***
Alhamdulillah, sekarang citra hotelku sudah kembali membaik. Pengungkapan mereka di media cukup menarik para customer hotel kembali.
Lalu, bagaimana nasib Mas Andri, ibu dan Maya?
"Aurel, jangan usir kami. Kami sudah tak punya lagi tempat tinggal." Itulah kata-kata terakhir dari ibu mertua. Sambil menangis dan merintih dia terus meminta maaf dariku.
"Kamu akan terima akibatnya, Aurel!" Mas Andri tadi siang mengancam. Dan kini Maya juga Mas Andri sudah ada di kantor polisi, mereka masih di selidik mengenai obat yang mereka palsukan untukku. Ya, itu terutama. Juga tentang sabotase hotel yang tidak di akui secara keseluruhan oleh Mas Andri.
Maaf kalau aku lakukan semua ini untuk kalian. Tapi ini semua tak ada apa-apanya dibandingkan dengan rasa sakit dan kekecewaan yang melanda batin ini. Sampai-sampai aku harus sampai menyaksikannya kalian akan berbuat tak senonoh di hadapanku. Sungguh k
***Hari ini seperti hampa. Setelah pemakaman jenazah Om Yudi, aku masih tak menyangka, perjumpaan kami di sore itu adalah perjumpaan kami yang terakhir.Langkah demi langkah terasa mengambang kala aku mulai meninggalkan area pemakaman. Selamat tinggal, Om. Semoga Om di tempatkan di sisi-Nya yang mulai. Ini seperti mimpi, Om akan secepat ini menyusul mama dan papa.Sampai di dekat mobil milik Om Yudi."Mas Juna, Tania, yang tabah, ya. Semoga almarhum di terima di sisi-Nya. Aku turut berduka. Dan maafkan bila selama ini aku merepotkan papa kalian terus." Isak tangisku kembali muncul kala bicara di hadapan kedua anak Om Yudi. Mereka berdua amat sangat kehilangan, pastinya, lebih dari perasaan yang aku rasakan."Iya. Makasih. Memang sekarang kita hanya harus tabah dan berdo'a." Jawaban Arjuna lumayan mengenakan hati. Aku takut kalau mereka berfikir Om
Aku dan Feri berkenalan di mobil sambil jalan. Meskipun ia sudah mengenalku, tapi aku masih belum mengenal dia.Feri orangnya santun dan santai, jadi aku tak canggung bicara dengannya, tidak kaku. Dan kini sampai lagi pembicaraan kami di inti."Jadi? Siapa yang sudah jamin mereka berdua?" tanyaku lagi.Feri mulai angkat bicara lagi. "Namanya Warisman. Dia pemilik hotel saingan kamu. Dan, dia yang sudah jamin mereka berdua. Untuk lebih jelasnya orangku masih menyelidiki kasus ini."Deg deg!Deg deg!"Om Warisman?" Aku kaget setengah mati. Bisa-bisanya Om Warisman bebaskan Maya dan Mas Andri dari perkara ini. Pantas saja. Tapi, kalau hanya Maya aku percaya, kalau dengan Mas Andri? Maya dan Mas Andri 'kan ada hubungan? Lalu, untuk apa Om Warisman bebaskan Mas Andri? Apa kepentingan bisnis? Ah tak mungkin."Aurel?" Feri mengejutkanku."Em. Iya
Semalaman aku tak bisa tidur karena masih berduka atas kepergian Om Yudi, apalagi aku juga masih kepikiran sikap Arjuna yang mungkin makin murka saja.Sungguh ini tak pernah terbayangkan sebelumnya kalau Mas Andri dan si Maya itu bisa di bebaskan dengan jaminan. Tahu seperti itu, aku ledakan saja meriam di kepala mereka. Aku di hukum? Oke, tapi aku akan puas, dan orang yang selalu melindungiku mungkin tak akan merenggut nyawa secepat ini.Astaghfirullah aladzim! Ini sudah takdir dari Tuhan, usia Om Yudi memang hanya sampai kemarin sore. Tapi, kalau saja dia tak terlibat dengan masalahku, mungkin nyawa Om Yudi tak akan lenyap dengan cara seperti itu.Selama ini aku tak pernah kenal dengan Arjuna, padahal Om Yudi adalah orang yang cukup dekat denganku. Kami tak pernah di perkenalkan. Tapi untuk apa juga? Memang kalau Almarhum Om Yudi punya dua anak, aku tahu, hanya tak pernah melihat wajah mereka. Sekalipun di medsos, karena
Jangan lupa, like + Komentar = next, ya🙏🙏👌💕💕 *** "Kalian jangan mengada-ada ya! Saya tahu siapa dan bagaimana suami saya. Maka dari itu saya kuasakan semuanya pada dia." Tante Yoesita tak terima dengan penjelasanku. Dan si Feri sejak tadi diam saja. Untuk apa dia ikut kalau hanya diam. Untung saja Tante Yoesita bicara masih dalam nada wajar. Bola matanya itu kalau mengamuk, pasti membuat bola mataku pergi tanpa pamit. Aku diam dan berfikir. "Kamu tidak ada bukti, kan?" Tante Yoesita menantang. Sialnya aku tak sempatkan bawa bukti gara-gara semalaman sibuk memikirkan Arjuna. Kutoleh Feri sambil meringis. Pria sok tampan dan sok angkuh itu hanya duduk terdiam mendengarkan. Lalu, dia ambil tas hitam miliknya. Seperti mengeluarkan sesuatu. Apa yang ingin dia lakukan? Ia pasang wajah super kalem. "Tante, Tante lihat ini. Saya tidak memaksa Tante perca
"Ma-Mama tak bisa tuduh Papa sembarangan. Mama ada bukti apa?" Om Warisman kelabakan super kaget."Kalau tidak benar, kenapa Papa gugup dan ragu seperti itu? Hah?" Tante Yoesita kini menyerang suaminya dengan beberapa kalimat pertanyaan. Bagus, Tante.Aku dan Feri menyaksikan persitegangan mereka. Bukan tak sopan, tapi kami butuh segala bukti-bukti dan sebagainya."Mah, tapi ini ada apa? Kok ada mereka? Malu, Mah, jangan bertengkar di depan mereka. Dan kenapa mereka kesini?" Masih tanda tanya dengan adanya kami diantara mereka. Keringat dingin pria berusia sekitar empat puluh tiga tahunan itu bermunculan."Inget ya, Pah. Sekali Papa tak jujur. Kali itu juga Papa, Mama tendang dari rumah ini. Biar Papa sekalian jadi gelandangan." Tante Yoesita mengancam. Ia nampak mengumpulkan seluruh energi untuk menghantam Om Warisman.Om Warisman menggaruk bagian pelipis menyeimbangkan suhu tubuhnya yang
"Fer, ini bukan jalan ke rumah, ya! Kamu mau bawa aku kemana?" bentakku panik. Pertanyaan mulai muncul ketika pria yang dibilang Simbok cekep itu membawaku ke arah jalan yang berbeda dengan tujuan ke rumah. Harusnya ambil jalan lurus malah belok ke arah kiri."Bawel."What? Bawel?Dia malah pasang wajah santai sambil terus fokus menyetir. Tak ada raut kesalahan atau memperhatikan pertanyaanku. Dia terus tancap gas saja tanpa bicara apapun mengenai jalanan yang kini ia jajal."Kok bawel? Kamu mau bawa aku kemana? Pokoknya aku mau pulang!" gertakku."Rel? Kamu mau pulang atau mau bertemu dengan Andri juga Maya dulu? Hah?" jawabnya bertanya. Apa?"Hah? Maksud kamu?" Lumayan penasaran."Kamu mau ketemu dulu sama mereka atau tidak? Atau mereka langsung kujebloskan saja ke kantor polisi?" tawarnya. Oh, jadi dia akan bawa aku ke mereka berdua."E
Sejak ucapan Feri tadi yang membuatku malu, mulut ini tak berhasil angkat bicara. Rasanya mau jawab apa? Diam saja lebih baik."Kalau diam gini, tandanya kamu malu, kan? Hayoh, santai aja lagi. Kan tadi kamu cuma akting. Ya, kan?" Akhirnya dia mengerti. Tak harus kujelaskan panjang lebar pula."Nah, itu tahu. Jangan GR deh. Akting aku 'kan harus full. Biar gak di curiga." Mendadak suhu tubuh ini membaik. Mulai mengatur nafas dan tenang. Sekejap kulihat Feri yang fokus menyetir ke arah kantor polisi. Namun segera kukibas pandangan ini."Beneran juga gak apa-apa. Aku singgel, kok," ujarnya lagi amat santai. Apaan pria ini? Sok kecakepan."Ish. Ogah! Mau singgel mau dobbel kek, gak niat. Deket kayak gini juga terpaksa," ketusku terus memperhatikan jalan raya.Ia malah terkekeh. "Oh ya? Kok kaya main bulu tangkis? Singgel sama dobbel di sebut-sebut. Kalau kamu suka sama aku juga gak apa-apa. A
Aku lega karena Mas Andri, Maya dan Om Warisman sudah menghuni jeruji besi. Sidang putusan mereka pun akan dilaksanakan setelah sidang perceraianku dengan Mas Andri dilaksanakan.Masalah mereka selesai. Tak mungkin lagi ada yang bisa bebaskan mereka. Atau dengan sanksi ikut terseret masuk dengan ketiganya."Non, ini susu hangatnya. Segera masuk, Non. Dingin. Entar masuk angin." Mbok Mun tiba-tiba datang mengagetkan. Kenapa pula harus kaget? Bukankah setiap malam itu kebiasaan Simbok?Sejenak menghela nafas panjang. "Makasih ya, Mbok." Kuraih gelas tinggi berisikan susu putih paforit. Namun pandangan ini masih kabur kemana-mana. Masih belum nyaman."Kok ngelamun, Non?" tanya Simbok. Dia ikut duduk di kursi sebelah."Bukannya den Andri sudah di tangkap sama si Maya juga?" ujar Simbok. "Non kepikiran?" imbuhnya lagi.Kugelengkan kepala. "Bukan soal itu, Mbok. Tapi ada hal lai