공유

Saatnya mengepakkan sayap

작가: Rarha Ira
last update 최신 업데이트: 2024-10-18 06:25:30

“Ha? Maksudnya?” tanyaku tak paham arah pembicaraannya.

“Eh, maksudnya, siapa tahu bisa melakukan PDKT dan jadi calon suami kamu.” Aku tertawa mendengar ucapannya. Bisa saja ia bercanda disaat seperti ini.

“Abang bisa aja bercandanya,” ucapku dengan tawa yang membahana.

“Tapi aku nggak lagi becanda, Diana!” Mendengar ucapannya yang begitu serius, tawaku seketika berhenti seiring jantung yang kian berdegup dengan kencang. “Aku serius ingin menikahimu setelah masa iddah itu selesai.”

‘Duh, pasti dia bawa perasaan oleh ucapanku tadi. Nggak nyangka kalau dia nggak bisa di ajak kerja sama. Astaga! Bagaimana ini? Nyesel, deh, gue bilang kek gitu tadi.’

Aku menepuk pelan keningku saking bingungnya mau menanggapi bagaimana ucapannya. Tiba-tiba pria itu berdiri dan terlihat raut wajahnya yang panik.

“Kamu kenapa? Kepalanya sakit lagi, ya? Tunggu di sini, aku panggilkan dokter du—”

“Eh, nggak usah, Bang! Aku baik-baik aja, kok. Nggak perlu panggilkan dokter. Oke?”

“Kamu yakin nggak papa?” Aku mengangguk dengan pasti demi meyakinkannya.

“Lalu, kenapa kamu memukul-mukul kepala?”

“I–itu … sudahlah, lupakan saja!” Aku berusaha bangkit dari tidurku, duduk dan menghadap ke arahnya. “Aku mau cerita sama Abang, boleh?”

Pria itu mengangguk dan berkata, “tentu saja. Ceritakanlah apapun yang ingin kamu ceritakan!”

“Mati rasa terhadap pasangan itu … wajar nggak, sih, menurut Abang?”

“Menurutku wajar, sih. Apalagi kalau dia kasar, cuek, dan tidak ada respect sama kita.”

“Nah, sebenarnya aku udah sejak lama hilang rasa terhadap Mas Denny. Tahun pertama pernikahan, aku pernah keluar dari rumah karena ucapannya yang begitu menyakiti hati. Cacian dan makian selalu aku terima setiap harinya. Bukan hanya darinya, tapi dari seluruh keluarganya. Aku tak masalah jika hanya dari keluarganya, tapi jika sudah pasangan yang begitu, rasanya duniaku hancur.

“Makanan kurang garam, salah. Terlalu banyak garam, juga salah. Jika itu terjadi setiap hari, masih wajar ia marah, tapi ini hanya sesekali. Manusiawi kalau masih buat kesalahan. Makan maunya yang enak-enak, tapi dia selalu menyalahkanku ketika uang yang diberikannya tak cukup.

“Padahal selama ini aku sudah mengorbankan seluruh hidupku untuknya. Merelakan uang belanja yang tak seberapa untuk memenuhi kebutuhan dapur yang tak ada habisnya. Membagi makanan untuk keluarga besarnya, untuk kedua orang tua dan juga adik-adiknya yang tak tahu diri.

“Masak, menyapu, mengepel, membersihkan seluruh ruangan, mencuci pakaian mereka semua. Bahkan, celana dalam mereka pun aku yang mencuci.” Aku menjeda ucapanku, menarik napas perlahan demi menetralkan perasaan. Air mata pun tak sanggup lagi kutahan.

“Kamu tidak pernah mengadu atau membicarakan itu semua pada suami?” tanya Bang Sandi menghapus air mataku. Kebetulan, letak tissue lebih dekat darinya. Astaga! Manis sekali perlakuannya.

“Pernah, tapi jawaban yang aku terima membuatku menyesal telah mengadu padanya.”

“Apa yang ia katakan?”

“Ia mengatakan, ‘mereka itu keluargaku, jadi sudah sewajarnya mereka ikut menikmati hartaku! Kamu saja yang orang lain, aku nafkahi, kok. Masa keluargaku sendiri enggak,’ begitulah ucapnya.” Terlihat wajah Bang Sandi berubah merah. Entah marah karena perlakuan Mas Denny, atau marah karena ceritaku?

“Bagaimana dengan mertuamu? Apa mereka tidak menasehati anaknya?”

Aku menggeleng pelan. “Aku pernah mengadu pada Ibu mertua tentang ucapan 1anaknya yang selalu kasar padaku. Bukan pembelaan yang aku terima, melainkan hinaan. ‘Biarlah! Dia, kan, anakku. Memang sudah betul apa yang ia ucapkan itu. Kamu itu keluarganya, sedangkan kamu hanya orang asing yang tak sengaja harus di urus oleh putraku.’ Begitulah ucapannya.”

Aku menarik napas dan menghembuskan ya pelan. “Untuk ayah mertua, aku tak begitu dekat dengannya. Hingga untuk mengadu, rasanya tidak mungkin.”

“Lantas, apa yang membuatmu bertahan sampai sejauh ini?”

“Aku pikir, cinta, ketulusan, dan pengorbananku selama ini mampu membuatnya luluh. Namun, ternyata aku salah. Cintaku yang begitu tulus ia jadikan senjata untuk mengunciku. Hingga akhirnya aku mengenal sosok pria yang baik hati dan perhatian. Tutur katanya yang lembut, mampu mengalihkan perhatianku dari Mas Denny. Kami tidak pacaran, hubungan antara kami hanya sekedar teman satu hobi.”

“Pasti dia orang yang spesial sehingga mampu mencuri seluruh perhatianmu.”

Aku tak menanggapi ucapannya. “Aku tahu kalau semua ini salah, tapi itu semua tak lekang dari perlakuan Mas Denny yang menurutku sudah keterlaluan.”

Aku memandang lurus ke arah pintu dengan tatapan kosong. Bibirku memang berbicara, tapi pikiranku kosong. Tiba-tiba kurasakan pelukan yang sangat hangat. Aku tak menolak pelukan itu, tapi tak juga membalasnya.

Aku terhanyut, Isak tangisku pun pecah dalam pelukannya. Pria itu mengelus punggungku dengan sangat lembut tanpa mengucapkan sepatah katapun.

“Siapa pria itu, Di? Apakah dia saingan yang harus aku kalahkan?” tanyanya setelah aku sedikit tenang.

“Dia berasal dari daerah yang sama denganmu, Bang. Namanya Renal Setiawan namanya. Pria yang aku kenal dari salah satu grup di aplikasi biru, kebetulan kami juga satu grup di aplikasi chat berwarna hijau. Kesukaan kami sama, yaitu anime.”

Tiba-tiba Bang Sandi mendorong tubuhku cukup kuat, hingga membuatku hampir terjatuh karena terkejut.

“Eh, maaf. Aku nggak sengaja,” ucapnya menahan tubuhku agar tidak jatuh.

“Aku tahu, pasti setelah ini Abang akan menjauh dan menganggapku wanita yang tidak setia hingga tak pantas diperjuangkan. Aku cukup sadar diri akan hal itu, kok,” ucapku lirih.

“Eh, enggak. Bukan gitu. A–aku, aku ….”

Tok tok tok.

Belum sempat Bang Sandi menyelesaikan ucapannya, suara ketukan di pintu mengalihkan perhatian kami.

“Aldo! Kapan kamu datang? Kenapa nggak kasih kabar ke Kakak?” tanyaku menyambut uluran tangannya dengan pelukan. Sudah sekitar enam bulan tak bertemu, rasanya rindu sekali padanya.

“Aku udah telepon Kakak, loh, tapi nggak ada jawaban. Jadi, ya, aku tanya sama petugas rumah sakit saja dimana ruangan Kakak.” Sontak aku langsung memeriksa ponsel yang ada di atas nakas. Benar saja, ada sepuluh panggilan tak terjawab darinya.

“Ah, iya. Maaf, ya, Kakak nggak denger,” ucapku cengengesan.

“Iya lah. Orang Kakak asik pacaran, kok.” Aku menyikut perutnya yang berada dekat denganku.

“Yaudah, Di, aku pamit dulu, ya! Sudah ada Aldo yang menemanimu di sini,” pamit Bang Sandi dan aku iyakan dengan anggukan.

“Terima kasih banyak atas waktunya, ya, Bang.” Pria itu mengangguk dan berjalan keluar dari ruangan ini.

“Siapa, tuh, Kak? Kelihatannya dia suka, deh, sama Kakak.”

“Ngaco kamu ah. Mana mungkin dia suka sama Kakak.”

“Kenapa nggak mungkin? Coba, deh, perhatiin tatapannya, dalam banget. Kayak ada sesuatu yang terpendam gitu.”

“Kami baru kenal beberapa hari, Do, itupun karena Ibu yang ngenalin. Jadi, nggak mungkin secepat itu dia suka sama Kakak. Lagipula, status Kakak sekarang juga belum jelas. Entah istri orang, entah pula seorang janda.” Aku mencoba sekuat hati menahan genangan air yang sudah ada di sudut mata agar tak tumpah di hadapan pria kedua yang aku cintai setelah Bapak.

Gender kami memang berbeda, tapi perbedaan usia yang tak terpaut jauh membuat kami begitu dekat. Sedari masa sekolah, Aldo adalah pelindung dari teman-teman yang jahil. Kini, entah apa yang akan ia lakukan setelah tahu perlakuan Mas Denny dan keluarganya yang semena-mena.

Aldo adalah pria yang mandiri, ia sudah terbiasa bekerja sejak tamat sekolah dasar. Setiap sepulang sekolah, ia akan pergi ke ladang-ladang tetangga untuk membantu mereka. Ia akan mendapatkan upah sebesar Rp.30.000-50.000 hingga pukul lima sore. Tak jarang, uang jajanku ke sekolah pun ia yang memberi.

Baru setelah setahun, bisnis mebel Bapak berkembang pesat. Banyak perusahaan besar yang memesan meja, kursi, dan barang-barang lain padanya. Akan tetapi, kemajuan usaha Bapak tak lantas membuat Aldo berpangku tangan. Ia tetap menjadi Aldo yang pekerja keras.

Hingga sampai saat ini, ia sudah memiliki usaha sablon dan membiayai kuliahnya sendiri. Pekerjanya pun banyak dari kalangan mahasiswa tempatnya menimba ilmu.

“Kak, ceritakan padaku kronologi kejadiannya! Akan kubuat pria itu merasakan apa yang Kakak rasakan!” ucap pria itu dengan mata elangnya yang menatap tajam ke luar jendela.

“Jangan, So. Kalau kita membalas mereka dengan perbuatan yang sama, terus, apa bedanya kita dengan mereka?”

“Tapi, Kak—”

“Sudah, tak perlu mengambil alih tugas alam. Biarkan Allah yang memberi mereka balasan. Yang terpenting sekarang adalah, sebentar lagi Kakak akan terbebas dari keluarga toxic itu!”

“Syukurlah kalau Kakak sudah sadar. Hatimu terlalu baik untuk mereka yang tak punya hati!”

Ya, kamu benar, Do. Cukup selama ini mata hatiku tertutup oleh cinta. Sekarang, sudah saatnya aku mengepakkan sayap dan terbang tinggi ke langit yang biru.

Mas Denny, terima kasih tiga tahun yang menyakitkan ini. Kalau bukan karena kalian, mungkin sampai saat ini aku masih menjadi wanita yang lemah.

***

Bersambung.

이 책을 계속 무료로 읽어보세요.
QR 코드를 스캔하여 앱을 다운로드하세요

최신 챕터

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Malam Yang Mencekam

    Aku menghela napas lega setelah mendengar penjelasan ibu mertua. Setidaknya, Silvi dan Sundari tidak berada di sini saat orang-orang itu datang. Tapi ini berarti mereka masih dalam bahaya—mereka bisa saja menjadi target berikutnya.Bang Sandi sepertinya berpikir hal yang sama. Dia langsung mengeluarkan ponselnya dan mencoba menelepon Silvi. Aku melihat rahangnya mengeras saat panggilannya masuk ke kotak suara."Kenapa nggak diangkat?" tanyaku cemas."Entahlah, mungkin dia masih di pesta," jawab Bang Sandi, tapi nada suaranya penuh kekhawatiran.Aku tidak bisa menunggu lebih lama. Aku langsung berdiri. "Kita harus jemput mereka sekarang.""Aku ikut," kata Ibu dengan suara penuh ketegasan.Aku menggeleng. "Bu, di rumah ini masih belum aman. Kalau ibu ikut, kita malah berisiko lebih besar. Lebih baik ibu dan paman tetap di sini, pastikan pintu terkunci dan jangan buka untuk siapa pun."Ibu terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk setuju.Bang Sandi menggenggam tanganku erat. "Ayo, kit

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Pria bernama Jafar

    Ancaman yang Semakin NyataAku duduk di kursi dengan tangan gemetar, mencoba menekan rasa panik yang mulai menguasai pikiran. Ponselku tetap tak berdering, tak ada jawaban dari keluargaku maupun keluarga Bang Sandi. Aku menatap pria itu dengan wajah penuh kecemasan.“Kita harus segera periksa keadaan mereka,” ujarku.Bang Sandi mengangguk. “Kita pisah. Aku dan Adriana ke rumah paman demi memeriksa ibu dan kedua adikku, sementara Iqbal menghubungi kontaknya di kepolisian. Kalau memang ada sesuatu yang mencurigakan, kita butuh bantuan.”Aku langsung berdiri, tapi Bang Sandi menahanku, menatapku dalam-dalam. “Abang janji, Abang nggak akan biarin siapa pun menyentuh kamu atau keluarga kita.”Aku mengangguk pelan, meski ketakutan masih menggerogoti dadaku.---Kami bergegas meninggalkan motel dan mengendarai mobil ke rumah paman. Jalanan malam terasa lebih mencekam dari biasanya. Setiap kendaraan yang melintas membuatku waspada.“Apa menurut Abang mereka akan menyerang langsung?” tanyaku,

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Mulai terungkap

    Kami semua saling pandang. Wajah Iqbal masih pucat setelah menerima panggilan tadi.“Kita harus pergi dari sini sekarang,” kata Bang Sandi tegas.Iqbal langsung menyalakan mesin mobil dan kami meluncur keluar dari parkiran dengan kecepatan yang tidak mencolok, tapi cukup cepat untuk meninggalkan tempat itu secepat mungkin. Aku melirik kaca spion, memastikan tidak ada yang mengikuti kami.“Kalian pikir siapa yang menelepon tadi?” tanyaku pelan.Iqbal mengepalkan tangan di atas setir. “Jelas seseorang yang tahu apa yang kita lakukan.”“Apa mungkin Arman?” tanya Bang Sandi.Iqbal menggeleng. “Kalau dia, pasti dia sudah langsung mengancam atau menyuruh orangnya mengejar kita. Ini terasa berbeda. Suaranya lebih tenang, seperti seseorang yang punya kendali penuh.”Aku menggigit bibir, mencoba mencerna semuanya. “Lalu siapa?”Belum ada yang bisa menjawab. Kami melaju dalam keheningan, masing-masing sibuk dengan pikiran sendiri.---Kami akhirnya berhenti di sebuah motel kecil di pinggiran kot

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Masalah Baru Lagi

    ---Malam itu, kami berkumpul di ruang tengah rumah Iqbal, mengatur rencana untuk masuk ke apartemen Melisa. Sebelum Arman atau siapa pun yang berkepentingan dengan dokumen itu bertindak lebih jauh, kami harus bergerak cepat. Iqbal mengetik sesuatu di laptopnya sementara aku dan Bang Sandi duduk di sofa, memerhatikan.“Jadi, apartemennya ada di lantai 5, dan berdasarkan data yang aku dapat, dia tinggal sendirian sebelum menikah,” kata Iqbal tanpa mengalihkan pandangan dari layar.“Keamanan di sana seperti apa?” tanya Bang Sandi.Iqbal menyeringai kecil. “Standar. Ada petugas di lobi dan kamera di beberapa sudut, tapi aku sudah mengatur sesuatu untuk memutus kamera selama 15 menit. Itu waktu yang kita punya.”Aku menatap Iqbal dengan khawatir. “Kalau ketahuan, bagaimana?”Iqbal menoleh padaku. “Makanya kita harus hati-hati. Aku nggak bilang ini aman, tapi kita nggak punya banyak pilihan.”Bang Sandi menghela napas, lalu menatapku. “Kamu nggak harus ikut, Sayang.”“Aku ikut,” jawabku te

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    mulai terkuaknya sebuah misteri

    ---Malam itu, kami berkumpul di ruang tengah. Iqbal masih sibuk dengan laptopnya, sementara aku dan Bang Sandi duduk saling berhadapan. Setelah pertemuan dengan Arman di taman, suasana di rumah kami berubah. Ada keheningan yang menggantung, penuh dengan pertanyaan yang belum terjawab.“Aku nggak yakin apa yang Arman inginkan benar-benar cuma soal balas dendam,” kata Iqbal tiba-tiba, memecah keheningan.Bang Sandi menatapnya. “Maksudmu?”Iqbal menatap layar laptopnya sebelum menjawab, “Aku memeriksa lagi akun media sosialnya, dan ada sesuatu yang aneh. Arman sering menulis tentang keadilan, tapi di antara semua itu, dia juga menyebutkan sesuatu tentang dokumen penting.”“Dokumen?” tanyaku, bingung.Iqbal mengangguk. “Aku belum tahu dokumen apa yang dia maksud, tapi kelihatannya itu ada hubungannya dengan Melisa, orang yang dia sebutkan tadi.”Bang Sandi menghela napas panjang. “Jadi dia bukan cuma marah. Dia mencari sesuatu.”“Aku pikir begitu,” kata Iqbal. “Kita mungkin bisa mulai da

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Kembali Menemui Arman

    --- Pagi itu, setelah kejadian di jalan besar, kami kembali ke rumah dengan hati penuh kecemasan. Arman sudah pergi, tapi ancamannya masih menggema di pikiranku. Rasanya seperti bayangan gelap yang selalu mengikuti kami. Iqbal mengunci pintu dengan lebih ketat, memastikan semua jendela tertutup rapat. Sementara itu, Bang Sandi membantuku duduk di sofa. Dia berlutut di hadapanku, menggenggam kedua tanganku erat. “Sayang, kamu nggak apa-apa?” tanyanya lembut, matanya memancarkan kekhawatiran yang tulus. Aku mengangguk perlahan, meskipun dada ini terasa sesak. “Aku cuma takut, Bang. Dia benar-benar serius dengan ancamannya.” Bang Sandi mengusap tanganku dengan penuh kasih. “Abang nggak akan biarin dia menyakiti kamu, Sayang. Ini janji Abang.” Ucapan itu seharusnya membuatku tenang, tapi aku tahu situasi ini lebih rumit dari yang bisa kami kendalikan. Arman bukan hanya seseorang yang mar

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Pria Berjaket Hitam

    --- Bang Sandi memelukku erat setelah Iqbal melontarkan pernyataan itu. Aku merasakan detak jantungnya yang cepat, namun tangannya tetap kokoh menggenggam pundakku. Seolah ingin memastikan aku tetap aman di sisinya. “Sayang, tenang. Abang di sini. Apa pun yang terjadi, nggak akan ada yang menyentuh kamu,” katanya, suaranya penuh ketegasan. Aku mengangguk meski tubuhku gemetar. Kehangatan pelukannya menjadi satu-satunya hal yang membuatku merasa sedikit lebih tenang di tengah ketakutan yang semakin nyata. “Iqbal, apa kita bisa memastikan dia nggak bisa melacak kita lagi?” tanya Bang Sandi sambil menoleh ke arah Iqbal. Iqbal sibuk mengetik di laptopnya, wajahnya serius. “Aku sudah memutus koneksi dia sementara ini, tapi ini hanya solusi sementara. Kalau dia benar-benar ada di sekitar sini, kita harus lebih waspada.” Aku menghela napas panjang,

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Petunjuk Baru

    ---Setelah percakapan dengan Satrio berakhir, ruang tamu menjadi hening. Aku menatap Bang Sandi dan Iqbal bergantian, mencoba mencerna apa yang baru saja kami dengar. Perempuan misterius yang mendatangi Satrio … siapa dia? Dan, kenapa dia begitu tertarik pada Bang Sandi?“Apa kamu ingat perempuan lain yang mungkin terlibat dalam kejadian itu, Bang?” tanyaku dengan suara bergetar.Bang Sandi menggeleng pelan. “Setahu Abang, waktu itu cuma Satrio yang terlibat langsung. Nggak ada keluarga korban lain yang datang ke rumah sakit atau tempat kejadian.”“Tapi kalau perempuan itu benar-benar ada,” sela Iqbal sambil mengetik sesuatu di laptopnya, “mungkin dia punya hubungan dengan tempat kejadian kecelakaan. Bisa jadi dia pernah kehilangan seseorang di lokasi itu.”Aku mengangguk, meski pikiranku masih terasa kusut. “Kalau begitu, kita harus cari tahu lebih banyak tentang lokasi kecelakaan itu. Mungkin ada laporan atau artikel lama yang menyebut

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    perempuan misterius

    Bang Sandi dan Iqbal yang sedang fokus ikut terkejut dan memandangku dengan tatapan penuh rasa keingintahuan. Aku meraih ponsel yang tergeletak di atas meja dengan segera memeriksa sang penelepon. Di layar ponsel, terlihat nama Aldo yang muncul. Aku pun menjawab panggilan itu dengan penuh semangat. Belum sempat aku mengucapkan salam, tiba-tiba terdengar sebuah suara yang terasa asing di telingaku. "Luka fisik bisa diobati, luka hati sulit mendapatkan penawar." Suara itu ... Itu bukan suara Aldo! Bang Sandi yang melihatku mendadak lemah langsung berlari dan memeluk tubuhku. "Sayang, kamu kenapa?" tanya Bang Sandi menepuk pelan pipi kiriku. Aku menggenggam erat ponselku dengan tangan gemetar, dan pandanganku mulai kabur. Suara itu masih terngiang-ngiang di telingaku. "Luka fisik bisa diobati, luka hati sulit mendapatkan penawar." Apa maksudnya? "Sayang, apa yang dia bilang?" desak Bang Sandi, matanya penuh kekhawatiran. Aku mencoba berbicara, tapi suaraku te

좋은 소설을 무료로 찾아 읽어보세요
GoodNovel 앱에서 수많은 인기 소설을 무료로 즐기세요! 마음에 드는 책을 다운로드하고, 언제 어디서나 편하게 읽을 수 있습니다
앱에서 책을 무료로 읽어보세요
앱에서 읽으려면 QR 코드를 스캔하세요.
DMCA.com Protection Status