"Halo, Mas. Aku pergi dari rumah," ucap Nia saat panggilannya terhubung. "Pergi dari rumah! Kenapa, apa ada yang menyakitimu?" tanya Rafli penasaran. "Mas Riko membawaku ke hotel. Padahal sebelumnya dia bilang jika dia akan mengajakku ke penggadilan agama, beruntungnya aku masih bisa kabur." "Penggadilan agama? Bukannya kamu bilang kalian sudah resmi bercerai!" ucap Rafli yang terdengar kaget. "Ceritanya nanti saja, Mas. Sekarang aku mohon selamatkan aku dulu." Nia terdengar ketakutan. "Baik-baik, sekarang kamu ada dimana?" tanya Rafli yang terdengar khawatir. "Aku ada di Terminal. Aku tidak tahu bagaimana aku bisa ketempatmu," ucap Nia yang mulai ketakutan. "Kamu sekarang tenang dulu, kamu cari apa disana ada tempat travel. Biar aku yang bicara pada mereka." Nia yang ketakutan segera mencari agen travel terdekat. Dengan segera dia menyerahkan ponselnya dan membiarkan mereka bicara dengan Rafli. Setelah beberapa saat agen travel menyerahkan kembali ponsel milik Nia. "K
"Assalamualaikum," ucap Rafli sambil masuk ke dalam rumah. "Waalaikumsalam," jawab Nia. "Ini kopimu, Mas." "Alhamdulillah, kebetulan aku haus sekali." Rafli langsung mengambil cangkir yang ada di depannya. Setelah menikmati kopi buatan Nia. Rafli langsung menggambil sebatang rokok dan langsung menyalakannya. Sementara itu, Nia yang sejak tadi di dapur langsung duduk di samping Rafli. "Hari ini ada pesan masuk dari Yuni," ucap Nia hingga membuat Rafli terkejut. "Yuni!" ucap Rafli sambil langsung menoleh ke arah wanita yang ada di sebelahnya. "Memang Yuni itu siapa. Mas? Apa dia kekasihmu." Nia terlihat penasaran. Perlahan dia mulai menceritakan siapa Yuni. Yuni adalah seorang wanita muda berusia 25 tahun. Dia adalah salah satu wanita yang mampu membuat Rafli mati rasa. Rafli yang saat itu masih menempuh pendidikan di sebuah universitas. Dianggap sebagai pria yang tidak memiliki masa depan. Tidak hanya itu, usia yanh terpaut 15 tahun membuat Kakak Yuni menentang hubungan
Sejak saat itu Nia terus menyembunyikan penyakit yang dideritanya. Dia berusaha terus terlihat baik-baik saja saat ada di dekat sang suami. Hingga suatu hari, Nia yang saat itu sedang menikmati masa liburnya tiba-tiba mendengar suara ponsel dari samping televisi. Sambil memegang ponsel. “Ternyata ponsel Mas Rafli tertinggal.” Nia yang saat itu merasa penasaran akhirnya memberanikan diri membuka sebuah pesan singkat yang ada di ponsel Rafli. Terlihat sebuah nama Yuni terpampang jelas pada ponsel tersebut. Perlahan Nia mulai membuka pesan singkat tersebut. “Assalamualaikum, A’. Apa kabar? Sekarang kamu tinggal dimana, aku ingin menemuimu.” Tulis Yuni pada pesan singkat tersebut. “Yuni? Bukannya dia itu mantan kekasih Mas Rafli,” ucap Nia dengan wajah bingung. Nia yang tidak ingin membuat dirinya semakin memikirkan keberadaan pesan singkat itu. Akhirnya memutuskan untuk meletakkan kembali ponsel milik Rafli. Sore hari, Rafli yang baru saja pulang dari kerja terlihat buru-buru me
Rasa sesak dan sakit terlihat begitu jelas di kedua mata Nia. Rafli yang merasa iba dengan apa yang dialami sang istri terlihat memeluk Nia dengan begitu erat. Pelukan Rafli ternyata mampu membuat Nia berangsur-angsur membaik, hingga akhirnya mereka pun memutuskan untuk pulang. Sambil membantu Nia berbaring di tempat tidur. "Sekarang kamu istirahat dulu ya, biar aku siapkan makan malam untukmu." "Mas." Nia langsung memegang tangan Rafli yang akan meninggalkannya. "Ada apa? Apa ada yang ingin kamu katakan kepadaku," tanya Rafli sambil tersenyum dan duduk di samping Nia Nia yang masih merasakan sakit di hatinya langsung memeluk Rafli dengan erat. Air mata kembali mengalir dari kedua matanya yang indah. Dengan lembut Rafli mulai mengecup kening sang istri. "Katakan saja apa yang sudah membuat hatimu sakit, aku yakin semua itu akan membuatmu jauh lebih tenang!" perintah Rafli sambil mengusap air mata Nia. Perlahan Nia pun mulai menceritakan semua kejadian yang baru saja dialamin
Rafli yang khawatir dengan keadaan Nia langsung membawa sang istri ke rumah sakit. Sesampainya di rumah sakit, Nia yang masih menangis kesakitan langsung dibawa ke ruang UGD. Satu jam berlalu hingga Dokter Mega akhirnya keluar dari ruang UGD. "Bagaimana keadaan istri saya, Dok?" tanya Rafli yang terlihat panik. "Tidak ada jalan lain, Ibu Nia harus melakukan pengangkatan tumor dan rahimnya." "Ya Allah bagaimana ini, apa yang harus aku lakukan sekarang? Jika aku mengizinkan secara otomatis aku tidak akan pernah bisa punya keturunan, tapi jika aku menolak bagaimana dengan kondisi Nia," batin Rafli yang terlihat menunduk. Sambil menepuk pundak Rafli. "Pikirkan semuanya baik-baik." Pilihan itu adalah sebuah pilihan yang sulit bagi Rafli. Selain tidak akan pernah mendapat keturunan Rafli juga pasti mendapat cemooh dari banyak orang. Sesaat Rafli terdiam hingga akhirnya dia memutuskan untuk masuk menemui sang istri. "Bagaimana keadaanmu?" tanya Rafli sambil memegang tangan Nia. "
"Maaf, ini siapa." Tulis Nia dalam pesan singkatnya. Tidak berapa lama, nomor tersebut akhirnya menghubunginya. Riko yang selama ini hampir dilupakannya kini ternyata kembali hadir dalam hidupnya. Luka yang mulai mengering kini kembali terbuka bersamaan dengan kedatangan Riko. "Halo," ucap Riko melalui panggilan telepon. "Maaf. Untuk apa kamu menghubungi ku lagi? Aku sudah tidak ada urusan apapun denganmu," tanya Nia dengan ketus. "Sampai kapanpun kamu tidak akan bisa lepas dari ku, Nia. Aku akan pastikan hidupmu penuh dengan penderitaan dan air mata," jawab Riko yang terdengar tertawa. "Cepat katakan apa maumu? Setelah itu jangan pernah ganggu kehidupanku lagi, kita sudah resmi bercerai, Mas. Apa lagi yang kamu harapkan dariku." "Mau ku sederhana, aku ingin kamu kembali padaku. Simpel 'kan," jawab Riko. "Tidak! Sampai kapanpun kita tidak akan bisa bersama, aku dan kamu sudah memiliki kehidupan masing-masing jadi kita tidak akan bisa bersama," jelas Nia. "Baik kalau beg
Nia yang masih terlihat mengantuk langsung mengikuti ucapan Rafli. Setelah bersiap-siap, mereka pun segera masuk ke dalam mobil hitam yang ada di depan. Ada rasa penasaran dalam hati Nia, hingga akhirnya mereka pun tiba di sebuah terminal bus. Rafli terlihat menjabat tangan temannya. "Terima kasih ya, Maaf sudah merepotkanmu." "Tidak apa-apa, aku senang bisa membantumu. Hati-hati di jalan, salam buat keluargamu," jawabnya sambil menjabat tangan Rafli. "Nia! Ayo kita naik," ajak Rafli yang langsung dijawab anggukan oleh Nia. "Memangnya kita mau kemana, Mas?" tanya Nia saat mereka sudah duduk di dalam bus. Setelah meletakkan tas Rafli pun langsung menjelaskan tentang kejadian yang sebenarnya. Ada rasa ragu dalam hatinya saat akan mulai menjelaskan kepada sang istri. Rafli yang sudah tidak lagi bekerja di perusahaan Konstruksi sudah tidak dapat lagi meneruskan kehidupannya di Denpasar. "Lalu, sekarang kita mau kemana?" tanya Nia penasaran. "Aku akan mengajakmu tinggal ber
Rafli yang baru saja pulang ke rumah langsung menemui istrinya di kamar. Namun, dia terkejut karena tidak melihat sang istri di dalam kamar. Dengan rasa khawatir dia langsung berjalan ke arah dapur. "Nia! Sedang apa kamu disini?" tanya Rafli yang terlihat terkejut saat melihat Nia ada di tempat cuci piring sambil menangis. "Aku bosan di kamar, jadi aku memutuskan untuk mencuci piring. Kamu dari mana, Mas. Kenapa baru pulang?" tanya Nia sambil mencuci tangannya yang penuh dengan busa sabun. "Nanti aku ceritakan, sekarang kita masuk ke kamar dulu. Kamu 'kan sedang sakit, jadi jangan terlalu capek." Rafli membantu Nia berdiri. "Tapi bagaimana dengan piring-piring ini?" tanya Nia yang terlihat gugup. Sambil mengajaknya berjalan. "Sudahlah nanti biar aku yang mengerjakannya." Kedatangan Rafli benar-benar membuatnya merasa jauh lebih tenang. Tidak muda bagi Nia untuk tinggal bersama keluarga Rafli. Sebuah keluarga yang penuh dengan drama di hadapan banyak orang. "Sekarang