Satpam dan dua bodyguard itu diam seketika melihat sang majikan menghampiri mereka. Pria paruh baya yang mengenakan jas hitam yang harganya setara dengan gajinya selama setahun.
“Morgan, masuk!!” pinta Arthur.Mendengar majikannya mengizinkan gembel itu masuk, baik satpam maupun bodyguard bergidik ketakutan. Kesalahan yang mereka lakukan kali ini pasti tidak akan ditoleransi oleh Arthur Collim.“T-tuan s-s-saya minta maaf-“ ucap satpam dengan nada terbata. Begitu Morgan berdiri dihadapannya, satpam tersebut tak punya cukup keberanian untuk menatap wajah cucu majikannya.“Maaf-maaf, enak banget ngomongnya,” sahut Morgan.Kekesalannya tak bisa dibendung lagi. Ia masih tidak menyangka dianggap gembel di rumahnya sendiri.“S-saya sungguh menyesal tuan. Saya siap menerima hukuman,” Terlihat jelas ketakutan satpam tersebut dari suaranya serta raut wajahnya.“Hajar,” pinta Arthur Collim sambil memberikan isyarat kepada dua bodyguardnya.“Baik tuan,” Dua pria bertubuh kekar itu Bersiap menghajar si satpam.“Stop!” tegas Morgan menghentikan aksi dua bodyguard itu.Semua pusat perhatian kini beralih pada Morgan.Arthur melirik cucunya. “Kenapa kau menghentikan mereka?” tanya Arthur.Morgan beralih menatap kakeknya. “Nggak usah buang-buang tenaga, apalagi ngasih Pelajaran pake kekerasan. Pecat aja langsung. Lagian satpam yang nggak pernah menghargai gembel nggak pantes kerja disini,” jelas Morgan.Arhur menganggukkan kepala secara berulangm, reaksi kebanggaan mendengar keputusan cucunya. “Baiklah kalau begitu. Setelah ini saya nggak mau melihat wajah satpam ini,” pungkas Arthur.*"Ayo dimakan," ucap Arthur membubarkan puluhan argumen di pikiran cucunya.Butuh waktu bagi Morgan untuk mengembalikan kesadarannya. Terlebih lagi saat ini kakeknya duduk dihadapannya sambil memandanginya. Biarpun telah mandi dan mengganti bajunya, akankah sang kakek meledeknya sama seperti yang dilakukan satpam tadi?"Nggak nafsu," sahut Morgan sembari menggeser piring dihadapannya."Yakin?" tanya Arthur.Morgan mengganggukkan kepala."Makan apa sih kamu selama di kos? Paling juga mie instan. Kalau nggak gitu makan di warteg, atau rela ikut jadi panitia biar dapet jatah konsumsi," sindir Arthur."Yang penting nggak ngemis," sahut Morgan. Masih saja ia berlagak berkecukupan dihadapan kakeknya.Seutas senyum terbit di wajah pria paruh baya itu. "Udah tau susah, kenapa nggak dipakai uang dari kakek?" tanya Arthur."Atm-nya kan dibawa sama kakek. Gimana narik uangnya coba?" sahut Morgan."Itu bukan jawaban dari pertanyaanku, Morgan," celetuk Arthur.Seketika Morgan pun diam."Atm bukan masalah utamanya. Tapi keras kepalamu membuat masalahmu semakin rumit. Coba kalau kamu mengalah dengan egomu mungkin kemarin kamu sudah datang kesini menemui kakek," jelas Arthur."Iya-iya Morgan salah," ucap Morgan sambil menundukkan kepala. Mengingat dirinya tak pernah menang melawan kakeknya."Kalau cuma buat makan nggak mungkin kamu rela datang kesini," selidik Arthur.Morgan menggaruk kulit kepalanya. Sedari daritadi kakeknya terus saja memancingnya untuk mengatakan semua masalahnya."Intinya, Morgan butuh uang. Titik," tegas Morgan.Arthur memiringkan senyumannya."Yakin nggak kurang?" tanya Arthur mengeluarkan dompet dari dalam sakunya."Aman! Tenang aja kek," sahut Morgan."Belagu amat sih jadi orang susah," sindir Arhur.Suasana mulai terasa hening. Terlebih lagi saat Arthur Collim menerima telpon dari rekan bisnisnya. Hingga menunda niatnya untuk mengembalikan atm milik cucunya.Beberapa menit kemudian sampai nasi diatas piring Morgan tak tersisa, saat itulah Arthur meletakkan ponselnya. Ia cukup puas begitu melihat cucunya lebih bertenaga daripada sebelumnya. Terlihat jelas dari sorot mata dan juga aura di wajahnya."Tambah lagi, kalau masih lapar," ucap Arthur menyodorkan nasi dan lauk ke arah cucunya."Nggak! Udah kenyang," sahut Morgan."Kenyang?""Iya kenyang. Kenyang makan harapan dan ejekan," sindir Morgan. Arthur masih tak habis pikir dengan kehidupan cucunya saat ini."Udah ah. Aku mau balik ke kos," pungkas Morgan sambil memasukkan atm-nya ke dalam dompet jadulnya."Heh ingat! Jangan pernah hiraukan orang-orang yang meremehkanmu. Fokus dan cari alasan yang membuatmu betah disana. Hingga akhirnya kamu tau nilai kehidupan yang sebenarnya," tegas Arthur.Usai menempuh perjalanan jauh dan mendapat wejangan dari kakeknya, Morgan akhirnya kembali pada kehidupannya menjadi orang biasa. Pagi ini harinya dimulai dengan bersiap-siap pergi ke kampus karena hari ini ada jadwal kuliah pagi. Kaos putih polos serta kemeja kotak-kotak menjadi outfit khasnya sebagai mahasiswa IT.“Pura-pura miskin, seru juga ternyata,” ucapnya sambil menyisir rambut di depan kaca jendela kosnya.Tak lupa sebelum berangkat ia mencabut charger ponselnya. Selama semalam ia tak memeriksa ponselnya, yang ia ingat hanyalah charger lalu tidur. Tak disangka puluhan notif memenuhi layar ponselnya. Yang paling menarik simpatinya adalah pesan dari bank yang menerangkan bahwa seseorang telah mentransfer sejumlah uang ke dalam rekeningnya.Bibir kecil Morgan menghitung jumlah nol yang berjejer di layar ponselnya."Udah dibilang kebanyakan, masih aja ngirim lebih. Kalau dibalikin, dikira songong," keluh Morgan.Morgan tak tau lagi dengan apa yang dipikirkan kakeknya. Namun ia sadar aktivitasnya hari ini padat, tak mungkin ia membuang waktunya hanya untuk memikirkan uang tersebut."Terima ajalah. Siapa tau butuh," pungkas Morgan sembari mengambil kunci motor dan juga helmnya.Langkah Morgan selanjutnya adalah ke bank untuk mencairkan uang.*08.30~Usai menghadapi drama macet di jalan, Morgan pun akhirnya tiba di kampus. Sebelum masuk ke kelas, Morgan mengecek tasnya yang ada bungkusan berisi uang 850 juta. Ia lega setelah melihat uangnya aman dan utuh. Baginya lebih baik terlambat masuk kelas daripada dihina gara-gara tak sanggup membayar kerugian lab."Selamat pagi pak. Mohon maaf atas keterlambatan saya," ucap Morgan membuat aktivitas di dalam kelas terhenti sejenak.Tatapan dari dosen sangat tidak mengenakkan untuk dipandang. Terlebih lagi dari caranya menatap, dosen itu sepertinya tak menyukai Morgan. Siapa lagi kalau bukan Prof. Robert Jensen."Kamu lagi!" ucap Prof. Robert dengan tatapan datar."Iya pak, mohon maaf sekali saya terlambat. Karena--""Abis ngojek ya," potong salah satu mahasiswa yang justru mengundang gelak tawa dari mahasiswa lain."Ya iyalah buat bayar kerugian lab, ngojek dulu lah. Ngojek nggak tuh,"Morgan tak menghiraukan apa yang dikatakan teman-temannya. Dia merasa ini waktu yang tepat untuk membungkam mulut mereka.“DIAM SEMUA!”bentak Prof. Robert membuat suasana kelas hening seketika.Morgan segera mengeluarkan sejumlah uang dari dalam tasnya lalu memberikannya pada Prof. Robert."Ini pak, uang kerugian lab. Pas 850 juta," ucap Morgan.Hal itu membuat kelas hening seketika. Gelak tawa tak terdengar lagi. Semua orang tercengang melihat uang yang dipegang oleh Morgan.Termasuk Prof. Robert sampai tak mengedipkan mata melihat bungkus uang yang dipegang oleh Morgan. Rasanya masih tak percaya. Terlebih lagi pertanyaan asal usul uang tersebut terngiang di kepalanya."Sedikit lagi proyek itu selesai. Kamu segera susun anggarannya ya. Pastikan jangan sampai ada yang nggak keinput," ujar Arthur. "Baik pak," Bahkan setelah tiba di rumah, tak hentinya pria paruh baya itu membicarakan pasal bisnisnya. Menggambarkan betapa kerasnya dia bekerja meski sudah kaya raya. "Kalau begitu saya permisi pak," ujar asistennya. Arthur mengangguk. Kini waktunya Arthur istirahat. Namun setelah beberapa detik ia memalingkan pandangannya dari asistennya, kini asistennya muncul lagi dihadapannya. "Mohon maaf pak, ada tamu yang ingin menemui bapak," Arthur mengerutkan dahi. "Jam segini ada tamu?" Arthur menoleh ke arah jam dinding yang telah menunjukkan pukul 10 Malam. "Iya pak, katanya urgent pak," sahut Asisten. Tanpa bertanya siapa yang bertamu malam-malam begini, Arthur memilih menemui tamunya itu. Yang benar saja begitu tiba di ruang tamu dia dibuat heran dengan tamunya malam ini. Sosok cengengesan itu duduk diatas sofa dengan sopan itu layaknya ta
Morgan membuka tasnya dengan santai, berniat mengambil catatan untuk membunuh waktu gabutnya. Sementara Jon dan Dion masih berkutat dengan skripsi mereka. Namun, begitu resleting tas terbuka, matanya langsung menangkap sesuatu yang berbeda yaitu setangkai mawar merah, masih segar, kelopaknya terbuka dengan indah. Morgan terdiam. Mawar itu… Dia sudah lama berniat memberikannya pada Regina, sebagai ungkapan isi hatinya yang sebenarnya. Sebuah permintaan maaf atas semua kesalahpahaman yang terjadi, sekaligus sebuah pengakuan. Namun, entah kenapa, kesempatan itu selalu terlewat. Entah karena situasi yang tidak tepat, atau mungkin karena dia sendiri masih ragu apakah ini saat yang tepat. Tapi sekarang, melihat bunga itu di dalam tasnya, dia merasa seolah mendapat pengingat. "Niat baik nggak boleh ditunda," pikirnya. "Aku harus minta maaf ke Regina, sekalian ngasih bunga ini sebagai ungkapan isi hatiku yang sebenarnya." Morgan menarik napas dalam, kemudian dengan gerakan cepat, ia mer
"Ngurus cucu satu aja susahnya kayak ngurus puluhan orang. Susah banget. Pengennya itu lo ngadi-ngadi. Pengen jadi tukang ojeklah, pengen jadi anak kos lah, pengen jadi gelandangan lah, sekarang pengen jadi bos ojek, setelah ini pengen apalagi coba?" Sopir dan asisten Arthur terdiam seksama setelah mendengarkan ocehan Arthur. Di dalam mobil yang biasanya membahas schedule meeting dengan client atau urusan bisnis lainnya, kali ini dipenuhi dengan keluhan Arthur terhadap cucunya. "Kalian jangan diam aja dong! Kasih tanggapan atau apa kek," keluh Arthur mendapati sopir dan asistennya tak merespon. Mereka justru terlihat kompak mengangguk sungkan. "Menurut kalian saya harus gimana? Kalau tak larang, nanti dia ngambek. Tapi nggak mungkin juga toh cucuku jadi bos ojek. Apa kata orang-orang nanti. Udah paling bener dikurung aja si Morgan itu. Ngrepoti ae," Arthur mulai putus asa. Terlihat dari caranya menyandarkan punggungnya ke kursi mobil. "Maaf pak, tapi saya rasa dengan mengu
Jauh dari kehidupan sebelumnya. Tanpa perlu panas-panasan mencari penumpang hanya untuk bertahan hidup. Tidak ada aturan harus bangun pagi agar tidak antre mandi. Dan tak perlu mengeluarkan tenaga setengah isdet demi memenuhi semua kebutuhannya. Karena sekarang apa yang dia butuhkan ada dalam genggamannya. Begitulah kehidupan Morgan sekarang ini. Sudah hampir satu bulan sejak dinyatakan bebas dari penjara, dia kembali ke setelah awan menjadi tuan muda Morgan Junior Collim. Hari-harinya dihabiskan dengan rebahan sembari menunggu luka akibat tembak di kakinya mengering. Saking nyamannya, dia enggan keluar kamar hanya untuk melihat matahari. Dari jendela kamarnya terpampang lukisan pemandangan asli langit kota. Jauh sekali dengan pemandangan di kontrakannya. Tak hanya itu, kalau urusan makan, dia tak perlu khawatir. Pelayan di rumahnya sedia 25 jam di depan kamarnya. Lantas beban mana lagi yang hendak kau keluhan Gan Morgan...."Ahhhh bosaaaann," ujarnya sembari membanting hp.Berula
"Maaaakk, Jon bebasss,"Tidak ada momen paling mahal detik ini selain pelukan antara ibu dan anak. Mungkin diluar sana sahabat Morgan satu ini terkenal akan kemandiriannya. Namun siapa sangka, dia adalah anak yang amat dekat dengan orang tuanya. "Alhamdulillaaahh Jon!! Alhamdulillah Alhamdulillah," Ucap syukur itu tidak sekedar terdengar trenyuh di telinga. Melainkan tembus relung hati. Begitu juga dengan setiap untaian doa yang tak ada jedanya keluar dari bibir sang ibu. Setiap amin-nya menembus langit dan langsung didengar oleh Sang Maha Kuasa. "Maapin Jon ya maak," "Iya Jon, lain kali ati-atiiii yaa. Baca bismillah dulu yah, jangan gegabah," Tak hentinya sang ibu mengusap rambut putranya yang kini usianya mencapai hampir seperempat abad. Namun bagi sang ibu, anaknya tetap anak kecil yang butuh nasihat. "Iya mak, Jon janji bakal lebih hati-hati lagi," Disatu sisi yang paling tersiksa melihat momen ini tidak lain adalah Morgan. Melihat Jon yang dirangkul orang tua dan adik-ad
Mata Gin langsung membelalak melihat kehadiran Prof Robert. Regina, yang mendampinginya, terlihat tenang meskipun ada sedikit rasa cemas di wajahnya. Prof Robert memandang ke sekeliling ruang sidang dengan tatapan sinis. Suasana mendadak hening. Semua orang, bahkan Jaksa dan hakim, tampak terkejut.Prof Robert lalu membuka mulutnya dengan suara yang masih agak serak, namun jelas terdengar di ruang sidang. "Yang Mulia, saya di sini untuk memberikan keterangan yang sangat penting," katanya. "Silahkan,""Saya ingin mengungkapkan sebuah fakta yang selama ini tersembunyi. Semua tuduhan terhadap Morgan Junior adalah fitnah belaka. Saya adalah saksi utama yang mengetahui siapa sebenarnya yang terlibat dalam pencurian alat-alat laboratorium dan kejahatan lainnya."Seluruh ruangan sidang terkejut mendengar pernyataan tersebut. Gin yang duduk di sebelah pengacaranya tampak cemas dan tidak bisa menyembunyikan ekspresi terkejutnya.Prof Robert melanjutkan dengan suara yang sedikit lebih keras, "
Sidang hari ini dimulai dengan penuh khidmat. Hakim ketua beserta jajarannya telah memasuki ruang sidang. Semua orang di dalam ruangan itu segera berdiri, termasuk Morgan dan teman-temannya yang duduk di kursi terdakwa. Mereka hanya bisa menundukkan kepala. Yang mereka rasakan hanyalah malu, takut , selebihnya pasrah. "Apakah semua sudah siap?" kata hakim ketua sambil melihat ke sekeliling ruangan, memastikan semuanya siap.Jaksa penuntut umum berdiri dengan formal, membuka berkasnya. "Semua siap, Yang Mulia."Hakim ketua mengangguk, lalu melanjutkan, "Tolong bacakan nama terdakwa."Satu per satu nama dibacakan. "Saudara Morgan Junior, Derren Ardiansyah, Jonathan Rizki, Dion Wiyono mohon berdiri," Semua terdakwa diminta berdiri dan menunjukkan diri mereka.Keempat pemuda itu berdiri, satu sama lain saling pandang dengan rasa malu yang memuncak. Morgan merasa seolah-olah beban berat terletak di pundaknya, apalagi dia sudah merasa tidak pantas mengangkat dagunya lantaran telah membu
Ruangan rumah sakit yang sepi itu kembali terisi dengan suara detakan mesin medis yang monoton, namun kali ini suasana terasa lebih mencekam bagi Regina. Ia duduk di samping ranjang ayahnya, Prof. Robert, yang terkulai lemah. Hanya ada cahaya remang dari lampu rumah sakit yang memberi sedikit kehidupan pada wajah Prof. Robert yang pucat. Ia memegang tangan ayahnya, berusaha untuk memberinya sedikit kehangatan yang bisa mengembalikan semangat hidup.Sudah beberapa hari berlalu sejak kecelakaan yang membuat ayahnya terbaring tak berdaya, dan meskipun dokter mengatakan bahwa mungkin ada harapan ia bisa sadar, Regina tetap merasa cemas. Tak ada yang lebih ia inginkan selain melihat ayahnya kembali seperti dulu. Namun saat ini, Prof. Robert hanya terbaring dalam ranjang, dengan sesekali napasnya yang terengah-engah, namun tak ada tanda-tanda bahwa ia akan bangun dalam waktu dekat.Tiba-tiba, terdengar suara samar dari mulut Prof. Robert. Suara itu begitu lemah dan serak, seolah berasal d
“Kita semua sama-sama jadi korban Gin. Apa pun alasannya, nyatanya kita sekarang sama-sama kena getahnya. Aku mohon banget sama kamu, Derren. Pas sidang nanti, kamu harus jadi saksi. Akui semuanya. Dengan begitu, mungkin akan ada harapan agar kamu bisa bebas.”Derren menggeleng lemah. “Mana bisa, Gan… Aku kan—”“Kalau kamu jujur, pasti ada jalan. Lagian, kamu melakukan semua ini karena diancam, kan?” Morgan memotongnya cepat.Jon masih kesal. Dia menggerutu dan mengacak-acak rambutnya sendiri. Lalu dengan amarah yang meluap-luap, ia menatap Derren tajam.“GOBLOK BANGET JADI ORANG! Lain kali pikir dulu dong kalau mau bertindak!”Derren menunduk. “Iya, iya… Aku tahu aku salah,” ucapnya.“Jon, udah, Jon,” sahut Morgan, menepuk pundaknya agar lebih tenang.Tapi Jon masih mendelik ke arah Derren. “Gara-gara kamu, kita semua di sini. Gara-gara kamu, Morgan kena tembak,"Derren menggigit bibirnya. Ia tahu Jon punya hak untuk marah.Tapi di saat yang sama, dia juga merasa bahwa ini adalah ke