Ting~
Sebuah pesan masuk dari rekannya yang bernama Dion dari jurusan Elektro.[Lagi di taman nih. Join sini, aku tungguin]Begitu membaca pesan itu dari panel notifikasinya, Morgan pun segera membalasnya.[Otw]Usai mengirim pesan tersebut Morgan segera memakai helmnya. Rekannya satu ini menjadi harapan terakhir Morgan dalam mencari pinjaman uang.Rekannya itu merupakan ahli kelistrikan yang sering menangani projek desain listrik rumah maupun perusahaan. Karena itulah Morgan tak ragu meminjam uang padanya. Dari segi keakraban dan juga finansial, temannya itu membawa harapan besar bagi Morgan.Melihat Dion, Morgan segera mendekat ke arahnya. Namun, ia menyadari kalau disana ada gengnya Derren. Si anak Dekan yang tak pernah melewatkan kesempatan untuk mengejeknya.Alih-alih meninggalkan tempat itu karena malas menghadapi geng tersebut, Derren justru memanggilnya."Eh bro! Mau kemana, buru-buru amat," ucap Derren.Hingga akhirnya Morgan pun berbalik badan menghadap mereka. Kini semua simpati tertuju padanya. Termasuk Dion yang daritadi fokus menatap laptop kini tak lagi."Morgan, sini join. Katanya mau ngomong penting," ucap Dion menyambut rekannya itu.Tak tau kalau sebenarnya Morgan tak sefrekuensi dengan gengnya Derren. Sedangkan Dion yang netral tak melihat adanya kejanggalan."Enggak, lain kali aja," sahut Morgan."Alah, palingan mau utang," sindir Derren.Kini semua pandangan memperhatikannya."Aku nggak asal ngomong. Kemarin si tukang ojek abis dimarahin habis-habisan sama pak Robert perkara laboratorium, terus kalau dia nggak mau ganti rugi auto di DO. Wajar aja di kesini mau nyamperin Dion. Pasti mau ngutang," jelas Derren.Kini konflik antara Morgan dan Prof. Robert bukan rahasia lagi melainkan berita hangat yang diperbincangkan semua kalangan di kampus. Bahkan Dion pun terkejut mendengar hal itu.Derren pun berdiri menghampiri Morgan. Dari pandangannya yang sinis tak mengecilkan nyali Morgan."Udah deh, terima nasib aja kalau miskin. Nggak usah sok-sokan jenius apalagi eksperimen," maki Derren. Kebetulan kemarin dia menjadi saksi kejadian di laboratorium."Aku bukan orang miskin," sahut Morgan."Iyain aja. Asal kamu tau, tukang ojek nggak pantes kuliah disini," sanggah Derren."Jaga mulutmu, jangan sampai kamu menyesal," tegas Morgan.Muak dengan hinaan dari Derren, Morgan akhirnya meninggalkan taman kampus. Itu pun diiringi tawa jahat dari gengnya Derren."Morgan!"Tak disangka rupanya Dion mengejarnya sampai ke parkiran."Dion, kamu ngapain kesini?" tanya Morgan."Harusnya aku yang tanya. Tapi itu nggak penting. Morgan! Kita temenan udah lama. Tapi kamu nggak pernah terus terang bilang kalau kamu butuh bantuan. Andai kamu bilang lebih awal kamu butuh berapa mungkin daritadi aku bisa bantuin kamu," jelas Dion."Aku nggak enak sama kamu," sahut Morgan."Ya sekarang jelas nggak ada. Udah kutransfer semua gajiku ke orang tua di kampung," sanggah Dion mulai putus asa.Morgan pun menepuk pundak rekannya. Alih-Alih kecewa karena gagal mendapat pinjaman, Morgan justru kagum pada rekannya karena mementingkan kebutuhan orang tuanya diatas kebutuhan pribadinya.Jarang-jarang ada yang berpikiran seperti Dion. Bahkan selama kuliah, Morgan banyak belajar dari Dion. Sebagai panutan sekaligus motivator."Nggak papa, masih ada cara lain kok," pungkas Morgan."Sumpah, aku nyesel banget. Tapi aku ada sisa dikit. Buat kamu. Siapa tau bisa buat ongkos," Dion merogoh saku celananya. Dan mengeluarkan selembar uang lima puluh ribu. Lalu memberikannya pada Morgan."Nggak udah bro! Buat kamu aja," sahut Morgan berusaha menolak."Udah terima aja. Siapa tau bisa bantu," desak Dion.Hingga akhirnya Morgan pun menerimanya. Situasinya akan berbanding terbalik jika ia menolak uang tersebut. Morgan pun berjanji untuk mengembalikan uang tersebut secepatnya.Tinggal beberapa jam saja, malam akan tiba. Dan Morgan belum mendapatkan uang tersebut. Satu-satunya yang menjadi harapan Morgan adalah uang transferan itu."Aku nggak punya pilihan lain. Aku harus menemui kakek," ucap Morgan melupakan egonya demi uang tersebut.Dalam hati, dia berharap bisa memperoleh pemahaman yang lebih dalam tentang kehidupan nyata di luar kekayaan dan kemewahan yang selama ini dia nikmati.Tapi ternyata kehidupan menjadi orang biasa tidaklah mudah. Tidak seperti yang dia bayangkan sebelumnya.Sesampainya di gerbang mewah yang melindungi sebuah rumah megah yang luas, Morgan berjalan santai.Ia teringat masa-masa ketika ia masih menikmati segala kenikmatan tanpa kekurangan apapun. Namun, kehidupannya sebagai orang biasa juga memberinya banyak pelajaran."Permisi," ucap Morgan di depan gerbang. Berharap satpam rumah ini segera membukakan gerbang dan para bodyguard menyambutnya seperti yang terjadi semasa menjadi cucu konglomerat.Tak lama kemudian seorang satpam membuka gerbang. Satpam itu, terbiasa menyambut kedatangan tamu berkelas, seketika terkejut melihat penampilan Morgan nyaris seperti gembel. Tatapan heran tergambar jelas di matanya saat ia memperhatikan wajah Morgan yang penuh keringat dan noda.Matanya menyapu dari ujung kepala hingga ujung kaki Morgan."Mau minta sumbangan ya?" tanya satpam.Kedua mata Morgan membulat dengan sempurna. "Pak ini saya, cucunya Arthur Collim," ungkap Morgan.Satpam itu mengerutkan dahi. "Setiap keluaga tuan Arthur selalu berpakaian rapi dan elegan bukan berpenampilan seperti pengemis! Lah anda ini siapa emangnya? Ngaku-ngaku jadi cucunya tuan Arthur," sahut satpam."Bapak masih nggak percaya?" sahut Morgan sambil meletakkan kedua tangannya di pinggang. Ia tak habis pikir, untuk pertama kalinya ia tak dikira gembel di rumahnya sendiri."Ya iyalah. Halumu itu loh terlalu tinggi," maki Satpam.Morgan menggeram kesal. Ia merasa tak punya waktu meladeni orang di depannya ini."Gini deh, memangnya kamu punya bukti kalau kamu cucunya tuan Arthur? Ayo, jawab," Satpam tak kehilangan akal untuk mengusir pria yang disangka gembel itu.Morgan hanya bisa menghela nafas panjang. Matanya menatap satpam itu dengan tajam."Kok diam! Berarti kamu bohongkan," maki Satpam.Untuk ke sekian kalinya pria paruh baya itu tak melewatkan kesempatan untuk mengejek Morgan.“Jangan sampai bapak menyesal karena telah menahan saya masuk!” ucap Morgan yang kesabarannya sudah hampir habis."Mending kamu periksa ke psikiater dulu deh. Saya khawatir jiwamu nggak sehat. Atau introspeksi dulu kalau nggak gitu ngaca sana, pantes nggak disebut cucunya Arthur Collim. Gembel, mau minta sumbangan aja ngaku-ngaku jadi cucunya konglomerat. Sekarang pengemis muda kreatif-kreatif ya,"Morgan hanya bisa menghela nafas panjang. "Sabar Morgan, sabar! Jangan gegabah," ucap Morgan dalam hati."Udah sana pergi! Cari mangsa lain sana! Siapa tau ada yang iba sama gelandangan baru kayak kamu," pungkas satpam.Satpam pun berbalik badan meninggalkan Morgan diluar gerbang.“Bapak belum tau rasanya dipecat ya,” Morgan memancing amarah satpam yang baru saja menghinanya tadi.Ia mengira apa yang dikatakan barusan tidak akan digubris. Namun ternyata satpam itu murka padanya hingga memanggil para bodyguard untuk mengusirnya.“Kurang ajar!!!” maki satpam sambal membuka kunci gerbang.Morgan sama sekali tak gentar melihat dua bodyguard berbadan kekar yang berdiri di belakang satpam. Dari tampang dan gelagatnya sepertinya mereka siap menghajar Morgan.“HEH, Sebelum babak belur mending kamu pergi deh,” ujar satpam.“Lah nantangin. Siapa takut? Ayo sini maju,” sahut Morgan sambil melepas jaketnya.“Gembel aja banyak gaya. Sikat bang,” maki satpam lalu memberikan isyarat pada rekan bodyguard untuk menghajar pria itu."Cucuku bukan gembel!""Sedikit lagi proyek itu selesai. Kamu segera susun anggarannya ya. Pastikan jangan sampai ada yang nggak keinput," ujar Arthur. "Baik pak," Bahkan setelah tiba di rumah, tak hentinya pria paruh baya itu membicarakan pasal bisnisnya. Menggambarkan betapa kerasnya dia bekerja meski sudah kaya raya. "Kalau begitu saya permisi pak," ujar asistennya. Arthur mengangguk. Kini waktunya Arthur istirahat. Namun setelah beberapa detik ia memalingkan pandangannya dari asistennya, kini asistennya muncul lagi dihadapannya. "Mohon maaf pak, ada tamu yang ingin menemui bapak," Arthur mengerutkan dahi. "Jam segini ada tamu?" Arthur menoleh ke arah jam dinding yang telah menunjukkan pukul 10 Malam. "Iya pak, katanya urgent pak," sahut Asisten. Tanpa bertanya siapa yang bertamu malam-malam begini, Arthur memilih menemui tamunya itu. Yang benar saja begitu tiba di ruang tamu dia dibuat heran dengan tamunya malam ini. Sosok cengengesan itu duduk diatas sofa dengan sopan itu layaknya ta
Morgan membuka tasnya dengan santai, berniat mengambil catatan untuk membunuh waktu gabutnya. Sementara Jon dan Dion masih berkutat dengan skripsi mereka. Namun, begitu resleting tas terbuka, matanya langsung menangkap sesuatu yang berbeda yaitu setangkai mawar merah, masih segar, kelopaknya terbuka dengan indah. Morgan terdiam. Mawar itu… Dia sudah lama berniat memberikannya pada Regina, sebagai ungkapan isi hatinya yang sebenarnya. Sebuah permintaan maaf atas semua kesalahpahaman yang terjadi, sekaligus sebuah pengakuan. Namun, entah kenapa, kesempatan itu selalu terlewat. Entah karena situasi yang tidak tepat, atau mungkin karena dia sendiri masih ragu apakah ini saat yang tepat. Tapi sekarang, melihat bunga itu di dalam tasnya, dia merasa seolah mendapat pengingat. "Niat baik nggak boleh ditunda," pikirnya. "Aku harus minta maaf ke Regina, sekalian ngasih bunga ini sebagai ungkapan isi hatiku yang sebenarnya." Morgan menarik napas dalam, kemudian dengan gerakan cepat, ia mer
"Ngurus cucu satu aja susahnya kayak ngurus puluhan orang. Susah banget. Pengennya itu lo ngadi-ngadi. Pengen jadi tukang ojeklah, pengen jadi anak kos lah, pengen jadi gelandangan lah, sekarang pengen jadi bos ojek, setelah ini pengen apalagi coba?" Sopir dan asisten Arthur terdiam seksama setelah mendengarkan ocehan Arthur. Di dalam mobil yang biasanya membahas schedule meeting dengan client atau urusan bisnis lainnya, kali ini dipenuhi dengan keluhan Arthur terhadap cucunya. "Kalian jangan diam aja dong! Kasih tanggapan atau apa kek," keluh Arthur mendapati sopir dan asistennya tak merespon. Mereka justru terlihat kompak mengangguk sungkan. "Menurut kalian saya harus gimana? Kalau tak larang, nanti dia ngambek. Tapi nggak mungkin juga toh cucuku jadi bos ojek. Apa kata orang-orang nanti. Udah paling bener dikurung aja si Morgan itu. Ngrepoti ae," Arthur mulai putus asa. Terlihat dari caranya menyandarkan punggungnya ke kursi mobil. "Maaf pak, tapi saya rasa dengan mengu
Jauh dari kehidupan sebelumnya. Tanpa perlu panas-panasan mencari penumpang hanya untuk bertahan hidup. Tidak ada aturan harus bangun pagi agar tidak antre mandi. Dan tak perlu mengeluarkan tenaga setengah isdet demi memenuhi semua kebutuhannya. Karena sekarang apa yang dia butuhkan ada dalam genggamannya. Begitulah kehidupan Morgan sekarang ini. Sudah hampir satu bulan sejak dinyatakan bebas dari penjara, dia kembali ke setelah awan menjadi tuan muda Morgan Junior Collim. Hari-harinya dihabiskan dengan rebahan sembari menunggu luka akibat tembak di kakinya mengering. Saking nyamannya, dia enggan keluar kamar hanya untuk melihat matahari. Dari jendela kamarnya terpampang lukisan pemandangan asli langit kota. Jauh sekali dengan pemandangan di kontrakannya. Tak hanya itu, kalau urusan makan, dia tak perlu khawatir. Pelayan di rumahnya sedia 25 jam di depan kamarnya. Lantas beban mana lagi yang hendak kau keluhan Gan Morgan...."Ahhhh bosaaaann," ujarnya sembari membanting hp.Berula
"Maaaakk, Jon bebasss,"Tidak ada momen paling mahal detik ini selain pelukan antara ibu dan anak. Mungkin diluar sana sahabat Morgan satu ini terkenal akan kemandiriannya. Namun siapa sangka, dia adalah anak yang amat dekat dengan orang tuanya. "Alhamdulillaaahh Jon!! Alhamdulillah Alhamdulillah," Ucap syukur itu tidak sekedar terdengar trenyuh di telinga. Melainkan tembus relung hati. Begitu juga dengan setiap untaian doa yang tak ada jedanya keluar dari bibir sang ibu. Setiap amin-nya menembus langit dan langsung didengar oleh Sang Maha Kuasa. "Maapin Jon ya maak," "Iya Jon, lain kali ati-atiiii yaa. Baca bismillah dulu yah, jangan gegabah," Tak hentinya sang ibu mengusap rambut putranya yang kini usianya mencapai hampir seperempat abad. Namun bagi sang ibu, anaknya tetap anak kecil yang butuh nasihat. "Iya mak, Jon janji bakal lebih hati-hati lagi," Disatu sisi yang paling tersiksa melihat momen ini tidak lain adalah Morgan. Melihat Jon yang dirangkul orang tua dan adik-ad
Mata Gin langsung membelalak melihat kehadiran Prof Robert. Regina, yang mendampinginya, terlihat tenang meskipun ada sedikit rasa cemas di wajahnya. Prof Robert memandang ke sekeliling ruang sidang dengan tatapan sinis. Suasana mendadak hening. Semua orang, bahkan Jaksa dan hakim, tampak terkejut.Prof Robert lalu membuka mulutnya dengan suara yang masih agak serak, namun jelas terdengar di ruang sidang. "Yang Mulia, saya di sini untuk memberikan keterangan yang sangat penting," katanya. "Silahkan,""Saya ingin mengungkapkan sebuah fakta yang selama ini tersembunyi. Semua tuduhan terhadap Morgan Junior adalah fitnah belaka. Saya adalah saksi utama yang mengetahui siapa sebenarnya yang terlibat dalam pencurian alat-alat laboratorium dan kejahatan lainnya."Seluruh ruangan sidang terkejut mendengar pernyataan tersebut. Gin yang duduk di sebelah pengacaranya tampak cemas dan tidak bisa menyembunyikan ekspresi terkejutnya.Prof Robert melanjutkan dengan suara yang sedikit lebih keras, "
Sidang hari ini dimulai dengan penuh khidmat. Hakim ketua beserta jajarannya telah memasuki ruang sidang. Semua orang di dalam ruangan itu segera berdiri, termasuk Morgan dan teman-temannya yang duduk di kursi terdakwa. Mereka hanya bisa menundukkan kepala. Yang mereka rasakan hanyalah malu, takut , selebihnya pasrah. "Apakah semua sudah siap?" kata hakim ketua sambil melihat ke sekeliling ruangan, memastikan semuanya siap.Jaksa penuntut umum berdiri dengan formal, membuka berkasnya. "Semua siap, Yang Mulia."Hakim ketua mengangguk, lalu melanjutkan, "Tolong bacakan nama terdakwa."Satu per satu nama dibacakan. "Saudara Morgan Junior, Derren Ardiansyah, Jonathan Rizki, Dion Wiyono mohon berdiri," Semua terdakwa diminta berdiri dan menunjukkan diri mereka.Keempat pemuda itu berdiri, satu sama lain saling pandang dengan rasa malu yang memuncak. Morgan merasa seolah-olah beban berat terletak di pundaknya, apalagi dia sudah merasa tidak pantas mengangkat dagunya lantaran telah membu
Ruangan rumah sakit yang sepi itu kembali terisi dengan suara detakan mesin medis yang monoton, namun kali ini suasana terasa lebih mencekam bagi Regina. Ia duduk di samping ranjang ayahnya, Prof. Robert, yang terkulai lemah. Hanya ada cahaya remang dari lampu rumah sakit yang memberi sedikit kehidupan pada wajah Prof. Robert yang pucat. Ia memegang tangan ayahnya, berusaha untuk memberinya sedikit kehangatan yang bisa mengembalikan semangat hidup.Sudah beberapa hari berlalu sejak kecelakaan yang membuat ayahnya terbaring tak berdaya, dan meskipun dokter mengatakan bahwa mungkin ada harapan ia bisa sadar, Regina tetap merasa cemas. Tak ada yang lebih ia inginkan selain melihat ayahnya kembali seperti dulu. Namun saat ini, Prof. Robert hanya terbaring dalam ranjang, dengan sesekali napasnya yang terengah-engah, namun tak ada tanda-tanda bahwa ia akan bangun dalam waktu dekat.Tiba-tiba, terdengar suara samar dari mulut Prof. Robert. Suara itu begitu lemah dan serak, seolah berasal d
“Kita semua sama-sama jadi korban Gin. Apa pun alasannya, nyatanya kita sekarang sama-sama kena getahnya. Aku mohon banget sama kamu, Derren. Pas sidang nanti, kamu harus jadi saksi. Akui semuanya. Dengan begitu, mungkin akan ada harapan agar kamu bisa bebas.”Derren menggeleng lemah. “Mana bisa, Gan… Aku kan—”“Kalau kamu jujur, pasti ada jalan. Lagian, kamu melakukan semua ini karena diancam, kan?” Morgan memotongnya cepat.Jon masih kesal. Dia menggerutu dan mengacak-acak rambutnya sendiri. Lalu dengan amarah yang meluap-luap, ia menatap Derren tajam.“GOBLOK BANGET JADI ORANG! Lain kali pikir dulu dong kalau mau bertindak!”Derren menunduk. “Iya, iya… Aku tahu aku salah,” ucapnya.“Jon, udah, Jon,” sahut Morgan, menepuk pundaknya agar lebih tenang.Tapi Jon masih mendelik ke arah Derren. “Gara-gara kamu, kita semua di sini. Gara-gara kamu, Morgan kena tembak,"Derren menggigit bibirnya. Ia tahu Jon punya hak untuk marah.Tapi di saat yang sama, dia juga merasa bahwa ini adalah ke