“Kakak lihat gak sih kalau mereka merhatiin kita terus?”Fauzan mengangguk, matanya tidak lepas dari laptop.“Buat apa sih dia masukin anaknya ke ponpes Al Mulk juga? Memangnya dia gak punya tujuan lain gitu? Atau dia ngelakuin ini karena pengen gangguin kita lagi? Bisa jadi begitu kan? Orangtuanya udah gak ada lagi, semua fasilitasnya udah balik, dan Rafika bahkan juga udah gak ada. Dia gak punya alasan buat gak ngelakuin apapun rencana buruknya,” ucap Alina geram. Dia terus saja mondar-mandir keliling kamar, membuat Fauzan pun tidak nyaman. Tapi dia tahu Alina begitu karena gelisah memikirkan keadaan putra mereka nanti.“Nanti kalau Raza diapa-apain anaknya gimana? Dari tadi siang aja kelihatan jelas kalau mereka terus merhatiin kita. Terus laki-laki itu berani banget deketin Raina. Memangnya dia gak takut dikeroyok orang-orang karena gangguin gadis muda gitu?” tanya Alina lagi. Dia kemudian merebahkan diri di sebelah Fauzan dan memainkan rambut merahnya yang mulai memutih.“Udah ng
“Bagus! Ceritain aja semuanya ke keluarga barumu, biar mereka tahu kalau ibumu ini orang yang buruk!”Hana menunduk. Dikiranya dia akan baik-baik saja karena mengunjungi keluarganya bersama Salwa dan Harris, tapi ibunya selalu punya cara untuk menyudutkannya. Seperti yang terjadi saat ini.“Hana cuma cerita sama Umi Salwa, Bu....”“Sama aja! Ceritain aja semuanya. Gak apa-apa. Ibu kamu kan gak pernah ngajarin yang baik di rumah, jadi mau ngapain aja kamu terserah. Mau jelek-jelekin saya juga terserah,” desis Naira sambil melirik Salwa yang juga sibuk memilih-milih kain.Hana berpura-pura sibuk merasakan tekstur kain di tangannya agar ibunya tidak tahu kalau dia sudah ingin menangis. Sebetulnya dia sudah meminta pada Salwa supaya tetap tinggal di mobil, namun Salwa membujuknya agar mau menemani beberapa menit saja. Dan ibu mertuanya itu tidak membahas hal yang macam-macam, kecuali berkata kalau Hana suka bercerita apa saja padanya. Hal yang langsung membuat emosi Naira naik dan menceca
“Apa Hana memang separah itu, Yah?”Kamar besar itu hening. Mata Hana menatap lurus ke iPad yang terletak di kasur, memperlihatkan wajah Rayhan yang menatapnya tanpa ekspresi.“Percuma dong ya Hana punya orangtua tapi bercerita aja gak boleh,” lanjutnya lagi.Rayhan masih tidak menjawab.Hana mengembuskan napas dan berkata, “Sebetulnya Hana juga lebih suka diam, Yah. Tapi Umi Salwa paham kalau Hana butuh didengar. Beliau juga gak pernah maksa Hana untuk cerita. Jadi dimana salahnya? Hana cuma cerita sama beliau aja.”“Masalahnya kamu cerita soal orangtua kamu, Han....”“Karena emang harus itu yang yang Hana ceritain. Selama ini Hana gak boleh ngomong, gak boleh marah, gak boleh merasa keberatan meski Hana berhak bersuara. Ayah tahu gak sih kalau Hana udah hampir gila karena gak dibolehin ngomong? Setiap kali Hana mau ngomong, langsung disuruh diam. Setiap kali Hana ngajak orang di rumah ngobrol baik-baik, selalu aja Hana yang dimarahin. Lalu ketika sekarang ada orang yang mau dengerin
“Kamu baik-baik aja, Han?”Hana mengangguk. Ponselnya tidak berhenti berdering sejak tadi. Ratusan chat dari Fahmi, Tari, dan Naira bergantian masuk, mendesaknya untuk mengirimkan uang. Denting notifikasi membuat kepalanya semakin berdenyut-denyut, namun Hana tidak berani mematikan ponsel karena tahu kalau keributan akan semakin parah jika dia bersikap begitu.“Mas matiin aja ya HP-nya.” Arkan berkata sambil meraih ponsel tersebut. Hana tidak menjawab, hanya menatap datar sambil memeluk bantalnya.Di depan mereka, Salwa bertanya, “Kamu mau izin aja, Nduk?”Belum jadi Hana menjawab, ponselnya kembali berdering. Arkan melirik dengan ekspresi putus asa, kontras dengan Hana yang menatap lurus ke depan. Di dalam hati, dia memuji kegigihan Naira yang beralih menelepon Arkan ketika tidak diacuhkan olehnya.“Assalamualaikum.” Arkan berkata lebih dulu sambil mengusap dada. Jelas dia kaget dengan hardikan Naira yang langsung mengatai Hana dengan sederet makian mengerikan. “Hana lagi istirahat,
“Aku bisa jalan sendiri.”Arkan tidak menghiraukannya. Setengah menyeret, dibawanya Hana menuju elevator dan menekan tombol angka empat.“Mas kayaknya seneng,” gumam Hana.Arkan menunduk untuk mencium dahi Hana, kemudian berkata, “Mas bakalan jadi ayah. Gimana gak seneng?”Pipi Hana menghangat. Arkan terkekeh, lalu membiarkan Hana masuk lebih dulu. Perawat yang baru keluar tersenyum melihat kemesraan mereka.“Kamu mikirin apa?” tanya Arkan saat lift naik menuju lantai empat.“Perawat tadi,” ucap Hana. “Mungkin dia mikir kalau kita gak tahu malu banget pelukan di ruang publik.”Arkan tertawa.“Biarin aja. Yang penting kita gak mengganggu orang lain.”Hana mengangguk.Tiba di lantai empat, Arkan memperhatikan catatan di tangannya dan menatap ke sekeliling. Disipitkannya mata, lalu menghampiri ruangan yang terletak di ujung koridor.“Dokter Fiona,” gumam Arkan. Dicocokkannya catatan dengan plang yang tertempel di pintu, lalu menjejalkan kertas ke saku kemeja koko dan mengetuk pintu ruang
“Aku ngerasa gak enak karena udah bohongin Keira.”Atas paksaan Arkan, Hana akhirnya mengalah dan tidak ikut turun untuk makan malam. Sebagai gantinya, pria itu membawakan makanannya ke atas dan makan berdua di depan kamar.“Bohong gimana?” tanya Arkan sambil memisahkan daging ikan dari tulangnya.“Karena kita gak ngomong apa-apa. Harusnya kita kasih tahu.” Hana menjulurkan tangan, hendak meraih potongan ikan goreng saat tangan Arkan menampar tangannya.“Jangan dibiasain!” serunya galak.Hana bersungut-sungut, namun tidak membantah lagi dan bersandar ke dinding. Diperhatikannya Arkan yang masih tekun memisahkan lauk.“Nih.” Arkan mengulurkan sendok, lalu mulai makan. Setelah menelan suapan pertamanya, dia berkata, “Biar kita bertiga dulu yang tahu. Yang lain juga bakalan tahu nanti kalau udah lihat perubahan di diri kamu.”“Tapi aku ngerasa berdosa,” ucap Hana sambil menyingkirkan brokolinya.“Kamu tahu pamali gak sih?” tanya Arkan tak senang.“Pamali apa?” tanya Hana polos.“Usia kan
“Anak-anak lain udah pada tanya-tanya kenapa kamu digendong Mas Arkan kemarin.”Hana menaikkan sebelah alis, bertanya geli, “Terus jawabannya?”“Kubilang karena kamu lagi sakit. Eh, emangnya kamu beneran sakit?” tanya Naura penasaran.Hana menggeleng. Disesapnya teh hijau yang sebelumnya dibawakan salah satu khadimah.“Terus kenapa kamu kemarin muntah-muntah? Keracunan?” tanya Naura lagi.Keira yang sejak tadi mengintip ke bawah membalas sinis, “Jangan pura-pura gak tahu, Ra.”“Kok kamu malah ngatain aku?” tanya Naura galak.“Oh, jelas. Kamu masih pura-pura gak tahu kalau sebentar lagi kita mau punya keponakan baru?”Naura melotot, lalu menatap Hana dan bertanya dengan nada bersemangat, “Beneran, Han? Kamu hamil?”Hana mengangguk.“Jangan kasih tahu temen-temen yang lain dulu,” lanjut Hana cepat-cepat. “Biar jadi kejutan.”“Kenapa? Semua orang pastinya bakalan seneng kan?” tanya Naura bingung.“Jangan sekarang.”“Kamu takut ibu kamu tahu?” tebak Keira.Hana mengangguk. Diseruputnya la
“Mas janji bakalan cepet pulang, Han.”Selepas shalat tahajud dan membereskan barang bawaan, Arkan mengajak istrinya untuk duduk di depan jendela. Satu tangannya merangkul pinggang istrinya, sementara matanya tertuju ke halaman asrama yang sepi.“Aku tahu. Mas gak pernah betah di luar rumah lama-lama.”“Kalau gitu jangan sedih,” pinta Arkan. “Nanti Mas yang berat ninggalin kamu.”Hana tersenyum. Ekspresinya terlihat teduh saat berkata, “Aku gak apa-apa, Mas. Serius. Kita kan tetep bisa video-call, bisa kirim voice-note, atau saling ngasih kabar. Yang penting Mas fokus aja sama pekerjaan disana. Jangan khawatirin aku.”Arkan menunduk. Hana terus menatapnya dengan senyum yang tidak pudar sedikitpun. Disunggingkannya senyum kecil dan mengangguk.“Yang penting kamu ingat pesan Mas. Gak boleh keluar asrama. Gak boleh nulis sampai begadang. Gak boleh melamun sendirian. Nanti Mas minta Keira buat nemenin kamu.”Hana mengangguk.“Udah tahu mau dibeliin apa?” tanya Arkan penasaran.“Enggak usa