Rasa sesak dan sakit terlihat begitu jelas di kedua mata Nia. Rafli yang merasa iba dengan apa yang dialami sang istri terlihat memeluk Nia dengan begitu erat. Pelukan Rafli ternyata mampu membuat Nia berangsur-angsur membaik, hingga akhirnya mereka pun memutuskan untuk pulang. Sambil membantu Nia berbaring di tempat tidur. "Sekarang kamu istirahat dulu ya, biar aku siapkan makan malam untukmu." "Mas." Nia langsung memegang tangan Rafli yang akan meninggalkannya. "Ada apa? Apa ada yang ingin kamu katakan kepadaku," tanya Rafli sambil tersenyum dan duduk di samping Nia Nia yang masih merasakan sakit di hatinya langsung memeluk Rafli dengan erat. Air mata kembali mengalir dari kedua matanya yang indah. Dengan lembut Rafli mulai mengecup kening sang istri. "Katakan saja apa yang sudah membuat hatimu sakit, aku yakin semua itu akan membuatmu jauh lebih tenang!" perintah Rafli sambil mengusap air mata Nia. Perlahan Nia pun mulai menceritakan semua kejadian yang baru saja dialamin
Rafli yang khawatir dengan keadaan Nia langsung membawa sang istri ke rumah sakit. Sesampainya di rumah sakit, Nia yang masih menangis kesakitan langsung dibawa ke ruang UGD. Satu jam berlalu hingga Dokter Mega akhirnya keluar dari ruang UGD. "Bagaimana keadaan istri saya, Dok?" tanya Rafli yang terlihat panik. "Tidak ada jalan lain, Ibu Nia harus melakukan pengangkatan tumor dan rahimnya." "Ya Allah bagaimana ini, apa yang harus aku lakukan sekarang? Jika aku mengizinkan secara otomatis aku tidak akan pernah bisa punya keturunan, tapi jika aku menolak bagaimana dengan kondisi Nia," batin Rafli yang terlihat menunduk. Sambil menepuk pundak Rafli. "Pikirkan semuanya baik-baik." Pilihan itu adalah sebuah pilihan yang sulit bagi Rafli. Selain tidak akan pernah mendapat keturunan Rafli juga pasti mendapat cemooh dari banyak orang. Sesaat Rafli terdiam hingga akhirnya dia memutuskan untuk masuk menemui sang istri. "Bagaimana keadaanmu?" tanya Rafli sambil memegang tangan Nia. "
"Maaf, ini siapa." Tulis Nia dalam pesan singkatnya. Tidak berapa lama, nomor tersebut akhirnya menghubunginya. Riko yang selama ini hampir dilupakannya kini ternyata kembali hadir dalam hidupnya. Luka yang mulai mengering kini kembali terbuka bersamaan dengan kedatangan Riko. "Halo," ucap Riko melalui panggilan telepon. "Maaf. Untuk apa kamu menghubungi ku lagi? Aku sudah tidak ada urusan apapun denganmu," tanya Nia dengan ketus. "Sampai kapanpun kamu tidak akan bisa lepas dari ku, Nia. Aku akan pastikan hidupmu penuh dengan penderitaan dan air mata," jawab Riko yang terdengar tertawa. "Cepat katakan apa maumu? Setelah itu jangan pernah ganggu kehidupanku lagi, kita sudah resmi bercerai, Mas. Apa lagi yang kamu harapkan dariku." "Mau ku sederhana, aku ingin kamu kembali padaku. Simpel 'kan," jawab Riko. "Tidak! Sampai kapanpun kita tidak akan bisa bersama, aku dan kamu sudah memiliki kehidupan masing-masing jadi kita tidak akan bisa bersama," jelas Nia. "Baik kalau beg
Nia yang masih terlihat mengantuk langsung mengikuti ucapan Rafli. Setelah bersiap-siap, mereka pun segera masuk ke dalam mobil hitam yang ada di depan. Ada rasa penasaran dalam hati Nia, hingga akhirnya mereka pun tiba di sebuah terminal bus. Rafli terlihat menjabat tangan temannya. "Terima kasih ya, Maaf sudah merepotkanmu." "Tidak apa-apa, aku senang bisa membantumu. Hati-hati di jalan, salam buat keluargamu," jawabnya sambil menjabat tangan Rafli. "Nia! Ayo kita naik," ajak Rafli yang langsung dijawab anggukan oleh Nia. "Memangnya kita mau kemana, Mas?" tanya Nia saat mereka sudah duduk di dalam bus. Setelah meletakkan tas Rafli pun langsung menjelaskan tentang kejadian yang sebenarnya. Ada rasa ragu dalam hatinya saat akan mulai menjelaskan kepada sang istri. Rafli yang sudah tidak lagi bekerja di perusahaan Konstruksi sudah tidak dapat lagi meneruskan kehidupannya di Denpasar. "Lalu, sekarang kita mau kemana?" tanya Nia penasaran. "Aku akan mengajakmu tinggal ber
Rafli yang baru saja pulang ke rumah langsung menemui istrinya di kamar. Namun, dia terkejut karena tidak melihat sang istri di dalam kamar. Dengan rasa khawatir dia langsung berjalan ke arah dapur. "Nia! Sedang apa kamu disini?" tanya Rafli yang terlihat terkejut saat melihat Nia ada di tempat cuci piring sambil menangis. "Aku bosan di kamar, jadi aku memutuskan untuk mencuci piring. Kamu dari mana, Mas. Kenapa baru pulang?" tanya Nia sambil mencuci tangannya yang penuh dengan busa sabun. "Nanti aku ceritakan, sekarang kita masuk ke kamar dulu. Kamu 'kan sedang sakit, jadi jangan terlalu capek." Rafli membantu Nia berdiri. "Tapi bagaimana dengan piring-piring ini?" tanya Nia yang terlihat gugup. Sambil mengajaknya berjalan. "Sudahlah nanti biar aku yang mengerjakannya." Kedatangan Rafli benar-benar membuatnya merasa jauh lebih tenang. Tidak muda bagi Nia untuk tinggal bersama keluarga Rafli. Sebuah keluarga yang penuh dengan drama di hadapan banyak orang. "Sekarang
“Aku tidak melakukan apapun, bahkan aku juga tidak pernah meminta Mas Rafli untuk membenci Kakak ataupun keluarga yang lain.” Nia berusaha membela diri sambil duduk di atas tempat tidur. “Asal kamu tahu, sebelum menikah denganmu adikku itu adalah laki-laki tampan dengan banyak wanita cantik di sampingnya. Bahkan dia selalu terlihat bahagia, pacarnya juga dari kalangan kaya. Tidak sepertimu wanita penyakitan yang tidak jelas asal usulnya!” bentak Yola sambil bertolak pinggang. Nia yang mendengar penghinaan Yola hanya bisa menunduk dan meneteskan air mata. Dia tidak menyangka jika Kakak iparnya bisa menghinanya dengan begitu tega. Tidak ada yang bisa dilakukan Nia saat ini selain berdoa agar sang suami bisa segera tiba. “Ma! Mama,” teriak salah satu anak Yola yang bernama Nova. “Ada apa? Mama di kamar belakang!” jawab Yola sambil berteriak. Nova adalah anak keempat Yola dari pernikahan pertamanya. Yola yang selama ini hidup menjanda, akhirnya memutuskan untuk menikah dengan seo
"Ada," jawab Nia singkat. "Siapa? Apa itu Ibumu." Rafli terlihat tersenyum di hadapan Nia. Sambil berbaring di pangkuan sang istri. "Apa kamu yakin Ibumu ikhlas, apa kamu yakin tidak ada luka di hatinya." Mendengar ucapan Rafli, Nia hanya bisa diam sambil membelai rambut sang suami. Selama ini dia memang tidak pernah melihat apa sang ibu merasakan perihnya luka yang ada di hatinya. Tetapi yang dia tahu sang ibu selalu menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri dan Ibu yang baik untuk anak-anaknya. Perlahan Nia teringat kenangan masa kecilnya. Sebuah kenangan masa kecil yang dikelilingi oleh air mata. Budi yang saat itu masih menjadi anggota Polisi sering memukul Indah dan anak-anaknya. "Kemarin aku berkunjung ke rumah salah satu sahabatku, dan kebetulan dia memiliki kelebihan bisa melihat seseorang. Dia bilang, kalau Rafli saat ini dalam pengaruh ilmu hitam," ucap Yola hingga membuat Robi terlihat terkejut. "Jadi benar wanita tidak jelas itu telah memakai ilmu hitam u
Sambil membangunkan Nia dengan perlahan. "Nia, aku mau ke bengkel! Apa kamu mau ikut." "Tidak, Mas. Perutku masih sakit, sepertinya aku kesana nanti siang saya," jawab Nia sambil berusaha membuka matanya. "Ya sudah, aku ke bengkel dulu. Nanti siang jika kamu sudah jauh lebih baik, kamu kesana saja," ucap Rafli langsung mencium kening sang istri. Rafli yang sebelumnya mendapat bantuan modal dari beberapa teman kuliahnya memilih untuk membuka sebuah bengkel las kecil di tanah kosong. Sebuah tanah peninggalan orang tuanya yang ada di samping rumah yang ditempati Yola. Walaupun Rafli dan keluarganya bukan orang asli, tapi mereka terkenal sebagai seorang tuan tanah di daerah itu. Sambil melihat ke arah jarum jam. "Ya Allah sudah pukul 10 aku harus segera ke Mas Rafli, kasihan dia. Pasti dia belum makan sejak pagi." Nia yang masih merasakan sakit di perutnya berusaha untuk bangun dari tempat tidurnya. Perlahan dia berusaha untuk jalan keluar kamar untuk berjalan ke arah kamar man