Share

BAB 4

“Mmm... Aku mendengarnya dari perempuan yang pernah datang ke sini,” kataku ragu.

Redy diam. Sepertinya ia tak suka kalau aku mengetahui identitasnya.

“Dan apa kau tahu siapa perempuan itu?” tanyanya penuh selidik.

Aku menggeleng. “Aku nggak lihat orangnya, cuma dengar suara aja,” kataku.

Redy terlihat manggut-manggut.

“Makasih sekali lagi ya Bang.” Kataku lagi.

“Iya. Jaga benar-benar kesehatannya, jangan sampai sakit lagi. Aku nggak mau keluar uang terus.”

“Iya Bang,” kataku pendek dengan senyum mengembang. Aku kembali memeluk Melina. Tak henti kuucapkan syukur karena kali ini aku bisa menyelamatkan anakku.

“Oh iya, dia belum terlalu sembuh. Masih dalam masa pemulihan. Ini obatnya, jangan lupa diminumkan.” Redy memberiku sebuah kantong plastik. Dia bilang isinya adalah obat Melina, tapi kenapa seperti agak besar dan berat? Setelah kubuka, ternyata ada dua pak roti isi. Aku langsung memandang heran padanya.

“Itu aku belikan buat dia makan, biar bisa minum obat.”

“Makasih Bang.” Aku menunjukkan rasa senangku.

“Jangan terlalu senang, hanya sampai dia sembuh. Setelah itu jangan harap aku akan baik seperti ini. Aku cuma nggak mau ada orang mati lagi di rumahku,” katanya.

“Iya nggak apa Bang.”

Redy berbalik hendak keluar dari kamar. Tiba-tiba terlintas sebuah ide dalam kepalaku.

“Bang Redy...” Aku memanggilnya. Ia yang baru saja hendak memutar gagang pintu langsung berhenti, dan berbalik menatapku.

“Ada apa lagi?!” tanyanya agak jutek.

“Kalau Abang perlu orang untuk memasak atau membersihkan rumah, aku mau melakukannya.”

Redy tertawa pendek. “Sekarang apa lagi muslihatmu?”

“Nggak ada. Aku hanya mau berterima kasih karena telah menyelamatkan anakku. Nggak ada maksud lain,” kataku dengan memasang wajah serius.

“Nggak usah repot-repot. Aku nggak berani ambil resiko mengeluarkanmu dari kamar ini. Bisa aja kan kamu kabur?”

“Aku nggak akan mungkin kabur kalau anak-anakku masih ada di dalam sini kan? Biarkan aku saja yang keluar dan bekerja. Anak-anak tetap di sini.”

Redy berjalan mendekat. Aku agak takut, khawatir kalau ternyata aku salah mengambil langkah.

“Sekarang kau bilang saja, apa maksudmu mau membantu memasak dan lainnya? Aku nggak semudah itu percaya.”

“Beneran, aku nggak punya maksud lain. Aku hanya berterima kasih. Kalaupun aku punya maksud lain, aku hanya minta dengan aku bekerja tanpa dibayar, aku dan anak-anakku tak lagi disiksa, dan kami bisa diberi makanan yang layak. Biarkan aku memasak, sekalipun nantinya Abang cuma memberi kami kuah sup, aku akan sangat senang. Aku tahu Abang mengurungku di sini karena suatu tujuan. Biarkan kami bertahan dengan baik sampai tujuan Abang tercapai.”

“Dari mana kau yakin kalau aku nggak akan membunuhmu?”

“Kalau Abang memang mau membunuh kami, seharusnya sudah dilakukan sejak awal kan? Tapi kami sampai sekarang masih hidup, kecuali Andra anak lelakiku. Tapi dia meninggal karena ketidaksengajaan. Betul kan?” tanyaku dengan yakin. Aku menyusun kalimat sebaik mungkin. Jangan sampai ia mengetahui niatku yang sebenarnya.

Redy menatapku lama. Aku jadi salah tingkah ditatap seperti itu. “Akan aku pikirkan. Kau jangan coba merencanakan sesuatu untuk keluar dari sini. Aku memang pemabuk, tapi aku nggak bodoh.”

Aku mengangguk. Kupasang senyum agar ia tak melihat kebencian dari sorot mataku. Sebisa mungkin aku akan membuatnya percaya kalau aku tak berniat macam-macam.

Kubuang napas lega saat Redy keluar dan menutup pintu. Sulit sekali bersandiwara. Tapi demi keluar dari sini dan membalas dendam, aku akan melakukan apa saja. Aku akan mencari tahu alasanku disekap dan disiksa seperti ini. Akan kucari siapa dalang dan apa tujuannya. Aku yakin Redy hanyalah orang suruhan. Karena ada suara seorang wanita yang pernah kudengar selama aku berada di sini. Siapa pun dia, jangan harap akan luput dari pembalasanku.

***

Aku memperhatikan Nurul dan Melina yang kini sedang bergurau. Mereka terlihat tertawa sambil cekikikan. Nurul menggelitik perut adiknya dengan gemas, membuat anak bungsuku yang masih berumur 3 tahun itu menjerit kegelian.

Meski keadaan kami sangat menyedihkan karena terkurung dan diperlakukan tak layak, kami tetap berusaha untuk mempertahankan kewarasan dengan sesekali bersenda gurau. Walau terkadang aku dan Nurul menangis setiap kali teringat Andra.

Setelah Melina sembuh total dari sakitnya, Redy kembali memperlakukan kami seperti awal dulu. Meski tak lagi berlaku kasar, namun ia masih memberi kami makanan yang sangat sedikit dan kadang tak layak untuk dimakan. Nasi basi yang ia berikan kadang terasa masih agak mentah. Dan ia bahkan mengurangi jatah biskuit kami, dalam 2 minggu hanya sebungkus biskuit. Katanya karena kami Cuma bertiga, jadi mesti cukup. Padahal beberapa hari yang lalu ia sempat mengambil semua uang di dompetku dengan paksa.

Redy pun kini tak pernah lagi melecehkanku. Mungkin ia trauma atau karena dimarahi perempuan itu, sehingga tak pernah lagi ia masuk ke kamar ini dalam keadaan mabuk.

“Ma, udah boleh makan biskuitnya? Nurul sama Melina udah lapar,” kalimat Nurul mengagetkanku yang sedang melamun.

Aku tersenyum. “Makan aja, Rul. Ambil dua keping masing-masing untukmu dan Melina.”

“Loh kok, banyak banget Ma. Nanti biskuitnya cepat habis.”

“Hari ini Mama nggak makan biskuitnya, untuk kalian aja,” kataku.

“Kenapa emangnya Ma?”

“Masih ada nasi yang semalam,” sahutku pendek.

“Nasi itu kan udah basi Ma. Waktu dikasi kemaren aja udah bau. Nanti Mama sakit perut lagi,” protesnya.

“Nggak apa, Rul. Mama udah terbiasa makannya, jadi nggak akan sakit perut lagi,” kataku berusaha menghiburnya. Entah kenapa aku sekarang tak begitu mau makan biskuit. Setiap kali aku melihat dan memegang biskuit, hatiku kembali merasa pedih dan terkoyak karena langsung teringat pada Andra. Ya, sebelum dihajar dan kemudian meninggal, Andra belum sempat memakan biskuitnya untuk makan malam. Hal itu yang membuatku meneteskan air mata setiap kali memegang biskuit.

“Ma, sampai kapan kita di sini? Nurul takut sama Om itu Ma. Apa kita bisa keluar dari sini?”

Aku mengelus kepala Nurul. “Mama akan berusaha untuk mengeluarkan kita dari sini. Kita akan bebas. Kamu yakin kan, sama Mama?”

Nurul mengangguk. Mendadak aku menyadari keadaan anak sulungku itu, dia terlihat jauh lebih kurus. Pipinya yang dulu tembam sekarang menghilang entah ke mana, digantikan oleh pipi cekung yang membuatnya terlihat seperti orang sakit. Hatiku kembali teriris.

Tiba-tiba kudengar langkah kaki yang mendekat. Saat pintu terbuka, kulihat Redy muncul dengan wajah sembab, seperti habis bangun tidur. Aku menerka-nerka tujuannya datang kemari. Terlihat ia memandang kami agak lama, sepertinya ia ingin bicara namun tampak ragu.

“Heh, kemarin kamu bilang mau masak dan membersihkan rumah kan?”

Aku mengangguk senang. Sepertinya umpanku berhasil.

“Kalau gitu sekarang keluar. Masaklah, aku lapar.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status