"Sepertinya kau sangat terkejut melihatku?" ucap Alex tersenyum miring menatap wajah Gina yang wajahnya sudah terlihat normal seperti sedia kala.
"Iya Mas." ucap Gina malu, ia teringat akan kejadian tentang paper bag berisi pakaian untuknya tersebut."Ku dengar kau ingin pulang, padahal masih perlu perawatan," ucap Alex menatap lekat ke arah Gina. Jika biasanya lelaki itu berbicara menggunakan kata 'saya' untuk menyebut dirinya, kali ini Alex berbicara menggunakan 'aku'."Orang tuaku akan pulang Mas, tidak ada orang di rumah," jawab Gina merasa risih karena sepertinya sedari tadi Alex terus saja memperhatikan gerak geriknya."Memang ke mana orang tua kamu?" Alex ikut berjalan ketika Gina melangkahkan kakinya."Mama ada pelatihan kader posyandu," Gina menunduk, sungguh ia merasa tidak nyaman dengan keberadaan Alex yang sedari tadi berjalan beriringan dengannya."Oh..." hanya itu tanggapan Alex, namun langkah kakinya tetap mengikuti kemanapun Gina melangkah."Oh iya Mas, terima kasih banyak karena telah membawaku ke rumah sakit. Dan..." Gina tak meneruskan kalimatnya."Dan apa?" tanya Alex kemudian."Emmm... mengenai hutang, sepertinya aku belum bisa melunasinya sekarang. Tapi Mas Alex jangan khawatir, aku akan tetap membayarnya. Tapi aku minta kemurahan hati Masnya, aku bayarnya nyicil ya Mas..." suara Gina terdengar lirih.Alex menghentikan langkahnya, kemudian menatap Gina dengan pandangan yang menusuk hingga ke jantung wanita tersebut. Kemudian ia menghela nafas gundah."Mau bekerja ditempatku? Kamu bisa nyicil uang itu dengan potong uang gajih,""Mau Mas!" sahut Gina langsung. Karena memang ia tidak mempunyai pekerjaan sama sekali selain berjualan gorengan. Itupun hasilnya tidak tentu kadang jualannya laris dan terkadang juga tidak."Kebetulan akan ada tamu di tempatku, aku memerlukan tukang masak untuk melayani mereka. Kamu bisa masakkan? soalnya gorengan yang kamu jual kemaren lumayan enak," jelas Alex lagi."Mau Mas, di mana tempat kerjanya?" Gina nampak bersemangat."Kerjanya di rumahku, sambil kita jalan ku jelaskan," ucap Alex. Gina mengangguk kemudian kembali melanjutkan langkahnya keluar dari rumah sakit tersebut. Ia sedikit tertegun tatkala Alex menyuruhnya masuk ke dalam mobil yang terparkir di pinggir jalan."Aku akan mengantarmu!" ucapnya karena tau bahwa Gina tidak mempunyai uang untuk ongkos ia pulang. Gina mengangguk mengiyakan, kali ini dirinya hanya bisa menurut karena memang ia tidak memegang uang sama sekali."Kamu akan aku beri gajih 2 juta perbulan, dan uang bensin 30 ribu perharinya," ucap Alex sembari menyetir mobilnya. Gina diam mendengarkan ucapan Alex, otaknya berpikir jika sebulan ia bisa membayar hutangnya sebanyak 2 juta, maka akan berapa lama ia bisa membayar hutang sebanyak 50 juta tersebut.'Mas Adam, tega sekali kamu menggadaikan istrimu ini Mas!' batin Gina, tanpa sadar ia menghela nafas panjang."Kalau kamu mau jadi simpananku, hutang itu aku anggap lunas!""Hahhh?" sungguh tak pernah Gina sangka laki-laki di sampingnya ini berkata seperti ini."Kamu itu cantik Gina, cuman kurang perawatan. Sebenarnya aku ingin menikahimu. Tapi karena kamu istri orang, mana bisa," Alex kembali melanjutkan kalimatnya.Gina hanya terdiam, ia masih syok dengan apa yang ia dengar dari lelaki berwajah tampan tersebut."Kenapa, kamu kaget?" tanya Alex menoleh sekilas kearah Gina."Emmm... itu... anu..." Gina tak dapat berkata-kata dan tergagap."Wajah kamu pucat sekali, kau sepertinya ketakutan. Apa aku terlihat seperti lelaki yang mesum?" tanyanya meminta pendapat Gina."Hah...?" sungguh Gina terlihat grogi, bahkan keringat dingin keluar dari pori-pori kulitnya."Percayalah, baru kali ini aku berbicara lancang seperti ini dengan istri orang," Alex kembali fokus pada jalan di depanya.Sesaat keadaan dalam mobil menjadi hening, Gina lebih memilih memandang jalanan di luar jendela.Sementara itu Alex juga diam, ia memahami ketidaknyaman yang dirasakah oleh Gina.Sejak pertama bertemu, Alex memang memiliki ketertarikan kepada Gina. Dimana kecantikan wanita itu dapat dilihat meski tanpa menggunakan make up. Tubuh Gina juga bagus, tidak gemuk dan tidak juga kurus, namun ia dua bukit yang masih terlihat kencang, padat dan berisi. Apalagi ketika ia tidak sengaja melihat tubuh Gina ketika Gina pingsan dan ia bawa ke rumah sakit.Bayangan keindahan tubuh Gina tersebut sering sekali melintas dalam pikirannya.Tanpa Gina sadari mereka berdua sudah sampai di pinggir jalan tepat di depan rumah Gina."Sini biar aku bukakan!" ucap Alex melepaskan sabuk pengaman yang dipakai Gina karena memang macet.Gina menahan nafas, ketika jarak mereka sangatlah dekat, bahkan pipi Alex hampir menempel dihidungnya. Begitu juga dengan aroma parfum maskulin yang digunakan oleh Alex menguar memenuhi indera penciumannya.Deg... deg... deg...Jantung Gina berdebar kencang, tatkala Alex menatapnya lekat."Sudah," bisik lelaki itu tersenyum.'Ya ampun, malu sekali rasanya!' batin Gina karena Ia mengira Alex akan melakukan sesuatu dengannya.Tok... tokk.. tok...Seseorang mengetuk kaca mobil, membuat keduanya sama-sama tersadar."Apa yang kalian lakukan?"Hujan turun deras sore itu, membasahi jalanan yang terlihat lengang. Di dalam rumah Gina, suasana terasa sunyi. Gina duduk di sofa ruang tamunya, menatap jendela yang dipenuhi bulir-bulir air. Di pangkuannya, sebuah buku cerita anak-anak terbuka, tetapi pikirannya melayang jauh. Tama, anak laki-lakinya yang baru berusia empat tahun, sedang tertidur di kamar. Suara dengkurnya yang kecil terdengar samar dari balik pintu.Ketenangan itu tiba-tiba terusik oleh suara ketukan di pintu depan. Gina mengalihkan pandangan dari jendela, sedikit bingung. Siapa yang datang di tengah hujan deras seperti ini?Ia berdiri, melangkah ke arah pintu, dan membukanya. Sosok Alex berdiri di sana, dengan jas hujan yang sudah basah kuyup dan rambut yang sedikit berantakan.Gina mengerutkan kening. “Ada apa malam-malam kesini?"Alex tidak langsung menjawab. Tatapannya serius, hampir menusuk, membuat Gina merasa sedikit canggung. Dia melepas jas hujannya, menepuk-nepuk sisa air yang masih mene
Laura duduk termenung di ruang kecil kamarnya. Jendela kaca di samping meja riasnya memantulkan bayangan dirinya yang tampak lelah. Rambutnya yang biasanya tertata rapi kini tampak sedikit berantakan. Sejak kejadian malam itu, semuanya terasa berubah. Ia telah melewati batas, dan entah kenapa, perasaan bersalah itu terus menghantuinya.Hubungannya dengan Satria telah menjadi sebuah kesalahan besar. Malam itu, di pesta perusahaan, ia tak pernah menyangka akan terjebak dalam situasi yang begitu kacau. Entah apa yang diminum Satria pada malam itu nyatanya membawa mereka ke dalam kekeliruan yang tak termaafkan. Ia menghela napas panjang, mencoba mengusir bayang-bayang gelap itu dari pikirannya. Namun, semakin ia mencoba melupakan, semakin kuat rasa hampa di dadanya.—Laura memutuskan untuk melakukan sesuatu yang berbeda. Ia ingin keluar dari zona nyaman, dari lingkungan yang penuh dengan intrik dan konflik. Ketika salah satu divisi perusahaan mengadakan
Setelah perdebatannya dengan Angel Alex memilih keluar dan pergi ke kamarnya yang berada tepat disamping kamar Angel, meski menginap dihotel yang sama, namun ia memesan kamar kamar lain untuk dirinya sendiri karena memang Alex menyukai ketenangan. Alex berdiri di depan jendela besar di kamar tersebut. Sinar matahari sore memantulkan bayangan tubuhnya yang kokoh ke lantai kayu. Tatapannya kosong menembus kaca, tetapi pikirannya penuh dengan berbagai rencana. Ia sudah terlalu muak dengan permainan Angel. Istrinya itu sudah melampaui batas, dan kali ini, Alex tidak akan tinggal diam.Pintu kamar terbuka perlahan. Entah dari mana Angel mendapatkan kunci kamar tersebut, ia melangkah masuk dengan anggun, mengenakan gaun merah yang membalut tubuhnya dengan sempurna. Wajahnya penuh percaya diri, seperti biasa, tetapi sorot matanya menyimpan sesuatu—ketakutan yang ia coba tutupi.“Maafkan aku," Angel bersuaranya terdengar menyesal, juga ada nada gugup yang terselip di sana.Alex
Langit sore itu terlihat mendung, menambah suasana muram di sekitar tempat Gina berpijak saat ini. Udara terasa lembap, dan aroma tanah basah mulai tercium, tanda-tanda hujan akan segera turun. Gina menatap cakrawala dimana cahaya jingga serta awan hitam menutupi langit bagian barat wilayah tersebut. Handphone dalam tas selempangnya bergetar."Iya, Ma," ucapnya sedikit cemas."Kamu kok belum pulang? ini Tama nanyain dari tadi," ucap Maria disebrang sana."Iya Ma ini lagi dijalan, Mama sudah dirumah?" Gina memastikan keduanya baik-baik saja."Iya kami sudah dirumah, tadi ada orang baik nawarin tumpangan naik mobil, jadi Mama gak perlu nunggu jemputan dari Paman Andi,"Deg...Pernyataan dari Maria membuat Gina semakin yakin bahwa Angel tidak berbohong atas ucapannya."Ya sudah Ma, aku mau lanjutin perjalanan nanti keburu hujan!""Iya hati-hati..." Sepanjang perjalanan lagi-lagi Gina merasa tidak tenang, sebab ada seseorang yang terus saja men
Malam itu terasa sunyi, meski di luar suara kendaraan pengangkut barang produksi masih hilir mudik melewati jalanan ibu didepan rumah sederhana, Satria duduk di dalam kamarnya, menatap layar ponselnya yang menyala. Nama Gina terpampang di sana, tetapi ia tak punya keberanian untuk mengetuk ikon “panggil”. Ada ribuan kata yang ingin ia ucapkan, tetapi semuanya terhenti di tenggorokan. Kepalanya bersandar di sandaran ranjang sementara pikirannya penuh dengan bayangan Gina.Satria menghela napas panjang. “ Aku nggak bisa terus kayak gini…” gumamnya, setengah berbisik. Ia tahu, perasaannya kepada Gina bukan sekadar rasa suka biasa. Ini cinta. Cinta yang tumbuh tanpa ia rencanakan, meski ia tahu Gina masih menyimpan banyak misteri dari masa lalunya. Setiap kali ia melihat wanita itu, ada dorongan kuat untuk mengungkap misteri tersebut. Namun, semuanya terasa rumit. Gina, dengan sikapnya yang dingin namun penuh keraguan, selalu menolak untuk memberikan kepastian. Satria tahu
Malam itu, Angel berdiri di balkon kamarnya, memandang gelapnya malam di sekitar hotel tempat ia menginap. Pikirannya berputar-putar, penuh dengan rasa cemburu dan amarah yang tak bisa ia kendalikan. Gina. Nama itu terus menghantui pikirannya. Angel tidak bisa menerima kenyataan bahwa Alex, suaminya, masih memendam perasaan untuk wanita itu, apalagi setelah insiden malam pesta kemarin. Angel menggenggam ponselnya erat-erat, jemarinya gemetar. Tekadnya sudah bulat, Gina harus disingkirkan.Angel menekan nomor seseorang yang sudah ada di daftar kontaknya. Suaranya dingin ketika dia berbicara.“Aku butuh kamu lakukan sesuatu,” ucap Angel, nada suaranya rendah namun tegas.“Siapa targetnya?” balas suara pria dari seberang telepon.“Seorang wanita. Namanya Gina. Aku nggak peduli caranya gimana, tapi aku nggak mau dia lagi ada di sekitar suami aku. Buat dia kapok, atau lebih baik lagi... lenyapkan dia. Selamanya.”Hening sejenak di telepon, hanya terdengar suara nafas