---Pagi merekah pelan di antara sela-sela jendela kamar yang setengah terbuka. Cahaya matahari menyusup masuk, menyentuh wajah Susi yang masih terlelap dalam pelukan ibunya. Mustika terbangun lebih dulu. Tatapannya tertuju pada wajah putrinya, yang kini sudah dewasa namun tetap menyimpan sisa-sisa wajah kecil yang dulu sering ia kecup sebelum tidur.Mustika mengusap pelan rambut Susi. Ia tak henti-hentinya bersyukur. Setelah bertahun-tahun dihantui penyesalan, rasa bersalah, dan harapan yang hampir padam, Tuhan mengembalikan anaknya.Tak lama kemudian, Susi mengerjapkan mata. Pandangannya bertemu dengan senyum hangat ibunya.“Pagi, Ma,” ucapnya lirih.“Pagi, Sayang,” jawab Mustika, mengecup kening Susi. “Tidur nyenyak?”Susi mengangguk, lalu duduk dan bersandar di kepala ranjang. “Ini tidur paling damai yang pernah aku rasakan selama bertahun-tahun.”Di luar kamar terdengar suara gaduh kecil. Ada suara wajan yang dijatuhkan dan teriakan panik Rendy yang jelas tak cocok berada di dapu
Setelah tangis mereka reda, Susi masih berlutut di depan Mustika, menggenggam erat tangan ibunya. Hatinya terasa penuh dengan kehangatan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Seumur hidup ia berpikir tak punya siapa-siapa, dan kini, ada sosok ibu di depannya dan seorang adik di sampingnya."Maafkan aku lama sekali pulang, Ma," bisik Susi dengan suara bergetar.Mustika menggeleng pelan. "Bukan salahmu, Nak. Mama yang seharusnya mencari lebih keras. Mama nggak pernah berhenti berdoa supaya kamu ditemukan dalam keadaan selamat. Tapi lelaki itu memanipulasi semuanya dan kita jadi terpisah lama."Susi mengangguk, air matanya masih berlinang. Ia lalu meraih tangan Mustika dan menciumnya penuh haru. "Aku di sini sekarang, Ma. Aku nggak akan pergi lagi."Rendy tersenyum di samping mereka. "Akhirnya, keluarga kita utuh lagi."Rendy merasa semua ini berhasil. Tak ada yang meleset dari dugaannya. Dibantu teman temannya juga, dia bisa dengan mudah mengumpulkan bukti dan mengungkap semua kejaha
“Mbak, ada gambaran keinginan nggak?”Susi mengernyitkan keningnya, lalu melanjutkan aktivitas nya. “Mbak.”“Gak ada, bisa kerja dengan baik sama kamu aja udah bagus. Cari apa lagi?”“Mau aku kenalkan sama keluarga aku gak?”Susi menghentikan aktivitas nya, mencuci tangan lalu menyangga wajah dengan kepalanya melihat Rendy yang sepagi ini sudah bertanya hal aneh.“Mendadak banget pengin ngenalin,” kekehnya.“Serius, Mbak. Mungkin mbak lupa sesuatu yang dulu pernah mbak rasakan.”Susi menatap Rendy dengan bingung. “Kenapa tiba-tiba ngomong soal kenalan sama keluarga? Ada apa?”Rendy menelan ludah, jelas terlihat gelisah. “Sebenarnya... ada seseorang yang pengin banget ketemu Mbak. Dari dulu.”Kening Susi mengernyit. “Siapa?”Rendy menghela napas panjang. “Ibuku.”Susi menegakkan punggungnya, menatap Rendy lebih intens. “Ibumu? Kenapa ibumu mau ketemu aku? Kita bahkan belum pernah kenal.”Rendy tersenyum hambar. “Ada sesuatu yang kamu nggak tahu, Mbak. Ibuku... pernah kehilangan anakny
Yogi terduduk lemas di kursi, kepalanya tertunduk dalam. Dunia yang dia pikir sudah sempurna setelah mencampakkan Susi dan menikahi Monica, kini berantakan di depan matanya. Bayi yang dia banggakan, yang dia yakini sebagai penerus namanya, ternyata bukan anak kandungnya. Dan Monica—wanita yang dia bela mati-matian di hadapan ibunya—bahkan tak tahu siapa ayah dari bayi itu.Rendy menyeringai puas, lalu berbalik menuju pintu. Namun sebelum keluar, dia menoleh dan berkata dengan nada penuh sindiran, “Nikmati hidupmu, Yogi. Oh ya, jangan lupa—anakmu bukan anakmu.”Pintu tertutup dengan bunyi klik pelan, meninggalkan keheningan mencekam di dalam ruangan. Monica meremas ujung selimut dengan wajah penuh air mata. “Mas Yogi… aku nggak pernah bermaksud begini. Aku benar-benar nggak tahu…”“Kapan kau selingkuh?” Yogi menatapnya tajam. Matanya memancarkan amarah yang sudah tak bisa dia bendung lagi. Kali ini dia benar benar sudah tidak bisa bersikap sabar. Semua bukti yang diberikan Rendy sanga
Rendy sudah menyiapkan kejutan besar untuk Yogi dan Monica. Kali ini, kejutan itu akan membuat Yogi pasti menyesal sudah membuang Susi sebagai istrinya. Dia menemui Alfa, meminta tes DNA anak Monica yang baru saja dilahirkan belum lama ini.“Gimana hasilnya?” tanya Rendy.“Negatif, dia bukan anak Yogi. KIta akan uji dengan sample darah siapa?” tanya Alfa.“Baj!ngan itu. Aku yakin, bajingan itu yang menghamili Monica.”Alfa mengangguk. Dia akan melakukan itu dengan mudah karena sekarang ini Rudi sedang berada di sel tahanan. Dia hanya perlu meminta petugas kesehatan lapas untuk mengambil sampel darah dan rambut, lalu pengecekan akan dimulai dari 3 hari ini.Rendy kembali beraktivitas seperti biasa. Ibunya yang sudah mulai ceria karena sudah mendapatkan hiburan baru di rumah, dia juga sudah mulai lega karena masalah sudah mulai clear. Tinggal dia membereskan urusan kakaknya yang tak lain adalah Susi.“Gimana kerjaan hari ini, Mbak?” tanya Rendy.“Biasa, gak ada yang berubah. Kamu nih ya
Asri berjalan gontai keluar ruangan, sesekali menyeka air mata yang terus jatuh tanpa bisa ia hentikan. Langkahnya terasa berat, seolah ada ribuan beban yang menekan pundaknya. Bayangan Meysila, anaknya yang kini terbaring koma di rumah sakit, terus menghantui pikirannya. Ia tidak bisa kehilangan anaknya. Tidak peduli betapa hancurnya harga dirinya saat ini, ia harus bertahan.Rendy menutup pintu kamar dengan kasar, menatap ibunya yang tampak kelelahan. Mustika masih berbaring di ranjang rumah sakit, matanya terpejam, tetapi Rendy tahu pikirannya terus bekerja.“Mama yakin dengan keputusan ini?” Rendy bertanya dengan nada hati-hati.Mustika membuka matanya perlahan. “Mama tidak yakin, Nak. Tapi mama tahu satu hal—jika mama memilih untuk membiarkan dia dipenjara, itu tidak akan mengubah apa pun. Keluarganya tetap akan menderita, anaknya tetap akan kesulitan. Dan itu tidak akan membuat kita lebih bahagia.”“Tapi, Ma… bagaimana kalau dia berkhianat lagi?” Rendy masih belum bisa menerim