Share

Relakan Dia

“Raka… Raka… Mama nggak bisa kehilangan Raka. Tolong, Nak. Jangan begini…”

Lila terus berjalan cepat mengikuti tim medis yang mendorong emergency bed menuju IGD. Wajahnya sudah basah, bercampur antara keringat dan air mata. Pucat pasi.

“Harap tunggu di luar. Pasien akan kami tangani.”

Seorang dokter lelaki menginterupsi Lila yang hendak masuk. Sepertinya karena kondisi yang tak memungkinkan, juga agar para tim medis bisa bekerja maksimal, siapapun tak boleh menemani Raka.

“Tapi, Dokter. Anak saya…” Suara Lila terdengar tak jelas karena gemetar dan menahan tangis.

“Maafkan kami, Dok. Kami akan tunggu di sini.” Adam menahan lengan Lila dan memintanya menurut. “Kita biarkan mereka melakukan tugasnya, La. Kita berdoa saja agar Raka bisa melewati semua ini.”

Lila tak punya pilihan. Dari jarak yang sebenarnya tak terlampau jauh, Lila bahkan tak bisa melihat wajah anaknya. Penyesalan demi penyesalan terus bergumul dalam hatinya. Rasa bersalah itu terus mencuat, membuat dadanya bertambah sesak.

Seandainya saja mereka tak pergi ke sana. Seandainya saja mereka tak keluar rumah. Seandainya…

Berulang kali Adam dan Lila melihat beberapa perawat mondar-mandir. Ada yang membawa alat kejut jantung, ada yang tiba-tiba saja kembali ke ruang IGD sambil membawa banyak ampul darah. Belum lagi beberapa dokter yang suaranya terdengar kencang saat mengintruksi.

“Mas… Raka akan baik-baik aja, kan?” Tangan Lila meremas lengan kemeja panjang Adam yang digulung. “Kenapa mereka sibuk banget? Apa yang terjadi di dalam sana, Mas? Nggak mungkin kan kalau Raka…”

Adam tahu persis ke mana arah pembicaraan Lila itu. Sesuatu yang terburuk memang bisa saja terjadi di rumah sakit atau bahkan di manapun. Tetapi Adam masih memiliki harapan bagi Raka untuk tetap hidup.

“Jangan berpikiran yang macam-macam, La.” Dengan lembut Adam mengusap punggung tangan Lila yang dingin sekali. “Raka akan baik-baik aja. Mas yakin itu. Dia akan kembali pada kita dengan tersenyum lebar seperti biasanya, La. Tenanglah, ya.”

Tenang. Satu kata yang terdengar sederhana di telinga Lila namun entah mengapa sulit sekali baginya untuk melakukan itu. Di dalam benaknya sudah bercampur banyak kemungkinan buruk. Membayangkan dirinya akan kehilangan seorang anak adalah sesuatu yang tak akan bisa dihadapinya.

“Dokter?”

Adam dan Lila berdiri bersamaan. Seorang dokter yang tadi melarang Lila masuk itu sekarang tepat berdiri di hadapan mereka. Tetapi saat menelisik sorot mata serta wajah lesu pria berjas putih itu, Lila tak sanggup bicara apapun. Perasaannya seperti sudah dibanting sangat keras hingga Lila tak tahu lagi wujudnya seperti apa.

“Maafkan kami. Kami sudah berusaha yang terbaik untuk pasien.”

Bak petir menyambar di tengah siang bolong, kalimat pendek itu berubah menjadi mimpi buruk bagi Lila. Matanya terbuka lebar sekarang. Kepalanya terasa begitu nyeri. Perlahan Lila memijat kepalanya dengan pandangan kosong menatap lantai berlapis kayu di bawahnya.

“Lila? Kamu baik-baik aja?” tanya Adam yang kemudian duduk di sebelah Lila. “Kamu pingsan tadi.”

Pingsan? Gerakan matanya kini tengah mengamati sekeliling. Dia tidak sedang berada di rumah sakit. Dinding-dinding di sekitarnya berwarna krem dan ketika tangannya mengusap kain halus di sebelah, dia sadar jika sekarang tengah berada di atas tempat tidur.

Tubuhnya menegang saat kesadarannya sepenuhnya pulih. Satu nama yang hanya diingatnya.

“Raka!” Sontak Lila bangkit dan berlari ke luar kamar.

“Lila!” seru Adam hendak menahan Lila, namun wanita itu terus berlari menuju lantai bawah.

Lila tak punya banyak waktu. Dia harus menemui Raka yang di dalam benaknya masih terus menangis dan memanggil-manggilnya.

“Tunggu Mama, Raka. Mama datang sekarang. Mama akan ada sama kamu. Mama nggak bakalan biarin kamu sendirian, Sayang.”

Lila terus berlari keluar rumah. Entah dari mana energi yang didapatnya itu sehingga dia bisa lari sangat cepat.

“Lila, tunggu!”

Tak semudah itu rupanya Lila bergerak ke tujuan. Tangannya sekarang malah ditahan Adam. Lila berusaha melepaskannya namun bukannya berhasil, Adam malah memenjarakan tubuhnya di dalam dekapan.

“Lepasin, Mas!” Lila masih berusaha lepas dari Adam. Tangannya terus mencoba mendorong badan Adam agar menjauh. “Aku mau ketemu sama Raka. Dia nungguin aku, Mas. Lepasin!”

“Sadar, La! Jangan kayak gini lagi, Mas mohon.” Adam masih memeluk erat Lila dan menahan air matanya sendiri.

“Aku sadar, Mas! Makanya aku mau pergi sekarang. Raka nungguin aku, Mas. Tolong, lepasin aku.”

Tangan Lila masih berusaha mendorong Adam namun nihil terus. Dekapan Adam malah terasa semakin erat pada tubuhnya meski tak terasa menyakitkan.

“Mas mohon, La. Tolong relain Raka. Tolong biarin dia pergi dengan tenang.”

“Mas ngomong apa? Raka nggak akan pergi kemana-mana tanpa aku. Dia nungguin aku, Mas. Lepasin aku, biarin aku ketemu Raka sekarang.”

Akhirnya air mata itu jatuh juga. Adam tak bisa lagi menahannya. Kesedihan yang dilihatnya pada diri Lila malah semakin memperburuk perasaannya. Tubuhnya ikut gemetar saat dia bicara.

“Raka udah pergi, La. Raka udah nggak ada. Jadi, tolong… kamu harus relain dia. Itu yang terbaik buat Raka.”

Mendengar perkataan Adam malah semakin membuat Lila histeris. Bukan hanya meneriakkan nama Raka, Lila pun menangis kencang sekali. Berulang kali Lila memukul badan Adam, tapi Adam masih bisa menahannya.

“Lampiaskan aja sama aku, La.” Adam membiarkan Lila berbuat semaunya. “Lepasin semuanya sampai kamu benar-benar lega. Mas ada di sini. Mas bakalan nemenin kamu lewati semua ini.”

“Raka nggak mungkin pergi, Mas. A-aku bahkan belum ngajak dia jalan-jalan ke tempat yang dia mau. Jadi…” Lila sesenggukan. “Jadi Raka nggak mungkin pergi, Mas. Jangan pergi, Nak. Mama butuh kamu. Mama nggak bisa hidup tanpa kamu, Nak. Mama…”

Semakin mengecil suara Lila hingga wanita itu tak bersuara lagi. Adam bisa merasakan tubuh Lila melemah. Pukulan yang sejak tadi diterimanya pun tak ada lagi.

“Adam?” Suara Risma-sang ibu terdengar. “Lila kenapa?”

Adam hanya tersenyum kecil. Dia bahkan tak bisa berkata apa-apa lagi.

“Adam bawa Lila ke kamar dulu, Ma.”

Tanpa menunggu jawaban Risma, Adam sudah terlebih dulu berlalu. Dia menggendong Lila yang kembali pingsan. Perlahan Adam membaringkan Lila dan memastikan tubuhnya hangat. Ditatapnya Lila dalam senyap.

Jarinya terulur hendak menyentuh kening Lila, namun buru-buru ditahannya. Adam masih berdiri di sana dalam tatapan getirnya. Dia tak tega melihat Lila terus seperti ini.

Lantas, kepalan tangannya tiba-tiba mengerat. Sorot sedih itu sekarang tergantikan oleh luapan emosi yang mendalam.

“Aku akan pastikan lelaki itu membayar semuanya, La. Untuk kamu. Untuk Raka. Dia akan menyesal karena telah membuat luka yang sangat dalam padamu, La. Mas akan pastikan itu.”

Legiyani Dewi

Halo readers yang udah mampir ke ceritaku ini. Anyway, ini buku pertama aku di GN. Semoga kalian suka dan terus nunggu kelanjutannya ya. Follow me, ya...

| Like

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status