"Aaaaaaaa!" jerit gadis itu membuat si anak asuh berlari menghampirinya.
"Kak Kei kenapa?" Vanya menepuk bahu sang pengasuh.
Kepalanya menoleh dengan wajah yang pucat lalu melihat lagi foto itu. Terlihat baik-baik saja, tak ada yang salah dengan barang itu.
"Gak apa-apa, Sayang," sahut Keinara menoleh ke arah Vanya.
Gadis itu menoleh ke arah anak asuhnya, tapi yang ia dapat adalah sesuatu yang lebih mengerikan. Tubuhnya terpaku, keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya, membeku bagai es. Kini, yang di hadapannya bukanlah Vanya, melainkan makhluk berwajah hancur menatap ke sudut ketakutannya dengan senyum mengerikan.
"Mau main, Kak?" Suara anak kecil itu berubah berat membuat mulutnya yang membungkam ingin berteriak.
"HAHAHAHAHAHAHA!"
***
Keinara terperanjat dalam kegelapan kamar, terbangun dengan keringat yang membasahi dahi. Mimpi menyeramkan seperti amat nyata, tangannya yang merasakan pecahan foto itu masih terasa.
Gadis muda itu mengusap wajahnya dengan kasar, menyilakan rambut poninya ke belakang. Suara yang amat bising seperti seseorang membelah kayu di pagi subuh, tambah dengan bau kayu jati yang semerbak tercium hingga ke kamar. Keinara tak mempermasalahkan itu karena yang ada di pikirannya adalah toko mebel yang tak jauh dari rumah Yura.
Ia melangkah menuju ke dapur, tampak seorang wanita dengan baju tidur tengah menyiapkan sarapan.
"Eh, Kei, kamu bangun?" tanya Yura sambil menoleh ke arahnya.
"Iya, Bu."
Dahinya mengernyit, corong telinganya terfokus mendengar suara bising gergaji mesin yang terdengar dari kejauhan. Bau kayu jati juga masih tercium aromanya, ini seakan janggal bagi Keinara karena jarak toko mebel itu sedikit jauh dari rumah itu. Mustahil jika bau kayu tercium hingga ke tempatnya memijak kecuali jika ada penebang kayu jati.
"Tumben pagi-pagi udah ada yang motong kayu."
Yura menoleh ke arah gadis itu dengan raut heran penuh kebingungan.
"Motong kayu?"
"Iya. Ibu gak denger?"
Yura tambah kebingungan, telinganya yang sudah meruncing itu tak bisa mendengar apapun selain suara ayam jago yang berkokok.
"Jangan bercanda, Kei. Saya gak dengar apa-apa, lho."
Kini, giliran Keinara yang keheranan. Jika Yura tak bisa mendengar, lalu suara bising itu datang darimana?
"Lagian, mana ada toko mebel yang buka jam segini."
Penjelasan sang ibu muda cukup membuatnya membungkam. Suara gergaji mesin sudah tak terdengar lagi, ia merasa bahwa itu adalah halusinasinya. Segera ditepis pikiran itu darinya dan bergegas membantu Yura.
"Kei, saya mau pergi sama Bapak ke rumah orangtua saya. Kamu jaga Vanya, ya," ujar Yura berpesan.
"Vanya gak ikut, Bu?" tanya gadis itu seraya membawa hidangan ke atas meja makan.
"Belakangan anak saya gak mau diajak."
Sang pengasuh hanya mengangguk pelan, meski di hatinya ada rasa cemas yang tak karuan apalagi ia hanya berdua dengan Vanya. Lebih mengejutkannya, pasutri itu akan berada di sana selama dua minggu. Ini adalah sebuah tantangan dimana teror sudah dimulai, jika ia tak berani mengutarakan maka selamanya Keinara akan terjebak.
Tepat pukul tujuh pagi, Yura dan Lian berangkat menuju ke rumah sang nenek. Tangan mereka melambai seiring mobil berjalan dan akhirnya gadis kecil itu ditinggal bersama sang pengasuh.
"Kak Kei, kita main yuk."
Gadis itu membalas dengan anggukan. Mereka memutuskan untuk bermain rumah-rumahan dan berperan sebagai ibu dan anak. Keinara berusaha menghilangkan sikap canggungnya jika berhadapan dengan anak kecil, apalagi mereka ditinggal berdua saja.
Vanya datang membawa boneka kesayangannya, kemudian duduk di pangkuan pengasuh cantiknya itu. Anak itu hanya terdiam dan merasakan tubuhnya begitu dingin.
"Dek Vanya, kapan kita mainnya?" tanya Keinara dengan perasaan heran penuh kecanggungan.
Gadis mungil itu terdiam seribu bahasa sampai kesunyian di ruang tamu itu merambat, perlahan kepalanya menoleh ke arahnya. Tatapan mata kecil melekat, menatap kepada wajah cantiknya, kini ia merayap ingin memeluk Keinara. Telapak tangan mungil sesekali menyentuh dadanya yang menggembul, meremas dengan penuh semangat hingga Keinara sadar bahwa ada sesuatu yang salah pada anak asuhnya.
"Kak Keinara!"
Suara teriakan dari gadis kecil membuatnya tersadar, ia menoleh cepat ke belakang. Raga Vanya begitu nyata di netranya, jantungnya seperti berhenti seketika.
"Kakak nunggu aku ya?"
Mulutnya masih terdiam, ia kembali melihat ke depan. Sosok Vanya yang ada di pangkuannya hilang, ia kembali menoleh ke arah sang anak asuh yang merasa keheranan.
"B-bukannya kamu ada di sini?"
"Maksud Kak Kei apa? Vanya kan dari tadi ke dapur."
Kepalanya tak bisa mencerna apapun, jelas yang dipangkuannya adalah Vanya. Punggung tangannya kini mencoba meraba dan merasakan suhu tubuh gadis kecil itu, terasa hangat. Kini, ia termenung dengan semua keanehan ini.
"Kakak gak apa-apa, 'kan?" tanya Vanya yang mulai mencemaskannya.
"Nggak apa-apa. Ayo, kita main."
Permainan akhirnya dimulai juga, berharap dengan bermain ia akan melupakan semua kejadian itu. Tinggal berdua bersama anak kecil tak terlalu buruk baginya, belum lagi ia pernah meminta seorang adik. Namun, jika hanya tinggal berdua dengan seorang anak kecil yang peka pada sekitar ia pasti akan mendapat kisah yang mengerikan.
Di pertengahan permainan, Vanya menatap lurus ke suatu arah. Rautnya berubah panik, kepalanya menggeleng pertanda ia sedang menolak sesuatu. Berkali-kali tangannya melambai cepat dan berteriak seperti mengusir sesuatu.
"Kakak janji gak boleh nakal. Aku nanti ngambek!" bentak gadis kecil itu.
"Kamu ngomong apa sih, Dek?"
"Aku gak ngomong sama Kak Kei, tapi ngomong sama dia." Telunjuk Vanya mengarah pada sesuatu tepat di belakang Keinara.
Ia menoleh ke tempat dimana anak asuhnya menunjuk, tapi di sana tak ada seorang pun kecuali mereka berdua. Hanya ada ruangan kosong yang terbuka dan itu sangatlah gelap.
"Kakak gak lihat apa-apa," ujarnya sambil menoleh kepada gadis berusia enam tahun itu.
"Memangnya kamu lihat apa?" imbuh Keinara bertanya.
Kepala Vanya menunduk, ia seakan tak berani melihat lagi ke ruangan kosong itu. Wajahnya mulai pucat, perlahan mendekat dan memeluk tubuhnya sambil menangis. Segera ditenangkannya sang anak asuh, mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja.
Dalam tangisnya ia berbisik ke telinga Keinara, merintih ketakutan.
~***~
***Keadaan Freddy sangat memprihatinkan, beberapa kali ia menghadapi kematian dengan berulang dan selalu selamat meski keadaannya begitu mengerikan. Sekarang pria itu mengurung diri di rumah dengan segala ketidakberdayaannya.Beberapa pelayan yang bekerja di rumahnya perlahan-lahan mengundurkan diri. Semua karyawan juga sama halnya. Mereka meninggalkan Freddy dalam kesendirian dan ketakutan yang sebenarnya adalah ilusi pengelihatannya. Gangguan itu masih terus berlanjut, terlebih arwah suruhannya yang belum tenang menghantuinya. Pria itu tak bisa lari dan juga pergi karena setiap langkah "mereka" akan datang. Kali ini dia mengusir sesuatu yang sebenarnya tak ada. "Pergi! Pergiiii!" Begitu ucapnya.Namun meski sudah berteriak, bayangan itu tetap tak mau pergi. Bayangan ilusi itu terus mengingatkannya pada kesalahan. Freddy mencoba untuk bangun, tapi sayang ia tak bisa melakukannya. Siluet bayangan hitam besar itu kini ada di hadapannya. Tatapan mata merah memandangnya seakan menagi
"Kei, apa yang terjadi pada kamu?" Suara Yura sudah keras, tapi sayang Keinara tak mendengarnya.Dalam waktu yang cukup lama, Yura melihat pengasuh anaknya itu sedang berjuang, bersembunyi dari Kiyo. Mayat-mayat tampak bertebaran, merangkak meraih tubuh gadis itu seakan menunjukkan pada makhluk itu bahwa sang pujaan ada di sana. Wanita itu terduduk melihat pemandangan tak biasa. Ia melihat sendiri Kiyo menemukannya dan Keinara mulai disetubuhi di depan anak mereka. "MAMA!" Suara Vanya membuyarkannya dan Yura segera tersadar."Mama kenapa?" Gadis kecil itu memandangnya dengan penuh rasa cemas. Yura melihat ke sekeliling, suasana kembali seperti semula. Meski begitu, dirinya tetap merasa cemas karena memikirkan Keinara. Pandangan itu seakan menjadi pertanda bahwa sesuatu telah terjadi pada gadis dan bayinya itu. Ia tidak bisa jika harus berdiam saja, wanita itu segera menceritakan pada Ki Jatmika tentang pengelihatannya. *"Ki---""Aku sudah tahu apa yang ingin kamu tanyakan kepada
***Vanya terduduk di teras memandangi langit yang sendu, sedang Yura mencari kayu bakar di halaman belakang. Gadis kecil itu memandang sekitar sambil berharap dirinya bisa pulang. Dari kejauhan seperti ia mendengar suara Keinara yang menjerit, gadis kecil itu menoleh cepat. Ia beranjak untuk mengikuti asal suara itu. "Vanyaaa!" Yura menyadari itu, bergegas dirinya mengikuti sang anak.Suara teriakan Keinara begitu jelas terdengar, Vanya yakin sang pengasuh berada di hutan yang sama. Namun lama mencari dirinya tak menemukannya dan suara itu semakin lama semakin menjauh. Yura segera menarik tangan putrinya dan berlari menjauh dari tempatnya berdiri. "Vanya, apa yang kamu lakukan? Tidak ada Kak Kei di sini, itu hanya ilusi!" Gadis kecil itu menunduk karena menyesal, tapi amarah Yura segera mereda dan bergegas membawa Vanya keluar dari tempat itu. *Keinara masih membeku, ia terduduk berteduh sembari melindungi bayinya dari tangan-tangan dingin yang menyembul keluar dari dalam tanah
"Aku hanya ingin mengulangi masa dimana kita bersama, aku hanya ingin itu! Kamu tidak boleh mengelak!" Keinara memandang Kiyo dengan berkaca-kaca. Sejujurnya, ia masih mencintai pemuda yang telah lama tiada, tapi dia sadar bahwa dunia mereka berbeda. Anak yang ia lahirkan dari benih sesosok hantu biar dirinya yang merawat, tak ingin jika Kiyo yang mengambilnya. Namun bagaimana pun Kiyo sekarang telah menjadi sosok yang kejam, dia harus dihindari. "Tolong kembalikan mereka, Kiyo." "Aku akan mengembalikan mereka jika kamu mau ikut bersamaku."Suatu pilihan yang sangat sulit baginya, tapi dia harus melakukan ini demi menyelamatkan keluarga Vanya. Ia meminta untuk Kiyo menunggunya sampai dirinya siap menjadi pendamping pemuda itu di alam gaib. "Baiklah, aku akan memberimu waktu. Namun kau harus kembali?""Iya, tapi beri aku kebebasan meski hanya sesaat. Aku ingin berkeliling berdua dengan anak kita."Mata binar Keinara membuat Kiyo terdiam, pandangan itu membuatnya teringat kembali p
Lian menoleh ke arah istrinya yang sudah sangat kecewa. Ada bulir menetes dari netranya. "Kamu masih saja seperti dulu." "Sayang, bukan maksudku menyakitimu!" ujar Lian memohon. "Kamu bahkan tidak mau mendengarkan apa yang aku minta dan sekarang kamu tak percaya sama ceritaku."Lian hanya terdiam dan sang istri mulai bertindak. Ia segera membawa Vanya dan akan mencari Keinara lalu membawanya pulang. "Tunggu, Yur!" seru Lian menghalangi Yura. "Biarkan aku pergi!" Wanita itu tetap ingin meninggalkan Lian. Hal yang sama terjadi kembali, pertengkaran Lian dan Yura tiba di tempat dan waktu yang tak tepat. Pria itya sadar apa yang ia lakukan, ia tak bermaksud untuk tak percaya pada Yura."Tunggu sebentar!""Untuk apa, Pa? Sudah kesekian kalinya begini. Sekarang apalagi?!"Suasana mendadak hening menyisakan penyesalan Lian, sedang Yura masih dibara oleh api kemarahan. Dia bersikeras untuk keluar dari rumah bersama Vanya dan mencari keberadaan Keinara meskipun itu mustahil. "Ok, ok, ak
***Gangguan gaib yang membuat Freddy begitu gila, emosinya begitu tak stabil dan penuh dengan halusinasi. Bahkan pagi ini, dia dihantui oleh kejadiannya di masa lalu. Tatapannya begitu takut, tapi ia tak akan pernah menyia-nyiakan kesempatan untuk merampas rumah itu. Beberapa karyawan yang bekerja untuk merubuhkan rumah itu kini bergerak. Freddy juga tidak hanya merampas rumah untuk diratakan, tapi juga melenyapkan semua keluarga Lian berserta Keinara. Kakinya harus segera melangkah, menemui para karyawannya untuk segera bekerja. Mereka bergegas mendatangi kediaman yang kini dijaga oleh sesuatu yang menyeramkan. Dengan terpincang kakinya, Freddy melangkah menapaki tanah. Sebuah pertanyaan besar selalu berada di sekitar kepala semua orang, apa yang terjadi pada pria kaya yang membuat kakinya berjalan terseok pincang. Sudah banyak dokter yang menanganinya, tapi semua itu sia-sia. Kaki kanannya serasa diremas kuat oleh sebuah tangan besar, rasa dingin di sekitar begitu terasa. Fredd