Share

BAB 3

Aku termenung memeluk lutut. Pikiranku terasa kosong. Yang kuingat hanya Andra. Beberapa kali Nurul dan Melina datang mendekatiku, tapi kuacuhkan.

“Ma, sadar Ma. Mama belum ada makan. Kami takut kalau Mama seperti ini terus. Kasihan Melina Ma,” tangis Nurul. Tapi aku tetap diam seribu bahasa. Aku selalu saja mengulang memori dari sejak kami kabur dari rumah, hingga saat Andra meninggal. Kalau sudah begitu, akan selalu berakhir dengan jeritan frustasiku.

“Ma, Melina demam Ma. Biskuitnya udah nggak ada lagi. Ma, kami harus gimana?”

Diam. Hanya itu yang kulakukan. Aku tak akan makan, tak akan melakukan apa-apa sampai aku mati menyusul Andra.

“Ma, Nurul capek. Melina nangis terus, dia rewel. Nurul harus gimana Ma? Tolong Ma, sadarlah. Nurul perlu Mama di samping kami.” Nurul menangis sambil menggoyang tanganku, tapi aku diam saja.

Kubiarkan ia terus menangis. Aku tak ingin hal lain, kecuali cepat bertemu dengan Andra.

***

“Ma, bangun. Sekarang Mama pulang ya.”

Aku menggeleng. “Mama mau di sini aja sama Andra.”

Andra tersenyum dengan tatapan teduh. “Andra udah nggak usah dipikirin lagi. Mama masih punya dua anak yang masih sangat membutuhkan Mama.”

Aku menggeleng lagi, kali ini disertai tangis. “Nggak! Mama mau sama Andra aja.”

Ia memegang kedua tanganku,” Andra kasi Mama kekuatan ya. Mama harus kuat. Mama harus bangkit. Jangan menyerah Ma. Lindungi Kak Nurul sama Dek Mel, seperti kemarin Andra melindungi Mama. Mama bisa kan? Mama mau kan janji sama Andra?

“Tapi...”

“Percayalah Ma, di sini Andra udah jauh lebih baik. Mama di sana juga harus bahagia. Andra sayang Mama,” katanya sambil mengecup keningku.

“Mama sadar ya... Ma.. Ma.. Melina.. Bangun Ma, sadar...”

Kupikir itu adalah suara Andra, namun ternyata itu adalah suara Nurul yang berusaha membangunkanku. Aku membuka mata, ternyata aku tidur dan semua hanya mimpi. Tapi terasa begitu sangat nyata.

Aku menoleh ke arah Nurul yang sedang memangku Melina.

“Melina kenapa, Rul?”

“Melina kejang Ma. Badannya panas sekali. Gimana kalau Melina juga meninggal?” Nurul menangis.

Tidak! Kali ini tak akan kubiarkan anakku pergi lagi. Cukup Andra. Aku tak akan mengulang kesalahan yang sama.

Aku mengambil Melina dan memeluknya di dadaku. Ya Allah, kasihan sekali anakku ini, entah sudah berapa lama tak kupedulikan. Badannya sangat panas, tubuhnya menegang dan hitam bola matanya nyaris menghilang.

“Pegang dulu adikmu.”

Aku segera berlari menuju pintu. Entah dari mana datangnya kekuatan ini, padahal aku sudah berhari-hari tidak makan. Aku menggedor, meninju dan menendang pintu. Hanya ada dua kemungkinan, Redy datang atau akan kubuat pintu ini jebol. Apa pun, asal pintu ini dapat terbuka dan Melina bisa di bawa ke rumah sakit.

“Apa lagi sih ribut-ribut?!” Redy muncul setelah pintu terbuka.

“Bang, anakku sakit. Tolong bawa dia ke rumah sakit. Tolong Bang, sebelum terlambat.” Pintaku memohon.

“Sakit apa lagi? Akal-akalan kamu aja.”

Aku meraih kerah bajunya dengan kedua tanganku. Mendekatkan wajah dan memberi tatapan mengintimidasi. “Bawa anakku sekarang, atau kau akan menyesal! Jangan sampai ada dua anakku yang mati karena kau. Kalau itu terjadi, aku tak akan melepaskanmu meski harus mengejarmu sampai ke neraka!” ancamku.

Dia melepas tanganku dengan kasar. “Ah, iya, iya... Mana dia? Biar kubawa.”

Aku lega, dan kubawa ia mendekati Melina. Redy membopong Melina dan membawanya keluar. Ia pun sepertinya terlihat panik.

“Eh, kamu di sini aja,” katanya sambil mendorong tubuhku yang hendak keluar dari pintu kamar.

“Aku mau memastikan kalau anakku di bawa ke rumah sakit!” kataku.

“Aku akan bawa ke rumah sakit. Denger nggak?! Jangan ngelunjak ya. Kalian berdoa aja di sini. Biar anak ini aku yang urus. Aku juga nggak akan membiarkan yang satu ini mati. Oke?!”

Aku hendak menjawab namun Redy sudah menutup pintu kamar. Aku sempat tertegun di depan pintu. Mendengar dengan saksama. Kudengar bunyi mesin mobil yang dihidupkan. Ah, syukurlah. Semoga dia benar membawa Melina ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan secepatnya. Jangan sampai apa yang menimpa Andra terjadi juga pada Melina.

Aku membalikkan badan begitu mendengar suara mobil yang menjauh. Kulihat Nurul yang juga sedang mematung di belakangku.

Aku mengembangkan kedua tangan, memberi isyarat padanya untuk memeluk. Nurul menangis dalam dekapanku. Semua ini pasti sangat berat baginya. Apalagi ia sempat menjalani semua tanpa aku yang sempat hilang kesadaran.

“Makasih Ma, karena Mama udah mau sadar dan kembali,” tangisnya.

“Enggak. Mama yang harusnya berterima kasih padamu. Terima kasih karena udah kuat sejauh ini. Bahkan Mama sendiri nggak sekuat kamu,” kataku sambil menciumi ubun-ubunnya.

“Melina Ma...” Katanya dengan nada penuh kekhawatiran.

“Kita berdoa aja. Melina nggak akan kenapa-napa, dia juga anak yang kuat,” hiburku.

Nurul hanya mengangguk dan makin membenamkan kepalanya di dadaku.

“Baju Mama ada yang bersih?” tanyaku. Aku sadar bauku kini entah sudah seperti apa, mungkin lebih busuk dari bangkai. Dan kemarin Redy hanya memberikan beberapa helai pakaian untuk ganti.

Nurul mengangguk. “Ada yang udah Nurul cuci Ma.”

“Mama mau mandi dulu ya. Kamu juga ambil wudhu, kita baca dzikir banyak-banyak supaya Allah menyelamatkan Melina.”

Nurul mengangguk. Malam itu kami hampir tak tidur semalaman. Selain karena mengkhawatirkan keadaan Melina, kami juga saling melepas rindu. Seolah telah lama berpisah. Bercerita banyak dan bertukar pikiran.

Kupandangi Nurul yang kini sudah tertidur. Kasihan sekali, tampak dia sangat lelah selama beberapa hari ini. Mungkin malam ini adalah malam yang bisa membuatnya tidur sedikit lebih nyenyak.

Kupandangi langit-langit kamar. Aku bertekad untuk keluar dari sini, tak boleh terus-terusan berdiam diri dan pasrah dengan keadaan. Aku menyusun rencana. Akan ku balas perbuatan mereka yang telah melakukan ini pada kami. Akan kupastikan kami lepas dari penjara ini secepatnya.

***

Aku dan Nurul senang sekali ketika Melina kembali dari rumah sakit. Putriku itu terlihat sudah membaik. Aku menyambutnya dengan pelukan dan ciuman bertubi-tubi. Melina juga bahagia melihatku yang tampak sudah kembali normal.

“Bang Redy, makasih ya udah membawa Melina ke rumah sakit,” kataku sambil menggenggam kedua tangannya. Redy terlihat terkejut dan salah tingkah. Mungkin ia tak menyangka kalau aku akan berterima kasih hingga seperti itu.

“Dari mana kau tahu kalau namaku Redy?” tanyanya heran.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status