Aku termenung memeluk lutut. Pikiranku terasa kosong. Yang kuingat hanya Andra. Beberapa kali Nurul dan Melina datang mendekatiku, tapi kuacuhkan.
“Ma, sadar Ma. Mama belum ada makan. Kami takut kalau Mama seperti ini terus. Kasihan Melina Ma,” tangis Nurul. Tapi aku tetap diam seribu bahasa. Aku selalu saja mengulang memori dari sejak kami kabur dari rumah, hingga saat Andra meninggal. Kalau sudah begitu, akan selalu berakhir dengan jeritan frustasiku.“Ma, Melina demam Ma. Biskuitnya udah nggak ada lagi. Ma, kami harus gimana?”Diam. Hanya itu yang kulakukan. Aku tak akan makan, tak akan melakukan apa-apa sampai aku mati menyusul Andra.“Ma, Nurul capek. Melina nangis terus, dia rewel. Nurul harus gimana Ma? Tolong Ma, sadarlah. Nurul perlu Mama di samping kami.” Nurul menangis sambil menggoyang tanganku, tapi aku diam saja.Kubiarkan ia terus menangis. Aku tak ingin hal lain, kecuali cepat bertemu dengan Andra.***“Ma, bangun. Sekarang Mama pulang ya.”Aku menggeleng. “Mama mau di sini aja sama Andra.”Andra tersenyum dengan tatapan teduh. “Andra udah nggak usah dipikirin lagi. Mama masih punya dua anak yang masih sangat membutuhkan Mama.”Aku menggeleng lagi, kali ini disertai tangis. “Nggak! Mama mau sama Andra aja.”Ia memegang kedua tanganku,” Andra kasi Mama kekuatan ya. Mama harus kuat. Mama harus bangkit. Jangan menyerah Ma. Lindungi Kak Nurul sama Dek Mel, seperti kemarin Andra melindungi Mama. Mama bisa kan? Mama mau kan janji sama Andra?“Tapi...”“Percayalah Ma, di sini Andra udah jauh lebih baik. Mama di sana juga harus bahagia. Andra sayang Mama,” katanya sambil mengecup keningku.“Mama sadar ya... Ma.. Ma.. Melina.. Bangun Ma, sadar...”Kupikir itu adalah suara Andra, namun ternyata itu adalah suara Nurul yang berusaha membangunkanku. Aku membuka mata, ternyata aku tidur dan semua hanya mimpi. Tapi terasa begitu sangat nyata.Aku menoleh ke arah Nurul yang sedang memangku Melina.“Melina kenapa, Rul?”“Melina kejang Ma. Badannya panas sekali. Gimana kalau Melina juga meninggal?” Nurul menangis.Tidak! Kali ini tak akan kubiarkan anakku pergi lagi. Cukup Andra. Aku tak akan mengulang kesalahan yang sama.Aku mengambil Melina dan memeluknya di dadaku. Ya Allah, kasihan sekali anakku ini, entah sudah berapa lama tak kupedulikan. Badannya sangat panas, tubuhnya menegang dan hitam bola matanya nyaris menghilang.“Pegang dulu adikmu.”Aku segera berlari menuju pintu. Entah dari mana datangnya kekuatan ini, padahal aku sudah berhari-hari tidak makan. Aku menggedor, meninju dan menendang pintu. Hanya ada dua kemungkinan, Redy datang atau akan kubuat pintu ini jebol. Apa pun, asal pintu ini dapat terbuka dan Melina bisa di bawa ke rumah sakit.“Apa lagi sih ribut-ribut?!” Redy muncul setelah pintu terbuka.“Bang, anakku sakit. Tolong bawa dia ke rumah sakit. Tolong Bang, sebelum terlambat.” Pintaku memohon.“Sakit apa lagi? Akal-akalan kamu aja.”Aku meraih kerah bajunya dengan kedua tanganku. Mendekatkan wajah dan memberi tatapan mengintimidasi. “Bawa anakku sekarang, atau kau akan menyesal! Jangan sampai ada dua anakku yang mati karena kau. Kalau itu terjadi, aku tak akan melepaskanmu meski harus mengejarmu sampai ke neraka!” ancamku.Dia melepas tanganku dengan kasar. “Ah, iya, iya... Mana dia? Biar kubawa.”Aku lega, dan kubawa ia mendekati Melina. Redy membopong Melina dan membawanya keluar. Ia pun sepertinya terlihat panik.“Eh, kamu di sini aja,” katanya sambil mendorong tubuhku yang hendak keluar dari pintu kamar.“Aku mau memastikan kalau anakku di bawa ke rumah sakit!” kataku.“Aku akan bawa ke rumah sakit. Denger nggak?! Jangan ngelunjak ya. Kalian berdoa aja di sini. Biar anak ini aku yang urus. Aku juga nggak akan membiarkan yang satu ini mati. Oke?!”Aku hendak menjawab namun Redy sudah menutup pintu kamar. Aku sempat tertegun di depan pintu. Mendengar dengan saksama. Kudengar bunyi mesin mobil yang dihidupkan. Ah, syukurlah. Semoga dia benar membawa Melina ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan secepatnya. Jangan sampai apa yang menimpa Andra terjadi juga pada Melina.Aku membalikkan badan begitu mendengar suara mobil yang menjauh. Kulihat Nurul yang juga sedang mematung di belakangku.Aku mengembangkan kedua tangan, memberi isyarat padanya untuk memeluk. Nurul menangis dalam dekapanku. Semua ini pasti sangat berat baginya. Apalagi ia sempat menjalani semua tanpa aku yang sempat hilang kesadaran.“Makasih Ma, karena Mama udah mau sadar dan kembali,” tangisnya.“Enggak. Mama yang harusnya berterima kasih padamu. Terima kasih karena udah kuat sejauh ini. Bahkan Mama sendiri nggak sekuat kamu,” kataku sambil menciumi ubun-ubunnya.“Melina Ma...” Katanya dengan nada penuh kekhawatiran.“Kita berdoa aja. Melina nggak akan kenapa-napa, dia juga anak yang kuat,” hiburku.Nurul hanya mengangguk dan makin membenamkan kepalanya di dadaku.“Baju Mama ada yang bersih?” tanyaku. Aku sadar bauku kini entah sudah seperti apa, mungkin lebih busuk dari bangkai. Dan kemarin Redy hanya memberikan beberapa helai pakaian untuk ganti.Nurul mengangguk. “Ada yang udah Nurul cuci Ma.”“Mama mau mandi dulu ya. Kamu juga ambil wudhu, kita baca dzikir banyak-banyak supaya Allah menyelamatkan Melina.”Nurul mengangguk. Malam itu kami hampir tak tidur semalaman. Selain karena mengkhawatirkan keadaan Melina, kami juga saling melepas rindu. Seolah telah lama berpisah. Bercerita banyak dan bertukar pikiran.Kupandangi Nurul yang kini sudah tertidur. Kasihan sekali, tampak dia sangat lelah selama beberapa hari ini. Mungkin malam ini adalah malam yang bisa membuatnya tidur sedikit lebih nyenyak.Kupandangi langit-langit kamar. Aku bertekad untuk keluar dari sini, tak boleh terus-terusan berdiam diri dan pasrah dengan keadaan. Aku menyusun rencana. Akan ku balas perbuatan mereka yang telah melakukan ini pada kami. Akan kupastikan kami lepas dari penjara ini secepatnya.***Aku dan Nurul senang sekali ketika Melina kembali dari rumah sakit. Putriku itu terlihat sudah membaik. Aku menyambutnya dengan pelukan dan ciuman bertubi-tubi. Melina juga bahagia melihatku yang tampak sudah kembali normal.“Bang Redy, makasih ya udah membawa Melina ke rumah sakit,” kataku sambil menggenggam kedua tangannya. Redy terlihat terkejut dan salah tingkah. Mungkin ia tak menyangka kalau aku akan berterima kasih hingga seperti itu.“Dari mana kau tahu kalau namaku Redy?” tanyanya heran.“Ke mana kau saat kami menghilang? Kenapa kau justru menikah lagi, sementara di tempat lain aku dan anak-anakmu sedang mengalami beragam siksaan menyakitkan?”“Kau sendiri yang kabur dari rumah dengan membawa anak-anak! Kau lari dengan laki-laki lain.” Mas Edar menyanggah omonganku, tak mau disalahkan sendiri.“Aku kabur karena sudah tak tahan dengan sifatmu yang pelit. Apalagi kau malah selingkuh di belakangku. Sekarang aku tanya, apakah ada usahamu mencari kami ketika aku lari dari rumah? Adakah niatmu mencari tahu di mana keberadaan kami, meski itu hanya untuk memastikan alasanku pergi darimu? Tidak ada! Kau justru sepertinya sangat senang ketika aku dan ketiga anakmu menghilang! Seolah memang itulah yang kau harapkan, agar bisa melanjutkan hubunganmu dengan Ella dan menikahinya! Iya kan?!” Mas Edar diam, tak menjawab. Sepertinya memang apa yang aku tuduhkan semua benar adanya.“Aku pikir kau pasti akan kembali,” ujarnya lemah.“Bohong! Kalau kau pikir aku akan kembali, tak m
PoV Laras“Laras, kau ke sini?” Aku hanya tersenyum menyeringai ketika Redy tampak terkejut melihat kedatanganku. Sekilas kulihat keadaan di balik jeruji tempat ia sekarang meringkuk siang dan malam.Keadaannya begitu kotor. Dengan lantai berdebu dan hanya ada lembaran koran yang mungkin ia gunakan sebagai alas duduk dan tidur. Redy hanya sendiri di dalam ruangan kecil ini, tak ada narapidana lain yang kulihat.“Tentu saja aku harus ke sini. Aku harus memastikan kalau berita gembira dari Bang Yunan kalau kau telah ditangkap polisi itu benar adanya,” ujarku dingin.“Jadi Yunan yang telah membantumu kabur? Sudah kuduga.” Redy tertawa sekilas. “Bagaimana rasanya, Redy? Dikurung di sebuah tempat sempit, dengan ruang gerak yang sangat terbatas? Aku tak tahu apakah kau mendapatkan penyiksaan atau tidak, tapi aku harap kau dikurung di sini, jauh lebih lama dari saat kau mengurung aku dan anak-anakku.”“Aku memang pantas mendapatkannya, Laras. Aku sadar akan hal itu. Hanya saja seben
PoV Author “Bagaimana sekarang?” Yunan yang sedang mengelap darah di tangannya dengan menggunakan saputangan bertanya pada Laras. Wanita itu tampak menatap dingin ke arah tubuh Ella yang sudah tak bernyawa. Keadaan mayat wanita yang telah menikah dengan suaminya itu terlihat mengerikan, wajahnya dipenuhi darah. Sepertinya Yunan benar-benar meluapkan emosinya dengan memakai seluruh tenaga untuk menghajar bagian wajah Ella. Lelaki itu seakan tak peduli, bahwa yang dipukulinya adalah seorang wanita. Rasa dendam membuatnya gelap mata. “Kita keluar dulu. Tak lama lagi Mas Edar pasti pulang. Kita tunggu sambil bersiap menelepon polisi. Tapi sebelum itu, pastikan kalau tak ada jejak kita yang tertinggal. Sebisa mungkin semua bukti hanya menjurus pada Mas Edar.” “Kita buang ke mana barang bukti ini?” Yunan menunjukkan sebuah hiasan di kamar terbuat dari besi yang tadi ia gunakan juga untuk memukul Ella. “Tak perlu dibuang. Biarkan saja di sini.” “Tapi bukankah ada sidik jariku? Kita bis
“Mau ke mana kau, Ella? Bukankah kau sudah hidup enak di sini setelah menikah dengan orang kaya? Kenapa sepertinya kau mau melarikan diri lagi? Sudah dapat mangsa baru?”“Yunan, bagaimana kau bisa berada di sini?” aku benar-benar takut, sampai suaraku bergetar.“Tentu saja bisa, karena aku pernah bersumpah akan menemukanmu bagaimanapun caranya.”Aku meneguk ludah. Apakah kini tamat riwayatku?“Aku--- akan membayar hutangku padamu. Aku punya uangnya meski belum cukup. Tapi akan aku berikan semua padamu, Yunan. Tapi tolong jangan bunuh aku. Berikan aku kesempatan untuk mencari sisanya.” Aku memohon, semoga saja dia mau menurutiku. “Membayar hutang dan membunuhmu itu adalah dua hal yang berbeda Ella. Meski kau membayar lunas hutangmu dan menambahkan bunganya, kau akan tetap kuhabisi.” Yunan menyeringai, aku ngeri melihatnya.“Kenapa seperti itu? Bukankah kau mengejarku karena hutang? Kalau sudah dibayar, seharusnya kau tak perlu memperlakukanku dengan buruk.”“Lalu bagaimana deng
“Mereka tak pernah ke sini Redy. Aku yakin, karena tak ada sedikit pun tanda-tanda kalau pernah ada yang datang semalam.” Aku semakin panik saat tahu tak ada siapa-siapa di makam Andra. Bisa dilihat dari rumput tinggi yang berdiri tegak. Kalau memang Laras datang ke sini bersama anak-anaknya, maka sudah pasti semua semak belukar itu akan rebah karena diinjak.“Aku juga tak tahu, Ella.” Redy menggaruk kepala, membuatku geram.“Ini semua gara-gara kamu!” aku memukul tangannya dengan keras.“Kamu kenapa sih?!” Redy mengelus lengannya yang sudah pasti terasa sakit akibat pukulanku tadi.“Lihat apa yang kamu lakukan! Mereka kabur dan kita tak bisa menangkapnya lagi. Mereka tak mungkin datang ke sini malam-malam. Laras tak akan berani membawa dua anaknya melewati semak dan pohon-pohon mengerikan di hutan ini. Sekarang, kita mau cari ke mana lagi?”“Ya mana aku tahu! Jangan hanya menyalahkan aku. Mereka sudah lari sejak semalam. Bisa jadi sekarang sudah ada d
“Apa yang terjadi Redy? Ke mana mereka semua?!”Aku berjalan menyusuri rumah Redy dalam keadaan panik sambil membuka satu persatu pintu kamar yang ada. Merasa tak ada tanda-tanda Laras dan kedua anaknya di dalam, aku berlari keluar, melihat sekeliling. Redy yang juga terlihat panik, langsung mengitari rumah. “Mereka nggak ada.” Nafas Redy terengah-engah begitu ia kembali. “Aku rasa mereka kabur dari semalam.” Tebaknya.“Kamu gimana sih, kok malah ninggalin mereka?! Aku kan bayar kamu buat jagain biar nggak lari! Bisa-bisanya kamu malah biarkan mereka sendirian!” Aku benar-benar marah. Padahal hari ini aku sudah siap menghabisi Laras dan kedua anaknya, baru kemudian kabur dengan membawa tabungan hasil dari kerja kerasku selama ini.Tapi saat aku sampai di rumah Redy pagi ini, mereka sudah tak ada. Bahkan, Redy juga baru tiba ketika aku datang. Kami terkejut saat melihat pintu depan dan pintu kamar tempat Laras dikurung sudah rusak, terbuka lebar.“Ibuku datang, Ella! Nggak mung