Keenan berdiri, menatap Adellia dalam-dalam sebelum mengecup dahinya. "Maira sudah standby di dapur. Dokter Lisa akan mampir siang nanti. Dan..." Ia mengeluarkan sebuah smartwatch dari saku. "Pakai ini. Aku pasang fitur monitor detak jantung dan kontraksi. Jika ada yang tidak beres, aku langsung dapat notifikasi."Adellia menggeleng, tapi tetap membiarkan Keenan mengikatkan jam itu di pergelangan tangannya. "Kau benar-benar tidak bisa lepas kontrol, ya?""Tidak untuk hal yang berharga," jawab Keenan sambil mengecup punggung tangan Adellia.Mobil hitam sudah menunggu di depan. Keenan berbalik sekali lagi, melihat Adellia berdiri di pintu dengan baju hamil longgar yang melambai-lambai diterpa angin pagi."Pulang cepat!" ujar Adellia, tangannya melingkar di atas perut.Keenan hanya melambai, tapi Adellia tahu—di balik kaca mobil yang gelap, suaminya itu pasti masih memandanginya lewat kaca spion sampai mobilnya hilang di tikungan.**Udara di penthouse terasa lebih dingin ketika Adellia
Lampu sorot di ruang prosedur berkedip lalu dimatikan. Dr. Lisa menarik sarung tangan bedahnya dengan wajah lega."Kita berhasil stabilkan," ujarnya pada tim medis yang masih tegang. "Perdarahan subkorionik terkendali, serviks sudah diamankan dengan pesarium. Tidak perlu cerclage untuk sekarang."Monitor USG menunjukkan:Janin A: Detak jantung 148 bpm, gerakan aktif.Janin B: Detak jantung 136 bpm, sedikit lemah tapi stabil.Keenan yang selama ini membatu di sudut ruangan tiba-tiba limbung, tangannya menyambar tepi meja operasi. "Artinya...?""Kandungan aman untuk sekarang," Dr. Lisa meletakkan tangan di bahunya. "Tapi Nyonya Daviero harus bedrest total. Tidak boleh ada stres, tidak boleh berdiri lebih dari 5 menit."Kamar VIP rumah sakit berubah menjadi:Tempat tidur elektrik dengan pengaturan sudut 30 derajat.Monitor janin portable yang terus menempel di perut Adellia.Dinding dipenuhi grafik tekanan darah dan catatan medis.Adellia terbangun dengan mulut kering, tangannya refleks
Keenan menangkap kedua pergelangan tangannya, mendekatkan wajahnya hingga nafas mereka bercampur. "Coba saja. Aku akan kejar kau ke ujung dunia. Setiap klinik di Eropa sudah kutinggalkan pesan. Tak ada dokter yang berani menyentuhmu."Adellia merosot ke lantai, seluruh tubuhnya gemetar. "Kenapa kau memaksaku seperti ini? Apa kau tidak mengerti... aku tidak mau anak ini menderita..."**Keenan membawa Adellia ke rumah sakit lain. Di sana, ada dokter pribadinya yang langsung menunjukkan dokter spesialis kandungan terbaik.Dr. Lisa membalikkan hasil USG dengan wajah suram, jari-jarinya yang ramping mengetuk gambar buram di layar."Ada sesuatu yang perlu Anda ketahui sebelum mengambil keputusan," suaranya berat seperti membawa beban dunia. Ia sudah tahu, jika Adellia berniat menggugurkan kandngannya.Adellia duduk kaku di kursi pasien. "Apa? Katakan langsung.""Janin Anda kembar," dokter itu menghela napas, "Dan kondisi rahim Anda... tidak biasa. Ada jaringan parut dari operasi masa lalu
Ketika seorang kurir berseragam merah terang akhirnya muncul, membawa paket kecil berwarna cokelat, pupil Keenan menyempit. Paket itu terlalu kecil untuk berisi perlengkapan mandi atau buku, terlalu tipis untuk pakaian."Catat nomor kurir itu," bisiknya pada sopir pribadinya yang langsung mengangguk patuh.Di kantornya yang megah di lantai 42 gedung Daviero Corp, Keenan tak bisa berkonsentrasi pada tumpukan dokumen di mejanya. Sebaliknya, ia menghabiskan paginya dengan mengawasi layar laptop yang menampilkan laporan dari tim keamanannya."Kami sudah mengecek semua apotek dalam radius 5 kilometer," lapor asisten pribadinya melalui telepon. "Ada beberapa pembelian menarik atas nama Nyonya Daviero dalam sebulan terakhir."Keenan mengeratkan genggamannya di sekitar ponsel. "Seperti apa?""Prenatal vitamin, sebotol kecil asam folat, dan... beberapa paket biskuit jahe untuk mual."**Siang itu, Adellia mengunci diri di kamar mandi mewah mereka yang luas, kunci diputar dua kali untuk memasti
Pintu kamar terkunci rapat sejak semalam. Keenan berdiri di depan pintu, mengetuk perlahan untuk ketiga kalinya."Aku ada rapat penting pagi ini. Tidak bisa menemanimu sarapan."Tidak ada jawaban. Hanya keheningan yang menyakitkan.Ia menghela napas, meninggalkan rumah dengan perasaan hampa.Sepanjang hari, pikiran Keenan melayang kepada Adellia. Di sela-sela rapat penting, ia mengirim pesan kepada Maira:"Sudahkah nyonya keluar dari kamar?"Beberapa menit kemudian, balasan datang:"Sudah, Tuan. Nyonya sedang makan siang di teras."Keenan melepas napas lega, tapi kegelisahan tak juga hilang.*Matahari sore mulai tenggelam ketika Keenan tiba di penthouse. Ia menemukan Adellia di balkon, tubuhnya meringkuk di kursi, tatapan kosong menembus cakrawala kota.Dengan langkah ragu, Keenan menghampiri."Kau... masih marah?" suaranya pelan, hampir tak terdengar.Hening.Lalu, suara Adellia yang datar memecah kesunyian:"Bukankah kontrak kita berakhir bulan depan?"Keenan mengernyit, rahangnya
Adellia terbangun oleh dinginnya tempat tidur yang kosong. Tangan meraba sisi ranjang di mana Keenan seharusnya berbaring—hanya ada lekukan bekas tubuhnya yang sudah dingin. Jam di dinding menunjukkan pukul 2:47 pagi."Keen?" panggilnya pelan, suara serak oleh tidur.Tak ada jawaban.Kaki telanjangnya menyentuh lantai kayu yang sejuk. Ruangan gelap, hanya diterangi sinar bulan dari jendela. Dia memeriksa setiap sudut—kamar mandi kosong, balkon sepi, bahkan ponsel Keenan masih tertinggal di meja samping ranjang.Hingga akhirnya... suara samar dari taman belakang vila terdengar.Adellia mengikuti suara itu, tubuhnya dibalut jubah sutra tipis yang tak mampu menahan dinginnya malam. Di balik rimbun pohon palem, siluet Keenan terlihat jelas—berdiri berjarak dengan seorang wanita berambut panjang, wajahnya tersinari lampu taman."Pernikahanku dengannya hanya sebatas kontrak," suara Keenan mengiris udara, tegas dan tanpa penyesalan.Wanita itu tertawa, suaranya familiar—Clara.Adellia menaha
Keenan menghela napas, tapi wajahnya tiba-tiba berubah jadi mode CEO dingin, meski posisinya masih absurd."Buku. Sekarang."Pelayan itu buru-buru menyodorkan buku. Dengan satu tangan masih memegangi Adellia, Keenan menandatangani dokumen penting di buku tamu—tulisannya berantakan tapi masih terbaca:"Untuk Sophia— Jangan pernah ganggu pria yang sedang prioritize istrinya. –K.D."Adellia tidak bisa menahan tawa lagi, suaranya menggema di pantai."Prioritize istri?! Kau baru saja hampir merobek—""Tutup mulutmu, Sayang," Keenan memotong sambil menyumpal mulut Adellia dengan buku itu, lalu melemparkannya kembali ke pelayan. "Pergi."*Begitu pintu vila terkunci, Keenan melemparkan Adellia ke sofa."Kau pikir itu lucu?" suaranya rendah, melepas ikat pinggang dengan gerakan lambat.Adellia menggigit bibir, sengaja merangkak mundur di atas sofa. "Sangat. Wajahmu tadi— priceless—"Dalam satu sentakan Keenan menarik kaki Adellia, membalikkan posisinya hingga tertelungkup."Kau punya dua pili
Mereka makan dalam keheningan yang nyaman, sesekali saling mencuri gigitan atau menawarkan kopi. Jari-jari Keenan bermain dengan tangan Adellia, menelusuri setiap jarinya dengan penuh arti."Kau tahu..." Adellia tiba-tiba berbicara, menatapnya dengan mata berbinar. "Aku berpikir untuk memperpanjang liburan kita. Mungkin ke Viremont minggu depan?"Keenan mengangkat alis, senyum nakal muncul lagi. "Oh? Jadi kapten ingin membawaku ke petualangan baru?"Adellia menjulurkan kaki, menyentuh sisi tubuh Keenan dengan jari kakinya yang basah. "Aku punya daftar... aktivitas yang ingin kita coba di sana."Keenan menangkap pergelangan kakinya, menariknya pelan hingga kursinya tergeser mendekat."Berbahaya sekali kau menggoda di pagi hari, Mrs. Daviero."Adellia hanya tersenyum, matanya menantang."Atau kau sudah lupa—aku yang memegang kendali sekarang?"Udara pagi yang damai tiba-tiba terasa panas lagi, meski matahari belum mencapai puncaknya.**Pasar wisata itu ramai, dipenuhi warna-warni kain
Udara di kamar terasa semakin panas, semakin sesak. Ranjang kayu jati berderak keras mengikuti ritme liar mereka. Adellia menggigit bibir sampai nyaris berdarah, tapi Keenan tak membiarkannya—ia menangkup dagunya, memaksanya menatapnya."Jangan. Aku ingin dengar semuanya," desisnya, sebelum mempercepat gerakan, lebih kasar, lebih tak kenal ampun.Adellia tak tahan lagi. Tubuhnya meledak dalam gemuruh yang membutakan, tapi Keenan tak memberinya waktu untuk pulih—ia menariknya kembali, memaksanya menungganginya dengan posisi yang bahkan lebih intim, lebih dalam."Tidak—aku tidak bisa—!" erang Adellia, tapi tubuhnya sudah bergerak mengikuti perintah Keenan."Kau bisa," geram Keenan, tangannya mencengkeram rambut Adellia, menarik kepala ke belakang. "Dan kau akan mengulanginya sampai aku puas."Malam itu, mereka seperti dua badai yang saling menghancurkan—tanpa ampun, tanpa sisa. Ketika akhirnya Keenan membiarkan dirinya jatuh, tubuh Adellia sudah lemas, berkeringat, dan dipenuhi tanda me