Dirga Bimantara dipaksa pergi membawa bayinya yang masih merah meski Louisa belum melihat wajah buah cinta keduanya. Semua karena perbedaan status keluarga mereka. Meski Dirga berusaha, tetapi kuasa sang ayah mertua berhasil mematahkan semua usaha yang dilakukannya. Lantas, bagaimana nasib ketiganya? Akankah mereka dapat bertemu dan membangun keluarga secara utuh?
view more"Oh, iya, Pak. Tali pusar mas Louis sudah mau lepas, kemungkinan besok juga sudah lepas. Apa Bapak berencana mau mengadakan aqiqah untuk mas Louis?" kata Mela sambil berjalan mendekat, lalu mengulurkan Louis yang sudah siap. "Bapak mau menggendong mas Louis?" tawarnya yang tentu saja tidak mendapat penolakan dari Bima. Laki-laki itu langsung menciumi pipi Louisa gemas. "Nanti saya bicarakan dengan ibu Dina dulu, Mbak," jawab Bima. "Mas Louis mau berjemur sama saya atau sama bapak? Jangan lama-lama, cukup sepuluh menit saja." "Biar sama saya saja," jawab Bima. Dia lalu membawa Louis ke depan, sedang Mela menuju dapur untuk membantu Ajeng menyiapkan sarapan. Awalnya Bima akan mempekerjakan seorang asisten rumah tangga, karena Ajeng dan Mela khusus untuk menjaga Louis, tapi karena ada Mela Ajeng jadi menawarkan diri agar dirinya saja yang bekerja mengurus rumah, meski tentunya dibantu Mela saat Louis tidur. Bima terus mengukir senyuman sambil menatap wajah tampan Loui
"Santai papa, santai! Bahkan aku masih bisa sesantai ini meski hampir seumur hidup Louisa sudah dibohongi oleh putrimu tersayang. Yang sialnya, dia adalah wanita yang sangat aku cintai, Papa." Ada gurat luka di sorot mata Edward saat mengatakan itu, Thomas pun jadi penasaran dan segera mengeluarkan satu lagi berkas yang ada dalam map. "Surat Keterangan Tes DNA?" gumam Thomas lalu menatap Edward yang mengangguk dengan sikapnya yang masih santai, seolah apa yang sedang mereka bicarakan saat ini tidak menyakiti hatinya. "Bacalah, dan papa bisa mengerti apa yang seharusnya aku lakukan saat tau kebenaran itu dulu," kata Edward seraya mengangkat sebelah kakinya untuk bertumpu di kaki yang lain. Begitu santai dan tenang seakan apa yang akan Thomas baca sebentar lagi bukan satu hal yang penting. Tangan tua Thomas bergetar saat dirinya mulai membaca isi surat keterangan tersebut, dia menggeleng tak percaya dengan sesekali menatap Edward yang masih bisa menyunggingkan senyuman di bibir
"Tuan Besar, Tuan Besar Wei menunggu di ruang kerja Anda," ujar kepala pelayan begitu Edward sampai. "Papa? Sudah lama?" balas Edward lalu berjalan menuju ruang kerjanya di mana Thomas sudah menunggu. "Ada satu jam yang lalu." Edward mengangguk, sementara kepala pelayan memandangi punggung Edward yang menjauh, hanya suara ketukan sepatunya yang beradu dengan lantai terdengar. Mengisi rongga dadanya, juga merubah raut wajahnya dari segala kecewa saat mengingat dirinya dibohongi tentang Louisa bertahun-tahun lamanya, Edward membuka pintu ruang kerjanya hingga nampak Thomas yang tengah berada di sana bersama Sam. "Apa kabar, Papa? Kenapa tidak menghubungi aku dulu kalau mau datang?" sapa Edward mendekat, tersenyum hangat pada mertuanya yang tidak menunjukkan sikap yang sama padanya. "Apa aku harus bilang kamu dulu saat mau pulang ke rumahku sendiri?" tanya Thomas membuat Edward tersenyum kecut. "Bukan begitu Papa, tentu saja papa bebas mau kapan saja datang." Edward segera meralat
MI 9"Bapak siapa? Sedang apa di sini?" tanya seorang pria paruh baya pada laki-laki bertubuh tinggi yang tengah mengawasi rumah Mela. Lelaki itu menggeleng, jelas dia tidak mengerti apa yang dikatakan oleh warga tersebut. Tanpa mengeluarkan suara sedikitpun, dia langsung menaiki motor besarnya, lalu tancap gas sebelum menimbulkan kecurigaan dan memancing kedatangan banyak orang. "Aneh! Ngapain orang itu terus merhatiin rumah ceu Odah? Apa orang yang mau melayat?" gumam kakek tersebut, dia memperhatikan lelaki tadi yang terus mengawasi rumah ibu Mela begitu kedatangan Bima dengan yang lainnya. Hanya yang membuat dia curiga, pria tersebut nampak sesekali berbicara lewat telepon sambil mengamati. Hingga kakek itu berinisiatif untuk bertanya, namun bukannya menjawab orang tersebut malah langsung pergi. "Maaf, Tuan Besar, saya terpaksa meninggalkan lokasi karena ketahuan oleh warga dan ditanya. Takut menimbulkan kecurigaan," lapor lelaki itu begitu dirasa cukup jauh dari tempatnya tadi
Perkenalan pun terjadi, terutama untuk orang-orang yang baru ditemui Mela dan ibunya, sedang dengan bu Dina keduanya sudah pernah bertemu saat berkunjung ke panti.Perhatian Mela sejak tadi sudah terus pada sosok Louis, bayi mungil dalam dekapan Ajeng mengalihkan semua perhatian Mela, dari orang-orang yang tengah berbasa basi di depannya. "Rita, bayi siapa itu?" Semua orang melihat pada Mela yang kini matanya berkaca-kaca. Setiap melihat bayi, dia langsung merasa sedih berapapun umur bayi tersebut. Mela jadi teringat dengan anaknya yang pergi belum seminggu lamanya. "Mbak mau gendong?" tanya Bima membuat binar di mata Mela terlihat. "Bayi bapak, kah?" tanya Mela ragu, selain takut orang tua bayi yang terlihat menggemaskan itu tidak setuju. "Iya. Itu bayi saya. Louis namanya, Mbak Mela kalau mau gendong, silakan," tutur Bima dengan hati yang perih membayangkan Louisa. Pasti istrinya pun akan bersikap seperti Mela begitu melihat bayi. "Ah, Louisa sayang. Tunggu aku datang," rintih
Sarah menatap Louisa yang kini kembali nyaman dalam lelapnya, luka bekas operasinya kembali berdarah. Putrinya itu histeris dengan terus meneriakkan nama Bima juga menanyakan keberadaan bayinya, hingga dokter harus memberikan suntikan penenang untuk menenangkannya. Max berdiri tegak tanpa bersuara, berbeda dengan apa yang hatinya rasakan saat ini, wajahnya tetap datar seolah tak berpengaruh sedikitpun dengan keadaan Louisa. "Sampaikan pada Tuanmu tentang putriku. Katakan, dimana dia sembunyikan cucuku. Bilang juga padanya, aku pun bisa melakukan hal lebih gila dari yang sudah dilakukannya, jika dia tak mengatakan di mana Bima." Sarah berdiri menatap Max, namun laki-laki itu tak membalas tatapannya, hanya menatap lurus hingga dinding kamar yang menjadi fokusnya. "Apa kamu akan selamanya membisu, Max?" Max bergeming, Sarah jadi geram sendiri. "Kamu pengecut, Max!" Sarah mengguncang lengan Max, namun tak sedikitpun laki-laki bergerak, dia tetap berdiri kokoh. "Lihat putrimu, Max! B
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments