“Mas beliin ini buat kamu.” Selepas shalat Isya', Arkan akhirnya membongkar travel bag dan mengulurkan kantong kertas besar yang ikut tercecer di bawah ranjang.Berhadapan di karpet, Hana menerima bungkusan dari tangan Arkan dengan tangan gemetar. Senyumnya terkulum, terharu karena hadiah yang diberikan suaminya benar-benar di luar dugaan.“Ini mahal banget, Mas.” Hana berkata dengan suara bergetar.Tangan Arkan terhenti. Dengan lembut, ditariknya kotak tersebut dan mengeluarkan isinya. Lantas pria itu berjalan ke belakang Hana dan memasangkan benda tersebut di lehernya dengan hati-hati.“Mas kan kerja buat kamu,” bisik Arkan lembut. Dibenamkannya kepala ke leher istrinya sambil memejamkan mata. Hidungnya terus mencium aroma lotus yang menguar dari tubuh Hana dengan rakus, salah satu aroma yang paling disukainya di dunia ini.Hana memejamkan mata, membiarkan kedua lengan Arkan melingkar di dadanya. Hatinya tak berhenti mengucap syukur karena Allah memberinya suami sebaik Arkan.“Kita
“Apa dia nunggu Keira?” gumam Hana.Arkan menoleh, kebingungan melintasi wajahnya.“Mas tahu kan mereka dekat?” tanya Hana memastikan.Arkan mengangguk. Dia salah satu orang yang menjadi saksi seberapa dekatnya persahabatan antara Keira dan Ivan. Dia bahkan masih ingat saat-saat dulu ketika mereka semua berkunjung ke Solo dan Keira bersama sahabatnya itu telaten mengurus anak-anak Alina dan adik Ivan.“Apa Mas juga tahu kalau Keira suka sama Ivan?” tanya Hana lagi.Satu alis Arkan terangkat. Dia memang tahu Ivan dan Keira berteman sejak kecil, tapi tidak pernah berpikir sampai ke sana dimana adiknya menyukai sahabatnya sendiri.“Mas Arkan?”“Mas gak tahu, Han. Mas tahunya mereka akrab.” Arkan menjawab terbata-bata.Hana mengerucutkan bibir. Kalau begini, jangankan Arkan, dirinya sendiri pun tidak tahu harus bereaksi bagaimana lagi.“Tapi Mas udah ada lihat tanda-tandanya dari tahun lalu sih,” ungkap Arkan kemudian.Hana menunggu dengan sabar di sebelahnya.“Mas pernah mergokin Ivan no
“Kamu mau sesuatu?”Hana yang bersandar di tempat tidur menggeleng. Tubuhnya lemas luar biasa setelah muntah-muntah karena mencium aroma masakan yang menguar hingga ke seluruh penjuru rumah. Di depannya, Arkan menyodorkan segelas air hangat sebelum memijat kakinya.“Hari ini Mas ada acara?” tanya Hana. Suaranya terdengar serak.Arkan menggeleng. Ditunjuknya laptop di sofa dan berkata, “Mas harus lanjutin laporan buat besok.”Hana mengangguk. Didongakkannya kepala, menahan pusing yang menyerang kepalanya.“Kamu baik-baik aja?” tanya Arkan khawatir.Hana baru akan menggeleng saat ponselnya bergetar. Arkan menatap benda pipih itu sejenak, lalu meraihnya dan membaca nama penelepon.“Fahmi, Han.”Hana mengerjapkan mata.“Mas aja yang angkat,” ucapnya pelan. Ditekuknya kedua lutut dan membenamkan kepala.Arkan menimbang sejenak, kemudian bangkit dan keluar kamar. Tiba di balkon, disentuhnya ikon telepon berwarna hijau dan menempelkan ponsel di telinga.“Halo. Assalamu’alaikum.”“Wa’alaikums
“Sisi lain Mas Arkan yang baru aku tahu tuh ternyata bucin ya.”Arkan yang tengah menyendok keripik ke dalam plastik menoleh. Tak jauh darinya, Keira asyik melihat-lihat berbagai kotak kaca yang berisi makanan beraneka macam. Tatapan Arkan turun ke tangannya yang berisi berbagai macam makanan.“Ini bukan bucin, Kei,” balas Arkan. “Nanti kalau kamu udah nikah dan pengen sesuatu, kamu pasti bakalan minta suamimu buat beliin apapun yang kamu mau ke luar.”Keira mencibir. “Masa sih?”“Mas yakin sih, kamu bakalan minta macam-macam ke Ivan nanti. Kamu kan manja.”Pipi Keira merah padam seketika. Dibalikkannya badan, membiarkan Arkan sibuk dengan belanjaannya.Saat dia berbalik lagi, gadis itu dibuat kaget dengan makanan yang menumpuk di nampan.“Mas lapar atau udah seminggu gak makan?” ejek Keira.“Buat persediaan Hana di atas, biar dia gak nekat turun karena lapar pas gak ada orang di rumah,” balas Arkan cuek. “Kamu mau beli sesuatu gak?”“Beli apa?” tanya Keira balik.Arkan mengembuskan n
“Mas kok lama?” protes Hana begitu dia tiba di lantai tiga. Kali ini, istrinya berkumpul bersama Aisyah, Zara, dan Salwa yang sibuk mengobrol.Arkan meletakkan toples berisi kerupuk ikan di depan Hana sambil berkata, “Mas beliin banyak jajanan buat kamu, jadi maaf ya kalo lama.”“Mas beli apa aja?” tanya Hana sebelum menyeruput teh-nya.“Ya banyak pokoknya. Mas simpan di kamar semua, jadi kamu gak perlu turun kalo pas semua orang lagi ngaji.”Hana mengangguk. Dibukanya toples, mengucapkan bismillah, kemudian mulai melahapnya pelan-pelan.“Umi lagi nulis apa?” tanya Arkan.Salwa mendongak, menjawab lembut, “Daftar penerima bantuan buat anak yatim tahun ini.”Arkan berusaha mengintip, namun bahunya ditampar pelan oleh Zara.“Mau tahu aja,” ejeknya.Arkan mencibir, lalu menatap istrinya yang sibuk membaca buku fiqih sambil makan. Dehaman iseng Zara membuat Arkan menoleh.“Mbak iri?” tanya Arkan.Zara menggeleng, tampangnya terlihat polos luar biasa. Salwa dan Aisyah mengulum senyum, seme
Ba'da shalat Maghrib, seperti biasa Hana bersantai di sofa sambil mengulang kembali hafalannya. Sesekali ditatapnya keramaian di halaman, lantas memperbaiki posisi. Kali ini menurunkan tangan dan mengelus perut.Sepanjang hari, hatinya terus merasa bahagia. Selain karena Arkan menemaninya seharian di rumah, pria itu begitu menjaganya dan tidak sekalipun jauh-jauh darinya. Bahkan saat Hana bersandar di bahunya sambil memperhatikan layar laptop dan bertanya-tanya tentang pekerjaannya, tidak sekalipun Arkan menggoda maupun protes. Malah menjawab dengan sabar, mendekap bahunya semakin erat, dan sesekali mencium dahinya.Bersama Arkan, Hana perlahan mulai melupakan satu per satu masa lalu buruknya. Tingkah Arkan yang tak pernah berhenti membuatnya tertawa, tersenyum, dan mengomel sedikit demi sedikit membuat Hana bisa berdamai.Setiap harinya, Hana tidak pernah berhenti berdoa agar pernikahan mereka awet hingga ke surga. Setiap harinya pula, dia selalu berharap agar selalu bisa membahagiak
“Itu apa, Mas?” tanya Hana saat Arkan menekuni catatan di sebelahnya.“Daftar acara. Sepanjang minggu di bulan depan, Mas harus ngisi kajian kitab kuning, seminar, dan ceramah penting di beberapa kota.” Arkan mencoret-coret kertasnya sejenak, lalu melanjutkan, “Nanti kita tanya dokter Fiona apa kamu udah boleh pergi jauh.”Hana terkejut. “Aku boleh nemenin Mas?”Arkan mengangguk.“Nanti kita sekalian jalan-jalan. Mau kemana? Mas turutin.”Hana tidak menjawab dan malah menyandarkan kepala di lengan Arkan. Pria itu tersenyum, lalu melingkarkan lengannya yang lain ke bahu istrinya sambil terus menulis.“Aku seneng. Akhirnya gak terkurung di kamar ini lagi,” bisiknya.Arkan tertawa. Ditundukkannya kepala dan mencium dahi Hana.“Kan ini buat kebaikanmu juga.”Hana mengangguk. Dilepasnya pelukan Arkan dan merebahkan kepala di paha suaminya.“Mas.” Arkan ber-hmm.“Aku cinta sama Mas.”Bibir Arkan tak kuasa menahan senyum. Dikecupnya dahi Hana dengan lembut, lalu merapikan rambut istrinya ya
Paginya saat semua orang sudah berangkat bekerja dan Hana sudah menyelesaikan hafalannya, mendadak ponselnya kembali berdenting.Hana meletakkan bukunya, lalu meraih ponsel dan membukanya dengan malas-malasan. Bibirnya menggumam, ‘Dari kemarin kerjanya ganggu mulu.’[Dasar sundal!]Sekujur tubuh Hana merinding. Tangannya bahkan bergetar hebat, takut membaca pesan teror tersebut.“Ning mau makan sekarang?” tanya Nina yang kebetulan naik untuk mengambil baju kotor anak-anak.Hana menggeleng. Ditunjuknya toples makanan.Nina tidak menjawab lagi dan menunduk sopan sebelum akhirnya pergi. Hana kembali meraih buku fiqih tentang shalat dan lanjut membacanya.“Permisi, Ning. Ada paket buat Ning Hana.” Mendadak Latifah naik dan mengangsurkan sebuah benda seukuran novel ke depan Hana.Hana seketika mengelap tangan dengan tisu, kemudian menerimanya dan bertanya ramah, “Dari siapa, Mbak?”“Saya gak tahu, Ning. Tadi dikasih satpam yang jaga di depan.”Hana diam sejenak, lalu meraih cutter dari lem