Share

Bab 2

Angga dan Ajril tak tahu harus berbuat apa pada ibunya, agar sang ibu kembali bangun. segala cara Angga sudah lakukan, mulai membangunkan dengan cara memberi pewangian dari kentutnya, mencabut bulu ketiak milik ibunya serta mencubit hidung mancung sang ibu, tetapi hasilnya tetap sama. sang ibu enggan bangun dari pingsan.

Sudah hampir satu jam lebih Nani belum sadarkan diri juga. Angga menggeram kewalahan dan hanya duduk terdiam menatap sang ibu.

Kini giliran Ajril yang mencoba membangunkan. Ia pun berinisiatif mendekati telinga sang ibu dan membisikan sesuatu, membuat Angga memiringkan kepala terheran-heran.

Benar saja yang dilakukan Ajril. Tak berselang lama, sang ibu langsung membuka matanya sambil beringsut bangun.

"Dimana tempatnya?" ujar Nani antusias. Ia menarik lengan anaknya dengan gesit.

Sedangkan Ajril hanya tertawa cekikikan, sembari menahan lengan sang ibu.

"Ada apa, ko berhenti?" tanya Nani sembari menautkan halis.

"Jadi, dimana tempat warung makan gratisnya?" tanya Nani sambil celingukan kanan kiri. Ajril diam tak menjawab.

"Ajril, kamu bohong sama ibu, ya?"

"Maaf bu!" Ajril mulai menundukan pandangannya.

"Astaga!" Nani menepuk dahinya kesal.

"Ibu jangan marah. Ajril cuman takut ibu kenapa-napa. Ajril takut ibu mati!" tutur Ajril. Nani mendongkak menatap putranya.

"Ajril, ibu ga akan mati semudah itu," ujar Nani seraya tersenyum kecut, sorot matanya terpancar tajam. direlung hatinya amatlah menggebu-gebu. Tapi ini bukan soal kasmaran, melainkan perasaan dendam terhadap mantan suaminya.

"Ajril lupa, ibukan punya banyak simpanan buat ketahanan tubuh."

"Maksud kamu?" Nani menyipitkan matanya

Ajril tak menjawab, hanya bola matanya mengarah pada perut ibunya yang bulat maju kedepan. Nani mengikuti arah mata itu. Setelah mengerti, sebuah cubitan mendarat sempurna dipipi Ajril, membuat Ajril menjerit kesakitan.

"Aw... sakit bu," rintih Ajril mengusap pipinya yang gembul memerah.

"Pokonya ibu ga mau kamu coba bohongin ibu lagi!" gertak Nani melotot.

"Iya bu! Ajril minta maaf." Ajril mencium punggung tangan ibunya dengan takzim. suara cekikikan Angga membuatnya menoleh.

Nani yang begitu menyayangi anak-anaknya, Ia tak akan mudah marah pada putra-putranya jika hanya masalah kecil. Ia akan berusaha membuat anak-anaknya mengerti dengan caranya sendiri. Nani pun tersenyum lembut, usai mengelus puncak rambut Ajril dengan sayang.

"Ya sudah. Ayo kita lanjut."

"Tapi bu, kita mau pergi kemana? Ajril haus tau bu," ujar Ajril memajukan bibirnya. Nani diam beberapa saat.

"Bu, kita mampir sebentar kewarung ya, bu!" Ajril kembali merengek.

"Iya bu, ayo bu." timpal Angga. dia mengangkut tas besar ibunya dengan dipikul, disusul Ajril yang ikut bergerak beriringan berjalan dibelakang Angga.

Nani mengambil tas besar yang satunya, dan membawanya sambil berjalan lemah. keringat mulai bercucuran dari pelipisnya. bukan lapar lagi yang Nani rasakan melainkan dibarengi rasa haus yang mendera kerongkongannya yang kering.

Sesampainya mereka di sebuah warung makan yang ramai pengunjung. Nani mulai gelisah sendiri setelah melihat di warung tersebut terdapat aneka jajanan atau cemilan yang terjejer rapi. Nani menelan saliva. Aroma masakan menguar hebat diindra penciuman mereka. Tanpa basa- basi, Angga dan Ajril masuk kedalam dan meminta air putih pada pelayan warung.

"Ibu sini!" panggil Angga dan Ajril pada ibunya yang masih diam mematung dari diluar.

Nani terpaksa masuk kedalam dan mencolek kedua anaknya berbarengan.

"Sudah kenyang minumnya, kan? sekarang, ayo kita pergi lagi," bisik Nani. Angga enggan keluar dari warung.

"Ibu, Angga lapar."

"Sama bu, Ajril juga," ucap mereka berbarengan.

Hati Nani begitu sedih melihat kedua putranya merengek minta makan. tapi apa boleh buat, Nani tidak mampu membayarnya.

Tiba-tiba Nani tersenyum. Baru terpikir sebuah ide muncul seketika.

"Bu, kebetulan saya dan juga anak saya ingin makan, tapi saya ga bisa bayar pake uang. Gimana kalau saya bayar pake jasa tenaga? Saya bisa ngerjain pekerjaan apa saja, asalkan kami bisa makan," ucap Nani pada Ibu pemilik warung.

"Yakin mau ngerjain apa aja?" tanya ibu warung itu.

"Yakin! saya sanggup." jawab Nani cepat dengan wajah sumringah.

Ibu pemilik warung menerima tawaran Nani. tak lupa Nani mengucap syukur. Nani sangat senang melihat kedua buah hatinya makan dengan lahap. sampai dentingan piring dan sendok saling beradu.

"Pelan-pelan makannya, nak," ujar Nani mengingatkan pada kedua anaknya. Ajril meneguk air putih sampai tandas.

"Ah mantap," kata Ajril seraya membersihkan sisa makanan yang menempel disela-sela bibirnya.

"Yang baik itu ucapkan Alhamdulillah, Ajril!" Sang ibu mengingatkan ditengah-tengah kunyahannya.

"Oh, iya. Ajril lupa! Alhamdulilahi Robbil 'Alamin," ucap Ajril penuh khidmat.

"Sehabis ini, ibu mau beres-beres dulu. Kalian jangan pada nakal ya? Setelah itu, baru kita pergi lagi," tutur sang ibu seraya menyuap satu sendok makan yang terakhir.

"Iya bu," sahut Ajril dan Angga dengan kompak.

"Bu, ayah lagi marah sama kita ya? Sampai kita harus pergi dari rumah?" tanya Angga menatap ibunya sendu.

"Bukan bang, ayah tuh udah ga sayang sama kita," sahut Ajril menimpali.

"Ko, ayah jahat sih, bu?" tanya Angga lagi. raut wajahnya masih penasaran.

"Udah kalian ga perlu tanya-tanya lagi tentang ayah. Biarin ayah lagi marah atau lagi kerasukan pun, kalian ga usah peduli. mulai sekarang ibu yang akan menanggung kehidupan kalian, paham?" tutur Nani geram, seraya membereskan piring-piring kotor dan mengangkatnya untuk dibawa kedapur.

"Abang sih, ibu jadi marah,kan!" celoteh Ajril pada kakaknya.

"Abang, kan cuma tanya," sahut Angga seraya mengangkat bahu tanpa bersalah.

Tik....Tik....

Tetesan air mata ikut tergenang menyatu dalam bak penuh berisi air. piring kotor menumpuk didepan. dengan linangan air mata, Nani tetap mencuci piring-piring tersebut satu persatu sampai bersih.

Rasa sakit hati Nani terhadap mantan suaminya mengendap begitu dalam hanya masalah karena ia suka makan. Ramlan tega menceraikannya. padahal Ramlan sudah tahu kebiasaan istrinya, yang selalu makan sehari sampai beberapa porsi sehari. sehingga tubuh yang tadinya cukup terbilang ideal menjadi tubuh yang gempal.

Nani menyadari hal itu. akan tetapi kebiasaannya yang makan banyak tidak bisa dihentikan. justru semakin meningkat hingga 6 porsi dalam sehari. meski sering diejek dan dihina Ramlan. Nani tak pernah memperdulikannya. itu membuat Ramlan pusing. karena setiap menyediakan persediaan bahan pangan untuk satu bulan, habis dalam waktu dua minggu.

Sementara Ramlan hanya seorang buruh pabrik biasa yang penghasilannya tidak terlalu besar dan hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari dalam satu bulan. ditambah penampilan Nani yang sudah tidak menarik lagi dimatanya, membuat Ramlan tergoda dengan wanita lain yang lebih aduhai.

Ada rasa penyesalan dalam hati Nani. Seandainya dia bisa berhasil diet waktu itu, Ramlan mungkin masih menjadi suaminya. tapi semua sudah terjadi. Yang, Nani ingin lakukan sekarang berusaha membahagiakan kedua anak-anaknya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status