Share

Ditalak suami karena gendut
Ditalak suami karena gendut
Author: Runtah Pen

Bab 1

Brakkk

Suara hempasan pintu terhempas begitu kasar.

"Nani, cepat keluar!"

Terdengar seruan Ramlan menerobos masuk rumah dengan nada cukup keras.

"Iya, Bang."

Nani berjalan menghampiri suaminya dari arah dapur, sambil membawa semangkuk mie instan.

Melihat isteri gembulnya dari ujung kaki hingga kepala. Kemudian matanya beralih pada mie instan di tangan Nani. Ramlan terlihat sangat kesal. Ia mengusap wajahnya kasar, lalu menunjuk telunjuknya tepat di wajah Nani.

"Pusing aku lihat kamu yang kerjaannya makan terus. Gak berguna!" bentak Ramlan sembari melotot.

"Astaghfirullah. Ko, Abang bicara begitu? Ya habisnya Nani laper, Bang dari pagi belum sarapan," cicit Nani memelas.

"Alasan! Bilang aja ini sarapan kamu yang kelima kali. Ngaku aja kamu?"

Di tengah amarah Ramlan yang membuncah, membuat kaki Nani bergetar hebat.

"Enggak, Bang, Nani gak bohong. Bahkan persediaan makanan tinggal mie instan satu biji, sedangkan beras dan yang lainnya sudah pada habis, Bang."

"Ah, sudah. Mulai hari ini kamu urus diri kamu sendiri dan jangan lupa bawa anak-anak juga untuk pergi dari rumah ini. Aku udah gak tahan punya isteri seperti kamu, yang kerjanya makan terus. Bisanya cuma nyusahin doang," usir Ramlan pada Nani.

Mendengar penuturan kejam suaminya, Nani hanya bisa menangis hingga mangkuk berisi mie instan itu terjatuh berhamburan di lantai.

"Abang," lirih Nani. Air matanya rembes membanjiri pipi. Nani berusaha menggapai lengan suaminya, akan tetapi Ramlan dengan cepat menepisnya.

"Abang tega dengan, Nani. Tega mengusir, Nani dan juga anak-anak hanya karena masalah sepele," ucap Nani dengan nada suara yang sedikit bergetar.

"Aku udah gak peduli sama kamu, jadi sekarang cepat beresin semua barang-barang kamu dan angkat kaki dari rumah ini."

"Bang, jangan usir kami, Bang. Kasihan anak-anak masih kecil. Nanti kami tidur dimana?"

"Itu bukan urusanku lagi! Aku udah gak peduli sama kamu dan juga anak-anak. Aku muak dengan kalian."

"Tapi, Bang-"

Belum sempat Nani berlutut. Kakinya tiba-tiba tersandung baju daster yang dikenakannya. bukannya kaki Ramlan yang ia gapai, justru celana suaminya yang melorot sampai kelutut. Sehingga menampilkan celana boxer bergambar kupu-kupu sedang terbang.

"NANI...!" jerit Ramlan.

Mata Nani melotot lebar. Antara ingin tertawa dan juga sedih, Nani hanya mampu menahan keduanya. Ia, pun berdiri sembari mengatup bibirnya rapat-rapat.

.

.

.

Isakan tangis mulai terdengar memilukan. Nani pasrah. Ia pun masuk ke kamar, membenahi semua pakaian termasuk pakaian anak-anaknya kedalam tas.

"Bang, Ramlan jahat. Sungguh tega dan gak berperasaan," gumam Nani sembari menangis. Tangannya aktif memasukan pakaian dengan kasar.

"Belum juga makan udah di usir. Huh, suami macam apa, Bang Ramlan? Sesuka hati membuang isteri juga anaknya seperti barang sampah. Dia gak ingat perjuangannya saat ingin mendapatkanku, giliran sudah berhasil malah menyia-nyiakanku begitu saja." gerutu Nani lagi. Sementara kedua anaknya tengah asyik bermain sembari berlarian kesana kemari.

"Haduuuh bisa diem ga sih, kalian ini!" teriak Nani prustasi.

Sontak kedua anaknya, Angga dan Ajril berhenti berlarian dan langsung menoleh pada ibunya.

"Ibu belum makan yah?" tanya Ajril sambil mendekati Nani.

"Ko tau sih!" jawab ibunya. Wajahnya merengut kesal.

"Abis ibu rese kalau lagi laper."

Ajril dengan polosnya melengos pergi. Sedangkan sang ibu malah kembali menangis dengan suara yang lebih keras. Duduk menyandar pada ranjang kayu yang hampir reot.

Selang beberapa menit kemudian, Nani keluar bersama kedua anaknya sembari menyeret dua tas besar sekaligus. Sebelum kakinya melewati pekarangan rumah, Nani menoleh kebelakang. Ia melihat Ramlan tersenyum sinis kearahnya.

"Oh, ya, sampe lupa aku. Berhubung sebentar lagi aku akan menikah dengan wanita lain, dengan ini aku menyatakan...kamu, aku Talak Nani. Kamu bukan lagi istriku!" Ramlan dengan lantang membusungkan dada usai menjatuhkan talak pada Nani. Raut wajahnya seakan lepas dari beban.

"Terserah abang!" sahut Nani geram.

"Ayo Angga, Ajril kita pergi dari sini."

"Tapi Bu, kita mau pergi kemana? Terus ayah ga ikut?" tanya Angga.

"Iya ayah ko ga ikut sih, Bu? Kalau ayah ga ikut Ajril juga ga mau ikut ah," timpal Ajril. langkahnya mundur beberapa langkah menghampiri ayahnya namun Nani langsung melarang.

"Kalian ga mau ikut sama ibu?" Kedua bocah itu menggeleng pasti.

"Yakin ga mau ikut?" Lagi, Angga dan Ajril kembali menggeleng mantap.

"Kalau gitu ibu cari anak orang lain ajah yang mau diajak pergi!" Nani melengos kesal, berjalan meninggalkan Angga dan Ajril.

Belum sempat bocah umur lima dan enam tahun itu saling beradu pandang, mereka menatap mata ayahnya seakan mencari penjelasan. Namun yang mereka dapat malah sorotan mata tajam kearah mereka. Seolah Ajril mengerti arah pikiran ayahnya, Ajril mencolek lengan kakaknya. Kemudian keduanya bergegas berlari mengejar sang ibu yang sudah ketinggalan jauh.

"Ibu tunggu!" Teriak bocah-bocah itu berbarengan mengejar sang ibu.

.

.

.

"Bu, kita mau kemana sih? Kaki Angga pegel bu!" keluh Angga disela perjalanan.

"Iya bu, Ajril juga, tenggorokan Ajril juga kering, Bu. Ajril kepingin minum," rengek Ajril menimpali.

"Bu...."

"Ibu...."

Krik.... krik

"Ibuuu..." rengek keduanya secara berbarengan. Ajril mencegah langkah sang ibu untuk berhenti dengan spontan. Sontak Nani hampir terjungkal dan menoleh pada kedua anaknya secara bergantian.

"Kenapa nak?" tanya Nani menampilkan wajah pucat dan bibir yang kering.

"Angga sama Ajril cape, bu. Kita istirahat dulu ya, bu? Tapi Angga ingin di warung!" Angga dengan antusias menampilkan gigi tak rapihnya menatap sang ibu.

Nani menelan ludah cemas. Bukan maksud hati membuat buah hatinya kelelahan, tapi Nani pun tengah kebingungan. Kemana dia harus pergi. Sedangkan ia tak punya arah tujuan. Belum lagi, Nani tak punya uang sepeserpun.

Ingin rasanya Nani menangis, namun menangis tidak akan mengubah dirinya kembali pada suaminya. Ups...ralat mantan suami maksudnya.

Nani bisa saja kembali pulang kerumah ibunya. Akan tetapi, dia tak tega dengan keadaan sang ibu, yang akan membuat bebannya semakin bertambah dengan kehadiran Nani dan anak-anak.

Memang Nani masih punya ibu dan kakaknya. Tetapi ibunya sudah tua. Dan memilih tinggal dengan kakaknya Nani. Mirna namanya.

Sedangkan ayah Nani sudah lama tiada, semenjak tragedi penyerangan kerbau terhadap ayah Nani sampai terperosok masuk kejurang hingga tewas.

Nani limbung terduduk lemas dipinggir jalan, perutnya sudah memberontak minta diisi. Tapi entah apa yang mau disantap. Di sebelah sisi kanan kirinya hanya ada rerumputan dan batu kerikil. Ditambah wajah polos tak berdosa dari kedua putranya yang juga sama kelelahannya.

Pandangan semakin kabur, sampai-sampai Nani membayangkan didepannya ada sebuah rumah makan restoran ayam geprek. Tiba-tiba matanya tertutup rapat tanpa menunggu hitungan detik.

Brukkk....

Nani ambruk dan pingsan. Kedua putranya saling pandang. Angga menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Sedangkan Ajril hanya memandangi sang ibu yang pingsan.

"Bang Angga, tolong bangunin ibu! Bilangin jangan bobo dijalan," ucap Ajril polos.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status