi?" tanya Elliana. "Jangan macam-macam ya, Kak. Aku bales kalau aneh."

"Enggak macam-macam kok, cuman satu macam," kata Sagara.

"Apa?"

"Cium kamu."

"Hah?" Di detik itu juga, senyuman Elliana nampak sedikit luntur pun dengan raut wajah yang jelas terlihat kaget.

Terbiasa berinteraksi sebagai kakak dan adik, tentunya aneh di telinga Elliana ketika Sagara mengungkap keinginan untuk menciumnya karena candaan mereka selama ini tak pernah disertai adegan saling mencium.

"Kok kaya kaget gitu?" tanya Sagara. "Aneh ya?"

Elliana tersenyum samar sambil menggaruk tengkuknya. "Sedikit."

"Maaf kalau ucapan Kakak bikin kamu enggak nyaman," kata Sagara. "Kakak kayanya terlalu frontal."

"Enggak kok, Kak. Akunya aja yang belum biasa," kata Elliana. "Aku masih anggap Kak Gara sebagai Kakak aku. Padahal, sekarang Kakak suami aku dan ciuman untuk pasangan suami istri itu wajar."

Sagara tersenyum. "Jadi mau?" tanyanya.

"Cium?"

"Iya."

"Mau, tapi nanti ya. Aku mau siapin diri aku dulu. Aku juga pengen menyiapkan hati karena aku pikir lakuin hal sederhana kaya gitu juga butuh perasaan."

"Oke," kata Sagara. "Kakak akan nunggu lagi dengan sabar kalau gitu."

"Maaf ya, Kak."

"Enggak usah minta maaf, kamu enggak salah," kata Sagara. "Sekarang makan lagi aja pastanya terus habisin. Nanti kita pulang."

"Jadi ke rumah Om David?"

"Jadi," kata Sagara. "Kakak pengen lunasin semuanya biar enggak ada hutang. Enggak banget kan kalau Kakak nikahin kamu dimodalin orang tua cowok lain."

"Mau aku bantu enggak?" 

"Bantu apa?"

"Lunasin biaya cincin sama yang lain ke Om David," kata Elliana. 

"Enggak usah," kata Sagara. "Tabungan Kakak cukup bahkan sangat cukup buat semua itu."

"Makasih, Kak."

"Everything for you."

Elliana tersenyum lalu setelahnya kegiatan sarapan pun berlanjut tanpa ada lagi obrolan. Menyantap dua menu sama baik itu makanan dan minuman, keduanya pun berhasil menghabiskan sarapan mereka.

"Piring bekasnya biar sekalian Kakak bawa ke bawah ya, Kakak pengen sekalian pesan kopi terus nongkrong di bawah," ungkap Sagara sambil menumpuk piring kosong di atas meja. "Enggak apa-apa, kan?"

"Iya, Kak. Enggak apa-apa," kata Elliana. "Aku juga pengen nonton sebentar."

"Ya udah kalau gitu."

Setelahnya—sambil membawa piring dan gelas kotor, Sagara bergegas meninggalkan kamar untuk kemudian turun menuju restoran yang tersedia di lantai satu.

Menggunakan lift, senyuman nampak terus melengkung di bibir Sagara sampai akhirnya dia pun sampai di tempat tujuan. Tak bohong, Sagara memesan secangkir kopi usai memberikan piring kotor lalu setelahnya—sambil menunggu pesanan, dia mencari kursi di dekat kaca untuk duduk.

Tak hanya diam tanpa melakukan apa pun, Sagara tentunya menelepon Ferdy untuk memastikan kondisi di sana tetap kondusif, karena tentu saja meskipun semua berjalan sesuai rencana, waspada itu harus.

"Halo, Bos. Pagi."

"Halo," sapa Sagara sambil sesekali mengedarkan pandangan untuk memastikan tak ada orang yang dia kenal terlebih itu keluarganya di tempat dia berada. "Gimana kondisi, aman?"

"Seperti biasa, terkendali, Bos," kata Ferdy. "Tadi pagi tahanan Bos sempat ngamuk terus berusaha kabur juga, tapi berhasil ditenangin karena mungkin dia sadar juga usahanya sia-sia. Sekarang anak buah saya lagi kasih dia makan. Sesuai saran, makannya tiga kali sehari."

"Baguslah," kata Sagara. "Saya suka sama cara kamu kerja. Nanti kalau ada apa-apa jangan ragu hubungin saya."

"Pasti, Bos."

"Pokoknya jaga Yudistira baik-baik," kata Sagara. "Saya enggak mau dia lepas gitu aja. Bahaya."

"Baik, Bos."

"Oke, cukup itu aja," kata Sagara. "Saya matiin dulu teleponnya."

"Sip."

Tanpa banyak bicara lagi, Sagara memutuskan sambungan telepon lalu tersenyum sambil memandang ponsel, hingga tak berselang lama sebuah suara—lebih tepatnya pertanyaan yang tiba-tiba saja dilontarkan seseorang dari belakang, membuatnya cukup tersentak.

"Ada apa sama Yudistira, Kak? Kok aku dengar Kakak kaya ngomongin dia?"

Tak langsung menjawab, Sagara memilih untuk diam sambil menenangkan diri hingga setelahnya dia pun berbalik sambil tersenyum.

"Kamu."

"Aku tadi dengar Kak Gara sebut-sebut nama Yudistira. Beneran, kan? Aku enggak salah dengar, kan?"

Komen (9)
goodnovel comment avatar
Willyanshyah Wildan
gila kamu mau sekap sampe bisa dapetin cinta Lian, terus itu gimna yudis bebas ya? ...
goodnovel comment avatar
Willyanshyah Wildan
hayo mau bohong apalagi Gara, sepintar pintar nya kamu simpan rahasia atau kebohongan akan terbongkar juga
goodnovel comment avatar
Cacavip
duluan ini wkwkwk
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status