- POV LARA- Brak! "Teganya kamu, Seno!" Aku tidak pernah menyangka bahwa pernikahan hanya akan membawa luka di hatiku.Setelah aku dan sopirku mendobrak masuk pintu ruang direktur—yang katanya sedang rapat penting—kami seketika disuguhi pemandangan menjijikkan berupa perselingkuhan suamiku dengan sekretarisnya, Olivia.Awalnya, kami dilarang masuk ke sana. Namun aku bersikeras dan menyuruh sopirku untuk mengikutiku.Benar saja, ruangan suamiku terkunci. Aku menyuruh pria besar itu untuk mendobraknya dan … dugaanku terbukti. Aku telah lama memiliki perasaan tidak enak ketika suamiku baru saja membuka bisnis baru yang melesatkan keadaan ekonomi kami.Seno, yang dulunya hanya karyawan, kini menjadi bos besar. Segalanya berubah menjadi lebih baik tetapi tidak dengan tabiatnya.Seno semakin jarang pulang dan suka marah-marah ketika aku menanyakan kemana saja ia pergi dan tidak pulang ke rumah. Katanya, ada banyak pekerjaan. Bukan kah, ini yang kuinginkan? Katanya. Tidak. Aku tidak pernah
Senja yang mulai menguning, memberi keindahan alami yang seharusnya bisa dinikmati, namun tidak olehku. Kehadiran Olivia yang mendadak, setelah penggerebekan yang kulakukan, menjadi hinaan terbesar bagiku. "Wanita itu! Beraninya!"Aku terduduk lemas setelah berbagai peristiwa yang kualami terasa mengguncang duniaku. Tiba-tiba saja, perutku terasa sakit, ototku kembali menegang. Padahal, aku baru saja berjanji pada dokter untuk menjaga kandungan yang berusia hampir 6 bulan ini dengan baik, setelah sebelumnya hampir mengalami keguguran. Seno tidak pulang selama beberapa hari, dengan dalih lembur, lagi dan lagi. Aku sekarang mengetahui, mengapa ada beberapa properti yang dimiliki atas namanya, secara rahasia. Apakah, Seno membelikan Olivia apartemen atau rumah? Membayangkan hal itu, kepalaku menjadi sangat sakit. Teganya mereka bermain api di belakangku! "Bu," panggil Bi Yani, aku dapat mendengar suaranya meski samar. Namun, aku masih bersusah payah mengatur napas. Peningkatan kekaya
-POV Bi Yani- Ambulans segera datang dengan sirine yang meraung-raung. Aku membukakan pintu dengan panik dan menunjukkan sofa, tempat Bu Lara berada. “Pindahkan pasien!” seru seorang petugas ambulans kepada rekannya. Aku menangis dan merasa cemas, bagaimana jika Bu Lara keguguran? “Ibu, ikut kami, ya?” ajak seorang petugas itu dan aku tentu saja menganggukkan kepala. Kami segera meluncur menuju ke rumah sakit yang tak begitu jauh dari kediaman Bu Lara. Di sana, Bu Lara sudah ditunggu oleh para dokter jaga. *** “"Di mana ruang operasinya?""Di lorong kedua, ikuti saya!"Seorang perawat kemudian membimbing tim medis dengan cepat menuju ke ruang operasi. Langkah mereka berderap bergantian, suasana di lorong itu penuh dengan ketegangan."Hati-hati!" Perawat rumah sakit dan tim medis yang bertugas tampak mendorong kereta itu dengan kecepatan yang terkontrol. Mereka terlihat tenang meski langkah mereka besar-besar dan berderap seperti pasukan kuda di medan perang.Perawat dan tim medis
-POV Andre-Aku tidak pernah menyangka bahwa pasien yang ada di meja operasi ini adalah … Lara!"Dokter, sa–ya berharap … bayi saya selamat," ucapnya dengan suara gemetar.Apa yang terjadi padanya? Dan, bayi … Lara sudah bersuami? "Dokter!" "Ah!" Untuk sesaat, aku mematung tanpa melakukan tindakan apapun. Aku terhanyut akan kenangan masa kecil yang tiba-tiba datang. Lara Selene adalah teman masa kecil yang selama ini kucari-cari. Lalu, bagaimana mungkin kami bertemu dalam kondisi tragis begini? "Operasi, dimulai." Aku kembali pada pekerjaan utama dan tidak membuang waktu lagi. Tim medis yang terampil dengan hati-hati menolongku untuk memulai prosedur penyelamatan yang kritis ini Kami mulai melakukan tindakan operasi yang mungkin dapat berlangsung selama berjam-jam, dengan ketegangan yang dapat dirasakan oleh semua orang yang ada di dalam ruangan. Ruang operasi itu penuh dengan suara peralatan medis yang berdenting, lampu operasi yang menyilaukan, dan juga gerakan cepat tim oper
-PoV Bi Yani- "Permisi…" "Ya. Suster! Bagaimana hasilnya?” Akhirnya, seorang perawat keluar dari kamar operasi. Lampu darurat di sana sudah menggelap. Benar dugaanku, operasi itu telah selesai. "Syukurlah. Pasien dan janinnya selamat, Nyonya. Jangan khawatir. Pasien sedang dalam masa pemulihan," jelas perawat itu dengan senyuman. "Syukurlah. Terima kasih, Sus!" Aku menjawab penuh kelegaan. Doa-doa yang kulangitkan ternyata didengar oleh Tuhan. "Sama-sama." Perawat itu kemudian pamit undur diri setelah menanyakan hubunganku dengan Bu Lara. Ia mengira, aku adalah ibu dari si pasien. Aku hanya menjawab bahwa aku adalah asistennya. Katanya, aku memiliki tindak-tanduk yang seperti seorang keluarga karena sangat mengkhawatirkan Bu Lara. “Kami memang keluarga,” kataku. Perawat itu tersenyum sambil melambaikan tangannya kepadaku. Aku kembali duduk di kursi tunggu dan mengucap syukur dengan penuh haru. "Nyonya Lara, syukurlah…" Aku serta-merta mencium ubin rumah sakit untuk memanja
-PoV Lara- Batas antara kenyataan dan khayalan menjadi kabur ketika kau baru saja menjalani operasi yang begitu lama. Dalam kebencian yang tertanam setelah kembali bertemu dengan Olivia, ingatanku mulai berputar ke masa ketika kami masih menjadi mahasiswa. Waktu itu, belasan tahun silam, aku baru saja pindah ke Kampus Triguna yang ada di Jakarta, setelah menjalani kehidupan bersama bibiku di Surabaya. Sepeninggalan ibu dan ayahku, aku dijemput bibi dari Indonesia dan diasuh di kota pahlawan itu. Lumayan sulit juga beradaptasi di sana, terutama jika wajahmu sangat berbeda dengan anak-anak pada umumnya. Banyak yang bilang bahwa aku cantik, meski aku selalu merasa, wajahku biasa saja. Di kampung halamanku, wajah sepertiku malah terbilang eksotis karena perpaduan dari ras kaukasoid dan ras asia. Tidak ada batas antara wajah cantik kaukasoid dengan cantik ala asia. Kami cukup menghargai perbedaan, berbeda dengan di Indonesia. Aku cukup senang disebut cantik, tapi banyak juga yang merund
Seno—suamiku itu—tersenyum menyambut ancamanku. Ada apa dengannya?"Tentu saja, Sayang. Jangan ceraikan aku. Aku juga tidak ingin berpisah denganmu," ucap Seno sambil membelai lembut wajahku. Bukankah reaksinya terlihat aneh? Aku hanya menatap nanar langit-langit rumah sakit yang ada di atasku. Cahaya menyilaukan itu sejenak menepis bayang-bayang menjijikkan perselingkuhan suamiku dengan sekretarisnya. "Jangan besar kepala. Aku bukannya mengemis cintamu. Aku hanya tidak ingin anak kita besar tanpa orang tua utuh, sepertiku!" Suaraku terdengar tajam, Seno cukup terkejut dengan perubahanku. Ia tampak membelalakkan mata.Ya. Aku memang tidak pernah semarah ini kepadanya. Aku terbiasa diam dan bersikap acuh tak acuh. Namun, kali ini berbeda. Aku harus bersuara lantang dan memberitahunya bahwa aku bukan lagi wanita bodoh yang haus cinta. "Kau sangat kejam, Sayang."Kejam? Bukankah, Seno yang telah berbuat kejam kepadaku? Selama ini, aku hanya pasrah menerima nasib pernikahan yang pahit
Aku menatap tajam dokter yang sedang berada di hadapanku saat ini. Seorang dokter tinggi gagah dengan bola mata kecokelatan khas pria blasteran pada umumnya. Rambutnya hitam bergelombang yang disisir rapi seperti penampakan jas putih yang membalut badannya. Andre. Temanku ketika kecil yang kini menjadi musuhku. "K—kau!" Bara amarahku tiba-tiba membuncah—seolah dapat mencabik raga sang dokter saat itu juga. Kenangan tentang hubungan dokter Andre dan aku di masa lalu, tiba-tiba mencuat kembali dan kini melukaiku. Andre dan aku bukanlah musuh pada awalnya, namun sebuah insiden mengerikan begitu membekas dalam benakku. Insiden itulah yang kemudian menjadikan kami musuh bebuyutan, hingga sekarang. Aku bahkan mencoba untuk memutuskan kontak, meski Andre dan kakaknya sering mencari-cariku, katanya. Aku juga tidak pernah mengkonfirmasi hal itu. Aku memang gadis yang penuh dengan luka di masa lalu. Aku bahkan belum merasa bahagia seutuhnya, hingga suatu ketika, seorang janin tiba-tiba