Alex beranjak dan turun dari mobilnya.
"Kalian mau mesum?" tanya wanita bertubuh gempal yang mengetuk kaca mobil tersebut. Sementara itu Gina juga keluar langsung menepis semua tuduhan yang dilontarkan oleh Ibu Komariah tersebut."Ibu jangan salah sangka, ini tidak seperti yang ibu bayangkan," ucap Gina."Alah maling mana ada yang mengaku!" Ibu Komariah malah berteriak memancing kerumunan warga."Ada apa ini?" tanya beberapa orang wanita yang baru saja datang, termasuk Maria, mamanya Gina.Ini Gina dari tadi lama banget di dalam mobil, pas saya intip dia sama lelaki ini deket banget, pasti habis ciuman!" tuduh Ibu Komariah lagi.Gina menggeleng menatap ke arah Maria , ia takut jika mamanya tersebut percaya dengan ratu gosip tersebut, dan akan berdampai pada kesehatan mamanya.Ehheem...! Alex berdehem, "Ada yang bisa membantu saya membuktikan ucapan beliau?" tanya Alex menatap beberapa orang bu-ibu tersebut."Saya perlu seseorang yang bersedia duduk dikursi yang tadi ditempati Gina untuk duduk," ucap Alex tenang."Sini biar saya saja!" Ibu Komariah naik ke dalam mobil dan duduk di kursi depan tempat Gina tadi duduk. Alex memasang sabuk pengaman pada tubuh Komariah."Silahkan dibuka Bu!" titahnya setelah beberapa saat."Sekarang silahkan ibu buka sabuk pengamannya!" Alex memberikan arahan."Ehh kenapa ini, kok gak bisa!" ucap Komariah gagal melepaskan sabuk pengaman tersebut."Sabuk pengaman ini kadang-kadang bisa macet, kadang enggak. Waktu Gina di dalam, mau lepas tadi kebetulan juga macet, jadi saya bantu dia buat ngelepasinnya. Bukan berbuat mesum seperti yang ibu tuduhkan," jelas Alex tenang.Beberapa orang pun mencoba melepas sabuk pengaman yang membalut tubuh Ibu Komariah tersebut, dan tidak ada yang bisa membukanya.Satu persatu orang pergi, karena mereka akan sibuk dengan kegiatan masing-masing."Eh, kalian mau kemana?" tanyanya sanksi."Pulanglah Bu.""Lalu bagaimana dengan saya?""Itu urusan Ibu, makanya bu jangan sembarangan memfitnah orang." ucap salah seorang bu-ibu lagi."Makasih ya Mas, telah ngater aku." Gina mengangguk dan beranjak. Dalam hatinya sangatlah bersyukur karena Alex menunjukkan bukti bahwa mereka memang tidak melakukan apa-apa di dalam mobil tersebut kepada ibu-ibu yang berada di sana."Tunggu, apa kamu punya kendaraan untuk pergi ke tempatku besok?" tanya Alex.Gina menggeleng, "Aku akan naik angkot.""Kalau begitu, ini alamatnya," Alex memberikan kartu nama kepada Gina."Ayo Ma, kita masuk!" ajaknya kepada Maria yang mengikuti langkahnya."Loh, Gina kamu mau ninggalin saya di sini sendirian?" Komariah berteriak namun tidak didengarkan oleh Gina dan Maria.Komariah menatap Alex, " Bagaimana dengan saya?" tanyanya memelas.Alex mendekat, mencoba melepaskan sabuk pengaman tersebut, "Posisi saya dengan Gina tadi seperti ini Bu, mungkin kalau orang melihat dari luar akan mengira kami berciuman. Saya harap Ibu jangan lagi berbicara buruk tentang Gina." Alex menatap Komariah tajam.Membuat wanita biang gosip itu hanya bisa menggiyakan.Ketika memasuki rumah mata Gina membelalak karena apa yang ia pikirkan tidaklah sama dengan apa yang ia lihat. Dalam pikirannya rumahnya sangatlah kotor karena ia tinggal beberapa hari, namun ternyata ia salah, rumah itu sangatlah bersih. Entah siapa yang membersihkan rumah tersebut."Kamu tadi dari mana Gin, dan siapa lelaki itu. Mama kok seperti pernah melihat dia," Maria meletakkan tas berisi pakaian ke dalam kamarnya."Ooh, itu calon bos aku Ma. Mulai besok aku akan bekerja di rumahnya dia jadi tukang masak," jelas Gina.Maria menatap lekat wajah anak perempuannya tersebut. "Kamu jadi pembantu?" tanyanya miris."Katanya sih cuma tukang masak, belum tau ke depannya lagi.""Maafin Mama ya Gina, gara-gara Mama berpenyakitan seperti ini, kamu terpaksa bekerja mencari uang tambahan lagi.""Mama ini bicara apa sih, aku cuma punya Mama di dunia ini. Apapun akan aku lakukan agar bisa selalu bersama dengan Mama!" Gina memeluk Maria erat. Saat ini memang hanya Maria seorang yang Gina miliki, karena saudara laki-lakinya tidak ada di dekat mereka. Sejak 4 tahun yang lalu kakak pertama Gina yang bernama Yudi merantau ke luar negri dan mendapatkan jodoh di sana, oleh karena itu Gina disuruh untuk tinggal menemani kedua orang tuanya.Hari begitu cepat berlalu, kini malam mulai menjelang. Gina merebahkan tubuhnya yang lelah setelah mengkonsumsi obat pemberian dari rumah sakit. Dalam kesunyian malam, ia kembali teringat akan sang suami, entah dimana lelaki tersebut. Rasa rindu akan sosok tersebut menggelitiki hati, betapa bodoh dan tololnya ia karena merindukan bajingan seperti itu. Dua tahun bukanlah waktunl yang singkat, karena dulu Adam adalah orang yang penyayang, namun beberapa bulan ini sikap dan sikapnya berubah.Teringat akan penghianatan sang suami, ingin sekali rasanya membalas semuanya. Ucapan Alex tadi siang pun terngiang di telinganya. Bagaimana jika dirinya membalas perlakuan Adam dengan berselingkuh dengan bos suaminya tersebut.Hujan turun deras sore itu, membasahi jalanan yang terlihat lengang. Di dalam rumah Gina, suasana terasa sunyi. Gina duduk di sofa ruang tamunya, menatap jendela yang dipenuhi bulir-bulir air. Di pangkuannya, sebuah buku cerita anak-anak terbuka, tetapi pikirannya melayang jauh. Tama, anak laki-lakinya yang baru berusia empat tahun, sedang tertidur di kamar. Suara dengkurnya yang kecil terdengar samar dari balik pintu.Ketenangan itu tiba-tiba terusik oleh suara ketukan di pintu depan. Gina mengalihkan pandangan dari jendela, sedikit bingung. Siapa yang datang di tengah hujan deras seperti ini?Ia berdiri, melangkah ke arah pintu, dan membukanya. Sosok Alex berdiri di sana, dengan jas hujan yang sudah basah kuyup dan rambut yang sedikit berantakan.Gina mengerutkan kening. “Ada apa malam-malam kesini?"Alex tidak langsung menjawab. Tatapannya serius, hampir menusuk, membuat Gina merasa sedikit canggung. Dia melepas jas hujannya, menepuk-nepuk sisa air yang masih mene
Laura duduk termenung di ruang kecil kamarnya. Jendela kaca di samping meja riasnya memantulkan bayangan dirinya yang tampak lelah. Rambutnya yang biasanya tertata rapi kini tampak sedikit berantakan. Sejak kejadian malam itu, semuanya terasa berubah. Ia telah melewati batas, dan entah kenapa, perasaan bersalah itu terus menghantuinya.Hubungannya dengan Satria telah menjadi sebuah kesalahan besar. Malam itu, di pesta perusahaan, ia tak pernah menyangka akan terjebak dalam situasi yang begitu kacau. Entah apa yang diminum Satria pada malam itu nyatanya membawa mereka ke dalam kekeliruan yang tak termaafkan. Ia menghela napas panjang, mencoba mengusir bayang-bayang gelap itu dari pikirannya. Namun, semakin ia mencoba melupakan, semakin kuat rasa hampa di dadanya.—Laura memutuskan untuk melakukan sesuatu yang berbeda. Ia ingin keluar dari zona nyaman, dari lingkungan yang penuh dengan intrik dan konflik. Ketika salah satu divisi perusahaan mengadakan
Setelah perdebatannya dengan Angel Alex memilih keluar dan pergi ke kamarnya yang berada tepat disamping kamar Angel, meski menginap dihotel yang sama, namun ia memesan kamar kamar lain untuk dirinya sendiri karena memang Alex menyukai ketenangan. Alex berdiri di depan jendela besar di kamar tersebut. Sinar matahari sore memantulkan bayangan tubuhnya yang kokoh ke lantai kayu. Tatapannya kosong menembus kaca, tetapi pikirannya penuh dengan berbagai rencana. Ia sudah terlalu muak dengan permainan Angel. Istrinya itu sudah melampaui batas, dan kali ini, Alex tidak akan tinggal diam.Pintu kamar terbuka perlahan. Entah dari mana Angel mendapatkan kunci kamar tersebut, ia melangkah masuk dengan anggun, mengenakan gaun merah yang membalut tubuhnya dengan sempurna. Wajahnya penuh percaya diri, seperti biasa, tetapi sorot matanya menyimpan sesuatu—ketakutan yang ia coba tutupi.“Maafkan aku," Angel bersuaranya terdengar menyesal, juga ada nada gugup yang terselip di sana.Alex
Langit sore itu terlihat mendung, menambah suasana muram di sekitar tempat Gina berpijak saat ini. Udara terasa lembap, dan aroma tanah basah mulai tercium, tanda-tanda hujan akan segera turun. Gina menatap cakrawala dimana cahaya jingga serta awan hitam menutupi langit bagian barat wilayah tersebut. Handphone dalam tas selempangnya bergetar."Iya, Ma," ucapnya sedikit cemas."Kamu kok belum pulang? ini Tama nanyain dari tadi," ucap Maria disebrang sana."Iya Ma ini lagi dijalan, Mama sudah dirumah?" Gina memastikan keduanya baik-baik saja."Iya kami sudah dirumah, tadi ada orang baik nawarin tumpangan naik mobil, jadi Mama gak perlu nunggu jemputan dari Paman Andi,"Deg...Pernyataan dari Maria membuat Gina semakin yakin bahwa Angel tidak berbohong atas ucapannya."Ya sudah Ma, aku mau lanjutin perjalanan nanti keburu hujan!""Iya hati-hati..." Sepanjang perjalanan lagi-lagi Gina merasa tidak tenang, sebab ada seseorang yang terus saja men
Malam itu terasa sunyi, meski di luar suara kendaraan pengangkut barang produksi masih hilir mudik melewati jalanan ibu didepan rumah sederhana, Satria duduk di dalam kamarnya, menatap layar ponselnya yang menyala. Nama Gina terpampang di sana, tetapi ia tak punya keberanian untuk mengetuk ikon “panggil”. Ada ribuan kata yang ingin ia ucapkan, tetapi semuanya terhenti di tenggorokan. Kepalanya bersandar di sandaran ranjang sementara pikirannya penuh dengan bayangan Gina.Satria menghela napas panjang. “ Aku nggak bisa terus kayak gini…” gumamnya, setengah berbisik. Ia tahu, perasaannya kepada Gina bukan sekadar rasa suka biasa. Ini cinta. Cinta yang tumbuh tanpa ia rencanakan, meski ia tahu Gina masih menyimpan banyak misteri dari masa lalunya. Setiap kali ia melihat wanita itu, ada dorongan kuat untuk mengungkap misteri tersebut. Namun, semuanya terasa rumit. Gina, dengan sikapnya yang dingin namun penuh keraguan, selalu menolak untuk memberikan kepastian. Satria tahu
Malam itu, Angel berdiri di balkon kamarnya, memandang gelapnya malam di sekitar hotel tempat ia menginap. Pikirannya berputar-putar, penuh dengan rasa cemburu dan amarah yang tak bisa ia kendalikan. Gina. Nama itu terus menghantui pikirannya. Angel tidak bisa menerima kenyataan bahwa Alex, suaminya, masih memendam perasaan untuk wanita itu, apalagi setelah insiden malam pesta kemarin. Angel menggenggam ponselnya erat-erat, jemarinya gemetar. Tekadnya sudah bulat, Gina harus disingkirkan.Angel menekan nomor seseorang yang sudah ada di daftar kontaknya. Suaranya dingin ketika dia berbicara.“Aku butuh kamu lakukan sesuatu,” ucap Angel, nada suaranya rendah namun tegas.“Siapa targetnya?” balas suara pria dari seberang telepon.“Seorang wanita. Namanya Gina. Aku nggak peduli caranya gimana, tapi aku nggak mau dia lagi ada di sekitar suami aku. Buat dia kapok, atau lebih baik lagi... lenyapkan dia. Selamanya.”Hening sejenak di telepon, hanya terdengar suara nafas