Pada akhirnya Fia memilih untuk kembali ke kamar. Kamar yang seharusnya menjadi miliknya kini menjadi milik orang lain.
Setelah pengusiran yang di lakukan Ibu mertua tidak ada satu pun dari mereka yang membelanya termasuk suaminya. Faris, memilih diam tanpa berniat untuk menahan istrinya agar tetap tinggal. Nyatanya pria yang empat tahun menjadi suaminya justru menundukkan wajah di hadapan keluarganya. Langkahnya gontai meninggalkan ruang makan. Satu jam di dalam kamar Shafia anak tunggal dari keluarga sederhana, Ibunya meninggal dunia saat lulus sekolah. Lalu ia hidup bersama dengan sang nenek, belum lama menikmati kebahagiaan Shafia harus rela menerima takdir jika sang nenek menyusul Ibunya. "Dek, tolong maafkan mas. Mas, tahu mas salah, jangan abaikan mas, kalau begini, mas –" ucapan Faris terhenti, wanita bergelar mertua berdiri dengan tatapan nyalang. "Kamu jangan coba-coba meracuni anakku, Fia. Ingat bakti anak laki-laki ada padaku, ibunya. Kamu cuma orang lain yang kebetulan di nikahi anakku. Pergi kamu dari sini, Ris, ibu tidak suka di saat ibu mertua kamu ada di sini kamu berdekatan dengan istrimu yang mandul itu. Dan kamu, cepat bereskan kekacauan ini. Satu lagi jangan perlihatkan wajahmu di depan kami!" sinis Bu Winda, menatap tidak suka pada Fia. Wanita yang memilih untuk diam itu tetap pada posisinya membersihkan meja yang berantakan dan membuat minuman penutup. Shafira menghela napasnya, semula ia menikah dengan seorang pria yang mapan dengan jabatan sebagai manajer di salah satu perusahaan. Dan tentunya perhatian, mengira jika hidupnya akan bahagia sebab dia adalah pria pertama yang mampu meluluhkan hati Shafia. Namun kini, seakan semuanya hanyalah semu. "Dek," Faris kembali bersuara, entah apa alasannya sampai pria itu ada di belakangnya. "Pergilah, aku tidak ingin menjadi pelampiasan kemarahan Ibu. Kamu yang datang tapi, aku yang kena masalah," ucapnya tanpa menoleh. "Maafkan, aku," lirih, begitu lirih hingga suara itu bagaikan sebuah bisikin. Fia meluruskan tubuhnya lelah sudah pasti. Tapi, semua harus dikerjakan jika tidak. Sudah tentu akan menjadi boomerang untuknya. Tidur begitu nyenyak hingga suara adzan berkumandang, Fia terbangun menjalankan kewajibannya. Begitu khusyuk hingga tanpa sadar di setiap sujud hingga sujud terakhir yang begitu lama ada doa dan curahan hati tersemat di sana. Bulir bening membasahi sajadah lembut itu, puas meluapkan keluh kesahnya Fia turun namun langkahnya terhenti tepat di depan kamar utama, kamar yang ia tempati selama empat tahun terakhir. Kakinya ia ayunkan meninggalkan kamar penuh kenangan sebelum suara dari dalam berhasil menghentikannya. Ya, suara yang tidak asing mereka begitu jelas di telinganya. "Astaghfirullahaladzim," ucap Fia, mengusap dadanya berlahan. Sakit? Tentu, setelah melewati pernikahan selama empat tahun kini harus rela jika Faris berbagi kasih sayang dengan wanita lain. "Buk, apa nggak keterlaluan kamu sampai membohongi Fia? Walau bagaimanapun dia menantu pertama kita," ujar pak Jordan, tidak setuju akan ide istrinya. "Alah, menantu kampungan itu mana tahu soal perusahaan. Fia taunya anak kita pemilik perusahaan, walau pun jabatannya hanya manajer. Dia nggak tahu kalau perusahaan itu sudah lama gulung tikar. Pokoknya rumah itu kamu renovasi buat hadiah pernikahan mereka, lagi pula Rara nggak tahu kalau rumah itu milik Fia," ujar Bu Winda, tersenyum puas. "Iya. Rara nggak tahu, bagaimana dengan Faris? Bukankah Faris tahu tentang rumah itu? Apa kata Faris nanti," "Halah, bapak ini. Urusan Faris jangan pikirkan, yang penting kita akan punya cucu. Ibu mau Faris ceraikan Fia, tapi ibu juga butuh untuk bantu-bantu di rumah. Biarin aja Faris nggak ceraikan Fia, lumayan kan pembantu gratisan." "Buk—" "Apa! Sudah. Jangan bantah terus!" Bu Winda keluar dari kamar. Tanpa mereka tahu jika Shafia mendengar semua yang di bicarakan oleh mereka. Sakit? Sudah pasti, siapa yang mampu hidup dalam tekanan keluarga suami. Dan, sekarang adanya wanita lain yang menggeser posisi di hati suaminya. "Mas, masakan ini enak. Tapi, aku pengen yang lain," rengek Rara. "Kamu mau apa sayang?" Bu Winda, lebih dulu menjawab permintaan menantu pilihannya. "Aku pengen mangga, tapi —" Rara urung mengatakan, ia melihat Fia yang tengah membersihkan dapur. "Mangga? Kamu?" tanya Faris, menatap wajah Rara. "Sayang, tapi apa?" ujar Bu Winda, tidak sabar. "Buk, pak, mas Faris. Sebenarnya aku sedang hamil dan sekarang ngidam," lirihnya, dari ekor matanya Rara melihat wajah Fia yang terkejut "Hamil?" "Kamu beneran hamil, nak? Akhirnya sebentar lagi aku akan menjadi nenek. Faris, apa ibu bilang kamu itu tidak mandul, yang mandul itu istrimu!!" sentak Bu Winda, menekan kata istrimu. "Sayang, kamu beneran hamil? Alhamdulillah, sebentar lagi aku akan menjadi ayah. Sayang, kamu mau apa, biar mas cariin. Tadi kamu mau mangga? Oke, mas belikan ya," ucap Faris, tidak hentinya mencium wajah Rara. Mengabaikan istri pertamanya yang menatapnya penuh sendu. "Mas, aku mau kalau mbak Fia yang beli mangga di pasar," lirihnya. "Fia? Oke," "Dek, tolong belikan mangga untuk Rara. Sebenar lagi aku akan menjadi ayah, sayang. Kamu juga akan menjadi ibu,"Hari yang ditunggu tiba, pernikahan Poppy yang digelar secara sederhana, hanya mengundang tetangga dan saudara terdekat. Fia dan Erik serta kedua orang tua mereka hadir di acara spesial itu, memberikan selamat untuk Poppy dan Arman."Mbak, maafkan aku ya, maafkan semua kesalahanku di masa lalu. Aku..." Ucap Poppy di sela isak tangisnya."Aku sudah memaafkan semua kesalahan kamu. Sekarang waktunya kita membuka lembaran baru, selamat ya. Aku bahagia melihatmu seperti ini Poppy," jawab Fia dengan senyum hangat."Terima kasih, Mbak Fia. Aku benar-benar malu sama Mbak Fia," Poppy menundukkan kepala, merasa sedikit malu."Sudah ah, masa pengantin nangis, make-upnya jelek tahu! Tuh, lihat jadi luntur kan," Fia menggoda Poppy, membuat Poppy tertawa meskipun air matanya masih mengalir.Alangkah indahnya kebersamaan seperti saat ini. Fia, wanita yang menjadi kakak iparnya dulu, selalu dihina bahkan Poppy ikut andil mengusir Fia dan mendukung seorang pelakor. Namun, sekarang Fia telah memaafkan
Tiga tahun kemudian, riuh suara yang terdengar hingga ke halaman depan. Erik yang baru saja keluar dari mobil mewahnya mempercepat langkahnya, di sana tiga orang yang begitu berarti dalam hidupnya tengah berjalan ke arahnya. Menyambut kedatangan, setelah lelah bekerja."Assalamualaikum kesayangan, ayah. Wah, rupanya sudah tampan dan cantik. Lalu, gimana kabarnya jagoan ayah dalam sana?" Erik mengecup perut Fia, kaku berpindah memeluk Al sesaat. Hingga Erik menikah ke arah samping Al, di mana sosok putrinya yang tengah merajuk dengan berlahan Erik meraih tubuh mungil itu membawanya dalam dekapan hangat tubuhnya."Apa putri ayah ini tengah merajuk lagi? Sayang maafkan ayah, hari ini ayah sibuk banget sampai ayah tidak sempat makan dan ponsel ayah sampai habis baterai," lirih Erik, berusaha menyentuh hati putrinya yang sejak siang tadi merajuk. Erik meminta bantuan pada Fia yang justru di sambut dengan mengangkat bahu acuh. "Aduh," keluh Erik, memegang perutnya."Ayah! Ayah sakit? Aban
"Apa maksudmu bicara seperti itu Poppy? Kamu lupa siapa yang di depan kamu ini, hah?" ucap Winda, geram melihat sikap dan tutur kata putri bungsunya."Tidak ada maksud apa pun, yang aku katakan ini benar kan? Aku bingung sebenarnya kami ini anakmu bukan sih mah? Kenapa mama ajarkan hal tidak baik pada kami? Lihat ayah yang selalu memberikan contoh yang baik, walau kami lebih patuh pada mama. Satu persatu kamu hancur dan itu karena keegoisan mama dan kamu mas!" Plak "Lancang kamu! Pergi dari sini, dasar anak tidak berguna!" usir Winda, tanpa merasa bersalah telah menampar dan kini mengusirnya."Tanpa di suruh, aku akan pergi dari sini. Dan kamu mas Faris, nikmati dinginnya penjara bersama mama," "Argk pergi kamu, pikirkan rumah tangga kamu yang hancur itu. Pantas saja suamimu memilih menikahimu secara sederhana nyatanya dia cuma seorang bajingan!""Aku begini karena ulah kalian berdua. Mas kamu lupa sudah mengkhianati mbak Fia, kamu menerima perjodohan dari mama dan lihat bagaimana
Plak"Kenapa ayah menampar ku? Apa aku membuat ayah marah?" Faris, mengusap cairan merah di sudut bibirnya. "Menjijikan!" Umpat Jordan."Ck, sudahlah jangan ikut campur masalah ku dan Fia. Ayah, sebenarnya siapa yang anak ayah, aku atau Fia? Selama ini ayah tidak sedikit pun mendukung keinginanku, bukankah ayah menginginkan menantu ayah kembali?"Plak Sekali lagi Jordan menampar Faris. Jordan, ayah Faris, sangat marah ketika mengetahui kebenaran tentang Faris yang meminta syarat sebelum mendonorkan darahnya untuk Al. "Faris, apa yang kamu lakukan?! Kamu meminta syarat menceraikan Fia dari Erik sebelum mendonorkan darahmu untuk Al?!" Jordan berteriak dengan nada marah.Faris tidak peduli dengan kemarahan ayahnya. "Apa yang salah, Ayah? Aku hanya ingin Fia kembali kepadaku."Jordan tidak bisa percaya dengan jawaban Faris. "Kamu tidak memiliki hati! Anakmu sendiri membutuhkan darahmu, dan kamu meminta syarat seperti itu?! Kamu tidak layak menjadi ayah!"Faris tersenyum sinis. "Ayah tida
"Mah, Al kecelakaan? Kapan, dan di mana? Apa tadi ayah yang memberi kabar? Sekarang gimana keadaannya, ayo kita ke sana mah!" Seru Faris panik."Mah?" sambung Faris, melihat Ibunya justru tenang."Sayang, duduk sebentar. Biarkan semua berjalan sesuai rencana, dan kamu sebentar lagi mendapatkan apa yang kamu inginkan, tunggu di sini," Faris menggeleng, bagaimana mungkin Ibunya bersikap tenang mendengar kecelakaan cucunya. "Mama, sadar akan ucapan mama?" tanya Faris, tak habis pikir."Sangat sadar. Faris duduk dan dengarkan kata mama, sejengkal lagi impian kamu untuk rujuk menjadi nyata. Fia akan menghubungimu dan meminta kamu untuk mendonorkan darah dan ..." Winda menjeda ucapannya, tersenyum kelicikan tercetak jelas di bibirnya."Jadi ini semua karena ..." "Ya, mama yang melakukannya. Kamu tenang tidak ada yang melihat dan itu melalui orang suruhan mama, dan kamu pun menyetujuinya.""Ya, tapi aku tidak setuju kalau mama mencelakai Al, dia anak aku mah!" "Sudahlah, kamu yang member
"Faris? Kamu sudah pulang?" Winda mengerutkan keningnya, melihat sang putra pulang lebih awal. Mengingat baru sehari kembali bekerja di perusahaan yang berada di luar kota namun kali ini anak sulungnya sudah ada di depan pintu di jam makan siang."Bisa geser mah? Aku lelah," ucapnya lirih, sarat akan kekesalan yang terpendam."Tunggu, wajah kamu kenapa lebam begitu?" Winda menahan tubuh Faris, hal itu semakin membuat pria tampan itu semakin kesal."Mah, bisa minggir tidak?!" Winda menggeser tubuhnya, membiarkan anaknya masuk. "Mama ambilkan air minum dulu," Winda gegas ke dapur, mengambil air putih untuk putranya."Minumlah, setelah itu jelaskan pada Mama apa yang terjadi. Kenapa kamu pulang dengan wajah bonyok semua kayak gini, kamu berantem sama siapa?""Bisa diam mah? Aku lelah, aku pusing, pulang mau tenang!" seru Faris, Winda menghela napas melihat sikap Faris."Baiklah, mama akan diam. Kamu mau makan sekarang? Biar mama siapkan,""Tidak perlu!" Faris meninggalkan Winda begitu