Share

Seni Menampar Tanpa Menyentuh

Satpam dan dua bodyguard itu diam seketika melihat sang majikan menghampiri mereka. Pria paruh baya yang mengenakan jas hitam yang harganya setara dengan gajinya selama setahun.

“Morgan, masuk!!” pinta Arthur.

Mendengar majikannya mengizinkan gembel itu masuk, baik satpam maupun bodyguard bergidik ketakutan. Kesalahan yang mereka lakukan kali ini pasti tidak akan ditoleransi oleh Arthur Collim.

“T-tuan s-s-saya minta maaf-“ ucap satpam dengan nada terbata. Begitu Morgan berdiri dihadapannya, satpam tersebut tak punya cukup keberanian untuk menatap wajah cucu majikannya.

“Maaf-maaf, enak banget ngomongnya,” sahut Morgan.

Kekesalannya tak bisa dibendung lagi. Ia masih tidak menyangka dianggap gembel di rumahnya sendiri.

“S-saya sungguh menyesal tuan. Saya siap menerima hukuman,” Terlihat jelas ketakutan satpam tersebut dari suaranya serta raut wajahnya.

“Hajar,” pinta Arthur Collim sambil memberikan isyarat kepada dua bodyguardnya.

“Baik tuan,” Dua pria bertubuh kekar itu Bersiap menghajar si satpam.

“Stop!” tegas Morgan menghentikan aksi dua bodyguard itu.

Semua pusat perhatian kini beralih pada Morgan.

Arthur melirik cucunya. “Kenapa kau menghentikan mereka?” tanya Arthur.

Morgan beralih menatap kakeknya. “Nggak usah buang-buang tenaga, apalagi ngasih Pelajaran pake kekerasan. Pecat aja langsung. Lagian satpam yang nggak pernah menghargai gembel nggak pantes kerja disini,” jelas Morgan.

Arhur menganggukkan kepala secara berulangm, reaksi kebanggaan mendengar keputusan cucunya. “Baiklah kalau begitu. Setelah ini saya nggak mau melihat wajah satpam ini,” pungkas Arthur.

*

"Ayo dimakan," ucap Arthur membubarkan puluhan argumen di pikiran cucunya.

Butuh waktu bagi Morgan untuk mengembalikan kesadarannya. Terlebih lagi saat ini kakeknya duduk dihadapannya sambil memandanginya. Biarpun telah mandi dan mengganti bajunya, akankah sang kakek meledeknya sama seperti yang dilakukan satpam tadi?

"Nggak nafsu," sahut Morgan sembari menggeser piring dihadapannya.

"Yakin?" tanya Arthur.

Morgan mengganggukkan kepala.

"Makan apa sih kamu selama di kos? Paling juga mie instan. Kalau nggak gitu makan di warteg, atau rela ikut jadi panitia biar dapet jatah konsumsi," sindir Arthur.

"Yang penting nggak ngemis," sahut Morgan. Masih saja ia berlagak berkecukupan dihadapan kakeknya.

Seutas senyum terbit di wajah pria paruh baya itu. "Udah tau susah, kenapa nggak dipakai uang dari kakek?" tanya Arthur.

"Atm-nya kan dibawa sama kakek. Gimana narik uangnya coba?" sahut Morgan.

"Itu bukan jawaban dari pertanyaanku, Morgan," celetuk Arthur.

Seketika Morgan pun diam.

"Atm bukan masalah utamanya. Tapi keras kepalamu membuat masalahmu semakin rumit. Coba kalau kamu mengalah dengan egomu mungkin kemarin kamu sudah datang kesini menemui kakek," jelas Arthur.

"Iya-iya Morgan salah," ucap Morgan sambil menundukkan kepala. Mengingat dirinya tak pernah menang melawan kakeknya.

"Kalau cuma buat makan nggak mungkin kamu rela datang kesini," selidik Arthur.

Morgan menggaruk kulit kepalanya. Sedari daritadi kakeknya terus saja memancingnya untuk mengatakan semua masalahnya.

"Intinya, Morgan butuh uang. Titik," tegas Morgan.

Arthur memiringkan senyumannya.

"Yakin nggak kurang?" tanya Arthur mengeluarkan dompet dari dalam sakunya.

"Aman! Tenang aja kek," sahut Morgan.

"Belagu amat sih jadi orang susah," sindir Arhur.

Suasana mulai terasa hening. Terlebih lagi saat Arthur Collim menerima telpon dari rekan bisnisnya. Hingga menunda niatnya untuk mengembalikan atm milik cucunya.

Beberapa menit kemudian sampai nasi diatas piring Morgan tak tersisa, saat itulah Arthur meletakkan ponselnya. Ia cukup puas begitu melihat cucunya lebih bertenaga daripada sebelumnya. Terlihat jelas dari sorot mata dan juga aura di wajahnya.

"Tambah lagi, kalau masih lapar," ucap Arthur menyodorkan nasi dan lauk ke arah cucunya.

"Nggak! Udah kenyang," sahut Morgan.

"Kenyang?"

"Iya kenyang. Kenyang makan harapan dan ejekan," sindir Morgan.

Arthur masih tak habis pikir dengan kehidupan cucunya saat ini.

"Udah ah. Aku mau balik ke kos," pungkas Morgan sambil memasukkan atm-nya ke dalam dompet jadulnya.

"Heh ingat! Jangan pernah hiraukan orang-orang yang meremehkanmu. Fokus dan cari alasan yang membuatmu betah disana. Hingga akhirnya kamu tau nilai kehidupan yang sebenarnya," tegas Arthur.

Usai menempuh perjalanan jauh dan mendapat wejangan dari kakeknya, Morgan akhirnya kembali pada kehidupannya menjadi orang biasa. Pagi ini harinya dimulai dengan bersiap-siap pergi ke kampus karena hari ini ada jadwal kuliah pagi. Kaos putih polos serta kemeja kotak-kotak menjadi outfit khasnya sebagai mahasiswa IT.

“Pura-pura miskin, seru juga ternyata,” ucapnya sambil menyisir rambut di depan kaca jendela kosnya.

Tak lupa sebelum berangkat ia mencabut charger ponselnya. Selama semalam ia tak memeriksa ponselnya, yang ia ingat hanyalah charger lalu tidur. Tak disangka puluhan notif memenuhi layar ponselnya. Yang paling menarik simpatinya adalah pesan dari bank yang menerangkan bahwa seseorang telah mentransfer sejumlah uang ke dalam rekeningnya.

Bibir kecil Morgan menghitung jumlah nol yang berjejer di layar ponselnya.

"Udah dibilang kebanyakan, masih aja ngirim lebih. Kalau dibalikin, dikira songong," keluh Morgan.

Morgan tak tau lagi dengan apa yang dipikirkan kakeknya. Namun ia sadar aktivitasnya hari ini padat, tak mungkin ia membuang waktunya hanya untuk memikirkan uang tersebut.

"Terima ajalah. Siapa tau butuh," pungkas Morgan sembari mengambil kunci motor dan juga helmnya.

Langkah Morgan selanjutnya adalah ke bank untuk mencairkan uang.

*

08.30~

Usai menghadapi drama macet di jalan, Morgan pun akhirnya tiba di kampus. Sebelum masuk ke kelas, Morgan mengecek tasnya yang ada bungkusan berisi uang 850 juta. Ia lega setelah melihat uangnya aman dan utuh. Baginya lebih baik terlambat masuk kelas daripada dihina gara-gara tak sanggup membayar kerugian lab.

"Selamat pagi pak. Mohon maaf atas keterlambatan saya," ucap Morgan membuat aktivitas di dalam kelas terhenti sejenak.

Tatapan dari dosen sangat tidak mengenakkan untuk dipandang. Terlebih lagi dari caranya menatap, dosen itu sepertinya tak menyukai Morgan. Siapa lagi kalau bukan Prof. Robert Jensen.

"Kamu lagi!" ucap Prof. Robert dengan tatapan datar.

"Iya pak, mohon maaf sekali saya terlambat. Karena--"

"Abis ngojek ya," potong salah satu mahasiswa yang justru mengundang gelak tawa dari mahasiswa lain.

"Ya iyalah buat bayar kerugian lab, ngojek dulu lah. Ngojek nggak tuh,"

Morgan tak menghiraukan apa yang dikatakan teman-temannya. Dia merasa ini waktu yang tepat untuk membungkam mulut mereka.

“DIAM SEMUA!”bentak Prof. Robert membuat suasana kelas hening seketika.

Morgan segera mengeluarkan sejumlah uang dari dalam tasnya lalu memberikannya pada Prof. Robert.

"Ini pak, uang kerugian lab. Pas 850 juta," ucap Morgan.

Hal itu membuat kelas hening seketika. Gelak tawa tak terdengar lagi. Semua orang tercengang melihat uang yang dipegang oleh Morgan.

Termasuk Prof. Robert sampai tak mengedipkan mata melihat bungkus uang yang dipegang oleh Morgan. Rasanya masih tak percaya. Terlebih lagi pertanyaan asal usul uang tersebut terngiang di kepalanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status