Share

Perasaan Apa Ini?

Rasanya seperti mimpi. Mimpi buruk yang tak kunjung menemui titik akhir. Setiap kali Lila terlelap, bayang wajah Raka yang menangis dan memanggilnya terus menyayat hati.

Berulang kali Lila meyakini dirinya jika akhir yang tak diinginkannya adalah suratan takdir, berulang kali pula rasa bersalah itu memenuhi dadanya. Sejak kepergian Raka, setiap malam Lila terus menangis sendirian di kamarnya hingga dia terlelap saking lelahnya.

“Ini udah lebih dari seminggu, La. Kamu bahkan seharian bisa nggak makan. Minum pun Mas lihat cuma sedikit. Ini udah cukup, La. Kamu nggak bisa menyiksa dirimu terus seperti ini.”

Suara Adam yang entah untuk kesekian kali hanya lewat di telinga Lila. Memang Lila mendengarnya, namun dia tak benar-benar mengindahkan. Hatinya seakan masih terkunci rapat untuk mendengarkan ucapan siapapun tentang Raka dan dirinya.

“La…” Adam pun ikut frustasi melihat kondisi Lila yang memprihatinkan. Beberapa kali dia menghela napasnya berat.

“Mas tahu kamu sangat merindukan Raka. Mas juga tahu seberapa dalamnya kamu menyayangi Raka. Tapi, bukan seperti ini caranya kamu mengenang Raka, La. Justru, Raka akan sangat sedih jika melihat ibunya yang bahkan nggak punya niat untuk menjalani hidup,” tambah Adam panjang lebar.

“Aku memang nggak mau hidup lagi, Mas.” Lila berujar dengan datarnya yang malah membuat Adam semakin khawatir.

“Kamu jangan bicara begitu, La! Nggak baik.” Adam kesal juga. “Atau kamu memang sengaja ingin membuat Mas dan Mama ikut sakit hati dengan melihat kamu seperti ini?”

Setelah sekian lama Adam akhirnya bicara dengan nada tinggi pada Lila. Sontak Lila pun kaget karena selama ini Adam tak pernah meninggikan suaranya sekali pun. Emosi Lila yang memang sedang labil semakin tak karuan saja. Matanya tampak berkaca-kaca.

Reaksi itu pun tak luput dari pandangan Adam. Sejenak Adam menarik napasnya cukup panjang. Beberapa saat Adam hanya diam sembari memejamkan mata.

“Aku memang bodoh, Mas. Aku nggak becus. Jadi anak saja aku banyak ngecewain Mama. Sekarang jadi seorang ibu pun aku nggak bisa. Raka pergi karena aku, Mas. Karena aku…”

Lila tak bisa menahan diri lagi. Dia terus sesenggukan sambil bicara melantur. Menyalahkan dirinya sendiri atas musibah yang dialami.

“Maafin Mama, Raka… tolong maafin Mama…” Kedua telapak tangannya terus menutupi wajahnya yang sudah basah oleh air mata.

Dengan gerakan lembut, Adam menarik tubuh Lila agar bisa bersandar padanya. Lengannya melingkar dan sesekali Adam menggerakkan jemarinya untuk mengusap lengan atas Lila.

Tangis Lila semakin kencang. Bahkan kaos yang dikenakan Adam ikut basah juga. Tetapi, Adam hanya membiarkan saja hingga Lila berhenti sendiri.

“Mungkin ada baiknya kamu pergi menenangkan diri dulu, La. Adam bisa temenin kamu. Cari saja destinasi yang pemandangannya bagus dan bisa mengalihkan kesedihan kamu, Sayang. Mama yakin setelah pulang dari sana, kamu akan merasa lebih baik.”

Saat makan malam bersama, Risma mengutarakan pendapatnya sembari melirik Adam untuk meminta persetujuan.

“Urusan kantor biar di-handle sementara sama bagian manajemen. Lagi pula ada aspri kamu yang bertugas kan, Dam?” Risma berusaha meyakinkan Adam yang baginya cenderung workaholic.

Adam yang ditatap penuh maksud malah menurunkan pandangannya dan berpura-pura sibuk dengan potongan rendang di piring.

“Kamu juga butuh liburan, Dam.” Risma masih belum menyerah. “Mumpung Lila juga ada di sini, dia kan sekalian bisa jadi teman ngobrol. Jarang-jarang loh Mama ngasih izin Lila pergi jauh. Tapi berhubung sama kamu, ya jadinya Mama bisa tenang. Kamu bisa jagain Lila.”

Entahlah, Adam sendiri malah tak yakin. Memang benar jika Adam pasti akan menjaga Lila di manapun dan kapan pun. Hanya saja untuk saat ini Adam malah merasa jika dia tak bisa mempercayai dirinya sendiri.

Kedekatannya dengan Lila selama beberapa waktu terakhir sayangnya telah menumbuhkan sesuatu yang seharusnya tak boleh terjadi. Sesuatu yang telah dimatikan sinyalnya oleh Adam sejak Lila menikah.

“Mas Adam mungkin lagi sibuk, Ma. Biar Lila pergi sendiri aja. Mama benar, mungkin aku memang butuh pergi ke tempat lain. Di sini aku terus terbayang Raka.”

Mendengarnya, Adam refleks bicara. “Kamu nggak bisa pergi sendiri! Mas temenin.”

Lila menoleh saat mendapati suara yang terdengar panik itu. Sesaat Lila hanya menatap Adam tanpa bicara apapun.

“Nah gitu. Kalian itu anak-anak Mama harus bahagia.” Risma menarik salah satu tangan Adam dan Lila. “Mama pengen ngelihat anak-anak Mama senyum dan menikmati hidup.”

Canggung. Entah mengapa saat tak sengaja tatapan Lila kembali beradu dengan mata Adam, perasaan aneh tiba-tiba saja mengusik hatinya. Ada sesuatu yang terasa mendesir sekaligus membuat Lila cemas dalam waktu bersamaan.

“Apa yang terjadi denganku?” lirih Lila pada dirinya sendiri saat berada di kamar. “Kenapa rasanya aneh sekali.”

Lila terus mengusap dadanya. Dia ingin segera menghilangkan debaran dadanya yang sejak tadi tak jelas mencuat. Dua gelas air minum sudah menjadi pelampiasannya namun debaran itu tak kunjung reda.

“Lila?”

Suara ketukan di pintu dan namanya yang dipanggil seseorang membuat perhatian Lila teralihkan.

“La, udah tidur ya?”

Awalnya Lila ragu sehingga dia diam saja saat Adam kembali bersuara.

“Maaf… selamat tidur, Lila. Tidur yang nyenyak, ya.”

Lila bisa mendengar suara langkah yang menjauh dari pintu kamarnya. Tubuhnya lantas bergerak dan dengan suaranya yang setengah tercekat, Lila menahan Adam.

“Ada apa, Mas?”

Adam pun berbalik dan mendapati Lila yang berdiri di ambang pintu. Adam tak tahu jika saat ini Lila tengah berpegangan kuat pada kusen pintu entah karena alasan apa.

“Kamu belum tidur?” Adam berjalan mendekat. “Maaf, pasti Mas tadi ganggu istirahat kamu, ya.”

Lila menggelengkan kepalanya pelan.

“Hmm… tadi aku lagi di kamar mandi.” Lila berbohong. “Tadi ada perlu apa, Mas?”

Bukannya langsung menjawab, Adam malah terdiam dan hanya berdiri saja di sana. Lila yang melihat sikap Adam itu jadi kebingungan sendiri. Tetapi, Lila tak menginterupsi apapun dan menunggu hingga Adam menjelaskan lebih lanjut.

“Mas nggak tahu apakah ini waktu yang tepat atau bukan, tapi…”

Perkataan Adam itu kembali terhenti di udara.

“Tapi kenapa?”

Sikap misterius Adam ini semakin menggerogoti rasa penasaran Lila. Dia ingin sekali bertanya ini-itu pada Adam namun lagi-lagi Lila memilih untuk menunggu. Ah, Lila tak pernah menduga jika menunggu karena rasa penasaran akan sangat mengganggunya.

Beberapa kali Adam berdeham kecil. Tatapan Adam kembali menembus dinding hati Lila. Aneh sekali, Lila merasa jika Adam sedang membaca isi hatinya sekarang.

“Ridwan sudah ditangkap.”

Kalimat yang sama sekali tak diduga Lila meluncur dari bibir Adam. Perasaan marah dan sedih yang beberapa hari ini berusaha ditekannya kembali menguar hebat.

“Seandainya diharuskan, apa kamu bisa datang ke kantor polisi?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status