Tempat tidur di sebelahnya dingin dan kosong, Renja menatap lama oleh tatapan sayu dan senyum tipis yang dipaksakan.
Renja turun dari ranjang tinggi menyentuh lantai Kayu halus tak bermotif. Ia pergi ke meja segi panjang, memeriksa lauk-pauk yang ia masak. Maniknya gemetar, tak sedikitpun makanan di atas meja berkurang setelah ia tinggalkan tadi malam. "Dia kenapa tidak pulang?" Renja menatap pintu tertutup rapat, tidak bergerak dari tempatnya untuk mencoba membiarkan udara masuk. Dia menggelengkan kepala juga sedikit mengetuk dahinya sendiri. "Dia pasti sibuk, atau dia kelelahan dan tertidur di sana." Renja memperingati dirinya untuk mengerti. Dia memungut makanan basi, membawa ke dapur untuk dibersihkan. Rambut panjang diikat asal menggunakan karet yang ia temukan di atas kompor, Renja mulai melakukan keahliannya dalam mengurus rumah. Siang ini ... Darel pulang tidak, ya? Dalam sela-sela kegiatannya, dia memikirkan lagi suaminya. Apa yang disukai? Dan cara apa yang akan disenangi Darel untuk menyambut kepulangannya. Informasi yang Renja terlalu sempit, tetangga sekitar sepertinya bukan tipe yang mau bersosialisasi--mereka diam di rumah, tak mencoba bertanya siapa dan apa yang terjadi ketika ada penghuni baru di lingkungan mereka. "Aku tidak yakin mereka juga saling mengenal," gumam Renja, tempat ini cenderung mengabaikan urusan orang lain, mereka seperti menikmati kesunyian alam dan segala keindahannya. Tipe penghuni privasi tinggi. Pukul 10 siang barulah Renja membuka pintu depan, dia duduk di bangku teras sambil meletakkan teh dan camilan di atas meja bulat kecil. Menghirup aroma hangat ditemani alam subur, sensasi ini ... Renja merasa diseret ke dunia fantasi, atau zaman sebelum dunia belum mengenal teknologi serta mesin. Nyatanya dia hanya jauh dari pemukiman masyarakat biasa. Renja melepas ikat rambutnya, membiarkan angin bermain pada setiap helai tipis surai panjang itu. Matanya berkedip sayu setiap kali mengangkat gelas teh, merasakan uap panas membantu menyiram wajahnya. "Terlalu tenang sampai rasanya aku hidup sendiri di dunia ini." Dia bersandar pelan, mendongak pada langit-langit kemudian menghela napas ringan. "Haruskah aku pergi mengantar siang ke tempat kerjanya?" Renja menimbang-nimbang niat, tetapi setelah dipikir-pikir mungkin Darel akan malu nanti. Kenapa? Renja pernah melihat semasa dia sekolah dulu, anak laki-laki malu ketika ibunya datang membawakan bekal. Renja belum mengenal Darel, dia tidak boleh mengambil langkah sembarangan. *** "Aku penasaran seperti apa wajah istrimu. Apa dia cantik?" Yona, wanita tomboy yang merupakan adik dari pemilik bengkel bertanya. Dia juga sebagai montir, rambutnya hitam pendek, sering memakai baju kaos gelap. "Hmm." Darel hanya menjawab singkat, tangannya sibuk melakukan sesuatu dalam perbaikan mesin mobil dam. Dia tidak melirik wanita itu sama sekali, tak ada minat juga terhadapnya. Mata Yona gemetar, geraman tertahan tertuju pada seseorang yang tidak pernah dilihatnya, istri Darel. Yona menatap pria itu lama, mengikuti garis rahang mendamba. Pria yang ia sukai secara mendadak memiliki istri, Yona hampir pingsan mendengar kabar itu. "Be-begitu, ya." Lalu dia tertawa sumbang. Ia berdiri, akan mengerjakan sesuatu agar otaknya sedikit sibuk. Percuma. Rasa sakit tak terkira terus menghantam dadanya, membuat Yona selalu kehilangan fokus bahkan tidak dapat menyelesaikan pekerjaan setelah sekian jam dia di sana. "Darel, ini sudah siang. Kau tidak pulang? Istrimu pasti sudah menunggu untuk makan siang." Yona melirik sedikit saat abangnya menyapa Darel. "Nanti saja." Jawaban Darel membuat Yona mengernyit. Kenapa Darel tidak pulang? Tadi malam juga. Apa Darel tidak menyukai istrinya? Senyum Yona merekah, itu pikiran yang dapat memulihkan energinya. 'Kasihan sekali istri Darel.' Yona tertawa dalam diam. Dia kembali menatap Darel, wajah pria itu datar seperti biasa padahal dia baru saja memiliki istri. Darel sama sekali tidak memiliki semangat pengantin baru. *** Lagi-lagi masakan Renja dingin, Darel tidak pulang ketika makan siang tadi. Matahari di luar sana akan tenggelam, Renja memilih memanaskan makanan tersebut kembali dari pada memasak yang baru. "Malam ini pasti pulang." Dia semangat menata piring di atas meja, duduk nyaman sambil menopang dagu. Renja melirik jendela, di luar telah gelap gulita. Karena takut, Renja pergi menutup jendela itu dengan kain, lantas dia kembali duduk dalam posisi menunggu. Bunyi jarum jam terdengar jelas, Renja hanya terus diam tanpa tahu informasi suaminya pulang atau tidak. Jika saja dia memiliki ponsel, maka Renja akan langsung bertanya. "Dingin lagi." Dia berucap lesu, tangannya menyentuh piring-piring memastikan suhu. Wajahnya tergambar jelas tengah kecewa. "Sepertinya dia tidak pulang lagi." Renja mulai makan seorang diri, dia tetap menyisakan sedikit untuk suaminya, masih ada kemungkinan bahwa suaminya akan pulang. Dia kembali menekankan diri untuk menjadi istri yang tidak gampang mengeluh, dia harus menjadi penyemangat dan tempat pulang yang nyaman. "Jangan manja, Renja." Renja tersenyum tipis, usai itu dia mengemas piring bekas makannya sendiri. Menutup sisa di atas meja agar tetap aman dari kotoran. "Jangan terlalu dipikirkan." Renja masuk ke dalam kamar, menutupi seluruh tubuh dengan selimut. Dia sendiri lagi, tapi tidak apa-apa, Renja adalah sosok yang pengertian. Seperti malam sebelumnya, suara-suara alami alam di malam hari itu menakutkan. Renja memeluk bantal guling erat, menyembunyikan kepala pada benda panjang itu untuk setidaknya meredupkan suara-suara di luar. 'Tidak ada apa-apa di sini. Darel juga biasa hidup sendiri di sini, dan dia baik-baik saja.' Pengap mulai terasa, Renja lupa menghidupkan kipas angin, tetapi dia tidak berani keluar dari selimut atau mencoba mengintip ke luar. Pada akhirnya Renja tetap seperti itu sampai pagi kembali tiba. Renja duduk menyibak selimut, menemukan kasur dingin di sebelahnya. Dia menurunkan kaki ke lantai halus, akan membuang makanan basi di atas meja. "Benar, kan? Basi." Renja menyayangkan makanan-makanan yang ia buang. Dulu saat di rumah orang tua, dia tidak pernah membuang makanan sebanyak ini. Dia merasa bersalah. "Hari ini dia pulang nggak, ya?" ucap Renja sambil mengemas piring. Dia menahan air mata, entah sedih karena Darel yang tidak mengingatnya, atau atas makanan yang akan ia buang. Renja menyeka air matanya, gadis itu langsung terduduk sembari terus menghapus setiap tetes yang keluar dari matanya. "Kenapa aku menangis?" Dia juga bingung, tapi perasaan tidak nyaman muncul seakan seseorang yang terbuang. "Dia sedang sibuk saja. Dia tidak lupa." Esoknya hal serupa terjadi lagi. Renja sendiri. Tiga hari ... ketika rumah masih baru ia pijak, lalu tuan rumah tidak kembali lagi setelah kedatangannya. Apa yang akan dirasakan? Pasti tidak enak hati. Itulah yang Renja rasakan, sebelumnya dia pernah menginap di rumah sepupu, tapi mereka tidak meninggalkan Renja seperti orang transparan. Renja berharap hari ini Darel pulang, memakan masakannya dengan lahap. Itu saja, Renja tak meminta lebih.Para pembantu mengemasi barang dari lemari ke koper. Sementara dia wanita duduk di birai ranjang dengan perasaan yang berbeda. “Kenapa tidak menunggu lahiran saja baru pulang, Nak?” Berat Liana melepaskan menantunya yang telah menemani selama enam bulan di sini. Ia lihat senyuman Renja tampak tak sabar meninggalkan rumahnya, membuat ia bertanya-tanya tentang kenyamanan menantu di rumah mertua seburuk apa? “Aku merindukan rumahku, Bu. Lagipula di sana Darel bisa istirahat sepenuhnya dari pada mengurus pekerjaan yang tiada habis. Kasihan, dia baru saja sembuh.” “Ibu mengerti, tapi ... Apa tidak masalah Darel meninggalkan kantor sekarang? Bagaimana kalau ....” Liana tidak melanjutkan perkiraan buruk, ia yakin Renja mengerti apa maksudnya. “Darel bilang dia meletakkan Bapak duduk di kursi CEO, tentu bergerak sesuai perintah Darel. Pemilik bisa melakukan hal itu, menggerakkan orang untuk mencari uang menggunakan uang. Aku pernah dengar kata-kata itu.” Renja sudah terbiasa dengan
Kurang dari seminggu, berita ahli waris sebenarnya dari perusahaan di ujung tanduk kebangkrutan mengambil kembali posisinya menyebar dan menarik perhatian. Berbagai macam spekulasi dari internet, rata-rata mempertanyakan apakah pewaris asli akan berhasil mendirikan kembali kejayaan yang dibangun kakek dan ayahnya? Ya, itu pertanyaan yang patut dipertanyakan. Darel tidak memedulikan nasihat dari sesama pebisnis, mereka mengutarakan pendapat dari dampak kerugian besar jika Darel terus melanjutkan hal yang seharusnya tidak dapat diperbaiki lagi. “Kami menghormati Anda, tapi kami tidak bisa bertaruh pada hasil yang tidak terlihat sama sekali.” Ini sekian kalinya Darel ditolak oleh investor incarannya. Mungkin bapak itu akan dengan senang hati bekerja sama dengan bisnis Darel yang lain, namun tidak dengan perusahaan kritis ini. Darel permisi keluar dari ruangan, dia keluar dari perusahaan tersebut tanpa menggenggam hasil. Meski begitu, tidak ada raut kecewa sama sekali di wajah Da
Kepala Renja mendongak tinggi, berusaha melihat sebuah bangunan mewah yang sayangnya tak dapat dicapai matanya sampai ke puncak. Kekaguman terpancar jelas dari netranya, terpaku di samping mobil dalam halaman luas tertata strategis. Saat Darel keluar dari mobil, pria itu merangkul pinggangnya, membawa Renja masuk tanpa memberikan penjelasan ini rumah siapa. “Ini rumah siapa?” tanya Renja menghentikan langkah, tangan Darel hampir terlepas dari panggangnya sebelum pria itu ikut berhenti. “Mertuamu,” jawab Darel dalam sekali helaan napas berat. Wajah Renja seketika pucat, memegang kepala dengan kedua tangan, frustrasi. Kenapa Darel tidak bilang sejak tadi? Dia tidak membawa apa pun sebagai hadiah. Bagaimana tanggapan mertuanya nanti? Terlebih ini kali pertama mereka akan bertemu. Mata Renja menilik cepat, membara kesal. “Bagaimana aku bisa masuk tanpa membawa apa pun?! Darel kau benar-benar—” Telunjuk Darel mendarat di bibir Renja, membungkuk, wajahnya begitu dekat sampai
[Nah, kan, benaran hamil. Selamat, Renja.] ~Dorie.Renja tersipu setelah pesannya dibalas oleh Dorie. Setelah semuanya jelas, kebahagiaan Renja sulit digambarkan. Tidak menggunakan prasangka untuk menilai, berakhir salah paham yang membuat dia hampir melakukan tindakan konyol seperti menyembunyikan kehamilan. Memang Renja harus menekankan diri untuk komunikasi, berhenti menebak-nebak seperti dia hidup sendiri saja. Kabar ini harus diberitahukan ke keluarga. Renja menggeser layar ponsel, mencari nomor kontak mamanya. Kemudian jarinya berhenti, ponsel tersebut terlepas dari genggamannya. "Astaga bagaimana aku bisa lupa?! Bapak!" pekik Renja, memegang kepala sendiri menggunakan kedua tangan. Mabuk berkelanjutan usai turun dari penerbangan, menjadi penyebab Renja sibuk memikirkan kondisi dirinya sendiri. Pun Darel tidak menyebutkan hal itu juga, selain ikut berpikir tentang sakit Renja yang sering mual kala lapar sedikit saja. Kaki Renja turun dari Ranjang, berlari kecil keluar dari
Menjengkelkan, hari masih gelap di luar sana, dan Renja terbangun oleh gejolak di perutnya. Wanita itu melarikan diri ke wastafel, memuntahkan makanan yang ia santap semalam. Seluruh tubuh lemas, pandangan berkunang-kunang, sehingga ia harus mencengkeram erat pinggiran wastafel. Usai itu Renja tersandar di dinding, kian merosot ke bawah sampai ia terduduk di lantai. Ranja melipat tangan di perut, meringis oleh rasa sakitnya. Terpikir olehnya untuk lekas meminum obat Magh, namun bayangan Dorie muncul begitu saja. "Kau yakin itu Magh? Bisa saja kau hamil.""Ini Testpack, kau ambil." Dia menyerahkan tiga sekaligus. "Pastikan semuanya, dan beritahu aku hasilnya nanti."Benarkah hamil? Jadi bagaiamana dengan obat yang diminum Renja? Lenguhan berat lolos, bersama tangannya yang bergerak mencengkeram surainya sendiri. Denyutan pusing semakin keras, kepalanya seakan mau pecah. Tidak bisa, ia harus mengisi perutnya dengan sesuatu, sepertinya itu cara yang paling ampuh. Bersusah payah ia ban
Sudah lebih dari seminggu liburan bersama ini, beberapa kali kapal singgah di berbagai negara berbeda, dan mereka hanya turun sebentar saja setidaknya ke toko terdekat—hanya sebatas waktu kapal berlabuh. Liburan yang menyenangkan, tidak ada penyesalan sama sekali meski ada beberapa tragedi mendebarkan. Dipikir-pikir sepertinya itu merupakan pengalaman yang berkesan, akan selalu teringat sampai kapan pun. Waktunya mereka kembali pulang, naik pesawat untuk sampai ke negara asal. Seperti waktu mereka berangkat, Renja mabuk penerbangan. Lemas, beberapa kali muntah. Darel terpaksa memberinya obat tidur, atau Renja menderita sepanjang penerbangan. "Ada apa dengan Nyonya, Pak?" tanya Malen, mengambil alih koper dari tangan majikannya setelah ia melihat keberadaan mereka di bandara—bertugas menjemput Darel. Renja terkulai lemas dalam gendongan layaknya anak kecil dalam pelukan ayahnya. Mata tertutup, wajah teramat pucat. Malen mengkhawatirkannya. "Mabuk penerbangan," jawab Darel. Kemudi