"Kalau kamu ingat, saya pernah memaksa kalian bertiga untuk segera melakukan observasi ditempat yang jauh bahkan tempat itu hanya rekayasa. You know? Orang dan bangunan disana berasa didalam kendali saya," ucap Prof Gin. Morgan menggertakkan giginya. Ingin rasanya ia segera keluar dari ruangan ini. Namun naasnya pria itu membuatnya penasaran akan rencana murahan yang telah dirancang. "Rencana pertama berhasil. Dengan membuat kalian bertiga betah disana. Kemudian serangan terakhir saya adalah mengirimkan anak buah untuk merusak project kalian. Dengan begitu fokus kalian teralihkan pada masalah tersebut. Itu artinya semakin mudah tim IT untuk menyabotase ponselmu. Dan ternyata semua dokumen ada disitu. Sama sepertimu yang selalu memunculkan gagasan ide terbaru tentang program. Saya juga sering meluncurkan aplikasi hacker sekali klik, bisa mengakses seluruh informasi," sambung Prof Gin. 'Kurang ajar!! Jadi selama ini---' Morgan hanya bisa membatin. Sementara kedua tangannya mengepal.
"Woi, Morgan si tukang ojek ngapain kuliah. Udah sana lanjut ngojek!!" Sebuah suara dari belakang menyentak Morgan yang masih duduk di kursi motornya. Sebuah mobil mewah berjalan melewatinya.“Udahlah, kamu itu percuma kuliah Morgan. Ujung-ujungnya ya ngojek lagi pekerjaanmu, hahaha!”Pengemudi yang duduk di belakang membuka jendela mobil ikut menertawai kondisi Morgan. Hingga bersahut-sahutan melontarkan kalimat yang tak pantas untuk didengar.Itu adalah Derren, anak dekan yang sangat sombong dan selalu merasa sebagai penguasa di kampus itu.Tak ingin membuang tenaganya untuk menanggapi mereka, Morgan memilih diam dan tetap fokus mengemudi. Andai ada jalan lain, mungkin saat ini ia akan memilih jalan itu untuk menghindari mereka yang tak pernah melewatkan kesempatan untuk menghinanya.“Hahaha! Sampai ketemu di kampus, Pecundang!”Sesampainya di kampus, Morgan menghentikan kendaraannya, di antara deretan sepeda motor lainnya di parkiran kampus. Usai mematikan mesin motornya, pria be
Morgan mengernyitkan dahi melihat pakaian yang mereka kenakan.Kedua orang itu dibungkus jaket hitam, celana hitam, dan topi hitam, tampil dengan gaya yang begitu stylish. Meskipun wajah mereka sebagian tertutup oleh topi, Morgan merasa tidak asing melihat mereka. Dua pria pria itu tampak terkejut dengan reaksi Morgan. Mereka saling menatap. "Emang kalian siapa? Orang nggak kenal," maki Morgan."Tapi kami mengenal anda. Kami yakin dari motor anda. Bukankah motor ini diberikan oleh tuan Arthur Collim kepada anda, cucu kesayangannya," Morgan mengamati motor miliknya dengan seksama. Hal yang sama juga dilakukan dua pria itu. "Enak aja! Ini motor belinya pakai uangku sendiri," elak Morgan. "Tapi kami yakin anda adalah cucu Tuan Arthur Collim, terlihat jelas dari tanda lahir di telapak tanga anda,"tegas pria itu.'Sialan! Jadi selama ini mereka ngikutin aku,' batin Morgan sambil menggengam telapak tangannya untuk menutupi tanda lahirnya."Kami diberi tugas untuk mencari anda dan memba
Ting~ Sebuah pesan masuk dari rekannya yang bernama Dion dari jurusan Elektro. [Lagi di taman nih. Join sini, aku tungguin] Begitu membaca pesan itu dari panel notifikasinya, Morgan pun segera membalasnya. [Otw] Usai mengirim pesan tersebut Morgan segera memakai helmnya. Rekannya satu ini menjadi harapan terakhir Morgan dalam mencari pinjaman uang.Rekannya itu merupakan ahli kelistrikan yang sering menangani projek desain listrik rumah maupun perusahaan. Karena itulah Morgan tak ragu meminjam uang padanya. Dari segi keakraban dan juga finansial, temannya itu membawa harapan besar bagi Morgan. Melihat Dion, Morgan segera mendekat ke arahnya. Namun, ia menyadari kalau disana ada gengnya Derren. Si anak Dekan yang tak pernah melewatkan kesempatan untuk mengejeknya. Alih-alih meninggalkan tempat itu karena malas menghadapi geng tersebut, Derren justru memanggilnya. "Eh bro! Mau kemana, buru-buru amat," ucap Derren. Hingga akhirnya Morgan pun berbalik badan menghadap mereka. Kin
Satpam dan dua bodyguard itu diam seketika melihat sang majikan menghampiri mereka. Pria paruh baya yang mengenakan jas hitam yang harganya setara dengan gajinya selama setahun. “Morgan, masuk!!” pinta Arthur. Mendengar majikannya mengizinkan gembel itu masuk, baik satpam maupun bodyguard bergidik ketakutan. Kesalahan yang mereka lakukan kali ini pasti tidak akan ditoleransi oleh Arthur Collim.“T-tuan s-s-saya minta maaf-“ ucap satpam dengan nada terbata. Begitu Morgan berdiri dihadapannya, satpam tersebut tak punya cukup keberanian untuk menatap wajah cucu majikannya.“Maaf-maaf, enak banget ngomongnya,” sahut Morgan.Kekesalannya tak bisa dibendung lagi. Ia masih tidak menyangka dianggap gembel di rumahnya sendiri.“S-saya sungguh menyesal tuan. Saya siap menerima hukuman,” Terlihat jelas ketakutan satpam tersebut dari suaranya serta raut wajahnya.“Hajar,” pinta Arthur Collim sambil memberikan isyarat kepada dua bodyguardnya.“Baik tuan,” Dua pria bertubuh kekar itu Bersiap meng
"Ini uangnya pak” Morgan menaruh bungkusan uang di atas meja Robert Jensen. "Semua kerugian laboratorium telah saya bayar lunas," sambung Morgan. Prof. Robert Jensen masih menatapnya dengan datar. Antara kaget dan tak percaya. Begitulah yang dirasakan pria yang usianya mendekati setengah abad itu. "Morgan! Dari mana kau dapat uang ini? Hasil ngrampok ya? Uang palsu kan?!" sahutnya. Morgan merasa geli ketika mendengar komentar Profesor Robert. Tawanya pun tak bisa dibendung begitu saja. Meskipun situasinya serius, ekspresi wajah dosennya yang datar membuatnya tak bisa menahan reaksi spontan. "Pak saya memang miskin, tapi tidak dengan moral dan hati saya," ucap Morgan dengan yakin. "Lalu darimana kau dapat uang sebanyak ini?" tanya Prof. Robert. Dari nadanya terlihat jelas bahwa pria itu menyepelekan Morgan. "Dari tabungan," elak Morgan. Tidak mungkin dia mengatakan bahwa kakeknya yang memberikan uang tersebut. Pasti Robert tak melewatkan kesempatan untuk menertawakan hal itu.
"Mas, silahkan!" Morgan terkejut begitu antrian dibelakangnya justru dilayani dulu. "Kang ojek minggir dulu," ujar Derren. Teman-teman Derren pun menggusurnya sampai barisan paling belakang. Morgan menggelengkan kepala tak habis pikir dengan kelakuan mereka semua. Begitu hinanya pakaian yang ia gunakan hari ini sampai kehilangan hak disini. "Keren bro, btw thanks bro!" Beberapa menit kemudian Derren dan kawan-kawannya menjauh dari kasir. Wajah-wajah riang mereka tak bisa disembunyikan begitu membawa tas berisi kotak jam dari brand terkenal. Begitu juga dengan Derren yang hari ini puas sekali nampaknya menunjukkan kekayaannya. "Woi, buruan bayar. Ngapain disitu? Nggak mampu ya?" Tak cukup puas menghina Morgan, Derren pun tak melewatkan kesempatan untuk menghina Morgan. "Beliin lah, kasihan," sahut yang lain tentunya dengan nada ejekan. "Iya bro, kang ojek mana sanggup," "Ah elah sok melas. Uang hasil judinya kemana? Abis ya buat bayar kerugian lab?""Iya tuh. Mending ngrampo
"Ya gimana nggak viral. Jarang loh sekarang ini mahasiswa yang kuliah sambil kerja," Percakapan awalnya yang hanya sekedar bertukar identitas, kini masih berlanjut. Bedanya hanya mereka berdua saja yang duduk di depan ruko sembari menunggu hujan reda. Sedangkan dua bodyguard tadi, menghilang entah masih memantau dari kejauhan atau pergi begitu saja. "Biasa aja," sahut Morgan. "Menurut kamu biasa aja. Tapi nggak semua orang menilai apa yang kamu lakukan itu biasa," timpal Regina. Sesama penikmat hujan itu rupanya larut dalam suasana yang tenang sore itu. "Lagian, kamu tu udah lama jadi perbincangan dosen, mahasiswa sampai satpam kampus juga," Regina tak hentinya tersenyum menceritakan perspektif orang-orang terhadap sosok Morgan. "Karena tukang ojek?" "Ih enggaklah. Lebih tepatnya karena kamu tu hebat banget, berani eksperimen di lab yang jelas-jelas risikonya fatal," jelas Regina. Morgan mengerutkan dahinya. "Buset beritanya cepet banget kesebar. Padahal---""Ya karena kamu se